"Kan kita bawa makanan juga dari rumah, nggak inget?""Nggak."Aku hanya bisa bergeleng-geleng kepala menanggapinya. Sembari menggigit potongan sandwich, aku membuka satu bungkus kerak telor yang terasa masih panas. Dari harumnya saja sudah menggoda perut menjadi keroncongan. Dan tanpa ragu ku comot beberapa bagian itu."Coba, mau lihat hasil jepretannya." Aku berjalan mendekatinya untuk merampas kamera yang tergolek di sisinya.Bergilir dia kembali beranjak ke depan meja telivisi untuk melahap kerak telor bawaannya. Sementara aku mulai tergugah dengan hasil foto yang dia ambil. Suasana gelap bercampur langit putih, lekas ceruk arunika yang dia ambil dari sudut kiri begitu sempurna. Aku tahu Orick lebih handal dalam persoalan menjepret. Bahkan aku pernah menitahnya untuk memasuki dunia fotografi, lumayan karyanya ini bisa diperjual-belikan. Ah ralat, Orick memang segala bisa dalam segala bidang. Aku kadang bingung, mengapa pria se-sempurna dia harus menyandingiku?"Hei, kok ngelamun?"
Dan seakan paham apa keinginanku, ketika tanganku menarik jemarinya, aku berputar sembari tertawa riang. Kami menari tanpa gerakan yang kompulsif. Mengikuti arah mata angin yang bergerombol datang seakan sengaja menjamu kami berdua. Di bawah senja tanpa bayangan, di antara sepi dan ramai, hanya aku yang menggenggam tangannya sekuat ini. Sekuat takdir dan impian.Seumpama yang kamu lihat di masa depan bukanlah aku, itu bukan masalah yang cukup besar. Suatu saat, kenangan ini akan kutaruh dalam kepalamu. Mungkin akan terasa menyakitkan, tapi percayalah ini adalah kisah yang takkan bisa kau elak.Sekarang, bukankah ini yang kita sebut bahagia?Aku tak bisa memalingkan wajahku dari mata senjanya. Terpatri nyata begitu jingga bersama harapan yang besar. Dia tersenyum, aku melebihinya. Entah harus berapa kali kutuliskan bahwa aku amat mencintainya. Entah harus sedalam apa aku menyimpan gelora kasih yang tak bisa ku-hadiahi dalam bentuk lisan. Entah harus selama apalagi aku merekamnya agar
Hal pertama yang kulakukan setelah Orick mengembalikanku pada rumah, membanting diri ini ke atas kasur dan menangis dalam keadaan lampu padam serta pintu terkunci. Aku menyampirkan selimut ke seluruh tubuhku untuk mengunci segalanya agar tak bercahaya. Ini belum terlalu larut untuk ku-pergi ke alam mimpi, tapi ini cukup larut untuk ukuran Erin yang masih menggedor-gedor pintu kamarku karena mengkhawatirkanku."Kak? Kakak baik-baik aja?"Aku tidak menjawab pertanyaan-nya, hingga wanita itu lelah sendiri dan berpaling dengan kalimat yang lain."Kalau ada apa-apa bilang Erin aja, Erin di kamar sebelah."Tumpah ruah tangisku masih belum berhenti. Bagai keran rusak yang sulit aku senyapkan, alirannya membasahi bantal sampai ke bawah seprai. Rasanya amat nyeri, hingga untuk menarik napas saja aku kesulitan. Entah apa yang ada di dalam tubuhku, mungkinkah ribuan belati menusuk jantung dalam sekali gerakan. Aku tak bisa tersenyum. Untuk sesaat, aku tak bisa tersenyum. Biarlah malam ini menjad
Aku sengaja memperpanjang durasi tidurku untuk menghindari beberapa kecenderungan. Cenderung kembali menangis. Cenderung menemukan kejanggalan-kejanggalan seperti kemarin. Cenderung kepalaku belum sepenuhnya membaik. Cenderung orang-orang rumah menanyakan hal-hal yang tak ingin kujawab. Serta cenderung keadaan tubuhku semakin merosot.Aku tidak bermimpi selama satu malam. Di dalam tidur yang lelap, aku hanya meringkuk pada kapas-kapas hangat dan mencoba terlelap dengan tenang. Bersama bayangan diri yang kurengkuh, berdua saling memeluk dan mengusapi. Hingga ketika mentari datang, aku kembali terbangun seorang diri. Bertanya-tanya kemana hilangnya dia, karena ketidaksempatan diriku untuk memperbaiki luka yang ada.Aku berhasil terbangun karena sebuah cahaya menghalau dua irisku begitu silau. Ketika dua mataku terbuka, jam weker di sampingku menunjukan pukul 11 siang. Ternyata benar, dua gorden di sebelah barat sudah terbuka. Kutebak ini pasti ulah ibu atau Erin. Sebab bapak tidak selan
Langit terlihat cerah ketika aku keluar dari rumah. Berbagai macam transportasi di jalanan riuh memadati, entah akan kemana manusia panas-panas begini sibuk berkeliaran. Kelompok awan cumulus membentuk ledakan tak jelas bentuk di atas jendela matahari. Hari ini, tidak ada yang berubah dari polusi Jakarta, tetap sumpek dan lusuh. Lalu lintas dan para polisi tetap bersandiwara. Termasuk para masyarakatnya yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Contohnya ketika aku menyisi ke alfamart depan gapura perumahan, kasir prianya dengan ramah menanyakan nomor whatsapp-ku. Sungguh bintang 5.Suara penyanyi dari radio set tak pernah lupa menjadi penghempas sunyi di mobil ini. Dan ngomong-ngomong tentang pemuda, aku belum sempat mengabari Orick kalau aku sedang menuju rumah sakit. Atau barangkali Orick sendiri tidak tahu bila Kamala tengah dirawat? Bagus, aku jadi tahu hal pertama apa yang harus kulancarkan ketika bertemu wanita itu.Satu keranjang buah dan sekantung camilan ringan sepertinya c
Entah harus bersyukur atau kembali merenung, akhir tahun ini aku banyak sekali menemukan hal-hal yang mulai memulih dengan sendirinya. Contoh besar dan dekatnya yaitu hubunganku dengan Orick. Semakin berjalan hari, semakin sedikit teks yang bisa memisahkan kami. Sokongan waktu dan afeksi membuat kepala kami perlahan-lahan melunak, lantas begitu mudah untuk menyatukan paham. Kemudian keadaan hatiku yang berjalan selaras dengan harmonisasi rumah, membuat keadaan keluarga terlihat lebih manis ketimbang tahun sebelumnya. Termasuk ikatan tali Kamala bersama saudara kandungnya, retakan luka-luka itu menyatu dan terolah kembali menjadi sesuatu yang lebih megah dari sebelumnya.Segudang resolusi atau wishlist tentang kebajikan meruntun dari hulu ke hilir. Orang-orang menengadah pada langit natal yang berkerlap-kerlip, memohon pada bintang dan menunggu santa claus hadir sembari menaburkan berkah. Pada sesuatu yang bisa mereka genggam, aku menghadap sebuah lapang yang luas dengan berandang padi
PemudaKu🖤Nar, cepet pulangAku di rumah kamu"Kalau untuk organisasi macem hima, bem, atau kepanitiaan khusus pkkmb gue undur diri. Bukannya sok sibuk, tapi kemarin tuh jadwalnya bentrok sama event lomba.""Dari ukm?" tanyaku tanpa menoleh pada Jeanne."Iya. Belum lagi gue ini penanggung jawab buat acara kumpul-kumpul angkatan. Bayangin, seangkatan dari semua fakultas ngadain liwetan! Terus semena-mena pacar lo tuh--nunjuk gue sama Kamala jadi panitia!"Barulah setelah mengetikan balasan pada Orick, aku mendongak untuk menemukan wajah misuh-misuh Jeanne disambil menyuap waffle. Aku terkekeh sejenak, meresapi terlebih dahulu curhatan yang keluar dari mulutnya. Ngomong-ngomong ketua angkatan, aku jadi teringat masa-masaku dahulu. Betapa repotnya meraup berbagai tugas oleh sendiri."Lo nggak ada kelas lagi, kah?" tanyaku mengalihkan."Ada, 15 menit lagi." jawabnya."Yaudah gih, ke kelas aja. Gue juga mau pulang." ungkapku.Ini masalahnya, entah ada angin apa Orick ngotot menitahku pula
"APA? LO DILAMAR?!Adalah hal pertama yang Bella laungkan ketika kami kumpul melingkar di dalam kamar. Pukul 7 malam tepat, setelah adzan isya berkumandang, sesuai janjiku pada Kamala serta Jeanne tadi di kampus. Berakhir-lah tiga cicak ini menangkrak di atas ranjangku.Aku meringis sakit mendengar jeritan itu. "Volume lo anjir, sepaket amat ama toa masjid.""EH BANGKE, GUE NANYA TUH DIJAWAB YA!""IYA MONYONG, GUE DILAMAR!""SEKATE-KATE ANJIR NIH SI ORIK KALAU NGELAMAR CEWEK, SAT-SET-SAT-SET LEBIH CEPET DARI ROSI! UNTUNG LO BILANG YE, KALAU NGGAK GUE GAAKAN BISA NIKUNG NIH! MUMPUNG JANUR KUNINGNYA BELUM MELENGKUNG!"Aku langsung terpaku pada ucapannya. "Maksudnya?" Bella tidak mungkin menyukai Orick, kan? Aku dan Bella tidak sedang mencintai lelaki yang sama, bukan? Tidak lucu jika tiba-tiba selama ini dia menyimpan perasaan pada kekasihku."Lo mau nikung Orick? Gabisa, Bel. Gabisa." Kamala tersenyum remeh, seakan dia adalah pemenang. Tunggu---Kamala juga mencintai Orick?"Yaelah, gau