Menebar rasa, melerai asaJika terluka pasti kecewa juaNamun hari terlalu lancang berharapDalam sekejap tak berhenti mengharap ***Cukup lama aku berada di pemakaman umum ini, hingga akhirnya memutuskan pulang saat menyadari waktu beranjak sore. Sebentar lagi adzan ashar akan berkumandang. Dari penunjuk waktu di pergelangan tangan, aku melihat jarum pendek sudah mendekati pukul tiga sore.Aku mengusap nisan Mbak Naya. Nisan yang menjadi saksi bisu saat bibir ini berceloteh mencurahkan semua rasa. Walaupun tidak ada tanggapan, aku sudah cukup senang dan tenang. "Rara pulang dulu, Mbak. Kapan-kapan Ra ke sini lagi. Terima kasih sudah mau mendengar semua keluhan Ra. Assalammualaikum." Satu kecupan di nisan yang terukir nama Mbak Naya aku dapatkan. Kemudian, aku bangkit berdiri dari atas rerumputan yang tidak terlalu padat. Sebagian tunik terkena pasir dan tanah, tapi tidak aku pedulikan.Jika tadi saat datang aku dalam keadaan kacau, maka tidak saat langkah kuda besi keluar dari ge
Bicaralah dengan rasa Agar kau tahu apa yang dia rabaRasa bukan hanya soal cinta Tetapi semua alam semesta ***Jari-jari menari lincah di atas keyboard. Sejak tiga puluh menit yang lalu, aku berkutat pada berkas-berkas klien yang harus aku rekap menjadi satu dan dikumpulkan dalam satu file. Profesor Lauren meminta agar aku membantu pekerjaan admin karena saat ini admin kantor sedang sakit. Aku tidak dapat menolak karena di tempat ini kami saling membantu satu dan lainnya.Walaupun mata mengantuk karena semalaman tidak dapat tidur pulas, tetapi inilah pekerjaanku dan aku harus bertanggung jawab secara profesional. Satu cangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap panas menemani aktivitas pagi. Di seberang meja, Aldy tampak sibuk mencatat janji temu dengan klien untuk satu pekan ini.Sesekali aku tersenyum jika mengingat kekonyolan beberapa malam terakhir. Saat malam, aku akan menyelinap mencari pakaian kotor Bang Habib, lalu membawanya ke kamar untuk menemani tidurku. Aku mendeka
Life ends when you stop dreaming Hope ends when you stop believing Love ends when you stop caring Friendship ends when you stop sharing So, share this with whom ever you consider a friend***Berliku jalan yang aku tempuh saat ini. Di persimpangan jalan bercabang aku berhenti beberapa jenak. Otak terus berpikir, ke mana kiranya jalan yang harus aku tempuh. Tempat ini sangat asing. Belum pernah sekali pun aku ke sini dan ini untuk pertama kali. Aku memutuskan menempuh arah kiri jalan, melewati ilalang-ilalang tinggi. Aku harus berhati-hati karena tidak ada pencahayaan sama sekali. Hanya sinar bulan sabit yang bersinar temaram, tanpa dihiasi bintang. Cukup lama aku berjalan sampai akhirnya kaki merasa letih dan keram."Di mana ini? Mengapa tidak ada satu orang pun yang terlihat?" Aku bergumam seraya duduk di atas tanah yang ditumbuhi rumput liar. Tubuhku pasti tidak terlihat karena tingginya ilalang nan menjulang tinggi.Rasa haus mendera, diiringi suara keroncongan akibat lapar. L
Waktu yang bergulir terasa cepatSepertinya poros waktu tidak mengizinkanku untuk berleha-leha barang sekejapSedikit lagi, batas akhir akan merapat Lantas, ke manakah aku setelah janji terlanjur diucap***Sesuai janji Bang Habib, hari ini kami akan mengunjungi Mbak Naya di pemakaman umum Babat Jerawat yang terletak di Jalan Raja Sememi. Pagi sekali, Muthia dan Liyana tampak antusias karena sudah lama tidak ziarah. Terakhir kali, dua bulan lalu saat aku tidak disibukkan dengan pekerjaan.Cuaca awal Februari sedikit mendung hari ini, tetapi tidak ada satu tetes hujan pun yang turun sejak tadi. Mungkin Allah ingin berbaik hati agar anak-anak tidak kepanasan saat menjambangi makam ibu kandungnya. Kasihan juga jika mereka bermandikan keringat. Mengingat kamu akan lama menghabiskan waktu di sana. Biasanya memang seperti itu. Aku masih mematut diri di depan tolet jati,di dalam kamar. Mengaplikasikan blush on agar tidak terlalu pucat, serta lipstik berwarna nude di bibir yang tampak keri
Pemain peran terbaik versiku adalah kamuSebentar acuh tak acuh, sedetik kemudian kau memuja Padahal aku tidak lagi berharap padamu Karena kau terlalu ambigu dan mudah lupa ***Aku masih termangu di belakang punggung Bang Habib. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi dia masih tergugu sambil mengusap batu nisan Mbak Naya. Sementara itu, anak-anak menangis menumpahkan kerinduan pada ibunya yang sudah berkalang tanah. Aku paham kesedihan mereka, tetapi bisakah memandang keberadaanku di sini? Aku bagai orang asing di antara keluarga mereka.Aku mengeglengkan kepala. Tidak sepantasnya aku berpikir seperti ini. Bukan anak-anak yang aku salahkan, tetapi hati terlanjur kecewa dengan sikap Bang Habib, ayah kandung Muthia dan Liyana.Akhirnya aku jongkok di atara kedua malaikat kecil ini, lalu membawa mereka ke dalam pelukan. Kami berbagi tangis. Di antara kerinduan pada perempuan bermata bulat dan rasa sakit yang teramat pekat aku rasakan. Mbak Naya tidak salah, akulah yang terlalu banyak ber
Sebercanda itu dia bermain dengan hatiApa dia pikir hatiku ini terminal?Sebanyak singgah, setelah itu berlalu pergi Menciptakan kenangan baru yang tertinggal*** Aku melerai pelukan dan berbalik membelakangi Bang Habib. Mataku liar mencari handuk atau kain apa pun untuk menutup tubuh polos ini. Namun, aku tidak menemukan apa yang aku cari. Di belakang punggung, aku dapat merasakan gerak yang merapat tanpa celah. Diakah?"A--apa Abang bisa keluar? Ra mau mandi." Berhati-hati aku berkata. Takut dia tersinggung dengan ucapanku. Ya, begitulah aku menjaga perasaan laki-laki yang berdiri di belakang punggungku. Tidak seperti dia, si penabur luka.Bang Habib masih bergeming, dia pun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ah, menyapa dia mendadak menjadi patung? Apa karena tubuhku ini? Aku mengumpat di dalam hati. Tidak seharusnya aku takut gelap. Lagian, peristiwa itu sudah lama berlalu, tetapi tetap mempengaruhi alam bawah sadar.Sebaiknya nanti aku melakukan terapi agar tidak ada kejadian
Kopiku memang pahit, tetapi tidak dengan hidupku. Semua rasa ada di dalam kehidupan yang aku jalani, aku nikmati dengan suka cita. Baik itu manis, getir, kelat, bahkan hambar. Jalani saja, jangan mengeluh, itu prinsipku.-Rara Audy Sanjaya-***Pertengahan Februari, Ahad ketiga, semua warna berpendar dalam hidupku. Bukan hanya hitam kelam, tetapi juga warna oranye keemasan bermain indah di relung hati. Tidak perlu aku ingat kalimat menyakitkan usai percintaan kami semalam. Aku cukup tahu bahwa setiap rasa nan tercipta, merupakan nyanyian pengiring permainan di atas pentas kehidupan.Di atas sajadah, aku meminta agar Allah menguatkan dan memberi petunjuk. Jika tidak ada lagi jalan untuk bertahan, maka aku memilih pergi dari kehidupan Bang Habib. Aku tidak ingin menuruti permintaan gilanya itu. Lebih baik sendiri membesarkan anak dan memikirkan masa depannya meski aku tidak tahu apa yang terjadi nanti.Ya, keputusanku sudah bulat. Jika sisa waktu yang ada tidak membuat dia luluh, maka
Bagai makan buah simalakama Begitulah kondisiku saat iniJujur salah, diam pun rasanya serba salahLantas, aku harus apa?***Bang Habib masih memandangku lewat pantulan cermin, hingga tatapan kami bersirobok. Mata elang itu seakan mengunci pergerakan sendi di seluruh tubuh ini. Aku tidak dapat bergerak, lidah pun teras kelu. Bahkan, aliran darah seakan berhenti, seiring waktu yang sekaan berhenti berputar.Bang Habib membalikkan tubuhku, sehingga kami jadi berhadapan dengan jarak dekat. "Kamu hamil, Ra? Jawab Abang!" Dia berteriak dengan napas memburu. Aku menunduk sembari mengatur debaran jantung, lalu menjawab pertanyaannya dengan merangkai kebohongan lain. "Abang jangan mengada-ngada. Asam lambung Ra naik akhir-akhir ini."Dia memicingkan mata, lalu menghela napas beberapa kali. Mungkin untuk mengurai emosi yang ada. "Benarkah?" Aku hanya mengangguk menanggapi, tentu saja bibir masih melengkung membentuk senyum tipis.Sekarang mungkin aku bisa berbohong, tetapi tidak untuk ke