Tepat pukul lima pagi, Sadewa terbangun setelah mendengar suara alarm dari ponselnya. Usai mencuci muka sebentar di wastafel, pria itu meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Abimana, asisten kepercayaan mendiang ayahnya. Dari awal, Sadewa sudah curiga bila villa ini adalah milik Abimana. Pastilah laki-laki paruh baya itu yang sudah mengutus Alice untuk memberikan informasi kepada Mayzura. Meski sudah berpindah-pindah tempat, ternyata Abimana cukup jeli untuk mengendus keberadaannya. Anehnya, Abimana tak menjemputnya secara terang-terangan, tetapi malah memasang CCTV di dalam villa. Entah apa tujuan laki-laki itu, yang jelas Sadewa akan menanyainya secara langsung. Sekali menekan tombol panggil cepat, panggilan Sadewa terhubung dengan Abimana. Namun tak sampai satu menit, panggilannya langsung terhenti. Nampaknya, Abimana memasang aplikasi untuk memblokir otomatis nomer yang tak tercatat dalam daftar teleponnya. Seraya mendengus ke
Mayzura mengira jika Sadewa akan meluluskan permintaannya. Namun, ternyata pria yang bekerja sebagai bodyguard-nya itu hanya membalas dengan tatapan datar. Nampaknya Sadewa sama sekali tidak merasa bersalah atas ucapannya semalam. Mungkin memang seperti itulah sifat alami seorang laki-laki, yaitu memiliki perasaan yang tidak peka. Salahnya sendiri yang telah terbawa perasaan oleh perlakuan dan tutur kata manis dari sang bodyguard. “Mana kuncinya?” ulang Mayzura.“Aku tidak bisa memberikannya, karena aku yang akan mengantarmu ke tempat rekreasi.”Mayzura merotasikan bola matanya jengah sembari berkacak pinggang.“Tidak bisakah kamu membiarkan aku sendirian selama satu hari saja, Dewa?”“Tidak bisa. Buktinya saat aku meninggalkanmu sebentar, pasti sudah terjadi sesuatu,” tukas Sadewa dengan mantap.“Wah, apa sekarang kamu terobsesi untuk menjadi penguntitku? Atau jangan-jangan kamu adalah bagian dari penjahat di danau itu? Kamu menyamar sebagai bodyguard agar bisa mengawasiku selama 24
Seorang perempuan paruh baya dengan riasan mencolok keluar dari mobil berlambang bintang segitiga. Di bawah cahaya matahari, pantulan dari kalung dan cincin emas yang dipakainya sungguh menyilaukan mata. Dengan gayanya yang angkuh, perempuan itu menekan bel yang terletak di samping gerbang sebuah mansion. “Selamat pagi, Nyonya, ada keperluan apa Anda kemari?” tanya seorang lelaki berkulit hitam. Lengannya yang dipenuhi tato dan badannya yang kekar menunjukkan bahwa laki-laki tersebut merupakan penjaga dari mansion mewah ini. “Apa kau seorang anggota baru, kenapa tidak mengenaliku? Aku ingin menemui Tuan Cakra,” sarkas perempuan itu. “Maaf, Nyonya, untuk bisa bertemu dengan Tuan Besar, Anda harus membuat janji lebih dulu,” jawab lelaki itu. “Kau terlalu banyak bicara! Minggir, aku tidak ada urusan denganmu!” Melihat si perempuan sombong hendak menerobos masuk, penjaga gerbang itu langsung pasang badan untuk menghadangnya. “Anda tidak boleh masuk sembarangan ke dalam, Nyonya. Ji
“Tuan, Nona Mayzura baru saja sembuh dari sakit. Kesehatan fisik dan mentalnya lebih cepat pulih jika berada dekat dengan alam. Saya rasa lebih baik Nona Mayzura menenangkan diri satu hari lagi di villa,” jelas Sadewa. Bagaimanapun Sadewa tidak ingin semangat hidup Mayzura yang mulai bangkit, mendadak padam karena sikap diktator sang ayah.“Mayzura sakit apa?” tanya Tuan Agam terkejut.“Nona mengalami demam, Tuan. Selera makannya menurun drastis, dan dia sempat berpikir untuk…mengakhiri hidupnya. Saya sangat khawatir dengan kondisi Nona Mayzura,” kata Sadewa. Dia sengaja berkata demikian agar Tuan Agam berhenti memaksakan kehendaknya kepada sang putri.“Kenapa kamu tidak menghubungiku, Dewa? Kalau terjadi apa-apa terhadap putriku, kamu yang harus bertanggung jawab!” sentak Tuan Agam menyalahkan Sadewa.“Saya tidak menelepon Anda karena masih bisa mengatasinya sendiri. Hanya saja, saya mohon kepada Anda supaya tidak terlalu keras kepada Nona Mayzura.”Untuk beberapa saat, Tuan Agam tid
“Hentikan omong kosongmu, Gavindra! Calon istri yang Daddy pilihkan untukmu adalah wanita baik-baik,” sembur Tuan Bramantya mulai tersulut emosi.Gavindra tidak menanggapi perkataan ayahnya dan malah meminta satu gelas whisky kepada sang bartender. Merasa malu dengan kelakuan putranya, Tuan Bramantya segera memberi perintah kepada kedua anak buahnya untuk membawa paksa Gavindra dari klub. Kali ini, dia harus memberikan pelajaran kepada sang putra agar tidak bertindak sesuka hatinya. Sambil mengucapkan sumpah serapah, Gavindra berusaha untuk memberontak. Namun lantaran pria itu sedang dalam kondisi setengah mabuk, dia tidak dapat berbuat banyak. Pada akhirnya, pewaris keluarga Maheswara itu pun berhasil dibawa masuk ke dalam mobil. Di perjalanan, Gavindra kembali mengamuk sampai Tuan Bramantya terpaksa memberikannya obat penenang. Beberapa menit kemudian, barulah Gavindra tertidur lelap. Suasana di dalam mobil langsung berubah menjadi tenang hingga mereka tiba di apartemen. “Tuan Be
“Tuan, Nona, saya pamit pulang dulu. Di luar sudah mendung dan mungkin listrik akan padam lagi seperti kemarin. Anak saya yang paling kecil sering menangis ketakutan kalau gelap,” keluh Pak Asep usai menghidangkan makanan.“Bapak tidak mau makan sebentar bersama kami?” tanya Mayzura.“Tidak usah, Non, saya makan di rumah saja. Selamat malam,” ujar Pak Asep mohon diri dengan tergesa-gesa.Sadewa mengernyitkan alis, merasa heran dengan perilaku Pak Asep yang seperti dikejar-kejar sesuatu. Padahal sang penjaga villa biasanya tak bosan untuk mengobrol cukup lama dengannya. Mungkinkah Pak Asep mendapat tugas baru dari Abimana atau pria itu memang ditunggu oleh keluarganya? Sadewa segera berdiri dari kursinya untuk menyusul Pak Asep. Sebenarnya, dia ingin menanyakan langsung kepada Pak Asep perihal Abimana. Hanya saja karena ada Mayzura di antara mereka, ia urung menanyakan hal tersebut. Sadewa tidak ingin gadisnya mendengarkan percakapan mereka dan bertanya-tanya mengenai sosok Abimana. B
Tubuh Mayzura bergidik karena merasakan hembusan napas hangat Sadewa di tengkuknya. Kini, dia mengerti mengapa Sadewa sampai membentaknya lalu mengunci diri di dalam kamar. Ternyata pria itu sedang tersiksa lantaran menahan gejolak dalam tubuhnya. Namun yang membuat Mayzura tidak mengerti, siapa sebenarnya yang telah memasukkan obat laknat itu ke dalam minuman Sadewa. Di villa ini hanya ada mereka berdua dan Pak Asep. Rasanya mustahil bila lelaki sederhana itu sampai berani menjebak Sadewa. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa hanya sang penjaga villa yang patut dicurigai sebagai pelakunya. “Biarkan aku memelukmu sebentar saja,” bisik Sadewa dengan suara parau.Menyentuh kulit lembut Mayzura membuat Sadewa serasa menggila. Namun ia masih berusaha mengendalikan diri di tengah kewarasannya yang kian menipis. Sisi terang dan gelap dalam dirinya sedang berperang, tetapi Sadewa sadar bahwa sisi iblisnya yang lebih mendominasi. “Cepatlah pergi sekarang dan kunci kamarmu rapat-rapat
Sementara itu di tempat lain, Abimana sedang menerima telepon dari seseorang. Valdo, asisten Abimana, merasa heran karena sang bos yang biasanya bertampang datar bisa menyunggingkan senyum tipis. Dia pun yakin bila Abimana mendapatkan kabar baik yang sudah lama dinantinya.“Bagus, Asep, pergilah malam ini juga. Jangan pernah muncul di hadapan Sadewa atau dia akan menghajarmu.”Setelah mematikan sambungan teleponnya, Abimana membuka aplikasi mobile banking. Pria itu mengetikkan sejumlah nominal uang lantas mengirimkannya ke rekening Pak Asep. Dia tak segan memberikan imbalan yang besar kepada pelayan setianya itu.“Tuan, apakah Pak Asep berhasil melakukan tugasnya?” tanya Valdo penasaran. “Tentu saja berhasil. Terkadang kita harus mengubah strategi dengan mengutus seseorang yang terlihat lemah dan tidak berbahaya. Aku sengaja memberi pelajaran ini kepada Sadewa, supaya dia lebih waspada ketika menjadi pemimpin. Sifat baiknya adalah kelemahan terbesarnya,” tandas Abimana.“Tetapi, apak
Sadewa keluar dari kamar sesudah Mayzura tidur dengan nyenyak. Ia bergegas menghampiri Abimana yang sedang berada di teras markas Elang Barat. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi roda, pandangan matanya serius dan penuh pertimbangan. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung mendekati Abimana. “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang? Setelah Bramantya mengetahui putranya meninggal dalam kecelakaan, dia pasti akan balas dendam. Tidak hanya aku yang menjadi targetnya, tapi keselamatan Mayzura juga akan terancam. Mayzura sekarang sedang mengandung anakku, Paman,” tanya Sadewa. Abimana menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita harus bersiap untuk perang, Dewa. Bramantya tidak akan tinggal diam atas kematian anaknya. Dia akan menuntut balas dan kemungkinan besar akan bergabung dengan kelompok The Cat. Mereka akan bekerja sama untuk menghancurkan Elang Barat.”“Paman benar, Cakra akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kekuatan. Kita harus bersiap-siap.”Abimana berdiri, me
Mendapat penolakan dari Mayzura tidak membuat Sadewa menyerah. Menurutnya, inilah saatnya Mayzura keluar dari rumah yang mirip penjara ini. Sadewa tidak akan membiarkan wanitanya menderita lebih lama. “Sumpah setia hanya akan berlaku bila suami dan istri saling menghargai. Aku tahu Gavindra memperlakukanmu dengan buruk. Lantas apa yang kamu pertahankan dari rumah tangga yang seperti neraka?”Mata Mayzura tak sanggup menatap Sadewa. Bukan ini rencana awal Mayzura. Memang harusnya Mayzura senang kalau Sadewa membawanya keluar dari penderitaan. Namun, ada sisi dari dirinya yang tak setuju dengan keputusan Sadewa.Sadewa menatap Mayzura dengan intensitas yang membara. “Mayzura, kamu bisa menggugat cerai Gavindra. Dia telah melakukan kekerasan terhadapmu. Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk menangani perceraianmu,” ujarnya dengan suara yang penuh tekad. Mayzura tidak banyak bicara, hanya menatap Sadewa dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Sadewa benar, tetapi hatinya masih dipenu
Ini bukan khayalan atau mimpi, Sadewa nyata ada di depan Mayzura. Lelaki yang meninggalkannya seorang diri dalam kubangan masalah tanpa meninggalkan kabar. Sesaat, tatapan Mayzura dan Sadewa saling terkunci, menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. Hanya saja, Mayzura kemudian teringat akan berbagai kepedihan yang ia lalui selama Sadewa tak ada. Alhasil, ia langsung memalingkan wajah lalu menghempaskan kasar tangan Sadewa. Tatapannya sudah cukup menjelaskan betapa Mayzura kecewa dan marah. Lelaki yang selama ini menjadi penopang hatinya justru menghilang dan meninggalkan luka. Kini, tanpa rasa bersalah Sadewa muncul begitu saja. Mayzura tiba-tiba berlari kencang melewati Asti dan Jamal yang sedang berbincang di ruang tamu. Langkahnya tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi kepanikan dan air mata yang mengalir tanpa henti. Asti dan Jamal saling berpandangan, kebingungan melihat sikap Mayzura yang emosional.“Nona, apa yang terjadi?” teriak Asti.Namun, Mayzura tidak mau berhenti. Ia terus
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y