Dalam papan pencarian teratas, aku mengetik kata "menikah" hingga muncul banyak sekali catatan-catatan tentang pernikahan. Entah tata pelaksanaan, hukum ibadah, definisi, syarat-syarat, termasuk peringatan. Entah maksud peringatan berumah tangga yang tak mudah, peringatan akan hal-hal yang perlu kami hindari untuk terjauh dari perceraian, dan masih banyak catatan lain yang mulai membenam di kepalaku.Beberapa hari sebelum tanggal dimana kami memutuskan untuk mempersiapkan segalanya, semalam aku pernah merenung. Seumpama aku adalah kepala batu, dia adalah kapas sasaran yang empuk. Seumpama aku adalah api, dia adalah air. Seumpama aku kutub negatif, dialah kutub positif. Seumpama aku pembicara, dia adalah pendengar. Seumpama aku anak-anak, dia adalah orang dewasa. Seumpama aku ratu, dia adalah pangeran. Tapi, pernahkah aku mendengar bahwa kehidupan bersifat mutlak? Mungkin yang mutlak hanya cintaku di sini.Sejumpun seumpama itu bisa saja berubah dan berbalik lebih kontras lagi ketika s
Acara tidak selesai di situ saja. Ini mungkin kesebut acara pembakaran uang, namun Orick maupun aku sendiri sudah sepakat untuk menghabiskannya untuk sekali dalam seumur hidup. Siangnya, bertepatan pukul 2, aku dan Orick sudah berada di sebuah ruangan dengan power-point yang dijabarkan oleh pihak berwenang.Dimulai dari runtunan acara, pilihan make up, termasuk gaun yang mereka bawa membuatku pusing kepalang. Terlalu banyak pilihan warna dan desainnya, manalagi aku paling lemah melihat yang lucu-lucu. Putih bagus, kuning pudar membahana, merah mencolok, biru langit menggugah, lalu apalagi? Apa ini? Apakah aku sungguhan seorang puteri? Aku tak bisa menutup kagumku. Sedaritadi kulampiaskan rasa gemasku pada pundak Orick. Kuremas kuat-kuat bahkan sampai pria itu mengaduh dan kru di samping kami tertawa-tawa."Sejauh ini, ada pertanyaan atau masukan dari calon pengantin kami?" Sialan, bisa-bisanya mereka menggodaku."Hmm, untuk rundown acara weddingnya saya setuju. Tapi untuk prewed itu..
"Kak?"Nyawaku terasa disendat ketika suara itu memanggilku. Saat aku mengerjap, setetes air mata langsung kusembunyikan sebelum Erin menangkapku dan meledekku dengan embel-embel calon pengantin yang nelangsa."Hm?" dehamku singkat."Cieeeee mau nikah.. cieee mau buka praktek di rumah.. cieee ambil S2. Cie, cie, cie!" Dia tiba-tiba menyerang sisi perutku."Erin, diem! Geli!""Cieeeee!""BU, ERIN NYA NIH AH!""Masa mau nikah masih aduan, hahaha!"Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku, yang langsung tertera muka bebeknya membuatku menghela napas. "Udah gede, gausah kayak anak kecil." sambarku. Heran, sudah dewasa, bahkan sekarang dia sedang menjalani masa pkkmb, tapi tingkahnya tidak pernah sadar umur."Jahat! Pokoknya udah nikah ntar aku mau ngikut kakak!""Dih, gaboleh! Dosa!""Mana ada hukumnya dosa! Hukum darimana itu?!""Dari gue!""Cih, gatau diri.""BILANG APA LO?!""HEHEHE, AAAAAA IBU, PADAHAL AKU BERCANDA!" kali ini giliranku menyerang dirinya. Tapi menyebalkannya Erin, dia sen
"KAKAK!!!""BERISIK!!""ELU LAMA BANGET ANJRIT, GUE PEGEL INI NUNGGUNYA!""YA ELU NGAPAIN NUNGGU GUE?!""MAU NIKAH KAGAK LU?!""MAU LAH!""ATAU GUE AJA YANG FOTO PREWEDNYA AMA KAK ORICK?!""GUE LINDES LU!""AW, SEREM!!"Aku menggebrak meja dandan cukup keras. Sebetulnya tidak perlu rapi-rapi amat sebab petugas sudah ada yang stay di lokasi. Tetapi, naasnya hatiku sudah ingin lompat dari tempatnya. Sedaritadi mobil camry milik Orick sudah menjantung di luar tanpa berniat dirinya hadir. Hanya Ratu dan Erin yang terus mondar-mandir bagai setrikaan di luar kamarku. Memanggilku sampai mereka kesal. Sialnya, aku saja mendadak tak berani turun. Rasanya ingin hari segera berlalu."KAK IH!!""Iya Erin, iya." Aku menghembuskan napas dengan perlahan, selaras dengan langkah yang kubawa pergi dari depan meja rias."Lama amat buset, lo ngapain aja sih di dalem? DANDAN LAGI?!" Aku praktis membekap mulut sialan itu. Sedangkan Ratu di gigirnya sudah tertawa-tawa melihat kami."Cantik banget tau, udah
Sepanjang perjalanan menuju lokasi, aku betul-betul mengunci mulut dan hanya sesekali membalas pertanyaan dari Ratu. Jam menunjukan pukul 11 siang, area parkiran yang kami kunjungi hanya diisi sejumlah mobil yang mana kutahu, itu milik kru kami. Tidak ada sepeda motor, tidak ada pengunjung lain, bahkan penjaga di depan gerbang sana terlihat bosan sebab hari ini pemasukannya mungkin tak seramai sebelum direservasi.Pohon-pohon dari dalam sana terlihat batang lehernya memanjang beberapa meter. Dedaunan yang rindang begitu hijau menyiur-nyiur. Bunga-bunga kecil dari awal parkiran ini seperti dirangkai mengikuti jalanan setapak, seolah-olah dapat mengantarkan menuju dunia yang indah. Ketika sebelah kakiku turun dari dalam mobil, angin sejuk dan wangi jeruk menyeruak begitu kuat. Anak-anak rambut dari balik telingaku berterbangan.Aku tertegun sejenak, melihat batang-batang pohon merambat sampai ke pembatas pagar di belakang. Di samping indahnya siang ini, bagian berandang rumput yang leba
Mimpi apa aku semalam sampai bergandengan dengan pangeran berkuda putih seperti ini. Berulang kali aku membangunkan diriku untuk tersadar, tapi rupanya aku sudah berada di daratan yang nyata dengan segaris air laut yang kontras. Berulang kali aku menarik-buang napas disaat proses pemotretan berlangsung. Mencoba untuk mengesampingkan kecamuk perasaan yang datang.Tadi di awal, aku mengira taman ini berkisar 3 hektar luas dan panjangnya. Ternyata ketika kami susuri lebih dalam, luasnya berlebih-lebih lagi. Lebar taman sampai ke belakang bagai kayangan tempat bidadari tinggal. Bermacam-macam bunga berjajar dengan sejumlah kuda lainnya yang sedang anteng makan rumput. Lalu entah dari mana asalnya, air terjun tumpah. Lalu sebundaran bebatuan di pinggirnya disinggahi banyak merpati.Entah berapa kali jepretan yang mereka dapat, pasalnya sedaritadi kami tak diam untuk terus berlalu-lalang mengitari taman. Sementara dua bocah Erin dan Ratu sama sibuknya berpose di depan sana. Sesekali aku men
Sesuai permintaan dua bocah tadi pagi, bahwa pulangnya mobil ini harus berbelok ke arah pusat kota. Langit berubah sangat kontras ketika kami berpisah bersama tim kru tadi di taman. Di kawasan alun-alun ini, warna lembayung yang nyata menyentrik di atas keriuhan sandiwara klakson. Tidak ada lagi suara tentram air terjun, kicauan burung yang cantik, atau langit biru muda seperti tadi. Jakarta sore terlihat lebih menyebalkan dengan segala hingar-bingarnya.Dua kancing kemeja teratasku kubuka dan sedaritadi aku sibuk mengipasi diriku sendiri. Suhu ac yang Orick putar sudah berada di puncak, namun kadar dinginnya tak menyentuh sekalipun kulit kami. Justru pening dan bau knalpot para pengendara motor di luar menyeruak lebih besar.Pukul 5 lebih 15 menit, jalan raya dari berbagai sudut diserang bubaran para pekerja. Entah fly over yang berisikan mobil-mobil mewah, atau underpass diisi oleh sekelompok truck yang menyeramkan. Sedangkan kendaraan roda dua sibuk menyempil di sela-sela ratusan m
Aku mengeluarkan satu kartu debit berwarna biru pada petugas kasir. Melihat jumlah uang yang harus dibayar mencapai jutaan, aku hanya bisa terkekeh. Aku sengaja memesan bermacam makanan sebab porsi makan Orick tiga kali lipat besarnya daripada aku. Dan itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Toh saldoku juga cukup.Tidak butuh waktu lama aku sudah kembali ke meja. Di sana, Orick sudah asik membawa topik-topik menyenangkan yang membuat Erin dan Ratu antusias ikut berbicara. Di titik ini, aku cukup bersidekap dan melebarkan daun telinga. Bersiap untuk menyimak dan menampung."Eh pas pkkmb tuh ya, pas pos to pos kan hujan. Mana pas ngelewat fakultas lain kelompok gue dibentak kating farmasi anjir, monyet emang. Terus kampretnya buku panduan yang gue bawa tuh ilang gatau kemana. Alhasil waktu orang udah diarahin masuk ruangan, gue balik lagi nyari tuh buku. Gila ujannya lagi gede banget ya, meskipun udah pake jas ujan ya tetep dingin gitu loh, mana jam 12 malem. Eh tiba-tiba gatau