Share

Bercerai

Buram pandangan, membuat tatapanku menajam melihat plafon kamar. Dimana ini? A---h pinggangku sakit, yang pasti bukan karena kehilangan keperawanan di malam pertama.

Yah kehilangan suami lebih tepatnya. Susah payah aku angkat tubuh ini untuk berdiri setelah terdengar ketukan di daun pintu kamar.

"Sebentar!"

Secercah harapan melintas, apakah pria itu akhirnya bertekad kembali kemari untuk meminta maaf? Namun, balon harapan itu meletus seketika, saat seorang pria  mengaku sebagai pelayan hotel membawa troli penuh makanan berlemak, yang kesemuanya adalah menu favoritku.

"Silahkan sarapannya nona," ucap pria itu seraya menunduk. Sepertinya, bentuk tubuh ini, sudah tak layak dipandang oleh siapa saja ya, bahkan untuk di lihat oleh pelayan sekali pun.

"Terima kasih taruh saja di sana."

"Kalo butuh apa-apa nona tinggal mendial angka 0 dari telpon hotel itu." Tunjuk pria itu ke arah nakas di dekat tempat tidur.

"Baik."

Meronta, cacing-cacing di dalam perut menuntut tambahan nutrisi. Lagi? Aku elus perut ini untuk menenangkan demo mereka. Lekas-lekas aku dial nomor 0 dari telepon kamar untuk meminta tambahan lemak, demi melupakan apa yang telah kualami.

Tak seberapa lama ronde ke 2 bahkan ke 3 masuk sempurna ke tubuh ini. Gumpalan lemak itu penuh sesak, membuat ukuran tubuh makin membengkak.

Kenyang,  otak ini kembali ke mode fokus. Pun,  ingatan tadi malam melintas. Sontak Gabriel pergi dari kamar bulan madu kami setelah mengucap kata talak.

Tak terasa garis mata langsung penuh dengan bulir yang hampir tumpah. Bohong, kalo hati ini tidak sakit. Namun, bukan salah pria itu jika dia menolak menikahi Badak Ragunan yang terlalu percaya diri meng-iya-kan menjadi pasangan hidupnya.

Pingsan, pandangan mata tiba-tiba gelap dan kesadaranku menghilang.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan berganti gedoran di pintu kamar membangunkan lamunanku.

" Selamat sore nona, saya Theo, sekretaris tuan Gabriel, mari saya antar ke apartemen anda," ucapnya sopan sambil membantu menyeret koper berukuran super Jumbo di sudut kamar.

"Apartemen siapa?" tanyaku ingin tahu.

"Apartemen hadiah pernikahan dari nyonya besar."

Meski penasaran, aku coba menahan untuk tak bertanya macam-macam. Diam itu lebih baik dan menunggu perintah selanjutnya.

Mobil hitam 8 penumpang menyambutku tepat di depan pintu lobby. Timbul dorongan untuk membuka jendela penumpang. Merasakan hawa sejuk angin malam itu menerpa seluruh wajah ini.

Bahkan, mataku yang tadi basah kini sedikit mengering. Terima kasih angin, hanya kamu yang mengerti, kalau air mata bukan untuk dialirkan terus menerus, melainkan untuk disiangi agar digantikan panen kebahagiaan.

"Kita sudah sampai nona," ucap Theo sembari memarkirkan mobilnya tepat di depan lift parkiran basement.

Tepat di depan cermin, Lagi, sekelebat bayangan Gabriel melintas. pantas saja pria itu murka. Apa ini wujud yang terus-terusan di cemooh semua orang itu? Penampakan yang menjijikkan ini membuat mereka tak tahan berlama-lama seruangan denganku.

Aku keluar dari kamar karena perut ini kembali keroncongan. Lumrah, aku tak pernah menghitung berapa jumlah kalori yang masuk ke tubuh dalam sehari.

Theo masih di ruang tamu ternyata, mata ini sampai membelalak. Memalukan, saat mempertontonkan keadaanku, dengan kondisi mulut penuh.

Namun, sepertinya pria itu lebih fokus membaca lembar demi lembar kertas yang sudah terbendel di hadapannya.

Kepalanya sedikit mendongak kemari terus turun ke ke bagian bawah. Mata itu seolah berbicara 'ya ampun tonjolan lemak di mana-mana, gadis itu 4 kali lebih besar dari ukuran tubuhku, untung pak Gabriel cepat sadar.'

Menggeleng, aku kembali fokus pada Theo.  Menenggak sekaleng es susu coklat kental bergantian, seraya melahap lembaran keju Kraft. Tak lupa, sekaleng kecil es kopi aku suguhkan dihadapannya.

"Hilahan hak."

Silakan pak, ucapku sambil Masih mengunyah. Theo pun mendongak dan mempersilahkan duduk. Aku menurut, seraya ingin tahu.  "Berkas apa sih itu?"

"Nona, ma-afkan saya, saya hanya menjalankan perintah," ucap Theo dengan tatap teduh tampak kasihan melihatku.

Aku jadi paham, itu berkas surat cerai karena berulang  kali benda serupa tergeletak di atas meja kerja ayah.

"Bagian mana yang harus saya tanda tangani?"

Tangan ini gemetar. Bergegas ku telan roti panggang di hadapanku secepat mungkin.

"Di sini nona?"

Theo kelihatan sedikit bersemangat. Dikiranya aku pasti akan bertingkah seperti balita yang suka merengek minta dibelikan es krim, meraung-raung di hadapannya dan memohon agar Gabriel tidak pergi dan tetap melanjutkan pernikahan ini.

Sayangnya aku bukan orang seperti itu. Sadar diri kalau kehadiranku tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi pria se-sempurna Gabriel.

"Sudah pak.”

Wajah Theo berubah sumringah. Sepertinya pria itu lega karena aku sudah mempermudah pekerjaannya.

"Nona, ini surat perjanjian dari boss saya."

Selembar kertas dengan stempel dan tanda tangan Gabriel sudah nangkring di sana. Intinya, merahasiakan perceraian adalah syarat utama, kalau masih  ingin tetap tinggal di apartemen ini, sampai Gabriel dilantik menjadi CEO di Warren Group inggris.

Sontak aku bereaksi, hal itu aku yakini memang sepantasnya dilakukan seorang istri dalam sehari, eiits….. ralat hanya 5 jam saja. Pun,  belum termasuk seberapa lama pria itu menghabiskan waktu menyambut tamu-tamunya.

"Jangan khawatir pak, saya bukan tukang gosip!"

"Loh kok di sobek nona?"

"Apalagi pak? Bapak mau ngusir saya kan sekarang?"

Begitulah kesimpulan yang dapat aku tarik.

Toh, lambat laun pasti aku akan ditendang juga dari apartemen ini. Kalaupun tidak hari ini, mungkin lusa atau nanti di lain hari.

"Ta-pi nona, apartemen ini sebagai imbalan untu-"

"Stop! Nggak perlu repot-repot pak."

Lantas, kaki ini menuntun untuk melanjutkan

Langkah ke arah yang tak disangka-sangka.

"Tunggu nona!"

~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status