Berhari-hari setelah hari pernikahan, lebih spesifiknya di pekan tengah bulan Mei, aku duduk terpekur di depan jendela sembari mengusapi bunga dari vas. Umur pernikahan kami memang baru sekejap, tapi rasanya aku bisa abadi di sini. Tiap kali Orick menyentuhku, tiap kali Orick mengusap kepalaku, tiap kali pemuda itu berkata, teksturnya terlalu halus sampai aku terharu. Seakan-akan aku adalah barang yang berharga, dia menjagaku begitu handal.Berhari-hari setelah hari pernikahan pergi, semuanya kembali pada aktivitas semula. Kamala, Jeanne, dan suamiku yang tengah berkelana pada sebuah desa untuk penuntasan gelar S1-nya. Bella yang sudah menjadi bintang penyiar di salah satu siaran telivisi. Wajahnya semakin bersinar. Senyum lebar dan menenangkan yang dulu hanya tertuju padaku, kini dia sebar-luaskan untuk yang lain. Aku ingat betapa mulianya niat ia saat mengatakan bahwa dia ingin menjadi alasan semua orang berbahagia. Sekarang, aku melihat virus mataharinya terus bersinar. Dan berhara
Dalam periode yang sempat terlalui, aku seringkali bertanya pada diriku. Mau bagaimana lagi caraku untuk mempertahankan kebahagiaan? Seperti menyikapi sikap-sikap Orick yang mulai sibuk, se-sibuk-sibuknya orang sibuk sampai bidadari sepertiku tak bisa mengganggunya. Apalagi yang harus kukatakan pada dunia merah jambu ini? Atas syukur karena berkah yang melimpah? Atau justru bersujud ampun sebab sudah keterlaluan batas?Orick tetap Manuangga Orick yang pertama kali aku kenal, walau waktu telah berlalu lebih jauh dari musim sebelumnya. Orick tetap Orick, pemuda patuh yang menjunjung ideologi "istri first, suami second". Orick masihlah Orick yang manja, selalu merajuk, dan lebih suka dimanja ketimbang memanjakan. Orick masih Orick yang sering jahil. Orick masih Orick dengan lapang dadanya dan pemaaf. Justru, tahun berganti, dia semakin melunak dan kepribadiannya membuatku guling-guling tak tahan. Dia sangat manis. Dia tidak pernah mempermasalahkan apapun. Justru aku yang sering mengeluh
Hanya karena sepintas darah mereka bersikukuh menitahku untuk diam dan tak menyentuh dapur. Apalagi Kamala yang terlihat sibuk, bertekad untuk bantu memasak walaupun Bella dan Jeanne sudah ngomel-ngomel agar tidak menyentuh sesenti barang-barang yang telah jadi. Padahal aku sudah bilang, kalau rasanya tak sedikitpun menyakitkan. Aku bahkan mempraktekan memukul meja hanya untuk memberi paham, bahwa aku tidak terluka. Namun kedua manusia itu tak membuka telinganya, yang berakhir mereka selesaikan seperempat aktivitas memasakku.Di meja makan, aku memandangi kelincahan Jeanne bergulat dengan kemampuan Bella. Kalau soal masak-memasak, Jeanne adalah partner terbaikku. Jika dengannya, aku selalu bisa menciptakan makanan-makanan dengan rasa yang telah tercatat di ekspetasi. Beda hal bila dengan Kamala. Tahu-tahu makanan gosong dan kami berakhir gofood. Heran, bagaimana Abi bisa tahan dengan kelakuan wanita yang jika masak, satu dapur hancur.Dimulai dari pangsit ayam, kentang goreng, dimsum,
Sampai pukul 4 mereka memutuskan untuk pulang. Katanya, Bella dan Jeanne punya acara lain di kantor. Sedangkan Kamala hanya ikut-ikutan pulang, sebab tidak enak jika Orick pulang nantinya. Padahal sudah kuberi tahu itu bukan masalah yang besar. Barangkali Orick sendiri rindu dengan sahabat kentalnya.Walaupun ketiganya itu manusia-manusia terbilang gesrek, tapi sisi warasnya tetap ada untuk membantu merapikan kembali dapur tanpa mengeluh. Dan sebelum dibereskan, sesuai permintaan Kamala yang ingin membawa pulang pangsit ayam, aku dan Jeanne kembali memproduksinya. Dan seakan-akan dia adalah ratu, kerjanya hanya topang kaki. Bella dibiarkan mencuci piring sendiri.Setelah mereka pulang, tidak lama berselang mobil Orick tiba di depan garasi. Tiba memasuki rumah, dia spontan menjatuhkan diri padaku yang sedang tenang menonton telivisi bersama Zero. Aku jelas terperanjat dan nyaris memukul kepalanya dengan remote tv. Sudah tahu istrinya mudah kaget, tapi kelakuannya selalu mengejutkan."A
Perjalanan yang semula mengandrungiku dengan warna-warni, kini tiba dimana aku merasakan khalayak umum tidak lagi menyentuh relungku. Semua yang mereka lakukan, apapun kegiatan, dan seramai apa girang tawanya, tidak lagi berfungsi pada keadaanku. Berjalan di tengah-tengah keramaian, macam berjalan di jalanan sepi yang panjang dan berwarna hitam. Mataku berkabut. Yang kutangkap bukan lagi matahari kuning, melainkan layar hitam putih bagai telivisi masa lalu--seolah-olah aku berada di dalam kamera.Kian hari berlalu, kian hari juga stamina tubuhku menurun drastis. Pasokan emosi yang terlalu kuat tidak seimbang dengan asupan yang aku makan. Keseimbanganku tentang kesehatan dan kesibukan nyaris kontras. Aku kembali merasakan repotnya menjadi mahasiswa. Seringkali tidur larut, diam-diam menangis karena beban kepalaku, serta nyeri dari ulu hatiku terus menyembul. Orick tidak akan tahu. Dan Orick takkan pernah kuberita tahu alasannya. Aku tidak mau menghancurkan hari bahagianya. Apalagi sete
Hft... dasar kehidupan. Lucu sekali. Ketika aku berpikir semuanya hanya tipu belaka, aku masih melihat celah-celah cahaya dari sisi lain. Dan akan kupahami hari ini, bahwa--tak perduli segelap apapun jalan dan tempat yang mencekam-mu. Tak perduli sejauh dan serumit apa isi di dalamnya. Kamu akan selalu temukan hal-hal mengejutkan yang telah Tuhan kirimkan untukmu. Kamu akan selalu temukan matahari bagaimanapun caranya sinar itu masuk. Kamu akan selalu temukan bahagia versimu sendiri.Senyumku yang semula tidur. Jalanan yang semula hitam dan putih, kembali berwarna dengan langit yang membentang senyum tulus padaku. Kelopak-kelopak burung yang mengepak gerah di atas udara serempak menoleh pada saat mobilku berjalan lurus. Aku ikut tersentak ketika menakjubkannya mereka membentuk barisan seakan mengawalku untuk membelah jalanan.Dentingan musik yang damai dengan tenangnya klakson menyatu menjadi instrumen yang mengupahi lelahku. Dulu, aku lebih suka awan ungu ketimbang merah muda. Tapi m
Aku pulang seperti anak kecil yang telah dimusuhi rekan-rekan dekatku. Dengan jejak air mata sembari menenteng belanjaan yakni mulut tak bisa tersenyum. Aku lelah jika terus-menerus dihantam pikiran-pikiran buruk dan kenyataan yang menyakitkan. Aku enggan melihatnya. Harus bagaimana lagi aku memalingkan muka dari semua kejadian itu? Apa sampai di titik ini perjuanganku masih kurang hebat? Apa aku harus kembali meneteskan darah untuk kehidupan ini?Barusan, Kamala sempat bersikukuh untuk mengawal mobilku sampai rumah. Katanya dia khawatir dan tidak mau ada kejadian yang membuatnya kaget. Konyolnya ketika dia menyeletuk apakah aku hamil? Well, pertanyaan macam apa itu? Apakah emosional yang kacau tercatat pada ibu hamil? Tetapi kutolak sebab terlalu kekanak-kanakan jika mereka hanya mengantarku pulang. Memangnya aku ini anak 7 tahun?Berlanjut saat aku mendorong pintu rumah, dari depan aku langsung dihadang oleh dua majikan. Orick yang tengah menggendong Zero melempar senyum padaku."Tu
Selepas adzan maghrib dikumandangkan, aku dan Orick praktis beranjak yang membuat Zero juga melompat sembari mengeong karena belum satupun lampu dinyalakan. Ketika Orick sepakat untuk memesan grabfood, aku menekan-nekan saklar lampu sebab tidak ada yang mau menyala."Rick, token listriknya habis?"Dia yang sedang mengetikan sesuatu di atas layar ponselnya menoleh padaku. "Mati? Kalau mau mati biasanya bunyi dulu nggak sih? Padam listrik kali?"Aku yang sedikit bingung berjalan keluar rumah untuk memastikan suasana di sana. Dan ternyata benar, pemadaman listrik sedang terjadi membuat sekawasan menjadi gelap-gulita. Orang-orang yang berada di seberang warung bahkan terdengar umpatannya. Langit yang tidak bercahaya membuat bumi betulan seperti dicekam suasana menyeramkan. Tetapi untungnya, suara-suara macam kendaraan, geramah para bapak-bapak yang sedang menuju masjid, serta anak-anak yang masih berkeliaran sekitar jalanan memulihkan atmosfer."Iya ih, padam listrik." Aku kembali masuk s