Mayuzra sedang memejamkan mata sembari bersandar pada tepian bathtub. Esok adalah hari pernikahannya tetapi Sadewa tidak juga memberikan kabar. Nomer ponselnya saja tidak bisa dihubungi, lalu bagaimana mungkin pria itu akan muncul untuk melamarnya?Lenyap, pupus sudah semua harapan Mayzura untuk bersanding dengan pria yang dicintainya. Sekarang justru dia merasa sebagai perempuan yang paling bodoh di dunia. Bagaimana tidak. Dengan polosnya, ia percaya begitu saja pada janji manis yang diucapkan oleh Sadewa. Padahal pada faktanya, cinta yang ia rasakan tidak berbalas. Ibarat kumbang yang meninggalkan sekuntum bunga usai menghisap nektarnya, begitulah yang dilakukan Sadewa. Pria itu hanya mencari alasan untuk pergi setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Mana mungkin Sadewa bersedia mempertaruhkan nyawa hanya demi menikahi seorang gadis biasa. Saat ini, Mayzura baru tersadar bahwa dirinya telah dibutakan oleh cinta. Akan tetapi, dia tidak bisa menyalahkan siapapun dalam hal ini. Pa
Mendengar keputusan gila yang sudah diambil oleh Mayzura, Bryana tak habis pikir. Bukankah Mayzura sendiri yang mati-matian menentang perjodohan itu? Sampa-sampai dia memutuskan hubungan dengan Enzio, lantaran pemuda itu tak mau membawanya kabur. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba ia bersedia menjadi menantu keluarga Bramantya? Mungkinkah pikiran Mayzura sudah terganggu karena ditinggalkan oleh Sadewa? Ya, bisa jadi memang itu alasannya. Cinta memang bagaikan dua sisi mata uang yang saling berlawanan. Di satu sisi, ia bagaikan secangkir madu manis yang menyegarkan jiwa. Namun di sisi lain, ia dapat berubah menjadi racun yang mematikan. Bahkan, tak jarang cinta membuat seseorang kehilangan akal sehat hingga ingin mengakhiri hidupnya.“May, pikirkan ulang keputusanmu ini. Jangan karena marah pada Sadewa lalu kamu nekat menjerumuskan dirimu sendiri,” tegur Bryana berupaya menyadarkan Mayzura. Pasalnya, ia melihat tatapan Mayzura yang kosong seperti benda yang tak bernyawa.“Aku sudah tidak
“Tanyakan kepada dokter itu apakah Sadewa sudah sadar,” titah Abimana. Karena bahasa inggrisnya kurang bagus, terpaksa ia meminta bantuan asisten kepercayaannya sebagai penerjemah.Sang asisten pun bertanya kepada dokter yang baru saja melakukan pemeriksaan terhadap Sadewa. Mereka berbicara cukup lama dengan ekspresi yang serius. Membuat Abimana semakin was-was dengan kondisi Sadewa saat ini. Meski begitu, ia yakin bahwa kesembuhan Sadewa sudah ada di depan mata.“Apa yang dikatakan oleh dokter, Pedro?” tanya Abimana tak sabar. “Dokter bilang bahwa ini sebuah keajaiban. Sepertinya ada dorongan kuat dari alam bawah sadar Tuan Muda, yang membuat otaknya merespon dengan cepat. Bila ini berlanjut selama 24 jam ke depan, kemungkinan Tuan Muda akan sadar sepenuhnya. Dokter meminta kita mengajak bicara Tuan Muda mengenai kegiatan atau orang yang disayanginya, untuk merangsang sel-sel sarafnya agar tetap aktif,” jelas Pedro panjang lebar. “Baiklah, aku tidak akan tidur malam ini untuk menja
Belum sempat Bryana merespon, Tuan Agam sudah berjalan memasuki ruang rias. Lelaki setengah baya itu nampak takjub ketika melihat kecantikan sang putri dalam balutan gaun pengantin. Hanya saja Tuan Agam tidak menyadari bahwa Mayzura sedang menanggung kesedihan yang mendalam. “Kamu sudah siap, Sayang?” tanya Tuan Agam. Dari balik veil yang ia pakai, Mayzura mengangguk perlahan. Memang sudah waktunya ia harus pergi ke Gereja untuk melangsungkan upacara pernikahan. Meski hati kecilnya bertentangan dengan tindakannya, tetapi Mayzura tidak peduli. Yang terpenting baginya saat ini adalah melanjutkan hidup dan memenuhi kewajibannya sebagai anak tunggal Agam Nugraha. Dengan menggamit lengan sang ayah, Mayzura menuju ke mobil pengantin yang telah menantinya sejak tadi. Sang supir yang bertugas mengemudikan mobil, segera membukakan pintu untuk Mayzura sambil membungkuk hormat. Kemudian, Bryana menyusul duduk di samping Mayzura sambil merapikan gaun temannya itu.Perjalanan menuju ke lokasi p
“Gavindra, mulai hari ini dan seterusnya, kamu yang akan menjaga Mayzura. Semoga kalian berdua selalu hidup bahagia,” ucap Tuan Agam sembari menyerahkan tangan putrinya kepada Gavindra.Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Gavindra, selain seringai tipis yang hampir tak terlihat. Pria itu lantas menggenggam tangan Mayzura yang berbalut sarung tangan tipis. Begitu tangan mereka bersentuhan, Gavindra bisa merasakan dinginnya telapak tangan Mayzura.Gadis itu juga menundukkan kepalanya sejak tadi, seperti enggan untuk menatapnya. Entah karena ia takut atau merasa gugup karena akan mengucapkan janji pernikahan. Yang jelas, Gavindra merasa puas memandang kecantikan yang dimiliki oleh calon istrinya ini. Berbeda dengan Gavindra, Mayzura justru merasakan kedua kakinya begitu lemas. Entah mengapa timbul perasaan was-was yang semakin besar saat ia berdekatan dengan Gavindra. Walaupun dari luar penampilan Gavindra tampak normal sebagai mempelai pria, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mem
Mayzura terbangun dari pingsannya dan membuka mata perlahan. Ia terkejut ketika melihat dirinya berada di sebuah kamar yang terasa asing. Lebih tepatnya dia terbaring di atas ranjang berukuran king size yang entah milik siapa. Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. Mayzura berusaha menajamkan penglihatan. Di sekeliling kamar bernuansa hitam putih ini dia hanya seorang diri, diterangi lampu tidur dari arah nakas. Namun, Mayzura bisa melihat sedikit cahaya matahari dari sela-sela tirai yang tertutup. Menandakan bahwa ini mungkin masih siang atau menjelang sore hari. Perlahan-lahan, Mayzura mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk. Hanya saja ia merasa kesulitan karena pakaian yang menempel di tubuhnya lumayan berat. Tatkala mengamati dirinya sendiri, gadis itu baru tersadar bahwa ia masih memakai gaun pengantin. Mayzura pun coba mengingat-ingat apa yang terjadi dan mengapa ia sampai pingsan. Bukankah tadi ia masih berdiri di depan altar untuk mengucapkan sumpah pernikahan? Lal
Bagaikan terbakar api, wajah Gavindra langsung merah padam. Begitu pula dengan darahnya yang serasa mengumpul di ubun-ubun. Bagaimana tidak. Mayzura telah menginjak-injak martabatnya berkali-kali. Tak hanya pingsan di upacara pernikahan mereka, istri yang baru saja dinikahinya itu juga telah menolaknya. Dan lebih gilanya lagi, Mayzura malah mengaku secara terang-terangan bahwa dia mencintai pria lain. Sungguh, kejadian ini begitu dramatis sama seperti kisah novel yang ditulis sendiri oleh Mayzura. Gavindra pun menatap nyalang pada istri kecilnya itu. Ingin rasanya ia mencekik Mayzura atau menyeretnya keluar dari kamar. Namun, melihat betapa beraninya gadis ini mengakui perasaannya, Gavindra jadi berpikir ulang. Mungkin lebih baik ia bermain-main dulu dan membuat Mayzura tersiksa secara batin maupun fisik. Dengan demikian, penghinaan yang diterimanya akan terbayar lunas. “Bagus! Kamu memang tidak boleh mencintaiku, karena bagiku kamu sama seperti wanita bayaran. Ayahmu sendiri yang
Betapa pun keras Mayzura berusaha, tetap saja ada cairan bening yang lolos dari sudut matanya. Namun Gavindra seolah tak peduli. Lelaki itu malah semakin mendekat, hingga Mayzura terpaksa menahan kaki Gavindra dengan kedua tangannya. “Saya mohon, Tuan, saya tidak bisa melakukan ini,” ulang Mayzura. Berharap Gavindra masih memiliki sedikit rasa peri kemanusiaan. “Bangun, aku paling benci wanita yang cengeng! Kamu pikir aku akan mendengarkan omong kosongmu ini? Sekarang lakukan tugasmu sebagai seorang istri!”Campuran antara gairah dan kebencian membuat kepala Gavindra seakan ingin meledak. Tentu saja dia berhak meminta haknya sebagai suami. Selama Mayzura terikat padanya, maka ia akan memanfaatkan kekuasaan ini sebaik mungkin. Merasa tak sabar lagi, Gavindra menghentakkan kakinya hingga genggaman tangan Mayzura terlepas. Hanya dengan satu tangan, lelaki itu berhasil memaksa Mayzura untuk bangun dan menyeretnya menuju ranjang. Gavindra lalu mendorong tubuh sang istri dan menghempaska
Sadewa keluar dari kamar sesudah Mayzura tidur dengan nyenyak. Ia bergegas menghampiri Abimana yang sedang berada di teras markas Elang Barat. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi roda, pandangan matanya serius dan penuh pertimbangan. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung mendekati Abimana. “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang? Setelah Bramantya mengetahui putranya meninggal dalam kecelakaan, dia pasti akan balas dendam. Tidak hanya aku yang menjadi targetnya, tapi keselamatan Mayzura juga akan terancam. Mayzura sekarang sedang mengandung anakku, Paman,” tanya Sadewa. Abimana menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita harus bersiap untuk perang, Dewa. Bramantya tidak akan tinggal diam atas kematian anaknya. Dia akan menuntut balas dan kemungkinan besar akan bergabung dengan kelompok The Cat. Mereka akan bekerja sama untuk menghancurkan Elang Barat.”“Paman benar, Cakra akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kekuatan. Kita harus bersiap-siap.”Abimana berdiri, me
Mendapat penolakan dari Mayzura tidak membuat Sadewa menyerah. Menurutnya, inilah saatnya Mayzura keluar dari rumah yang mirip penjara ini. Sadewa tidak akan membiarkan wanitanya menderita lebih lama. “Sumpah setia hanya akan berlaku bila suami dan istri saling menghargai. Aku tahu Gavindra memperlakukanmu dengan buruk. Lantas apa yang kamu pertahankan dari rumah tangga yang seperti neraka?”Mata Mayzura tak sanggup menatap Sadewa. Bukan ini rencana awal Mayzura. Memang harusnya Mayzura senang kalau Sadewa membawanya keluar dari penderitaan. Namun, ada sisi dari dirinya yang tak setuju dengan keputusan Sadewa.Sadewa menatap Mayzura dengan intensitas yang membara. “Mayzura, kamu bisa menggugat cerai Gavindra. Dia telah melakukan kekerasan terhadapmu. Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk menangani perceraianmu,” ujarnya dengan suara yang penuh tekad. Mayzura tidak banyak bicara, hanya menatap Sadewa dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Sadewa benar, tetapi hatinya masih dipenu
Ini bukan khayalan atau mimpi, Sadewa nyata ada di depan Mayzura. Lelaki yang meninggalkannya seorang diri dalam kubangan masalah tanpa meninggalkan kabar. Sesaat, tatapan Mayzura dan Sadewa saling terkunci, menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. Hanya saja, Mayzura kemudian teringat akan berbagai kepedihan yang ia lalui selama Sadewa tak ada. Alhasil, ia langsung memalingkan wajah lalu menghempaskan kasar tangan Sadewa. Tatapannya sudah cukup menjelaskan betapa Mayzura kecewa dan marah. Lelaki yang selama ini menjadi penopang hatinya justru menghilang dan meninggalkan luka. Kini, tanpa rasa bersalah Sadewa muncul begitu saja. Mayzura tiba-tiba berlari kencang melewati Asti dan Jamal yang sedang berbincang di ruang tamu. Langkahnya tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi kepanikan dan air mata yang mengalir tanpa henti. Asti dan Jamal saling berpandangan, kebingungan melihat sikap Mayzura yang emosional.“Nona, apa yang terjadi?” teriak Asti.Namun, Mayzura tidak mau berhenti. Ia terus
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y