Pemain peran terbaik versiku adalah kamuSebentar acuh tak acuh, sedetik kemudian kau memuja Padahal aku tidak lagi berharap padamu Karena kau terlalu ambigu dan mudah lupa ***Aku masih termangu di belakang punggung Bang Habib. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi dia masih tergugu sambil mengusap batu nisan Mbak Naya. Sementara itu, anak-anak menangis menumpahkan kerinduan pada ibunya yang sudah berkalang tanah. Aku paham kesedihan mereka, tetapi bisakah memandang keberadaanku di sini? Aku bagai orang asing di antara keluarga mereka.Aku mengeglengkan kepala. Tidak sepantasnya aku berpikir seperti ini. Bukan anak-anak yang aku salahkan, tetapi hati terlanjur kecewa dengan sikap Bang Habib, ayah kandung Muthia dan Liyana.Akhirnya aku jongkok di atara kedua malaikat kecil ini, lalu membawa mereka ke dalam pelukan. Kami berbagi tangis. Di antara kerinduan pada perempuan bermata bulat dan rasa sakit yang teramat pekat aku rasakan. Mbak Naya tidak salah, akulah yang terlalu banyak ber
Sebercanda itu dia bermain dengan hatiApa dia pikir hatiku ini terminal?Sebanyak singgah, setelah itu berlalu pergi Menciptakan kenangan baru yang tertinggal*** Aku melerai pelukan dan berbalik membelakangi Bang Habib. Mataku liar mencari handuk atau kain apa pun untuk menutup tubuh polos ini. Namun, aku tidak menemukan apa yang aku cari. Di belakang punggung, aku dapat merasakan gerak yang merapat tanpa celah. Diakah?"A--apa Abang bisa keluar? Ra mau mandi." Berhati-hati aku berkata. Takut dia tersinggung dengan ucapanku. Ya, begitulah aku menjaga perasaan laki-laki yang berdiri di belakang punggungku. Tidak seperti dia, si penabur luka.Bang Habib masih bergeming, dia pun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ah, menyapa dia mendadak menjadi patung? Apa karena tubuhku ini? Aku mengumpat di dalam hati. Tidak seharusnya aku takut gelap. Lagian, peristiwa itu sudah lama berlalu, tetapi tetap mempengaruhi alam bawah sadar.Sebaiknya nanti aku melakukan terapi agar tidak ada kejadian
Kopiku memang pahit, tetapi tidak dengan hidupku. Semua rasa ada di dalam kehidupan yang aku jalani, aku nikmati dengan suka cita. Baik itu manis, getir, kelat, bahkan hambar. Jalani saja, jangan mengeluh, itu prinsipku.-Rara Audy Sanjaya-***Pertengahan Februari, Ahad ketiga, semua warna berpendar dalam hidupku. Bukan hanya hitam kelam, tetapi juga warna oranye keemasan bermain indah di relung hati. Tidak perlu aku ingat kalimat menyakitkan usai percintaan kami semalam. Aku cukup tahu bahwa setiap rasa nan tercipta, merupakan nyanyian pengiring permainan di atas pentas kehidupan.Di atas sajadah, aku meminta agar Allah menguatkan dan memberi petunjuk. Jika tidak ada lagi jalan untuk bertahan, maka aku memilih pergi dari kehidupan Bang Habib. Aku tidak ingin menuruti permintaan gilanya itu. Lebih baik sendiri membesarkan anak dan memikirkan masa depannya meski aku tidak tahu apa yang terjadi nanti.Ya, keputusanku sudah bulat. Jika sisa waktu yang ada tidak membuat dia luluh, maka
Bagai makan buah simalakama Begitulah kondisiku saat iniJujur salah, diam pun rasanya serba salahLantas, aku harus apa?***Bang Habib masih memandangku lewat pantulan cermin, hingga tatapan kami bersirobok. Mata elang itu seakan mengunci pergerakan sendi di seluruh tubuh ini. Aku tidak dapat bergerak, lidah pun teras kelu. Bahkan, aliran darah seakan berhenti, seiring waktu yang sekaan berhenti berputar.Bang Habib membalikkan tubuhku, sehingga kami jadi berhadapan dengan jarak dekat. "Kamu hamil, Ra? Jawab Abang!" Dia berteriak dengan napas memburu. Aku menunduk sembari mengatur debaran jantung, lalu menjawab pertanyaannya dengan merangkai kebohongan lain. "Abang jangan mengada-ngada. Asam lambung Ra naik akhir-akhir ini."Dia memicingkan mata, lalu menghela napas beberapa kali. Mungkin untuk mengurai emosi yang ada. "Benarkah?" Aku hanya mengangguk menanggapi, tentu saja bibir masih melengkung membentuk senyum tipis.Sekarang mungkin aku bisa berbohong, tetapi tidak untuk ke
Waktu berhentilah barang sejenak, lalu berputar kembali ke masa lalu. Aku bingung saat mata dengan bola berwarna cokelat madu itu menuntut jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan. Dia memutar tubuhku agar kami saling berhadapan. Dia yang tidak bisa dibohongi dengan alasan apa pun. Ah, mengapa jadi begini?"Kita harus bicara!" Ucapannya yang tegas dan.tidak terbantah, membuat kaki ini melangkah pasrah saat dia menyeret tanganku entah ke mana.Melewati ruang keluarga, semua keluarga menatap heran dan penuh selidik. Meski begitu, orang yang menyeret tanganku dengan lembut ini tidak memedulikan saat Mama Hani bertanya kami mau ke mana. Dia mengajakku ke lantai dua. Lebih tepatnya menuju kamarku."Masuk!" Kembali dia memberi perintah setelah pintu kamar dia buka. Kamarku ini memang tidak pernah dikunci agar asisten rumah tangga dapat membersihkan secara berkala. Mama sangat memercayai mereka, begitu pula aku.Kamar yang didominasi warna biru mengembuskan hawa segar saat dia menyalakan
Aku mematut diri di depan cermin tolet jati berwarna hitam. Menyapu pipi dengan blush on agar tidak pucat. Hari ini aku ada janji dengan Mbak Viona dan untuk pekerjaanku, pagi tadi aku telah meminta izin pada Profesor Lauren dengan alasan masih belum fit. Bukannya aku berbohong, saat subuh tubuh ini menggigil seperti orang meriang. Belum lagi rasa pusing dan mual yang menyerang, hingga membuat tubuhku semakin lemah. Kemarin, Mbak Viona belum sempat mengatakan rencana karena kedua ibuku menyusul ke kamar. Kami terpaksa bersandiwara. Adik kandung Bang Habib itu meminta aku berbaring di ranjang setelah membuka tunik yang aku kenakan dan membalur tubuhku dengan minyak kayu putih yang tersimpan di laci.Bersusah payah aku dan Mbak Viona menyembunyikan sisa air mata dengan mengaplikasikan bedak di wajah. Untung saja, kedua perempuan bergelar kakak adik itu tidak curiga. Mereka justru khawatir padaku. Mbak Viona memberi alasan bahwa aku masuk angin dan asam lambung kumat, sehingga harus d
Aku masih menanti dengan perasaan gelisah, tetapi perempuan cantik yang duduk di hadapanku ini justru tersenyum penuh teka-teki. Apa yang dia rencanakan? Mengapa dia menanyakan tentang Tommy? Berbagai tanya berkelebat dalam pikiran, namun aku tidak menemukan jawaban apa pun.Mbak Viona tertawa kecil, lalu berkata, "Telepon Tommy sekarang! Suruh dia menyusul kita ke sini. Bukannya dia sekarang bersama laki-laki bodoh itu? "Untuk apa, Mbak?" tanyaku bingung.Mbak Vioana menjentikkan jari, lalu menjawab, "Lakukan saja. Kamu akan tahu nanti."Aku semakin mengernyitkan dahi, tetapi tetap mengikuti perintah Mbak Viona. Gawai aku ambil dari sling bag yang aku letakkan di atas kursi kosong. Nama Tommy aku cari dalam daftar kontak benda pipih berwarna hitam ini dan mulai melakukan panggilan telepon. Pada panggilan ketiga, laki-laki yang gemar becanda itu menjawab panggilan. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaannya."Mas Tonny di mana?" Pertanyaan pertama setelah aku mengucap salam."Aku baru
Atmosfer terasa begitu panas. Aura permusuhan terpancar jelas dari laki-laki bergelar suami ini. Dia hanya berdiri tegak tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Memandang Tommy seperti ingin menerkam saja. Sementara itu, Mbak Viona dengan santainya tertawa sambil memainkan gawai. Entah apa yang dia lihat dari benda pipih itu. Sejak Bang Habib di sini, matanya tidak lepas dari gawai.Aku tidak berani menatap Bang Habib. Hanya melirik dari ekor mata saja seraya memilin jari di atas paha. Mendadak aku menjadi tidak enak hati karena melibatkan Tommy di dalam permasalahan kami. Tetapi, bukannya aku tidak sepenuhnya salah. Dia yang meminta agar aku lebih dekat dengan Tommy. Lantas, mengapa dia tidak terima.Tommy berdeham dan tegak berdiri. "Pak Habib, silakan duduk." Tommy bergeser dan meminta Bang Habib agar duduk di sampingku. Meja ini, hanya menyediakan empat kursi berbahan stainless steel saja. Aku dan Tommy duduk bersisian, tapi tetap berjarak. Sementara Mbak Viona duduk sendiri di seb