Begitu tiba di rumah, Mayzura melihat mobil ayahnya sudah terpikir di halaman rumah. Telapak tangan Mayzura mendadak jadi lembap dan berkeringat. Entah mengapa ia merasa takut sekaligus enggan untuk bertemu dengan ayah kandungnya sendiri. Padahal dulu setiap kali sang ayah pulang dari luar kota, ia selalu menyambutnya penuh suka cita. Namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Dia takut jika sang ayah akan menentang hubungannya dengan Sadewa dan malah mengusir kekasihnya itu dari rumah.Bahasa tubuh Mayzura yang gelisah tak luput dari perhatian Sadewa. Setelah mematikan mesin mobil, pria itu pun meraih tangan Mayzura dan mengusapnya untuk memberikan rasa hangat. Dia tahu sang gadis selalu mengalami gejala seperti ini setiap kali dilanda kecemasan. “Tenanglah, Baby Girl, semua akan baik-baik saja. Ayo, kita turun dan temui ayahmu. Jangan buat dia terlalu lama menunggu.”“Apa kita harus berpura-pura tidak memiliki hubungan apa-apa?” tanya Mayzura sekali lagi. “Iya, untuk hari ini
“Pa, tolong jangan pecat Sadewa. Aku tidak mau dijaga oleh bodyguard lain,” potong Mayzura berusaha membatalkan niat sang ayah untuk memecat Sadewa. Melihat Mayzura berusaha mempertahankan dirinya, Sadewa menggenggam tangan kekasihnya itu. Untung saja meja kerja Tuan Agam berukuran lebar, sehingga pria paruh baya itu tidak mengetahui bahwa mereka sedang berpegangan tangan. Meski begitu, Sadewa berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan Mayzura.Mendapat sinyal dari Sadewa, Mayzura menghentikan ucapannya. Hanya saja ia belum tahu apa alasan pria itu melarangnya untuk bicara. Mungkinkah Sadewa tidak khawatir lantaran mereka akan segera menikah? Ataukah kekasihnya itu sudah memiliki rencana lain yang lebih matang?“Dewa, aku tahu kamu sudah menjaga Mayzura dengan baik, tetapi aku harus mematuhi perintah Tuan Bramantya. Dia ingin Mayzura mendapatkan pengawalan khusus dari orang kepercayaannya menjelang hari pernikahan.”Sembari meremas pelan tangan Mayzura, Sadewa berusaha menampi
Selesai makan malam, Mayzura mengambil alat perekam yang tersimpan di kamarnya. Kemudian, ia membawanya ke ruang tengah, sekalian ia juga akan berlatih piano. Beberapa minggu tidak menyentuh alat musik kesukaannya itu, Mayzura merasa perlu melakukan pemanasan. Ia pun mencoba memainkan ritme yang sederhana sebelum nantinya masuk ke lagu inti. Ya, malam ini Mayzura menjatuhkan pilihan pada lagu “Spring Waltz” atau dikenal juga dengan “Mariage d'Amour”, karya Chopin. Sejak lama, ia menyukai melodinya yang sendu, sarat akan cinta, dan mampu menggetarkan jiwa. Mayzura berharap lagu ini akan menjadi musik pengantar pernikahannya nanti dengan Sadewa. Sudah terbayang betapa indahnya ketika ia mengenakan gaun pengantin berwarna putih, lalu berjalan menuju ke arah Sadewa dengan iringan musik. Sementara itu, Sadewa menuju ke kamarnya sendiri untuk berkemas. Dia menunggu hingga Tuan Agam beristirahat, baru dia akan menemui Mayzura. Beberapa menit berlalu, ponsel Sadewa akhirnya berbunyi. Pria
”Jam berapa kamu berangkat, Sayang? Apa kamu mau naik mobilku?” tanya Mayzura sambil bersandar pada bahu Sadewa. Saat ini, mereka berdua sedang duduk di taman belakang sembari menikmati semilir angin malam.“Aku akan berangkat sekitar jam lima pagi dengan taksi. Aku tidak mau kepergianku menarik perhatian kelompok The Cat,” kata Sadewa.“Kalau begitu aku akan bangun pagi-pagi untuk mengantarmu.”Sadewa pun membenamkan sebagian wajahnya ke helaian rambut Mayzura dan menghirup aroma bunga dari rambut sang kekasih.“Tidurlah, Baby Girl, kamu butuh istirahat. Jika kamu mengantarku, bisa saja Bi Darti atau Pak Benu akan melaporkannya kepada Tuan Agam. Aku tidak mau kamu mendapat masalah selama aku pergi.”Sadewa lantas meraih telapak tangan Mayzura dan mengaitkan jari jemari mereka menjadi satu. “Berjanjilah untuk tidak mencemaskan apa pun, aku pasti kembali secepatnya. Sekarang lebih baik kamu tidur, angin di sini semakin dingin.”Mayzura mendongakkan kepalanya untuk menatap paras tampan
“Jadi ini semua ulahmu? Sejak kapan kamu membuntuti aku?” hardik Sadewa. Alan hanya menggeleng pelan sembari memutar-mutar senjata di tangannya.“Kamu seharusnya memelukku, bukan marah-marah seperti ini. Bukankah sudah menjadi tugasku sebagai adik untuk mencari kakakku yang hilang?” Sadewa berdecih pelan, merasa muak dengan topeng kemunafikan yang dipakai oleh adik tirinya ini. Dia pun maju beberapa langkah hendak mendekati Alan. Namun, para preman yang berdiri di sekelilingnya langsung mengacungkan pistol secara serempak. “Alan, ternyata sifat pengecutmu belum berubah juga. Beraninya hanya main keroyokan seperti ini. Kenapa tidak sekalian kau mengajak ibumu dan berlindung di balik punggungnya?” cemooh Sadewa.Urat-urat di leher Alan tampak menonjol, sementara tangannya mengepal erat. Sungguh dia tidak terima bila harga dirinya sebagai calon penguasa Elang Barat diinjak-injak. Demi pembuktian diri, Alan pun membuang pistolnya ke tanah. Sudah saatnya dia menunjukkan kepada semua ora
Meski merasa keberatan, Mayzura terpaksa membiarkan pelayan baru itu yang mengurus keperluannya. Sementara itu, Tuan Agam justru terlihat senang karena sang putri dilayani bak seorang ratu. Keyakinannya semakin kuat bila Mayzura akan berbahagia setelah resmi menyandang status sebagai Nyonya Muda Maheswara. Mayzura pun harus membiasakan diri diantar oleh bodyguard baru tatkala ia berangkat ke kampus. Rasanya sungguh jauh berbeda saat ia masih dijaga oleh Sadewa. Betapa bodohnya dirinya dulu yang selalu mengajak Sadewa bertengkar. Padahal Sadewa adalah pria yang istimewa, tak hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari sifatnya yang penyayang dan rela berkorban. Seharusnya dia menghabiskan lebih banyak momen indah bersama sang tambatan hati. Memang begitulah sifat manusia, baru menyesal setelah semuanya terlanjur berlalu. Tak seperti saat dikawal oleh Sadewa, kali ini Mayzura berusaha patuh kepada pengawal yang ditempatkan oleh Tuan Bramantya. Semua ini dilakukannya demi meyak
Mayzura pun melangkah mendekati wanita yang diyakininya sebagai Soraya Maheswara. Begitu kedua netra mereka bersirobok, Mayzura merasa dirinya sedang diamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Terlebih, sorot mata Soraya yang tajam membuatnya merasa tidak nyaman. “Apakah Anda Nona Soraya? Perkenalkan saya, Mayzura.”Mayzura mengulurkan tangan, berusaha bersikap seramah mungkin. Hanya saja Soraya tidak menyambut niat baiknya. Wanita itu malah duduk kembali di kursi sambil bersedekap. Alhasil, Mayzura menarik kembali tangannya yang hanya mengenai udara kosong. Barangkali memang seperti inilah sifat dari keturunan Bramantya Maheswara yang terkenal angkuh dan tak berperasaan. “Ternyata kamu masih sangat muda. Aku Soraya, adik dari Gavindra Maheswara, calon suamimu. Artinya kamu akan menjadi kakak iparku. Lucu sekali bukan?” ucap Soraya dengan ekspresi datar.Mayzura hanya tersenyum kecut, tidak berani memberikan komentar atas pernyataan Soraya. Ia bisa merasakan bahwa sikap wanita
Ketika sampai di rumah, Mayzura langsung merebahkan tubuh di atas kasur. Ia merasa sangat lelah dengan peristiwa yang dialaminya hari ini. Dimulai dari kehadiran pelayan dan bodyguard baru, pertemuannya dengan Soraya, sampai penandatanganan surat perjanjian pra nikah. Namun, di antara itu semua yang paling membuatnya resah adalah Sadewa. Entah mengapa kekasihnya itu seakan lenyap ditelan bumi. Padahal ini sudah melewati dari batas waktu yang dijanjikan oleh Sadewa. Keraguan demi keraguan mulai melanda hati Mayzura. Mungkinkah kepergian Sadewa bukan untuk melamarnya, melainkan untuk melarikan diri dari tanggung jawab?‘Tidak, Dewa bukan lelaki pengecut seperti Enzio. Dia sangat mencintaiku,’ gumam Mayzura.Untuk mengobati rasa rindunya, Mayzura lantas memandangi foto-foto Sadewa yang tersimpan di galeri ponsel. Mengusapnya dengan lembut, seolah ingin melukis ulang setiap detail fitur wajah sang kekasih.“Sayang, jangan membuatku khawatir. Datanglah besok dan bawa aku pergi dari sini,”