Mimpi apa aku semalam sampai bergandengan dengan pangeran berkuda putih seperti ini. Berulang kali aku membangunkan diriku untuk tersadar, tapi rupanya aku sudah berada di daratan yang nyata dengan segaris air laut yang kontras. Berulang kali aku menarik-buang napas disaat proses pemotretan berlangsung. Mencoba untuk mengesampingkan kecamuk perasaan yang datang.Tadi di awal, aku mengira taman ini berkisar 3 hektar luas dan panjangnya. Ternyata ketika kami susuri lebih dalam, luasnya berlebih-lebih lagi. Lebar taman sampai ke belakang bagai kayangan tempat bidadari tinggal. Bermacam-macam bunga berjajar dengan sejumlah kuda lainnya yang sedang anteng makan rumput. Lalu entah dari mana asalnya, air terjun tumpah. Lalu sebundaran bebatuan di pinggirnya disinggahi banyak merpati.Entah berapa kali jepretan yang mereka dapat, pasalnya sedaritadi kami tak diam untuk terus berlalu-lalang mengitari taman. Sementara dua bocah Erin dan Ratu sama sibuknya berpose di depan sana. Sesekali aku men
Sesuai permintaan dua bocah tadi pagi, bahwa pulangnya mobil ini harus berbelok ke arah pusat kota. Langit berubah sangat kontras ketika kami berpisah bersama tim kru tadi di taman. Di kawasan alun-alun ini, warna lembayung yang nyata menyentrik di atas keriuhan sandiwara klakson. Tidak ada lagi suara tentram air terjun, kicauan burung yang cantik, atau langit biru muda seperti tadi. Jakarta sore terlihat lebih menyebalkan dengan segala hingar-bingarnya.Dua kancing kemeja teratasku kubuka dan sedaritadi aku sibuk mengipasi diriku sendiri. Suhu ac yang Orick putar sudah berada di puncak, namun kadar dinginnya tak menyentuh sekalipun kulit kami. Justru pening dan bau knalpot para pengendara motor di luar menyeruak lebih besar.Pukul 5 lebih 15 menit, jalan raya dari berbagai sudut diserang bubaran para pekerja. Entah fly over yang berisikan mobil-mobil mewah, atau underpass diisi oleh sekelompok truck yang menyeramkan. Sedangkan kendaraan roda dua sibuk menyempil di sela-sela ratusan m
Aku mengeluarkan satu kartu debit berwarna biru pada petugas kasir. Melihat jumlah uang yang harus dibayar mencapai jutaan, aku hanya bisa terkekeh. Aku sengaja memesan bermacam makanan sebab porsi makan Orick tiga kali lipat besarnya daripada aku. Dan itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Toh saldoku juga cukup.Tidak butuh waktu lama aku sudah kembali ke meja. Di sana, Orick sudah asik membawa topik-topik menyenangkan yang membuat Erin dan Ratu antusias ikut berbicara. Di titik ini, aku cukup bersidekap dan melebarkan daun telinga. Bersiap untuk menyimak dan menampung."Eh pas pkkmb tuh ya, pas pos to pos kan hujan. Mana pas ngelewat fakultas lain kelompok gue dibentak kating farmasi anjir, monyet emang. Terus kampretnya buku panduan yang gue bawa tuh ilang gatau kemana. Alhasil waktu orang udah diarahin masuk ruangan, gue balik lagi nyari tuh buku. Gila ujannya lagi gede banget ya, meskipun udah pake jas ujan ya tetep dingin gitu loh, mana jam 12 malem. Eh tiba-tiba gatau
Tadinya jika hanya kami berdua saja yang jalan, aku akan langsung meminta Orick mengembalikanku ke rumah. Sebal sekali melihat banyak orang yang terus-menerus menatapi calon suamiku seakan-akan aku tidak nampak jelas. Pada akhirnya aku yang sedang merajuk, aku juga yang balik khawatir takut ia pergi dan berbalik mencari wanita lain.Dari lantai bawah, menuju lantai dimana timezone dan pintu bioskop tertera berada. Cukup panjang kami manaiki eskalator. Dan cukup panjang juga kesabaranku diuji saat banyak wanita entah yang tua atau yang muda berbisik berisik sembari memandang penuh harap pada calon suamiku. Jika tidak ada Ratu dan Erin, sudah kuseret Orick ke dalam mobil. Lalu ku-kunci pintu dan peluk ia erat-erat.Sekarang contohnya, saat dia pergi membeli koin, begitu lama aku menunggu di depan mesin basket. Sementara Ratu dan Erin sudah sibuk memasuki tempat karaoke. Dan begitu aku meneliti apa yang sedang ia lakukan, dengan santainya pria itu malah bercengkrama. Ingin sekali kulempa
Tiba di penghujung hari, akhirnya puncak gemintang yang pernah kucatat dalam sebuah kertas bukan lagi sebagai catatan, melainkan sebuah tindakan. Debar demi debar yang menurun, perlahan-lahan tak kurasakan lagi apa artinya bersemu dan malu. Segalanya telah berubah lebih kontras. Lika-liku perjuangan untuk menebas badai bersama. Jatuh dan bangun untuk selalu bergandengan. Atau halai-balai kehidupan yang rusak, berubah menjadi pulih. Di titik ini, aku lebih pantas berbahagia. Memandangi langit yang bersemu lebih ungu daripada biru.Semalaman, Kamala, Jeanne, dan Bella totalitas menemani tidurku dengan dongeng-dongeng indah yang mereka bawa. Tentang puteri dan pangeran di sebuah kerajaan yang berbeda kasta. Jatuh cinta terhalang restu. Tentang perjuangan-perjuangan Romeo untuk mempersunting Juliet. Tentang pertemuan-pertemuan tak sengaja yang membuatnya malu-malu. Dan entah darimana sumber dongeng itu tercatat, aku tidak perduli dan semakin tertarik mendengar racauannya."Menurut lo, bah
Karena tim wo kami tidak menyediakan penginapan di dekat gedung pernikahannya, alhasil aku dan keluarga harus lebih awal berangkat dari rumah ke tempat tujuan. Sebetulnya tidak terlalu masalah, toh gedung yang mereka reservasi memang tidak menyediakan kamar. Jarak dari rumah ke tempatnya pun tidak terlalu lama. Tapi tetap saja, pukul 5 subuh kami semua sudah rusuh untuk mendatangi lokasi dan melakukan gladi.Sedari awal mobil yang aku tumpangi memasuki jalanan gedung, keadaan sekitar sudah banyak digerumbungi manusia berpakaian rapi yang sedang mengatur dekorasi. Entah para petugas kebersihan yang sibuk menyapu guguran daun, penjaga parkir yang telah menyambut kami begitu ramah, atau tim wo yang sedang bercengkrama sembari merokok di luar teras. Dan bertepatan aku keluar, entah apa esensinya tiba-tiba mereka bertepuk tangan. Apalagi Si bocah kameraman itu, sambil cengar-cengir menggodaku."Kiw, kiw, kawin kawin!" dengan gigi tonggosnya amat berani menyeletuk itu. Aku mengacungkan jari
Ini sudah pukul 1 siang, dimana telah berlalunya pengucapan ijab termasuk acara-acara lain seperti lempar bunga dan uang. Begitu gesit ketika segalanya selesai, aku juga telah berganti dengan warna dress yang lebih mencolok. Jika tadi berwarna merah muda, kini merah pekat menandakan keberanian. Begitu pula Orick yang menyamakan lambang keberanian denganku, blazernya berubah lebih gelap. Dan jika boleh kukatakan, auranya sangat pekat ketika dia mengenakan jas hitam alih-alih putih. Rasanya sedaritadi aku ingin meremas wajah pemuda itu.Sekadar mencurahkan, tadi saat pengucapan ijab air mataku tak bisa berhenti turun hingga ketiga sahabatku kerepotan mencari sekotak tissue. Sesudahnya apa? Ya apalagi jika bukan make-up-ku hancur berserakan. Tapi sayangnya, masalah tidak berhenti di situ saja. Aku hancur ketika bapak menyebutkan namaku sebagai tanda pelepasan diri ini dari kartu keluarga."Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya, Nararya Arina dengan maskawinnya berupa em
"Ak-aku sama Lisa cuman kagum doang, Nar. Bukan naksir yang gimana-gimana, serius deh. Beda waktu aku lihat kamu. Rasanya, aku ingin memiliki untuk jangka waktu yang panjang. Jadi, tolong bedakan mana yang sekadar kagum dan jatuh sesungguhnya."Itu adalah hal yang dia jelaskan ketika kami kembali berganti salin. Ada yang salah untuk hari ini. Yaitu saat kusadari aku tidak ikut andil melihat daftar tamu yang mereka undang. Setahuku, yang akan hadir hanya rekan-rekan Orick dengan pihak keluarga besarnya. Dia tahu aku hanya mengundang para rekan satu organisasi. Sangka-ku antrean tamu akan berhenti pada oknum Lisa yang merupakan mantan gebetannya. Tapi ternyata antek-antek macam Kaila, Clara, bahkan Archel Si mantan yang paling tak ingin kulihat--datang layaknya tamu vvip. Sekonyong-konyong saja mereka menyalami Orick, seolah-olah aku tak nampak dan bukan masalah yang berat.Batinku berkata untuk tidak menunjukan raut-raut yang bisa membuat mereka tertawa menang. Aku tidak minat merasa c