Mendengar keputusan gila yang sudah diambil oleh Mayzura, Bryana tak habis pikir. Bukankah Mayzura sendiri yang mati-matian menentang perjodohan itu? Sampa-sampai dia memutuskan hubungan dengan Enzio, lantaran pemuda itu tak mau membawanya kabur. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba ia bersedia menjadi menantu keluarga Bramantya? Mungkinkah pikiran Mayzura sudah terganggu karena ditinggalkan oleh Sadewa? Ya, bisa jadi memang itu alasannya. Cinta memang bagaikan dua sisi mata uang yang saling berlawanan. Di satu sisi, ia bagaikan secangkir madu manis yang menyegarkan jiwa. Namun di sisi lain, ia dapat berubah menjadi racun yang mematikan. Bahkan, tak jarang cinta membuat seseorang kehilangan akal sehat hingga ingin mengakhiri hidupnya.“May, pikirkan ulang keputusanmu ini. Jangan karena marah pada Sadewa lalu kamu nekat menjerumuskan dirimu sendiri,” tegur Bryana berupaya menyadarkan Mayzura. Pasalnya, ia melihat tatapan Mayzura yang kosong seperti benda yang tak bernyawa.“Aku sudah tidak
“Tanyakan kepada dokter itu apakah Sadewa sudah sadar,” titah Abimana. Karena bahasa inggrisnya kurang bagus, terpaksa ia meminta bantuan asisten kepercayaannya sebagai penerjemah.Sang asisten pun bertanya kepada dokter yang baru saja melakukan pemeriksaan terhadap Sadewa. Mereka berbicara cukup lama dengan ekspresi yang serius. Membuat Abimana semakin was-was dengan kondisi Sadewa saat ini. Meski begitu, ia yakin bahwa kesembuhan Sadewa sudah ada di depan mata.“Apa yang dikatakan oleh dokter, Pedro?” tanya Abimana tak sabar. “Dokter bilang bahwa ini sebuah keajaiban. Sepertinya ada dorongan kuat dari alam bawah sadar Tuan Muda, yang membuat otaknya merespon dengan cepat. Bila ini berlanjut selama 24 jam ke depan, kemungkinan Tuan Muda akan sadar sepenuhnya. Dokter meminta kita mengajak bicara Tuan Muda mengenai kegiatan atau orang yang disayanginya, untuk merangsang sel-sel sarafnya agar tetap aktif,” jelas Pedro panjang lebar. “Baiklah, aku tidak akan tidur malam ini untuk menja
Belum sempat Bryana merespon, Tuan Agam sudah berjalan memasuki ruang rias. Lelaki setengah baya itu nampak takjub ketika melihat kecantikan sang putri dalam balutan gaun pengantin. Hanya saja Tuan Agam tidak menyadari bahwa Mayzura sedang menanggung kesedihan yang mendalam. “Kamu sudah siap, Sayang?” tanya Tuan Agam. Dari balik veil yang ia pakai, Mayzura mengangguk perlahan. Memang sudah waktunya ia harus pergi ke Gereja untuk melangsungkan upacara pernikahan. Meski hati kecilnya bertentangan dengan tindakannya, tetapi Mayzura tidak peduli. Yang terpenting baginya saat ini adalah melanjutkan hidup dan memenuhi kewajibannya sebagai anak tunggal Agam Nugraha. Dengan menggamit lengan sang ayah, Mayzura menuju ke mobil pengantin yang telah menantinya sejak tadi. Sang supir yang bertugas mengemudikan mobil, segera membukakan pintu untuk Mayzura sambil membungkuk hormat. Kemudian, Bryana menyusul duduk di samping Mayzura sambil merapikan gaun temannya itu.Perjalanan menuju ke lokasi p
“Gavindra, mulai hari ini dan seterusnya, kamu yang akan menjaga Mayzura. Semoga kalian berdua selalu hidup bahagia,” ucap Tuan Agam sembari menyerahkan tangan putrinya kepada Gavindra.Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Gavindra, selain seringai tipis yang hampir tak terlihat. Pria itu lantas menggenggam tangan Mayzura yang berbalut sarung tangan tipis. Begitu tangan mereka bersentuhan, Gavindra bisa merasakan dinginnya telapak tangan Mayzura.Gadis itu juga menundukkan kepalanya sejak tadi, seperti enggan untuk menatapnya. Entah karena ia takut atau merasa gugup karena akan mengucapkan janji pernikahan. Yang jelas, Gavindra merasa puas memandang kecantikan yang dimiliki oleh calon istrinya ini. Berbeda dengan Gavindra, Mayzura justru merasakan kedua kakinya begitu lemas. Entah mengapa timbul perasaan was-was yang semakin besar saat ia berdekatan dengan Gavindra. Walaupun dari luar penampilan Gavindra tampak normal sebagai mempelai pria, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mem
Mayzura terbangun dari pingsannya dan membuka mata perlahan. Ia terkejut ketika melihat dirinya berada di sebuah kamar yang terasa asing. Lebih tepatnya dia terbaring di atas ranjang berukuran king size yang entah milik siapa. Sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. Mayzura berusaha menajamkan penglihatan. Di sekeliling kamar bernuansa hitam putih ini dia hanya seorang diri, diterangi lampu tidur dari arah nakas. Namun, Mayzura bisa melihat sedikit cahaya matahari dari sela-sela tirai yang tertutup. Menandakan bahwa ini mungkin masih siang atau menjelang sore hari. Perlahan-lahan, Mayzura mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk. Hanya saja ia merasa kesulitan karena pakaian yang menempel di tubuhnya lumayan berat. Tatkala mengamati dirinya sendiri, gadis itu baru tersadar bahwa ia masih memakai gaun pengantin. Mayzura pun coba mengingat-ingat apa yang terjadi dan mengapa ia sampai pingsan. Bukankah tadi ia masih berdiri di depan altar untuk mengucapkan sumpah pernikahan? Lal
Bagaikan terbakar api, wajah Gavindra langsung merah padam. Begitu pula dengan darahnya yang serasa mengumpul di ubun-ubun. Bagaimana tidak. Mayzura telah menginjak-injak martabatnya berkali-kali. Tak hanya pingsan di upacara pernikahan mereka, istri yang baru saja dinikahinya itu juga telah menolaknya. Dan lebih gilanya lagi, Mayzura malah mengaku secara terang-terangan bahwa dia mencintai pria lain. Sungguh, kejadian ini begitu dramatis sama seperti kisah novel yang ditulis sendiri oleh Mayzura. Gavindra pun menatap nyalang pada istri kecilnya itu. Ingin rasanya ia mencekik Mayzura atau menyeretnya keluar dari kamar. Namun, melihat betapa beraninya gadis ini mengakui perasaannya, Gavindra jadi berpikir ulang. Mungkin lebih baik ia bermain-main dulu dan membuat Mayzura tersiksa secara batin maupun fisik. Dengan demikian, penghinaan yang diterimanya akan terbayar lunas. “Bagus! Kamu memang tidak boleh mencintaiku, karena bagiku kamu sama seperti wanita bayaran. Ayahmu sendiri yang
Betapa pun keras Mayzura berusaha, tetap saja ada cairan bening yang lolos dari sudut matanya. Namun Gavindra seolah tak peduli. Lelaki itu malah semakin mendekat, hingga Mayzura terpaksa menahan kaki Gavindra dengan kedua tangannya. “Saya mohon, Tuan, saya tidak bisa melakukan ini,” ulang Mayzura. Berharap Gavindra masih memiliki sedikit rasa peri kemanusiaan. “Bangun, aku paling benci wanita yang cengeng! Kamu pikir aku akan mendengarkan omong kosongmu ini? Sekarang lakukan tugasmu sebagai seorang istri!”Campuran antara gairah dan kebencian membuat kepala Gavindra seakan ingin meledak. Tentu saja dia berhak meminta haknya sebagai suami. Selama Mayzura terikat padanya, maka ia akan memanfaatkan kekuasaan ini sebaik mungkin. Merasa tak sabar lagi, Gavindra menghentakkan kakinya hingga genggaman tangan Mayzura terlepas. Hanya dengan satu tangan, lelaki itu berhasil memaksa Mayzura untuk bangun dan menyeretnya menuju ranjang. Gavindra lalu mendorong tubuh sang istri dan menghempaska
Sembari menunggu dalam ketidakpastian, Mayzura berusaha melepas gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya. Meskipun sedikit kesulitan, Mayzura berhasil meloloskan gaun itu. Kemudian, ia menyalakan kran shower hingga maksimal untuk membersihkan tubuh. Berulang kali, Mayzura membasuh wajah dan rambutnya untuk meluruhkan segala jejak kepedihan yang ada. Namun, linangan air matanya justru kembali meluncur deras, bercampur dengan aliran air hangat yang mengucur dari shower.Sembari meraba bibirnya yang kebas dan membengkak, Mayzura teringat akan ciuman pertamanya dengan Sadewa. Awalnya, ia marah besar, tetapi setelah itu ia justru terbayang-bayang akan ciuman tersebut. Bahkan, jantungnya tak henti berdebar-debar bila berdekatan dengan Sadewa.Berbeda dengan sekarang. Luka yang dibuat Gavindra memang terasa perih, tetapi jauh lebih sakit lagi luka yang tertoreh di dalam batinnya. Kini, Mayzura merasa bagaikan rumput liar yang tak berharga. Kapan pun Gavindra ingin menginjak atau mencab