Tadinya jika hanya kami berdua saja yang jalan, aku akan langsung meminta Orick mengembalikanku ke rumah. Sebal sekali melihat banyak orang yang terus-menerus menatapi calon suamiku seakan-akan aku tidak nampak jelas. Pada akhirnya aku yang sedang merajuk, aku juga yang balik khawatir takut ia pergi dan berbalik mencari wanita lain.Dari lantai bawah, menuju lantai dimana timezone dan pintu bioskop tertera berada. Cukup panjang kami manaiki eskalator. Dan cukup panjang juga kesabaranku diuji saat banyak wanita entah yang tua atau yang muda berbisik berisik sembari memandang penuh harap pada calon suamiku. Jika tidak ada Ratu dan Erin, sudah kuseret Orick ke dalam mobil. Lalu ku-kunci pintu dan peluk ia erat-erat.Sekarang contohnya, saat dia pergi membeli koin, begitu lama aku menunggu di depan mesin basket. Sementara Ratu dan Erin sudah sibuk memasuki tempat karaoke. Dan begitu aku meneliti apa yang sedang ia lakukan, dengan santainya pria itu malah bercengkrama. Ingin sekali kulempa
Tiba di penghujung hari, akhirnya puncak gemintang yang pernah kucatat dalam sebuah kertas bukan lagi sebagai catatan, melainkan sebuah tindakan. Debar demi debar yang menurun, perlahan-lahan tak kurasakan lagi apa artinya bersemu dan malu. Segalanya telah berubah lebih kontras. Lika-liku perjuangan untuk menebas badai bersama. Jatuh dan bangun untuk selalu bergandengan. Atau halai-balai kehidupan yang rusak, berubah menjadi pulih. Di titik ini, aku lebih pantas berbahagia. Memandangi langit yang bersemu lebih ungu daripada biru.Semalaman, Kamala, Jeanne, dan Bella totalitas menemani tidurku dengan dongeng-dongeng indah yang mereka bawa. Tentang puteri dan pangeran di sebuah kerajaan yang berbeda kasta. Jatuh cinta terhalang restu. Tentang perjuangan-perjuangan Romeo untuk mempersunting Juliet. Tentang pertemuan-pertemuan tak sengaja yang membuatnya malu-malu. Dan entah darimana sumber dongeng itu tercatat, aku tidak perduli dan semakin tertarik mendengar racauannya."Menurut lo, bah
Karena tim wo kami tidak menyediakan penginapan di dekat gedung pernikahannya, alhasil aku dan keluarga harus lebih awal berangkat dari rumah ke tempat tujuan. Sebetulnya tidak terlalu masalah, toh gedung yang mereka reservasi memang tidak menyediakan kamar. Jarak dari rumah ke tempatnya pun tidak terlalu lama. Tapi tetap saja, pukul 5 subuh kami semua sudah rusuh untuk mendatangi lokasi dan melakukan gladi.Sedari awal mobil yang aku tumpangi memasuki jalanan gedung, keadaan sekitar sudah banyak digerumbungi manusia berpakaian rapi yang sedang mengatur dekorasi. Entah para petugas kebersihan yang sibuk menyapu guguran daun, penjaga parkir yang telah menyambut kami begitu ramah, atau tim wo yang sedang bercengkrama sembari merokok di luar teras. Dan bertepatan aku keluar, entah apa esensinya tiba-tiba mereka bertepuk tangan. Apalagi Si bocah kameraman itu, sambil cengar-cengir menggodaku."Kiw, kiw, kawin kawin!" dengan gigi tonggosnya amat berani menyeletuk itu. Aku mengacungkan jari
Ini sudah pukul 1 siang, dimana telah berlalunya pengucapan ijab termasuk acara-acara lain seperti lempar bunga dan uang. Begitu gesit ketika segalanya selesai, aku juga telah berganti dengan warna dress yang lebih mencolok. Jika tadi berwarna merah muda, kini merah pekat menandakan keberanian. Begitu pula Orick yang menyamakan lambang keberanian denganku, blazernya berubah lebih gelap. Dan jika boleh kukatakan, auranya sangat pekat ketika dia mengenakan jas hitam alih-alih putih. Rasanya sedaritadi aku ingin meremas wajah pemuda itu.Sekadar mencurahkan, tadi saat pengucapan ijab air mataku tak bisa berhenti turun hingga ketiga sahabatku kerepotan mencari sekotak tissue. Sesudahnya apa? Ya apalagi jika bukan make-up-ku hancur berserakan. Tapi sayangnya, masalah tidak berhenti di situ saja. Aku hancur ketika bapak menyebutkan namaku sebagai tanda pelepasan diri ini dari kartu keluarga."Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya, Nararya Arina dengan maskawinnya berupa em
"Ak-aku sama Lisa cuman kagum doang, Nar. Bukan naksir yang gimana-gimana, serius deh. Beda waktu aku lihat kamu. Rasanya, aku ingin memiliki untuk jangka waktu yang panjang. Jadi, tolong bedakan mana yang sekadar kagum dan jatuh sesungguhnya."Itu adalah hal yang dia jelaskan ketika kami kembali berganti salin. Ada yang salah untuk hari ini. Yaitu saat kusadari aku tidak ikut andil melihat daftar tamu yang mereka undang. Setahuku, yang akan hadir hanya rekan-rekan Orick dengan pihak keluarga besarnya. Dia tahu aku hanya mengundang para rekan satu organisasi. Sangka-ku antrean tamu akan berhenti pada oknum Lisa yang merupakan mantan gebetannya. Tapi ternyata antek-antek macam Kaila, Clara, bahkan Archel Si mantan yang paling tak ingin kulihat--datang layaknya tamu vvip. Sekonyong-konyong saja mereka menyalami Orick, seolah-olah aku tak nampak dan bukan masalah yang berat.Batinku berkata untuk tidak menunjukan raut-raut yang bisa membuat mereka tertawa menang. Aku tidak minat merasa c
Satu malam yang sama, satu perasaan yang sama, dan satu atap yang serupa. Aku akan berdiri sepanjang malam bersama rembulan hias yang didekorasi oleh langit. Sejak Orick memutuskan masuk kamar mandi dan aku mengasingkan diri ke depan balkon, aku merasa kami tidaklah terlalu berwarna seperti satu malam setelah pernikahan. Orang-orang akan menganggapnya bahwa kami memiliki malam yang indah dan panas. Ingin kutertawai saja persepsi semacam itu. Cinta yang kumiliki untuk memiliki Orick lebih didominasi oleh sendu, alih-alih napsu. Dan karena hal itu, aku sedikit bersalah telah menghancurkan suasana yang seharusnya meriah, berubah jadi lemah.Meskipun penampilanku sudah sepenuhnya berubah, dan mungkin akan sedikit menggoda--tidak dengan wajahku. Sialnya, aku tak bisa mengatur mimik wajah yang begitu menawan untuk menarik kelemahan Orick. Aku tidak sepandai Jeanne yang sekali gerak bisa membuat kaum adam berlutut-lutut memohon padanya. Mengenakan lingering merah pekat yang entah ini ide sia
Berhari-hari setelah hari pernikahan, lebih spesifiknya di pekan tengah bulan Mei, aku duduk terpekur di depan jendela sembari mengusapi bunga dari vas. Umur pernikahan kami memang baru sekejap, tapi rasanya aku bisa abadi di sini. Tiap kali Orick menyentuhku, tiap kali Orick mengusap kepalaku, tiap kali pemuda itu berkata, teksturnya terlalu halus sampai aku terharu. Seakan-akan aku adalah barang yang berharga, dia menjagaku begitu handal.Berhari-hari setelah hari pernikahan pergi, semuanya kembali pada aktivitas semula. Kamala, Jeanne, dan suamiku yang tengah berkelana pada sebuah desa untuk penuntasan gelar S1-nya. Bella yang sudah menjadi bintang penyiar di salah satu siaran telivisi. Wajahnya semakin bersinar. Senyum lebar dan menenangkan yang dulu hanya tertuju padaku, kini dia sebar-luaskan untuk yang lain. Aku ingat betapa mulianya niat ia saat mengatakan bahwa dia ingin menjadi alasan semua orang berbahagia. Sekarang, aku melihat virus mataharinya terus bersinar. Dan berhara
Dalam periode yang sempat terlalui, aku seringkali bertanya pada diriku. Mau bagaimana lagi caraku untuk mempertahankan kebahagiaan? Seperti menyikapi sikap-sikap Orick yang mulai sibuk, se-sibuk-sibuknya orang sibuk sampai bidadari sepertiku tak bisa mengganggunya. Apalagi yang harus kukatakan pada dunia merah jambu ini? Atas syukur karena berkah yang melimpah? Atau justru bersujud ampun sebab sudah keterlaluan batas?Orick tetap Manuangga Orick yang pertama kali aku kenal, walau waktu telah berlalu lebih jauh dari musim sebelumnya. Orick tetap Orick, pemuda patuh yang menjunjung ideologi "istri first, suami second". Orick masihlah Orick yang manja, selalu merajuk, dan lebih suka dimanja ketimbang memanjakan. Orick masih Orick yang sering jahil. Orick masih Orick dengan lapang dadanya dan pemaaf. Justru, tahun berganti, dia semakin melunak dan kepribadiannya membuatku guling-guling tak tahan. Dia sangat manis. Dia tidak pernah mempermasalahkan apapun. Justru aku yang sering mengeluh
Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari
"ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"
Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se
"Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter
Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap
"Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya
"Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y
Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk
Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid