Hal pertama yang kulakukan setelah Orick mengembalikanku pada rumah, membanting diri ini ke atas kasur dan menangis dalam keadaan lampu padam serta pintu terkunci. Aku menyampirkan selimut ke seluruh tubuhku untuk mengunci segalanya agar tak bercahaya. Ini belum terlalu larut untuk ku-pergi ke alam mimpi, tapi ini cukup larut untuk ukuran Erin yang masih menggedor-gedor pintu kamarku karena mengkhawatirkanku."Kak? Kakak baik-baik aja?"Aku tidak menjawab pertanyaan-nya, hingga wanita itu lelah sendiri dan berpaling dengan kalimat yang lain."Kalau ada apa-apa bilang Erin aja, Erin di kamar sebelah."Tumpah ruah tangisku masih belum berhenti. Bagai keran rusak yang sulit aku senyapkan, alirannya membasahi bantal sampai ke bawah seprai. Rasanya amat nyeri, hingga untuk menarik napas saja aku kesulitan. Entah apa yang ada di dalam tubuhku, mungkinkah ribuan belati menusuk jantung dalam sekali gerakan. Aku tak bisa tersenyum. Untuk sesaat, aku tak bisa tersenyum. Biarlah malam ini menjad
Aku sengaja memperpanjang durasi tidurku untuk menghindari beberapa kecenderungan. Cenderung kembali menangis. Cenderung menemukan kejanggalan-kejanggalan seperti kemarin. Cenderung kepalaku belum sepenuhnya membaik. Cenderung orang-orang rumah menanyakan hal-hal yang tak ingin kujawab. Serta cenderung keadaan tubuhku semakin merosot.Aku tidak bermimpi selama satu malam. Di dalam tidur yang lelap, aku hanya meringkuk pada kapas-kapas hangat dan mencoba terlelap dengan tenang. Bersama bayangan diri yang kurengkuh, berdua saling memeluk dan mengusapi. Hingga ketika mentari datang, aku kembali terbangun seorang diri. Bertanya-tanya kemana hilangnya dia, karena ketidaksempatan diriku untuk memperbaiki luka yang ada.Aku berhasil terbangun karena sebuah cahaya menghalau dua irisku begitu silau. Ketika dua mataku terbuka, jam weker di sampingku menunjukan pukul 11 siang. Ternyata benar, dua gorden di sebelah barat sudah terbuka. Kutebak ini pasti ulah ibu atau Erin. Sebab bapak tidak selan
Langit terlihat cerah ketika aku keluar dari rumah. Berbagai macam transportasi di jalanan riuh memadati, entah akan kemana manusia panas-panas begini sibuk berkeliaran. Kelompok awan cumulus membentuk ledakan tak jelas bentuk di atas jendela matahari. Hari ini, tidak ada yang berubah dari polusi Jakarta, tetap sumpek dan lusuh. Lalu lintas dan para polisi tetap bersandiwara. Termasuk para masyarakatnya yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Contohnya ketika aku menyisi ke alfamart depan gapura perumahan, kasir prianya dengan ramah menanyakan nomor whatsapp-ku. Sungguh bintang 5.Suara penyanyi dari radio set tak pernah lupa menjadi penghempas sunyi di mobil ini. Dan ngomong-ngomong tentang pemuda, aku belum sempat mengabari Orick kalau aku sedang menuju rumah sakit. Atau barangkali Orick sendiri tidak tahu bila Kamala tengah dirawat? Bagus, aku jadi tahu hal pertama apa yang harus kulancarkan ketika bertemu wanita itu.Satu keranjang buah dan sekantung camilan ringan sepertinya c
Entah harus bersyukur atau kembali merenung, akhir tahun ini aku banyak sekali menemukan hal-hal yang mulai memulih dengan sendirinya. Contoh besar dan dekatnya yaitu hubunganku dengan Orick. Semakin berjalan hari, semakin sedikit teks yang bisa memisahkan kami. Sokongan waktu dan afeksi membuat kepala kami perlahan-lahan melunak, lantas begitu mudah untuk menyatukan paham. Kemudian keadaan hatiku yang berjalan selaras dengan harmonisasi rumah, membuat keadaan keluarga terlihat lebih manis ketimbang tahun sebelumnya. Termasuk ikatan tali Kamala bersama saudara kandungnya, retakan luka-luka itu menyatu dan terolah kembali menjadi sesuatu yang lebih megah dari sebelumnya.Segudang resolusi atau wishlist tentang kebajikan meruntun dari hulu ke hilir. Orang-orang menengadah pada langit natal yang berkerlap-kerlip, memohon pada bintang dan menunggu santa claus hadir sembari menaburkan berkah. Pada sesuatu yang bisa mereka genggam, aku menghadap sebuah lapang yang luas dengan berandang padi
PemudaKu🖤Nar, cepet pulangAku di rumah kamu"Kalau untuk organisasi macem hima, bem, atau kepanitiaan khusus pkkmb gue undur diri. Bukannya sok sibuk, tapi kemarin tuh jadwalnya bentrok sama event lomba.""Dari ukm?" tanyaku tanpa menoleh pada Jeanne."Iya. Belum lagi gue ini penanggung jawab buat acara kumpul-kumpul angkatan. Bayangin, seangkatan dari semua fakultas ngadain liwetan! Terus semena-mena pacar lo tuh--nunjuk gue sama Kamala jadi panitia!"Barulah setelah mengetikan balasan pada Orick, aku mendongak untuk menemukan wajah misuh-misuh Jeanne disambil menyuap waffle. Aku terkekeh sejenak, meresapi terlebih dahulu curhatan yang keluar dari mulutnya. Ngomong-ngomong ketua angkatan, aku jadi teringat masa-masaku dahulu. Betapa repotnya meraup berbagai tugas oleh sendiri."Lo nggak ada kelas lagi, kah?" tanyaku mengalihkan."Ada, 15 menit lagi." jawabnya."Yaudah gih, ke kelas aja. Gue juga mau pulang." ungkapku.Ini masalahnya, entah ada angin apa Orick ngotot menitahku pula
"APA? LO DILAMAR?!Adalah hal pertama yang Bella laungkan ketika kami kumpul melingkar di dalam kamar. Pukul 7 malam tepat, setelah adzan isya berkumandang, sesuai janjiku pada Kamala serta Jeanne tadi di kampus. Berakhir-lah tiga cicak ini menangkrak di atas ranjangku.Aku meringis sakit mendengar jeritan itu. "Volume lo anjir, sepaket amat ama toa masjid.""EH BANGKE, GUE NANYA TUH DIJAWAB YA!""IYA MONYONG, GUE DILAMAR!""SEKATE-KATE ANJIR NIH SI ORIK KALAU NGELAMAR CEWEK, SAT-SET-SAT-SET LEBIH CEPET DARI ROSI! UNTUNG LO BILANG YE, KALAU NGGAK GUE GAAKAN BISA NIKUNG NIH! MUMPUNG JANUR KUNINGNYA BELUM MELENGKUNG!"Aku langsung terpaku pada ucapannya. "Maksudnya?" Bella tidak mungkin menyukai Orick, kan? Aku dan Bella tidak sedang mencintai lelaki yang sama, bukan? Tidak lucu jika tiba-tiba selama ini dia menyimpan perasaan pada kekasihku."Lo mau nikung Orick? Gabisa, Bel. Gabisa." Kamala tersenyum remeh, seakan dia adalah pemenang. Tunggu---Kamala juga mencintai Orick?"Yaelah, gau
Dalam papan pencarian teratas, aku mengetik kata "menikah" hingga muncul banyak sekali catatan-catatan tentang pernikahan. Entah tata pelaksanaan, hukum ibadah, definisi, syarat-syarat, termasuk peringatan. Entah maksud peringatan berumah tangga yang tak mudah, peringatan akan hal-hal yang perlu kami hindari untuk terjauh dari perceraian, dan masih banyak catatan lain yang mulai membenam di kepalaku.Beberapa hari sebelum tanggal dimana kami memutuskan untuk mempersiapkan segalanya, semalam aku pernah merenung. Seumpama aku adalah kepala batu, dia adalah kapas sasaran yang empuk. Seumpama aku adalah api, dia adalah air. Seumpama aku kutub negatif, dialah kutub positif. Seumpama aku pembicara, dia adalah pendengar. Seumpama aku anak-anak, dia adalah orang dewasa. Seumpama aku ratu, dia adalah pangeran. Tapi, pernahkah aku mendengar bahwa kehidupan bersifat mutlak? Mungkin yang mutlak hanya cintaku di sini.Sejumpun seumpama itu bisa saja berubah dan berbalik lebih kontras lagi ketika s
Acara tidak selesai di situ saja. Ini mungkin kesebut acara pembakaran uang, namun Orick maupun aku sendiri sudah sepakat untuk menghabiskannya untuk sekali dalam seumur hidup. Siangnya, bertepatan pukul 2, aku dan Orick sudah berada di sebuah ruangan dengan power-point yang dijabarkan oleh pihak berwenang.Dimulai dari runtunan acara, pilihan make up, termasuk gaun yang mereka bawa membuatku pusing kepalang. Terlalu banyak pilihan warna dan desainnya, manalagi aku paling lemah melihat yang lucu-lucu. Putih bagus, kuning pudar membahana, merah mencolok, biru langit menggugah, lalu apalagi? Apa ini? Apakah aku sungguhan seorang puteri? Aku tak bisa menutup kagumku. Sedaritadi kulampiaskan rasa gemasku pada pundak Orick. Kuremas kuat-kuat bahkan sampai pria itu mengaduh dan kru di samping kami tertawa-tawa."Sejauh ini, ada pertanyaan atau masukan dari calon pengantin kami?" Sialan, bisa-bisanya mereka menggodaku."Hmm, untuk rundown acara weddingnya saya setuju. Tapi untuk prewed itu..