“Nona Mayzura!” panggil Sadewa. Untung saja lelaki itu memiliki koordinasi tubuh yang sangat bagus, sehingga dapat membawa nampan yang berisi makanan sambil berlari menyusuri anak tangga. Pikiran Sadewa sudah dipenuhi dengan berbagai macam kemungkinan buruk. Jika kecurigaannya terbukti benar, mungkin saat ini Mayzura sudah tertangkap oleh salah satu anggota kelompok The Cat. Braakkk!!!Takut terjadi sesuatu dengan Mayzura, Sadewa meletakkan nampan yang dibawanya di lantai. Pria itu mengambil ancang-ancang lantas menendang daun pintu sekuat tenaga. Begitu kamar Mayzura terbuka, Sadewa melihat gadis itu sedang meringkuk di bawah tempat tidur seraya memeluk diri sendiri. Netra elang pria itu langsung menyapu ke seluruh sudut kamar. Tidak ada siapapun yang terlihat di sana selain Mayzura. Artinya tidak ada penjahat yang berhasil menyusup untuk menculik sang nona.Buru-buru Sadewa menghampiri Mayzura dan membantu gadis itu untuk bangkit dari posisinya. Awalnya Mayzura menolak, tetapi kem
Hujan lebat yang turun di luar sana mulai reda. Suara petir tak lagi bersahut-sahutan, sehingga Mayzura lebih tenang. Gadis itu kini duduk di ranjang dengan kepala yang bersandar pada bantal. Kepalanya sudah tidak pusing, tetapi tubuhnya masih lemas sehabis bermimpi buruk tadi. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Mayzura hanya mendengarkan musik dari ponselnya. Untuk sekadar berselancar di dunia maya, ia tidak bisa karena sinyal internet sangat buruk di tempat ini. Merasa bosan, Mayzura mencuri pandang kepada Sadewa. Bodyguardnya itu sedang duduk di sofa sembari memejamkan mata. Entah pria itu tertidur atau sekadar melepas lelah setelah mengurusnya selama dua hari berturut-turut. Baru beberapa menit yang lalu mereka berbicara dari hati ke hati, tetapi sekarang situasinya justru kembali canggung. Seolah-olah ada bongkahan es yang menyumbat tenggorokan mereka. Jika dibiarkan begini terus, mungkin mereka akan saling mendiamkan sampai ayam jantan mulai berkokok. “Dewa, kalau kamu mengan
Garis-garis penuaan di wajah Tuan Bramantya kian tergurat jelas tatkala mendengar ancaman dari Gavindra. Entah terbuat dari apa hati putranya ini. Sifat kepala batu dan tak mengenal belas kasihan itu memang berasal dari dirinya. Namun, ia masih memiliki sisi lembut bila berdekatan dengan mendiang sang istri, yang tak lain adalah ibu kandung Gavindra. Berbeda dengan perasaan Gavindra yang sudah membeku, hingga tak tersentuh sedikit pun oleh cinta.“Gavin, berhentilah menyakiti wanita hanya untuk melampiaskan dendammu! Kecelakaan yang menimpamu adalah takdir. Kamu tidak bisa menyalahkan siapapun atas tragedi itu. Bukan hanya kamu yang terpukul, Daddy juga merasakan kesedihan selama bertahun-tahun,” ucap Tuan Bramantya merasakan sesak di rongga dadanya. Dalam sepersekian detik, lelaki yang selalu disegani oleh lawan-lawannya itu terlihat lemah di hadapan sang putra.Urat-urat di leher Gavindra nampak menonjol. Mendengar ungkapan hati sang ayah, Gavindra tidak bersimpati sama sekali. Just
Ibarat kata diberi hati minta jantung, itulah yang dilakukan oleh Sadewa. Tak disangka, sang bodyguard akan mengajukan dua pilihan yang sama-sama sulit. Tentu saja untuk tidur di ranjang yang sama dengan Sadewa, Mayzura merasa sangat keberatan. Namun untuk ditinggal sendirian dalam situasi minim penerangan, gadis itu juga tidak berani. Tak hanya takut pada hantu, Mayzura justru lebih cemas bila dia diculik oleh orang suruhan Bramantya Maheswara. Terakhir kali, anak buah dari pria tua itu sudah mengejarnya sampai ke klub malam. Kalau saja Sadewa tidak turun tangan, entah bagaimana nasibnya saat ini.“Nona, sebentar lagi jam dua belas malam. Kita berdua perlu istirahat, jadi tolong putuskan sekarang,” pungkas Sadewa tidak sabar. Kali ini, Sadewa tidak mengada-ada karena dia memang ingin segera membaringkan tubuh. Pasalnya, ia sudah memiliki rencana di pagi hari untuk melakukan sebuah kesepakatan penting.“Aku pikir kamu sudah berubah, ternyata sifatmu masih sama. Baiklah, aku mengizink
Untuk pertama kalinya, Mayzura kehilangan kemampuannya untuk berpikir. Entah karena pertanyaan yang diajukan Sadewa terlalu sulit atau karena hatinya yang tidak normal. Terbukti untuk bernapas pun Mayzura merasa kesulitan, seolah-olah pasokan oksigen di sekelilingnya sudah sangat menipis. “Aku butuh jawabanmu, Nona.” Suara berat Sadewa membuat seluruh saraf Mayzura menjadi aktif. Apalagi satu tangan Sadewa kini sudah bertengger di lekukan pinggang rampingnya. Dengan susah payah, Mayzura pun berjuang untuk menggerakkan lidahnya yang terasa kelu.“A-aku tidak tahu. Tetapi menurutku rasa cinta bisa datang kapan saja, tanpa memandang perbedaan. Selama belum terikat, kesempatan untuk mencintai masih ada. Itulah yang sering aku tulis di dalam kisah novel,” tutur Mayzura “Apakah kamu sering menuliskan kisah cinta yang terlarang, contohnya antara seorang bodyguard dengan nona muda?” cecar Sadewa menginginkan jawaban yang lebih detail. “Be-lum pernah,” lirih Mayzura.Sudah terlambat bagi
Tepat pukul lima pagi, Sadewa terbangun setelah mendengar suara alarm dari ponselnya. Usai mencuci muka sebentar di wastafel, pria itu meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Abimana, asisten kepercayaan mendiang ayahnya. Dari awal, Sadewa sudah curiga bila villa ini adalah milik Abimana. Pastilah laki-laki paruh baya itu yang sudah mengutus Alice untuk memberikan informasi kepada Mayzura. Meski sudah berpindah-pindah tempat, ternyata Abimana cukup jeli untuk mengendus keberadaannya. Anehnya, Abimana tak menjemputnya secara terang-terangan, tetapi malah memasang CCTV di dalam villa. Entah apa tujuan laki-laki itu, yang jelas Sadewa akan menanyainya secara langsung. Sekali menekan tombol panggil cepat, panggilan Sadewa terhubung dengan Abimana. Namun tak sampai satu menit, panggilannya langsung terhenti. Nampaknya, Abimana memasang aplikasi untuk memblokir otomatis nomer yang tak tercatat dalam daftar teleponnya. Seraya mendengus ke
Mayzura mengira jika Sadewa akan meluluskan permintaannya. Namun, ternyata pria yang bekerja sebagai bodyguard-nya itu hanya membalas dengan tatapan datar. Nampaknya Sadewa sama sekali tidak merasa bersalah atas ucapannya semalam. Mungkin memang seperti itulah sifat alami seorang laki-laki, yaitu memiliki perasaan yang tidak peka. Salahnya sendiri yang telah terbawa perasaan oleh perlakuan dan tutur kata manis dari sang bodyguard. “Mana kuncinya?” ulang Mayzura.“Aku tidak bisa memberikannya, karena aku yang akan mengantarmu ke tempat rekreasi.”Mayzura merotasikan bola matanya jengah sembari berkacak pinggang.“Tidak bisakah kamu membiarkan aku sendirian selama satu hari saja, Dewa?”“Tidak bisa. Buktinya saat aku meninggalkanmu sebentar, pasti sudah terjadi sesuatu,” tukas Sadewa dengan mantap.“Wah, apa sekarang kamu terobsesi untuk menjadi penguntitku? Atau jangan-jangan kamu adalah bagian dari penjahat di danau itu? Kamu menyamar sebagai bodyguard agar bisa mengawasiku selama 24
Seorang perempuan paruh baya dengan riasan mencolok keluar dari mobil berlambang bintang segitiga. Di bawah cahaya matahari, pantulan dari kalung dan cincin emas yang dipakainya sungguh menyilaukan mata. Dengan gayanya yang angkuh, perempuan itu menekan bel yang terletak di samping gerbang sebuah mansion. “Selamat pagi, Nyonya, ada keperluan apa Anda kemari?” tanya seorang lelaki berkulit hitam. Lengannya yang dipenuhi tato dan badannya yang kekar menunjukkan bahwa laki-laki tersebut merupakan penjaga dari mansion mewah ini. “Apa kau seorang anggota baru, kenapa tidak mengenaliku? Aku ingin menemui Tuan Cakra,” sarkas perempuan itu. “Maaf, Nyonya, untuk bisa bertemu dengan Tuan Besar, Anda harus membuat janji lebih dulu,” jawab lelaki itu. “Kau terlalu banyak bicara! Minggir, aku tidak ada urusan denganmu!” Melihat si perempuan sombong hendak menerobos masuk, penjaga gerbang itu langsung pasang badan untuk menghadangnya. “Anda tidak boleh masuk sembarangan ke dalam, Nyonya. Ji