Felicia buru-buru melepaskan jabat tangannya dengan Theo. Sepertinya dia sudah tidak waras, bisa-bisanya dia malah terpikirkan hal mesum!
“Anak magang dibimbing sama asisten manajer Felicia ya. Kalau ada pertanyaan bisa ke dia,” kata sang manajer.
Sontak, Felicia melotot. Dia harus membimbing anak magang yang di dalamnya ada Theo? Tidak!
“Tapi, Pak—”
Felicia langsung menghentikan ucapannya saat melihat atasannya, menatapnya sambil tersenyum. Felicia paham maksud tatapan dan senyum manajernya itu, tandanya beliau tidak mau ditolak.
Pasrah, akhirnya Felicia diam dan menerima. “Baik, Pak.”
Felicia menghela napas ketika atasannya itu keluar dari ruangan. Ia memang sudah pernah mendengar soal anak magang ini, tapi tidak pernah tahu kapan mereka datang. Apalagi soal Felicia yang menjadi penanggungjawabnya.
“Kalian, ikut saya,” perintah Felicia setelahnya kepada anak magang.
Felicia mengajak mereka memutari ruangan sambil menjelaskan beberapa hal, termasuk aturan dan apa saja yang harus dikerjakan. Sebisa mungkin Felicia bicara tanpa menatap mata Theo yang sejak tadi tak berhenti menatapnya.
‘Duh, kenapa dia harus masuk divisi ini sih?!’ batin Felicia menggerutu.
Felicia berdehem sejenak, lalu mengakhiri penjelasannya. Dia tidak langsung kembali ke mejanya, melainkan berjalan cepat ke arah toilet. Dia butuh menenangkan diri sejenak.
Belum sampai di toilet, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Felicia dan membuat langkahnya terhenti.
“Bu Felicia!”
Felicia tahu suara siapa itu. Dia memutar tubuh perlahan dan berusaha untuk tidak gugup saat melihat sosok Theo menghampirinya. Duh, bocah ini mau apa?
Theo tersenyum manis kepada Felicia, yang justru membuat Felicia ketar-ketir dan menelan ludahnya dengan susah payah. “Kita ketemu lagi, Bu. Ini takdir ‘kan? Jangan-jangan kita berjodoh.”
Felicia tak menggubris. “Ada apa kamu memanggil saya?”
Theo masih tetap tersenyum. “Tolong jangan blokir nomor saya. Nanti gimana saya mau berkomunikasi terkait pekerjaan?”
Ah, benar juga. Dengan memasang wajah sok tenang, Felicia membuka ponsel, lalu membatalkan blokirannya pada nomor Theo. Sebisa mungkin dia tidak menunjukkan kegugupannya saat ini.
“Sudah,” ucap Felicia, berusaha tenang. “Itu saja? Saya pergi.”
“Eh, sebentar, Bu.” Theo kembali berhadapan dengan Felicia. “Soal kejadian malam itu—”
“Tolong lupakan,” sela Felicia. “Malam itu kesalahan. Anggap nggak pernah terjadi.”
“A-apa?!”
“Y-ya pokoknya seperti itu. Malam itu….”
Sialnya, di saat seperti ini, mata Felicia malah tidak dapat dikondisikan. Suaranya menghilang perlahan ketika melihat kemeja pas badan yang Theo kenakan. Otot Theo tampak tercetak dari balik kemeja itu.
Padahal Theo masih muda, tetapi tubuhnya sungguh menggiurkan menurut Felicia. Sama seperti foto Theo di aplikasi kencan yang dia lihat dan membuatnya tertarik.
Bukannya sadar, tatapan Felicia malah berlanjut turun ke celana Theo. Di sana ada sesuatu yang menonjol, benda yang membuat Felicia meneguk ludahnya seketika.
“Bu Feli….” suara rendah yang terdengar hampir berbisik itu, menyapa lembut telinga Felicia.
Wanita itu menegang, dan baru sadar kalau Theo sudah berdiri sangat dekat dengannya. Felicia bahkan bisa mencium aroma Siberian Pine yang khas dari tubuh pria itu.
“Bu Feli yakin bisa lupain malam itu? Bukannya Bu Feli yang mengajak saya?” lanjut Theo, terselip nada jahil di sana.
Felicia refleks menjauh. Sikap Theo ini berbeda dari malam itu, dan saat perkenalan tadi. Felicia merinding sesaat mendengar suara Theo.
“Apa-apaan kamu! Ini di tempat kerja!” seru Felicia.
Theo nyaris cemberut seperti bocah. Setelah tersenyum seperti anak anjing, menggodanya seperti pria dewasa, sekarang Theo mengeluarkan ekspresi menggemaskan.
Ah, sial! Felicia hampir saja goyah.
“Jadi… Bu Feli nggak mau tanggung jawab sama saya?” tanya Theo dengan mata mengerjap. “Padahal malam itu saya masih perjaka. Saya jadi merasa kayak gigolo yang langsung ditinggal setelah dipakai, malah lebih parah karena saya nggak diba—”
“EH!” Mendengar ucapan Theo, Felicia jadi panik dan langsung membekap mulut Theo. Matanya menatap sekeliling.
Aman, tidak ada karyawan lain yang lewat. Bisa gawat kalau ada yang dengar.
“Apa saya harus tanggung jawab sama penipu?” tanya Felicia sambil menatap tajam, sekarang gilirannya yang kesal.
Theo mengernyit bingung. “Maksudnya?”
“Kamu yang nipu saya, Dek!” bisik Felicia dengan raut kesal. “Kamu ngasih keterangan umur 27, manajer pemasaran di perusahaan terkenal, dan berfoto kayak bukan masih anak kuliah. Jadi, di sini, kamu juga salah karena nipu saya!”
Theo mengernyitkan dahi, tampak bingung dengan ucapan Felicia. “Hah? Saya bikin keterangan begitu?”
“Nggak usah pura-pura nggak tahu!”
“Saya betulan nggak tahu!”
Felicia mendengkus. Dia jadi makin kesal karena merasa Theo membohonginya sampai akhir. Dia pun mendorong dada Theo, lalu memilih untuk pergi dan masuk ke dalam toilet.
Felicia memijat keningnya, kepalanya berdenyut. Dia merasa stres setelah kedatangan Theo di tempat kerjanya, bahkan di akhir pekan seperti ini juga dia masih pusing.Bagaimana tidak? Theo terus mengganggu Felicia, baik itu di tempat kerja maupun saat Felicia sudah tiba di rumah. Saat di tempat kerja, Theo sering mengikuti Felicia seperti anak ayam yang mengekori induknya. Sedangkan saat di rumah, Felicia sering mendapatkan chat dan telepon tidak penting dari Theo. Ini karena Felicia sudah membuka blokiran nomor Theo.“Makanya cari pacar biar nggak pusing lagi. Seenggaknya pacar bisa menghiburmu,” ucap Fani, teman Felicia.Saat ini Felicia sedang berada di café milik suami Fani, tempat biasanya Felicia nongkrong dan bertemu dengan teman-temannya.“Pacar….” gumam Felicia. Dia hendak kembali bicara, tetapi terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah belakang.“Hai, Bu Feli,” suara berat itu seketika membuat Felicia menegang di tempatnya. “Atau seharusnya saya pan
“Serius, Pak?!” pekik Diana dengan mata melotot.Tak hanya Diana yang kaget, Felicia dan yang lainnya juga.Sang manajer kembali berbisik-bisik, “Iya, tapi saya nggak tahu anaknya yang mana. Makanya kalian perlakukan para anak magang dengan baik, jangan macam-macam. Dan saya perlu kasih kesan baik, jadi kita adakan makan malam buat menyambut mereka.”Felicia dan rekan-rekan kerjanya mengangguk paham masih dengan raut kaget. Benarkah ada anaknya sang pemilik perusahaan? Felicia jadi penasaran.Mereka mulai menduga-duga siapa anak magang yang dimaksud sang manajer. Apakah pria atau wanita? Siapa namanya? Dan dugaan lainnya.“Kalau menurutku, anaknya Pak Martin cewek yang itu.” Salah satu karyawan menunjuk seorang perempuan di antara anak magang.Perempuan yang dimaksud bernama Sophia. Ia memang tampak paling mencolok di antara anak magang yang lain. Ia juga yang terlihat paling supel di hari pertama, bahkan memberikan kukis kepada para senior di hari kedua. Belum lagi barang-barang yan
“Theo! Lepas! Nanti dilihat orang lain!”Felicia berseru sambil berusaha melepaskan tangan Theo yang membelit pinggangnya. Namun, sialnya, pelukan Theo amat kuat. Astaga!“Felicia… temani aku. Jangan pergi, please…” mohon Theo, bahkan pria itu mulai menggesekkan kepalanya di perut Felicia, persis seperti anak kucing.Felicia menganga saat melihat Theo mengerjapkan mata dengan tampang sok imut, setelahnya pria itu mengerucutkan bibirnya. Pria ini sedang apa sih? Ia akui Theo memang menggemaskan, tetapi hanya sesaat!“Saya nggak bisa melupakan kejadian waktu di hotel, nggak bisa!”Wajah Felicia rasanya baru dilempar bara api, panas sekali. Mendadak tubuhnya kaku, bahkan untuk mendorong Theo kembali saja tidak mampu.“Saya ingat terus ‘rasa’ Felicia gimana—hmp!”Khawatir ada orang lain yang mendengar racauan gila Theo, Felicia bergegas membungkam mulut Theo dengan tangannya. Jangan sampai Theo mengoceh sesuatu yang berbahaya!“Ssttt! Diam, Theo!” desis Felicia tajam.Theo mengangguk patu
“Lepas, The! Saya harus pergi!”Sayangnya, Theo tak menggubris. Ia memejamkan mata dan memeluk Felicia sambil mencari posisi yang nyaman. Sedangkan Felicia kesulitan ketika mencoba melepaskan tangan Theo yang membelit tubuhnya.Felicia menghela napas pada akhirnya, berniat membiarkan Theo seperti ini hanya sekitar sepuluh menit. Namun, ia yang lelah malah berakhir terpejam.Mereka sama-sama ketiduran.Itu adalah malam yang melelahkan, tapi anehnya Felicia bisa tidur dengan nyenyak. Kasur yang ia tempati terasa sangat hangat dan nyaman. Bahkan selimutnya bisa membelai pipinya dengan lembut.Tunggu!M-membelainya?Felicia membuka matanya lebar-lebar. Wajah Theo yang sedang mengerjapkan mata, lalu tersenyum hangat menjadi pemandangan pertama.Namun, bukan itu masalahnya. ‘Sejak kapan aku berada di pelukan pria ini?!’“AAAA!” Felicia refleks mendorong tubuh Theo. “Apa yang kamu—”Seketika, ia teringat dengan kejadian tadi malam. Astaga, bisa-bisanya ia berakhir ketiduran di kasur Theo!F
Entah mengapa Felicia merasa lemah setiap kali mendengar permohonan Theo, seperti malam tadi saat Theo memeluknya. Pagi ini pun ia membiarkan Theo memeluknya seperti ini selama beberapa saat.Felicia hanya diam, tak bicara dan tak juga membalas pelukan Theo. Namun, ia merasa waswas karena ini di tempat umum, bagaimana kalau ada karyawan lain yang melihat? Mata Felicia pun terus bergerak ke sana kemari mengawasi sekeliling.“Theo, sudah atau belum?” tanya Felicia.“Belum,” jawab Theo.Theo masih memeluk Felicia dari belakang, dan kini malah mengeratkan pelukannya sambil menumpukan dagunya di puncak kepala Felicia lantas mengendus bau harum rambut Felicia.“Tadi katanya cuma sebentar.” Felicia sedikit menoleh ke belakang.“Satu menit lagi,” tawar Theo, kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Felicia.Felicia menghela napas. Sekali lagi, ia begitu lemah dengan suara lembut pria ini. 'Baiklah, hanya satu menit lag.'Eratnya pelukan Theo membuat Felicia dapat merasakan otot tubuh T
Pria itu memang terlihat sangat menawan. Tubuhnya terlihat kokoh dan tinggi, seperti aktor-aktor Amerika yang sering Felicia tonton. Walaupun terdapat kumis tipis, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Malah membuat aura wibawa itu semakin kuat.Kalau dibandingkan Theo... mungkin berbeda.Marcell memiliki tatapan mata yang kuat dan tajam, seperti predator yang siap memangsa Felicia. Senyumnya terasa penuh kemisteriusan, berbeda dengan Theo yang seperti anak anjing. Namun biar begitu, Felicia tidak merasa nyaman.Untungnya perkenalan berlangsung singkat, jadi Felicia bisa kembali ke tempatnya dan mulai fokus pada pekerjaannya.Sekitar satu jam kemudian, Felicia beristirahat sejenak dan hendak mengambil minum. Ketika ia tanpa sengaja menoleh ke arah Marcell, rupanya pria itu sedang memandangnya. Astaga, jangan bilang Marcell masih memperhatikannya sejak tadi?Felicia membatin, ‘Apa mungkin dia tertarik sama aku?’Karena sedang diperhatikan, Felicia pun batal mengambil minum. Ia duduk
Felicia melirik ke arah Marcell, lagi-lagi Marcell tak terlihat kaget. Sepertinya di sini hanya ia yang kaget. Apa mungkin Marcell sudah tahu, karena itulah Marcell terus menatapnya di tempat kerja?“Marcell nih sesuai kriteria kamu loh,” kata mama Felicia, senyum-senyum sendiri sambil menatap Marcell. “Ganteng, mapan, dan lebih tua dari kamu.”“Haha, iya, Jeng. Marcell baru genap tiga puluh tahun kok, jadi belum tua-tua banget. Cocok lah sama Feli,” sahut mama Marcell.“Betul.”Kedua ibu-ibu itu malah asyik sendiri.Yang dikatakan mamanya memang benar, Felicia mengakui itu. Dari segi kriteria, Marcell masuk ke dalam tipe calon suami idalamnya. Mapan, tampan, dan lebih tua darinya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Marcell, dan entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.“Kapan tanggal pernikahan yang cocok buat kalian ya?”Felicia melotot dan nyaris menyemburkan
“Jadi, Bu Feli mau pilih yang mana?” tanya Theo.“Uhm …”Felicia kembali menatap Theo dan Marcell yang tampak menanti jawabannya. Duh, ia bingung.Untungnya Diana dan karyawan lain datang. Marcell dan Theo pun beranjak dari tempat duduk.“Wah, ada sushi sama bento. Kamu beli, Fel?” tanya Diana.“Dikasih. Bantu aku habiskan ini, yuk,” ajak Felicia.“Siapa yang ngasih itu?” Diana terdiam sejenak, tadi sempat memergoki Marcell dan Theo di dekat Felicia. “Jangan bilang … Pak Marcell sama Theo?”“E-enggaklah! Bukan mereka!” sangkal Felicia. “Ini adikku yang ngasih, tadi dia datang ke sini.”“Hm … masa sih?” Diana tak percaya begitu saja. Ia tahu William, tak mungkin datang ke sini hanya untuk memberikan makan siang.Diana hendak kembali melontarkan pertanyaan, tapi mulutnya sudah lebih dulu dimasuki