Sementara itu di tempat lain, Abimana sedang menerima telepon dari seseorang. Valdo, asisten Abimana, merasa heran karena sang bos yang biasanya bertampang datar bisa menyunggingkan senyum tipis. Dia pun yakin bila Abimana mendapatkan kabar baik yang sudah lama dinantinya.“Bagus, Asep, pergilah malam ini juga. Jangan pernah muncul di hadapan Sadewa atau dia akan menghajarmu.”Setelah mematikan sambungan teleponnya, Abimana membuka aplikasi mobile banking. Pria itu mengetikkan sejumlah nominal uang lantas mengirimkannya ke rekening Pak Asep. Dia tak segan memberikan imbalan yang besar kepada pelayan setianya itu.“Tuan, apakah Pak Asep berhasil melakukan tugasnya?” tanya Valdo penasaran. “Tentu saja berhasil. Terkadang kita harus mengubah strategi dengan mengutus seseorang yang terlihat lemah dan tidak berbahaya. Aku sengaja memberi pelajaran ini kepada Sadewa, supaya dia lebih waspada ketika menjadi pemimpin. Sifat baiknya adalah kelemahan terbesarnya,” tandas Abimana.“Tetapi, apak
Pengakuan Sadewa membuat Mayzura tertegun sejenak, tetapi kemudian gadis itu malah tertawa lepas. Dia mengira Sadewa sedang menggoda dirinya seperti yang biasa pria itu lakukan saat mereka belum akur. “Jangan bercanda, Dewa, itu tidak lucu. Bukankah di kartu identitasmu tertulis bahwa pekerjaanmu seorang security? Kenapa sekarang tiba-tiba berubah menjadi mafia? Apa kamu ingin menggantikan aku menjadi penulis novel?” tanya Mayzura.Sadewa pun memegangi kedua bahu Mayzura sembari menatap sepasang netra indah milik gadis itu.“Aku memang bekerja sebagai security, tetapi itu hanya untuk menyamarkan identitasku dari kejaran musuh. Sebenarnya aku pernah menempuh pendidikan sebagai pengacara sesuai dengan cita-cita ibuku. Aku juga hampir menikah dengan kekasihku, Winona. Tetapi, semuanya hancur begitu saja sejak ayahku kembali.”Mayzura bisa melihat luapan emosi di dalam mata Sadewa saat menceritakan kisah hidupnya. Kini, Mayzura yakin bahwa Sadewa memang sedang berkata jujur mengenai siap
Sesudah membelikan pesanan dari sang kekasih, Sadewa kembali untuk menemui Mayzura. Gadis itu nampak sedang berbalas pesan dengan seseorang. Sadewa yang merasa cemburu segera duduk di samping Mayzura. Dia melirik apa yang sedang dilakukan gadisnya itu sampai tersenyum-senyum sendiri. Bahkan Mayzura tidak menyadari bila ia sudah datang membawakan pancake dan es krim. “Ehemmm, chattingan dengan siapa, Baby Girl?” tanya Sadewa sengaja berdehem lumayan keras.Mayzura langsung menoleh ke samping dan menunjukkan sekilas layar ponselnya kepada Sadewa.“Ini Bryana, dia menanyakan kabarku dan ingin mengajakku ke salon. Tetapi aku bilang padanya bahwa aku sedang kencan bersama seorang lelaki tampan.”“Lalu, apa dia bertanya siapa pria itu?” desak Sadewa sembari menyerahkan es krim kepada Mayzura.“Tidak, aku sengaja membuatnya penasaran. Ayo, kita ke mobil, Sayang,” jawab Mayzura sengaja menggoda Sadewa. Dia merasa senang bila pria itu cemburu kepadanya.Sambil menggandeng tangan Sadewa, Mayzu
Begitu tiba di rumah, Mayzura melihat mobil ayahnya sudah terpikir di halaman rumah. Telapak tangan Mayzura mendadak jadi lembap dan berkeringat. Entah mengapa ia merasa takut sekaligus enggan untuk bertemu dengan ayah kandungnya sendiri. Padahal dulu setiap kali sang ayah pulang dari luar kota, ia selalu menyambutnya penuh suka cita. Namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Dia takut jika sang ayah akan menentang hubungannya dengan Sadewa dan malah mengusir kekasihnya itu dari rumah.Bahasa tubuh Mayzura yang gelisah tak luput dari perhatian Sadewa. Setelah mematikan mesin mobil, pria itu pun meraih tangan Mayzura dan mengusapnya untuk memberikan rasa hangat. Dia tahu sang gadis selalu mengalami gejala seperti ini setiap kali dilanda kecemasan. “Tenanglah, Baby Girl, semua akan baik-baik saja. Ayo, kita turun dan temui ayahmu. Jangan buat dia terlalu lama menunggu.”“Apa kita harus berpura-pura tidak memiliki hubungan apa-apa?” tanya Mayzura sekali lagi. “Iya, untuk hari ini
“Pa, tolong jangan pecat Sadewa. Aku tidak mau dijaga oleh bodyguard lain,” potong Mayzura berusaha membatalkan niat sang ayah untuk memecat Sadewa. Melihat Mayzura berusaha mempertahankan dirinya, Sadewa menggenggam tangan kekasihnya itu. Untung saja meja kerja Tuan Agam berukuran lebar, sehingga pria paruh baya itu tidak mengetahui bahwa mereka sedang berpegangan tangan. Meski begitu, Sadewa berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan Mayzura.Mendapat sinyal dari Sadewa, Mayzura menghentikan ucapannya. Hanya saja ia belum tahu apa alasan pria itu melarangnya untuk bicara. Mungkinkah Sadewa tidak khawatir lantaran mereka akan segera menikah? Ataukah kekasihnya itu sudah memiliki rencana lain yang lebih matang?“Dewa, aku tahu kamu sudah menjaga Mayzura dengan baik, tetapi aku harus mematuhi perintah Tuan Bramantya. Dia ingin Mayzura mendapatkan pengawalan khusus dari orang kepercayaannya menjelang hari pernikahan.”Sembari meremas pelan tangan Mayzura, Sadewa berusaha menampi
Selesai makan malam, Mayzura mengambil alat perekam yang tersimpan di kamarnya. Kemudian, ia membawanya ke ruang tengah, sekalian ia juga akan berlatih piano. Beberapa minggu tidak menyentuh alat musik kesukaannya itu, Mayzura merasa perlu melakukan pemanasan. Ia pun mencoba memainkan ritme yang sederhana sebelum nantinya masuk ke lagu inti. Ya, malam ini Mayzura menjatuhkan pilihan pada lagu “Spring Waltz” atau dikenal juga dengan “Mariage d'Amour”, karya Chopin. Sejak lama, ia menyukai melodinya yang sendu, sarat akan cinta, dan mampu menggetarkan jiwa. Mayzura berharap lagu ini akan menjadi musik pengantar pernikahannya nanti dengan Sadewa. Sudah terbayang betapa indahnya ketika ia mengenakan gaun pengantin berwarna putih, lalu berjalan menuju ke arah Sadewa dengan iringan musik. Sementara itu, Sadewa menuju ke kamarnya sendiri untuk berkemas. Dia menunggu hingga Tuan Agam beristirahat, baru dia akan menemui Mayzura. Beberapa menit berlalu, ponsel Sadewa akhirnya berbunyi. Pria
”Jam berapa kamu berangkat, Sayang? Apa kamu mau naik mobilku?” tanya Mayzura sambil bersandar pada bahu Sadewa. Saat ini, mereka berdua sedang duduk di taman belakang sembari menikmati semilir angin malam.“Aku akan berangkat sekitar jam lima pagi dengan taksi. Aku tidak mau kepergianku menarik perhatian kelompok The Cat,” kata Sadewa.“Kalau begitu aku akan bangun pagi-pagi untuk mengantarmu.”Sadewa pun membenamkan sebagian wajahnya ke helaian rambut Mayzura dan menghirup aroma bunga dari rambut sang kekasih.“Tidurlah, Baby Girl, kamu butuh istirahat. Jika kamu mengantarku, bisa saja Bi Darti atau Pak Benu akan melaporkannya kepada Tuan Agam. Aku tidak mau kamu mendapat masalah selama aku pergi.”Sadewa lantas meraih telapak tangan Mayzura dan mengaitkan jari jemari mereka menjadi satu. “Berjanjilah untuk tidak mencemaskan apa pun, aku pasti kembali secepatnya. Sekarang lebih baik kamu tidur, angin di sini semakin dingin.”Mayzura mendongakkan kepalanya untuk menatap paras tampan
“Jadi ini semua ulahmu? Sejak kapan kamu membuntuti aku?” hardik Sadewa. Alan hanya menggeleng pelan sembari memutar-mutar senjata di tangannya.“Kamu seharusnya memelukku, bukan marah-marah seperti ini. Bukankah sudah menjadi tugasku sebagai adik untuk mencari kakakku yang hilang?” Sadewa berdecih pelan, merasa muak dengan topeng kemunafikan yang dipakai oleh adik tirinya ini. Dia pun maju beberapa langkah hendak mendekati Alan. Namun, para preman yang berdiri di sekelilingnya langsung mengacungkan pistol secara serempak. “Alan, ternyata sifat pengecutmu belum berubah juga. Beraninya hanya main keroyokan seperti ini. Kenapa tidak sekalian kau mengajak ibumu dan berlindung di balik punggungnya?” cemooh Sadewa.Urat-urat di leher Alan tampak menonjol, sementara tangannya mengepal erat. Sungguh dia tidak terima bila harga dirinya sebagai calon penguasa Elang Barat diinjak-injak. Demi pembuktian diri, Alan pun membuang pistolnya ke tanah. Sudah saatnya dia menunjukkan kepada semua ora