Hujan lebat yang turun di luar sana mulai reda. Suara petir tak lagi bersahut-sahutan, sehingga Mayzura lebih tenang. Gadis itu kini duduk di ranjang dengan kepala yang bersandar pada bantal. Kepalanya sudah tidak pusing, tetapi tubuhnya masih lemas sehabis bermimpi buruk tadi. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Mayzura hanya mendengarkan musik dari ponselnya. Untuk sekadar berselancar di dunia maya, ia tidak bisa karena sinyal internet sangat buruk di tempat ini. Merasa bosan, Mayzura mencuri pandang kepada Sadewa. Bodyguardnya itu sedang duduk di sofa sembari memejamkan mata. Entah pria itu tertidur atau sekadar melepas lelah setelah mengurusnya selama dua hari berturut-turut. Baru beberapa menit yang lalu mereka berbicara dari hati ke hati, tetapi sekarang situasinya justru kembali canggung. Seolah-olah ada bongkahan es yang menyumbat tenggorokan mereka. Jika dibiarkan begini terus, mungkin mereka akan saling mendiamkan sampai ayam jantan mulai berkokok. “Dewa, kalau kamu mengan
Garis-garis penuaan di wajah Tuan Bramantya kian tergurat jelas tatkala mendengar ancaman dari Gavindra. Entah terbuat dari apa hati putranya ini. Sifat kepala batu dan tak mengenal belas kasihan itu memang berasal dari dirinya. Namun, ia masih memiliki sisi lembut bila berdekatan dengan mendiang sang istri, yang tak lain adalah ibu kandung Gavindra. Berbeda dengan perasaan Gavindra yang sudah membeku, hingga tak tersentuh sedikit pun oleh cinta.“Gavin, berhentilah menyakiti wanita hanya untuk melampiaskan dendammu! Kecelakaan yang menimpamu adalah takdir. Kamu tidak bisa menyalahkan siapapun atas tragedi itu. Bukan hanya kamu yang terpukul, Daddy juga merasakan kesedihan selama bertahun-tahun,” ucap Tuan Bramantya merasakan sesak di rongga dadanya. Dalam sepersekian detik, lelaki yang selalu disegani oleh lawan-lawannya itu terlihat lemah di hadapan sang putra.Urat-urat di leher Gavindra nampak menonjol. Mendengar ungkapan hati sang ayah, Gavindra tidak bersimpati sama sekali. Just
Ibarat kata diberi hati minta jantung, itulah yang dilakukan oleh Sadewa. Tak disangka, sang bodyguard akan mengajukan dua pilihan yang sama-sama sulit. Tentu saja untuk tidur di ranjang yang sama dengan Sadewa, Mayzura merasa sangat keberatan. Namun untuk ditinggal sendirian dalam situasi minim penerangan, gadis itu juga tidak berani. Tak hanya takut pada hantu, Mayzura justru lebih cemas bila dia diculik oleh orang suruhan Bramantya Maheswara. Terakhir kali, anak buah dari pria tua itu sudah mengejarnya sampai ke klub malam. Kalau saja Sadewa tidak turun tangan, entah bagaimana nasibnya saat ini.“Nona, sebentar lagi jam dua belas malam. Kita berdua perlu istirahat, jadi tolong putuskan sekarang,” pungkas Sadewa tidak sabar. Kali ini, Sadewa tidak mengada-ada karena dia memang ingin segera membaringkan tubuh. Pasalnya, ia sudah memiliki rencana di pagi hari untuk melakukan sebuah kesepakatan penting.“Aku pikir kamu sudah berubah, ternyata sifatmu masih sama. Baiklah, aku mengizink
Untuk pertama kalinya, Mayzura kehilangan kemampuannya untuk berpikir. Entah karena pertanyaan yang diajukan Sadewa terlalu sulit atau karena hatinya yang tidak normal. Terbukti untuk bernapas pun Mayzura merasa kesulitan, seolah-olah pasokan oksigen di sekelilingnya sudah sangat menipis. “Aku butuh jawabanmu, Nona.” Suara berat Sadewa membuat seluruh saraf Mayzura menjadi aktif. Apalagi satu tangan Sadewa kini sudah bertengger di lekukan pinggang rampingnya. Dengan susah payah, Mayzura pun berjuang untuk menggerakkan lidahnya yang terasa kelu.“A-aku tidak tahu. Tetapi menurutku rasa cinta bisa datang kapan saja, tanpa memandang perbedaan. Selama belum terikat, kesempatan untuk mencintai masih ada. Itulah yang sering aku tulis di dalam kisah novel,” tutur Mayzura “Apakah kamu sering menuliskan kisah cinta yang terlarang, contohnya antara seorang bodyguard dengan nona muda?” cecar Sadewa menginginkan jawaban yang lebih detail. “Be-lum pernah,” lirih Mayzura.Sudah terlambat bagi
Tepat pukul lima pagi, Sadewa terbangun setelah mendengar suara alarm dari ponselnya. Usai mencuci muka sebentar di wastafel, pria itu meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Abimana, asisten kepercayaan mendiang ayahnya. Dari awal, Sadewa sudah curiga bila villa ini adalah milik Abimana. Pastilah laki-laki paruh baya itu yang sudah mengutus Alice untuk memberikan informasi kepada Mayzura. Meski sudah berpindah-pindah tempat, ternyata Abimana cukup jeli untuk mengendus keberadaannya. Anehnya, Abimana tak menjemputnya secara terang-terangan, tetapi malah memasang CCTV di dalam villa. Entah apa tujuan laki-laki itu, yang jelas Sadewa akan menanyainya secara langsung. Sekali menekan tombol panggil cepat, panggilan Sadewa terhubung dengan Abimana. Namun tak sampai satu menit, panggilannya langsung terhenti. Nampaknya, Abimana memasang aplikasi untuk memblokir otomatis nomer yang tak tercatat dalam daftar teleponnya. Seraya mendengus ke
Mayzura mengira jika Sadewa akan meluluskan permintaannya. Namun, ternyata pria yang bekerja sebagai bodyguard-nya itu hanya membalas dengan tatapan datar. Nampaknya Sadewa sama sekali tidak merasa bersalah atas ucapannya semalam. Mungkin memang seperti itulah sifat alami seorang laki-laki, yaitu memiliki perasaan yang tidak peka. Salahnya sendiri yang telah terbawa perasaan oleh perlakuan dan tutur kata manis dari sang bodyguard. “Mana kuncinya?” ulang Mayzura.“Aku tidak bisa memberikannya, karena aku yang akan mengantarmu ke tempat rekreasi.”Mayzura merotasikan bola matanya jengah sembari berkacak pinggang.“Tidak bisakah kamu membiarkan aku sendirian selama satu hari saja, Dewa?”“Tidak bisa. Buktinya saat aku meninggalkanmu sebentar, pasti sudah terjadi sesuatu,” tukas Sadewa dengan mantap.“Wah, apa sekarang kamu terobsesi untuk menjadi penguntitku? Atau jangan-jangan kamu adalah bagian dari penjahat di danau itu? Kamu menyamar sebagai bodyguard agar bisa mengawasiku selama 24
Seorang perempuan paruh baya dengan riasan mencolok keluar dari mobil berlambang bintang segitiga. Di bawah cahaya matahari, pantulan dari kalung dan cincin emas yang dipakainya sungguh menyilaukan mata. Dengan gayanya yang angkuh, perempuan itu menekan bel yang terletak di samping gerbang sebuah mansion. “Selamat pagi, Nyonya, ada keperluan apa Anda kemari?” tanya seorang lelaki berkulit hitam. Lengannya yang dipenuhi tato dan badannya yang kekar menunjukkan bahwa laki-laki tersebut merupakan penjaga dari mansion mewah ini. “Apa kau seorang anggota baru, kenapa tidak mengenaliku? Aku ingin menemui Tuan Cakra,” sarkas perempuan itu. “Maaf, Nyonya, untuk bisa bertemu dengan Tuan Besar, Anda harus membuat janji lebih dulu,” jawab lelaki itu. “Kau terlalu banyak bicara! Minggir, aku tidak ada urusan denganmu!” Melihat si perempuan sombong hendak menerobos masuk, penjaga gerbang itu langsung pasang badan untuk menghadangnya. “Anda tidak boleh masuk sembarangan ke dalam, Nyonya. Ji
“Tuan, Nona Mayzura baru saja sembuh dari sakit. Kesehatan fisik dan mentalnya lebih cepat pulih jika berada dekat dengan alam. Saya rasa lebih baik Nona Mayzura menenangkan diri satu hari lagi di villa,” jelas Sadewa. Bagaimanapun Sadewa tidak ingin semangat hidup Mayzura yang mulai bangkit, mendadak padam karena sikap diktator sang ayah.“Mayzura sakit apa?” tanya Tuan Agam terkejut.“Nona mengalami demam, Tuan. Selera makannya menurun drastis, dan dia sempat berpikir untuk…mengakhiri hidupnya. Saya sangat khawatir dengan kondisi Nona Mayzura,” kata Sadewa. Dia sengaja berkata demikian agar Tuan Agam berhenti memaksakan kehendaknya kepada sang putri.“Kenapa kamu tidak menghubungiku, Dewa? Kalau terjadi apa-apa terhadap putriku, kamu yang harus bertanggung jawab!” sentak Tuan Agam menyalahkan Sadewa.“Saya tidak menelepon Anda karena masih bisa mengatasinya sendiri. Hanya saja, saya mohon kepada Anda supaya tidak terlalu keras kepada Nona Mayzura.”Untuk beberapa saat, Tuan Agam tid
Sadewa keluar dari kamar sesudah Mayzura tidur dengan nyenyak. Ia bergegas menghampiri Abimana yang sedang berada di teras markas Elang Barat. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi roda, pandangan matanya serius dan penuh pertimbangan. Tanpa basa-basi, Sadewa langsung mendekati Abimana. “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang? Setelah Bramantya mengetahui putranya meninggal dalam kecelakaan, dia pasti akan balas dendam. Tidak hanya aku yang menjadi targetnya, tapi keselamatan Mayzura juga akan terancam. Mayzura sekarang sedang mengandung anakku, Paman,” tanya Sadewa. Abimana menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kita harus bersiap untuk perang, Dewa. Bramantya tidak akan tinggal diam atas kematian anaknya. Dia akan menuntut balas dan kemungkinan besar akan bergabung dengan kelompok The Cat. Mereka akan bekerja sama untuk menghancurkan Elang Barat.”“Paman benar, Cakra akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kekuatan. Kita harus bersiap-siap.”Abimana berdiri, me
Mendapat penolakan dari Mayzura tidak membuat Sadewa menyerah. Menurutnya, inilah saatnya Mayzura keluar dari rumah yang mirip penjara ini. Sadewa tidak akan membiarkan wanitanya menderita lebih lama. “Sumpah setia hanya akan berlaku bila suami dan istri saling menghargai. Aku tahu Gavindra memperlakukanmu dengan buruk. Lantas apa yang kamu pertahankan dari rumah tangga yang seperti neraka?”Mata Mayzura tak sanggup menatap Sadewa. Bukan ini rencana awal Mayzura. Memang harusnya Mayzura senang kalau Sadewa membawanya keluar dari penderitaan. Namun, ada sisi dari dirinya yang tak setuju dengan keputusan Sadewa.Sadewa menatap Mayzura dengan intensitas yang membara. “Mayzura, kamu bisa menggugat cerai Gavindra. Dia telah melakukan kekerasan terhadapmu. Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk menangani perceraianmu,” ujarnya dengan suara yang penuh tekad. Mayzura tidak banyak bicara, hanya menatap Sadewa dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Sadewa benar, tetapi hatinya masih dipenu
Ini bukan khayalan atau mimpi, Sadewa nyata ada di depan Mayzura. Lelaki yang meninggalkannya seorang diri dalam kubangan masalah tanpa meninggalkan kabar. Sesaat, tatapan Mayzura dan Sadewa saling terkunci, menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. Hanya saja, Mayzura kemudian teringat akan berbagai kepedihan yang ia lalui selama Sadewa tak ada. Alhasil, ia langsung memalingkan wajah lalu menghempaskan kasar tangan Sadewa. Tatapannya sudah cukup menjelaskan betapa Mayzura kecewa dan marah. Lelaki yang selama ini menjadi penopang hatinya justru menghilang dan meninggalkan luka. Kini, tanpa rasa bersalah Sadewa muncul begitu saja. Mayzura tiba-tiba berlari kencang melewati Asti dan Jamal yang sedang berbincang di ruang tamu. Langkahnya tergesa-gesa, wajahnya dipenuhi kepanikan dan air mata yang mengalir tanpa henti. Asti dan Jamal saling berpandangan, kebingungan melihat sikap Mayzura yang emosional.“Nona, apa yang terjadi?” teriak Asti.Namun, Mayzura tidak mau berhenti. Ia terus
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
“Bukankah kamu adalah istri Kak Gavindra, bukan pelayan? Lalu kenapa kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini,” sindir Soraya pada Mayzura yang duduk di lantai dengan mata berembun.“Saya—““Dia di sini untuk menjadi pelayan, Aya. Wanita seperti dia tidak pantas menjadi istriku!” tegas Gavindra yang entah sejak kapan berdiri di pintu. Mungkin karena mengetahui kedatangan adiknya, lelaki itu kembali ke kamar.“Jadi Mayzura akan menjadi pelayan di rumah ini?” beo Soraya. Tatapan remeh serta senyum miring tercetak di bibir perempuan itu. “Apa Mayzura melakukan kesalahan padamu, Kak?” lanjut Soraya.“Dia sudah berani membangkang terhadap perintahku. Sekarang, biar dia menanggung konsekuensinya,” ketus Gavindra.“Baiklah, aku mendukung apa pun keputusanmu, Kak. Kita memang tidak perlu baik kepada gadis seperti dia.”Mendengar percakapan kakak beradik itu, Mayzura berdiri dengan lutut yang gemetaran. Dia menatap sekilas wajah Gavindra dan Soraya bergantian, lalu menundukkan kepala. Tak ad
Berulang kali di dalam hati, Mayzura menahan rasa takut. Pertanyaan menghantuinya saat Gavindra terus menarik tangannya tanpa ada bicara sedikit pun. Padahal, Gavindra tadi mengusirnya supaya bisa bersenang-senang dengan wanita bayaran. "Tuan, apa yang terjadi? Kenapa—""Ikut saja, jangan banyak bicara!" sentak Gavindra. Mulut Mayzura langsung terkatup rapat serta matanya berpaling takut. Ternyata, Gavindra membawa Mayzura masuk ke dalam kamarnya dan pintu langsung tertutup rapat. Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang, dengan Mayzura yang merasa terperangkap di dalamnya. Dia menatap ke arah Gavindra, yang sudah duduk di atas kasur dengan senyum miring di wajahnya. Senyum itu terasa mengancam, membuat bulu kuduk Mayzura merinding."Tuan?" lirih Mayzura."Malam ini belum berakhir, Mayzura. Jangan kamu pikir, aku sudah melepaskanmu.”Mendengar penuturan pelan dan penuh penekanan dari Gavindra menambah rasa gentar dalam diri Mayzura. Ia merasa seperti dihadapkan pada predator y