Pengakuan Sadewa membuat Mayzura tertegun sejenak, tetapi kemudian gadis itu malah tertawa lepas. Dia mengira Sadewa sedang menggoda dirinya seperti yang biasa pria itu lakukan saat mereka belum akur. “Jangan bercanda, Dewa, itu tidak lucu. Bukankah di kartu identitasmu tertulis bahwa pekerjaanmu seorang security? Kenapa sekarang tiba-tiba berubah menjadi mafia? Apa kamu ingin menggantikan aku menjadi penulis novel?” tanya Mayzura.Sadewa pun memegangi kedua bahu Mayzura sembari menatap sepasang netra indah milik gadis itu.“Aku memang bekerja sebagai security, tetapi itu hanya untuk menyamarkan identitasku dari kejaran musuh. Sebenarnya aku pernah menempuh pendidikan sebagai pengacara sesuai dengan cita-cita ibuku. Aku juga hampir menikah dengan kekasihku, Winona. Tetapi, semuanya hancur begitu saja sejak ayahku kembali.”Mayzura bisa melihat luapan emosi di dalam mata Sadewa saat menceritakan kisah hidupnya. Kini, Mayzura yakin bahwa Sadewa memang sedang berkata jujur mengenai siap
Sesudah membelikan pesanan dari sang kekasih, Sadewa kembali untuk menemui Mayzura. Gadis itu nampak sedang berbalas pesan dengan seseorang. Sadewa yang merasa cemburu segera duduk di samping Mayzura. Dia melirik apa yang sedang dilakukan gadisnya itu sampai tersenyum-senyum sendiri. Bahkan Mayzura tidak menyadari bila ia sudah datang membawakan pancake dan es krim. “Ehemmm, chattingan dengan siapa, Baby Girl?” tanya Sadewa sengaja berdehem lumayan keras.Mayzura langsung menoleh ke samping dan menunjukkan sekilas layar ponselnya kepada Sadewa.“Ini Bryana, dia menanyakan kabarku dan ingin mengajakku ke salon. Tetapi aku bilang padanya bahwa aku sedang kencan bersama seorang lelaki tampan.”“Lalu, apa dia bertanya siapa pria itu?” desak Sadewa sembari menyerahkan es krim kepada Mayzura.“Tidak, aku sengaja membuatnya penasaran. Ayo, kita ke mobil, Sayang,” jawab Mayzura sengaja menggoda Sadewa. Dia merasa senang bila pria itu cemburu kepadanya.Sambil menggandeng tangan Sadewa, Mayzu
Begitu tiba di rumah, Mayzura melihat mobil ayahnya sudah terpikir di halaman rumah. Telapak tangan Mayzura mendadak jadi lembap dan berkeringat. Entah mengapa ia merasa takut sekaligus enggan untuk bertemu dengan ayah kandungnya sendiri. Padahal dulu setiap kali sang ayah pulang dari luar kota, ia selalu menyambutnya penuh suka cita. Namun sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Dia takut jika sang ayah akan menentang hubungannya dengan Sadewa dan malah mengusir kekasihnya itu dari rumah.Bahasa tubuh Mayzura yang gelisah tak luput dari perhatian Sadewa. Setelah mematikan mesin mobil, pria itu pun meraih tangan Mayzura dan mengusapnya untuk memberikan rasa hangat. Dia tahu sang gadis selalu mengalami gejala seperti ini setiap kali dilanda kecemasan. “Tenanglah, Baby Girl, semua akan baik-baik saja. Ayo, kita turun dan temui ayahmu. Jangan buat dia terlalu lama menunggu.”“Apa kita harus berpura-pura tidak memiliki hubungan apa-apa?” tanya Mayzura sekali lagi. “Iya, untuk hari ini
“Pa, tolong jangan pecat Sadewa. Aku tidak mau dijaga oleh bodyguard lain,” potong Mayzura berusaha membatalkan niat sang ayah untuk memecat Sadewa. Melihat Mayzura berusaha mempertahankan dirinya, Sadewa menggenggam tangan kekasihnya itu. Untung saja meja kerja Tuan Agam berukuran lebar, sehingga pria paruh baya itu tidak mengetahui bahwa mereka sedang berpegangan tangan. Meski begitu, Sadewa berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan Mayzura.Mendapat sinyal dari Sadewa, Mayzura menghentikan ucapannya. Hanya saja ia belum tahu apa alasan pria itu melarangnya untuk bicara. Mungkinkah Sadewa tidak khawatir lantaran mereka akan segera menikah? Ataukah kekasihnya itu sudah memiliki rencana lain yang lebih matang?“Dewa, aku tahu kamu sudah menjaga Mayzura dengan baik, tetapi aku harus mematuhi perintah Tuan Bramantya. Dia ingin Mayzura mendapatkan pengawalan khusus dari orang kepercayaannya menjelang hari pernikahan.”Sembari meremas pelan tangan Mayzura, Sadewa berusaha menampi
Selesai makan malam, Mayzura mengambil alat perekam yang tersimpan di kamarnya. Kemudian, ia membawanya ke ruang tengah, sekalian ia juga akan berlatih piano. Beberapa minggu tidak menyentuh alat musik kesukaannya itu, Mayzura merasa perlu melakukan pemanasan. Ia pun mencoba memainkan ritme yang sederhana sebelum nantinya masuk ke lagu inti. Ya, malam ini Mayzura menjatuhkan pilihan pada lagu “Spring Waltz” atau dikenal juga dengan “Mariage d'Amour”, karya Chopin. Sejak lama, ia menyukai melodinya yang sendu, sarat akan cinta, dan mampu menggetarkan jiwa. Mayzura berharap lagu ini akan menjadi musik pengantar pernikahannya nanti dengan Sadewa. Sudah terbayang betapa indahnya ketika ia mengenakan gaun pengantin berwarna putih, lalu berjalan menuju ke arah Sadewa dengan iringan musik. Sementara itu, Sadewa menuju ke kamarnya sendiri untuk berkemas. Dia menunggu hingga Tuan Agam beristirahat, baru dia akan menemui Mayzura. Beberapa menit berlalu, ponsel Sadewa akhirnya berbunyi. Pria
”Jam berapa kamu berangkat, Sayang? Apa kamu mau naik mobilku?” tanya Mayzura sambil bersandar pada bahu Sadewa. Saat ini, mereka berdua sedang duduk di taman belakang sembari menikmati semilir angin malam.“Aku akan berangkat sekitar jam lima pagi dengan taksi. Aku tidak mau kepergianku menarik perhatian kelompok The Cat,” kata Sadewa.“Kalau begitu aku akan bangun pagi-pagi untuk mengantarmu.”Sadewa pun membenamkan sebagian wajahnya ke helaian rambut Mayzura dan menghirup aroma bunga dari rambut sang kekasih.“Tidurlah, Baby Girl, kamu butuh istirahat. Jika kamu mengantarku, bisa saja Bi Darti atau Pak Benu akan melaporkannya kepada Tuan Agam. Aku tidak mau kamu mendapat masalah selama aku pergi.”Sadewa lantas meraih telapak tangan Mayzura dan mengaitkan jari jemari mereka menjadi satu. “Berjanjilah untuk tidak mencemaskan apa pun, aku pasti kembali secepatnya. Sekarang lebih baik kamu tidur, angin di sini semakin dingin.”Mayzura mendongakkan kepalanya untuk menatap paras tampan
“Jadi ini semua ulahmu? Sejak kapan kamu membuntuti aku?” hardik Sadewa. Alan hanya menggeleng pelan sembari memutar-mutar senjata di tangannya.“Kamu seharusnya memelukku, bukan marah-marah seperti ini. Bukankah sudah menjadi tugasku sebagai adik untuk mencari kakakku yang hilang?” Sadewa berdecih pelan, merasa muak dengan topeng kemunafikan yang dipakai oleh adik tirinya ini. Dia pun maju beberapa langkah hendak mendekati Alan. Namun, para preman yang berdiri di sekelilingnya langsung mengacungkan pistol secara serempak. “Alan, ternyata sifat pengecutmu belum berubah juga. Beraninya hanya main keroyokan seperti ini. Kenapa tidak sekalian kau mengajak ibumu dan berlindung di balik punggungnya?” cemooh Sadewa.Urat-urat di leher Alan tampak menonjol, sementara tangannya mengepal erat. Sungguh dia tidak terima bila harga dirinya sebagai calon penguasa Elang Barat diinjak-injak. Demi pembuktian diri, Alan pun membuang pistolnya ke tanah. Sudah saatnya dia menunjukkan kepada semua ora
Meski merasa keberatan, Mayzura terpaksa membiarkan pelayan baru itu yang mengurus keperluannya. Sementara itu, Tuan Agam justru terlihat senang karena sang putri dilayani bak seorang ratu. Keyakinannya semakin kuat bila Mayzura akan berbahagia setelah resmi menyandang status sebagai Nyonya Muda Maheswara. Mayzura pun harus membiasakan diri diantar oleh bodyguard baru tatkala ia berangkat ke kampus. Rasanya sungguh jauh berbeda saat ia masih dijaga oleh Sadewa. Betapa bodohnya dirinya dulu yang selalu mengajak Sadewa bertengkar. Padahal Sadewa adalah pria yang istimewa, tak hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari sifatnya yang penyayang dan rela berkorban. Seharusnya dia menghabiskan lebih banyak momen indah bersama sang tambatan hati. Memang begitulah sifat manusia, baru menyesal setelah semuanya terlanjur berlalu. Tak seperti saat dikawal oleh Sadewa, kali ini Mayzura berusaha patuh kepada pengawal yang ditempatkan oleh Tuan Bramantya. Semua ini dilakukannya demi meyak
Sadewa keluar dari kamar sesudah Mayzura tidur dengan nyenyak. Ia bergegas menghampiri Abimana yang sedang berada di teras markas Elang Barat. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi roda, pandangan matanya serius dan penuh pertimbangan. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung mendekati Abimana. “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang? Setelah Bramantya mengetahui putranya meninggal dalam kecelakaan, dia pasti akan balas dendam. Tidak hanya aku yang menjadi targetnya, tapi keselamatan Mayzura juga akan terancam. Mayzura sekarang sedang mengandung anakku, Paman,” tanya Sadewa. Abimana menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita harus bersiap untuk perang, Dewa. Bramantya tidak akan tinggal diam atas kematian anaknya. Dia akan menuntut balas dan kemungkinan besar akan bergabung dengan kelompok The Cat. Mereka akan bekerja sama untuk menghancurkan Elang Barat.”“Paman benar, Cakra akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kekuatan. Kita harus bersiap-siap.”Abimana berdiri, me
Mendapat penolakan dari Mayzura tidak membuat Sadewa menyerah. Menurutnya, inilah saatnya Mayzura keluar dari rumah yang mirip penjara ini. Sadewa tidak akan membiarkan wanitanya menderita lebih lama. “Sumpah setia hanya akan berlaku bila suami dan istri saling menghargai. Aku tahu Gavindra memperlakukanmu dengan buruk. Lantas apa yang kamu pertahankan dari rumah tangga yang seperti neraka?”Mata Mayzura tak sanggup menatap Sadewa. Bukan ini rencana awal Mayzura. Memang harusnya Mayzura senang kalau Sadewa membawanya keluar dari penderitaan. Namun, ada sisi dari dirinya yang tak setuju dengan keputusan Sadewa.Sadewa menatap Mayzura dengan intensitas yang membara. “Mayzura, kamu bisa menggugat cerai Gavindra. Dia telah melakukan kekerasan terhadapmu. Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk menangani perceraianmu,” ujarnya dengan suara yang penuh tekad. Mayzura tidak banyak bicara, hanya menatap Sadewa dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Sadewa benar, tetapi hatinya masih dipenu
Ini bukan khayalan atau mimpi, Sadewa nyata ada di depan Mayzura. Lelaki yang meninggalkannya seorang diri dalam kubangan masalah tanpa meninggalkan kabar. Sesaat, tatapan Mayzura dan Sadewa saling terkunci, menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. Hanya saja, Mayzura kemudian teringat akan berbagai kepedihan yang ia lalui selama Sadewa tak ada. Alhasil, ia langsung memalingkan wajah lalu menghempaskan kasar tangan Sadewa. Tatapannya sudah cukup menjelaskan betapa Mayzura kecewa dan marah. Lelaki yang selama ini menjadi penopang hatinya justru menghilang dan meninggalkan luka. Kini, tanpa rasa bersalah Sadewa muncul begitu saja. Mayzura tiba-tiba berlari kencang melewati Asti dan Jamal yang sedang berbincang di ruang tamu. Langkahnya tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi kepanikan dan air mata yang mengalir tanpa henti. Asti dan Jamal saling berpandangan, kebingungan melihat sikap Mayzura yang emosional.“Nona, apa yang terjadi?” teriak Asti.Namun, Mayzura tidak mau berhenti. Ia terus
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y