Felicia memijat keningnya, kepalanya berdenyut. Dia merasa stres setelah kedatangan Theo di tempat kerjanya, bahkan di akhir pekan seperti ini juga dia masih pusing.
Bagaimana tidak? Theo terus mengganggu Felicia, baik itu di tempat kerja maupun saat Felicia sudah tiba di rumah. Saat di tempat kerja, Theo sering mengikuti Felicia seperti anak ayam yang mengekori induknya.
Sedangkan saat di rumah, Felicia sering mendapatkan chat dan telepon tidak penting dari Theo. Ini karena Felicia sudah membuka blokiran nomor Theo.
“Makanya cari pacar biar nggak pusing lagi. Seenggaknya pacar bisa menghiburmu,” ucap Fani, teman Felicia.
Saat ini Felicia sedang berada di café milik suami Fani, tempat biasanya Felicia nongkrong dan bertemu dengan teman-temannya.
“Pacar….” gumam Felicia.
Dia hendak kembali bicara, tetapi terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah belakang.
“Hai, Bu Feli,” suara berat itu seketika membuat Felicia menegang di tempatnya. “Atau seharusnya saya panggil Kak Feli kalau ketemu di luar?”
Felicia menoleh dengan kaku. Ketakutannya menjadi nyata. “E-eh, halo Theo.”
Felicia mendadak panik. Gawat! Dia malah bertemu Theo di sini.
“Itu siapa, Fel?” tanya Fani, berbisik sambil menatap Theo.
Theo tersenyum kepada Fani. “Saya cowok yang pernah tid—”
Felicia terbeliak dan bergegas menutup mulut Theo dengan tangannya. Dia menatap tajam Theo.
Jangan sampai Theo menyebarkan kepada orang-orang kalau mereka pernah tidur bersama.
“Ini anak magang.” Felicia menyengir ke arah Fani. “Aku mau ngomong sama dia sebentar.”
Tanpa menunggu respons temannya, Felicia bergegas menarik Theo pergi menjauh dari sana masih dengan raut paniknya. Bukannya marah karena ditarik tanpa persetujuan, Felicia melirik sejenak ke arah Theo yang malah senyum-senyum sendiri.
Pria itu menatap tangannya yang dipegang oleh Felicia. Pada saat itulah Felicia sadar apa yang ia lakukan.
“Sorry,” ucap Felicia sambil melepaskan tangannya, membuat Theo cemberut sesaat.
Tidak peduli ekspresi pria itu, Felicia mulai menatap Theo dengan raut serius. Mereka sudah ada di bagian samping kafe yang sepi pengunjung. Jadi, Felicia bisa berbicara lebih leluasa.
“Aku minta maaf atas kejadian malam itu. Tapi, kamu juga perlu minta maaf karena menipuku!” ucap Felicia sambil melipat tangannya di dada.
Pandangan Theo terfokus ke wajah Felicia. “Saya minta maaf. Tapi, saya nggak bermaksud menipu. Itu ulah teman saya.”
Felicia mengerjap bingung. “Ya?”
Theo pun menjelaskan kepada Felicia kejadian yang sebenarnya. Berawal dari ulah temannya yang membuatkan akun di aplikasi kencan, dia sendiri tidak paham soal itu. Dan ternyata temannya juga memasukkan identitas palsu mengenai umur dan pekerjaannya.
“Saya benar-benar nggak tahu, baru tahu hari ini,” ucap Theo. “Maaf, saya juga merasa ditipu.”
Felicia melongo. Astaga, ternyata begitu. Jadi, keduanya adalah korban anak-anak jahil soal aplikasi kencan.
Menyebalkan! Di saat orang lain serius mencari pasangan, mereka malah menjadikannya bahan candaan.
Namun, mau bagaimanapun, yang jelas dia sudah ditipu oleh anak kuliah.
“Tapi, Bu Feli tahu dari mana kalau saya masih kuliah?” tanya Theo.
Felicia gelagapan. Duh, haruskah dia berkata jujur kalau pernah membuka dompet Theo?
Felicia berdeham, untuk menutupi alibinya. “Saya nggak sengaja lihat KTP kamu waktu kita di hotel,” ucap Felicia.
Felicia berharap Theo tak bertanya lebih lanjut. Dan, untungnya tidak. Pria itu malah berucap, “Kalau Bu Feli nyuruh saya melupakan malam itu, maaf saya nggak bisa.”
Felicia tertegun mendengarnya.
“Itu pengalaman pertama saya, dan saya… puas waktu itu,” suara Theo terdengar kecil di akhir. Pria itu juga memalingkan wajahnya tiba-tiba.
Apa itu?!
Kenapa telinga pria itu memerah?!
“J-Jadi!” Theo berkata lantang kemudian, membuat Felicia tersentak kaget. “J-jadi jangan suruh saya menjauh, apalagi melupakan itu!”
Felicia meneguk ludahnya, lalu berkata dengan nada lebih tenang dari sebelumnya. “Tapi tetap aja, Theo. Ini salah. Aku salah udah mengambil keperjakaan kamu, meskipun kita sama-sama mau. Apalagi sekarang statusnya, kamu anak magang di kantor, kita harus profesional. Melupakan kejadian waktu itu pilihan terbaik.”
Setelah bicara panjang, Felicia pergi dari hadapan Theo. Meninggalkan Theo yang menatap Felicia dengan sorot kecewa.
*
Sejak ada Theo di tempat kerja, Felicia jadi selalu ingin pulang cepat. Sayangnya, hari ini sang manajer tiba-tiba mengajak para karyawan untuk makan malam bersama dalam rangka menyambut anak magang.
Sungguh mengherankan menurut Felicia. Selain karena manajernya itu terkenal pelit, dari dulu tidak pernah ada sejarah anak magang sampai dibuatkan acara penyambutan dan ditraktir makan malam.
“Kenapa sampai ada acara makan bersama, Pak?” tanya Diana yang sudah kepo ketika sudah duduk di sebelah manajer.
Mereka menyewa satu ruangan VIP di sebuah restoran Chinese Food. Meskipun begitu, meja untuk senior dan anak magang terpisah. Felicia sedikit beruntung soal itu.
Felicia pun diam sambil menyimak. Apalagi ketika sang manajer memasang tampang serius, kemudian menyuruh para bawahannya berkumpul dan mendekat.
Manajer itu hendak membisikkan sesuatu yang penting. Ya, sang manajer juga suka bergosip, padahal sudah tidak muda lagi.
“Ini rahasia. Jadi, sebenarnya di antara anak magang, ada anaknya pemilik perusahaan ini. Anaknya Pak Bos kita!” bisik manajer itu.
“Serius, Pak?!” pekik Diana dengan mata melotot.Tak hanya Diana yang kaget, Felicia dan yang lainnya juga.Sang manajer kembali berbisik-bisik, “Iya, tapi saya nggak tahu anaknya yang mana. Makanya kalian perlakukan para anak magang dengan baik, jangan macam-macam. Dan saya perlu kasih kesan baik, jadi kita adakan makan malam buat menyambut mereka.”Felicia dan rekan-rekan kerjanya mengangguk paham masih dengan raut kaget. Benarkah ada anaknya sang pemilik perusahaan? Felicia jadi penasaran.Mereka mulai menduga-duga siapa anak magang yang dimaksud sang manajer. Apakah pria atau wanita? Siapa namanya? Dan dugaan lainnya.“Kalau menurutku, anaknya Pak Martin cewek yang itu.” Salah satu karyawan menunjuk seorang perempuan di antara anak magang.Perempuan yang dimaksud bernama Sophia. Ia memang tampak paling mencolok di antara anak magang yang lain. Ia juga yang terlihat paling supel di hari pertama, bahkan memberikan kukis kepada para senior di hari kedua. Belum lagi barang-barang yan
“Theo! Lepas! Nanti dilihat orang lain!”Felicia berseru sambil berusaha melepaskan tangan Theo yang membelit pinggangnya. Namun, sialnya, pelukan Theo amat kuat. Astaga!“Felicia… temani aku. Jangan pergi, please…” mohon Theo, bahkan pria itu mulai menggesekkan kepalanya di perut Felicia, persis seperti anak kucing.Felicia menganga saat melihat Theo mengerjapkan mata dengan tampang sok imut, setelahnya pria itu mengerucutkan bibirnya. Pria ini sedang apa sih? Ia akui Theo memang menggemaskan, tetapi hanya sesaat!“Saya nggak bisa melupakan kejadian waktu di hotel, nggak bisa!”Wajah Felicia rasanya baru dilempar bara api, panas sekali. Mendadak tubuhnya kaku, bahkan untuk mendorong Theo kembali saja tidak mampu.“Saya ingat terus ‘rasa’ Felicia gimana—hmp!”Khawatir ada orang lain yang mendengar racauan gila Theo, Felicia bergegas membungkam mulut Theo dengan tangannya. Jangan sampai Theo mengoceh sesuatu yang berbahaya!“Ssttt! Diam, Theo!” desis Felicia tajam.Theo mengangguk patu
“Lepas, The! Saya harus pergi!”Sayangnya, Theo tak menggubris. Ia memejamkan mata dan memeluk Felicia sambil mencari posisi yang nyaman. Sedangkan Felicia kesulitan ketika mencoba melepaskan tangan Theo yang membelit tubuhnya.Felicia menghela napas pada akhirnya, berniat membiarkan Theo seperti ini hanya sekitar sepuluh menit. Namun, ia yang lelah malah berakhir terpejam.Mereka sama-sama ketiduran.Itu adalah malam yang melelahkan, tapi anehnya Felicia bisa tidur dengan nyenyak. Kasur yang ia tempati terasa sangat hangat dan nyaman. Bahkan selimutnya bisa membelai pipinya dengan lembut.Tunggu!M-membelainya?Felicia membuka matanya lebar-lebar. Wajah Theo yang sedang mengerjapkan mata, lalu tersenyum hangat menjadi pemandangan pertama.Namun, bukan itu masalahnya. ‘Sejak kapan aku berada di pelukan pria ini?!’“AAAA!” Felicia refleks mendorong tubuh Theo. “Apa yang kamu—”Seketika, ia teringat dengan kejadian tadi malam. Astaga, bisa-bisanya ia berakhir ketiduran di kasur Theo!F
Entah mengapa Felicia merasa lemah setiap kali mendengar permohonan Theo, seperti malam tadi saat Theo memeluknya. Pagi ini pun ia membiarkan Theo memeluknya seperti ini selama beberapa saat.Felicia hanya diam, tak bicara dan tak juga membalas pelukan Theo. Namun, ia merasa waswas karena ini di tempat umum, bagaimana kalau ada karyawan lain yang melihat? Mata Felicia pun terus bergerak ke sana kemari mengawasi sekeliling.“Theo, sudah atau belum?” tanya Felicia.“Belum,” jawab Theo.Theo masih memeluk Felicia dari belakang, dan kini malah mengeratkan pelukannya sambil menumpukan dagunya di puncak kepala Felicia lantas mengendus bau harum rambut Felicia.“Tadi katanya cuma sebentar.” Felicia sedikit menoleh ke belakang.“Satu menit lagi,” tawar Theo, kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Felicia.Felicia menghela napas. Sekali lagi, ia begitu lemah dengan suara lembut pria ini. 'Baiklah, hanya satu menit lag.'Eratnya pelukan Theo membuat Felicia dapat merasakan otot tubuh T
Pria itu memang terlihat sangat menawan. Tubuhnya terlihat kokoh dan tinggi, seperti aktor-aktor Amerika yang sering Felicia tonton. Walaupun terdapat kumis tipis, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Malah membuat aura wibawa itu semakin kuat.Kalau dibandingkan Theo... mungkin berbeda.Marcell memiliki tatapan mata yang kuat dan tajam, seperti predator yang siap memangsa Felicia. Senyumnya terasa penuh kemisteriusan, berbeda dengan Theo yang seperti anak anjing. Namun biar begitu, Felicia tidak merasa nyaman.Untungnya perkenalan berlangsung singkat, jadi Felicia bisa kembali ke tempatnya dan mulai fokus pada pekerjaannya.Sekitar satu jam kemudian, Felicia beristirahat sejenak dan hendak mengambil minum. Ketika ia tanpa sengaja menoleh ke arah Marcell, rupanya pria itu sedang memandangnya. Astaga, jangan bilang Marcell masih memperhatikannya sejak tadi?Felicia membatin, ‘Apa mungkin dia tertarik sama aku?’Karena sedang diperhatikan, Felicia pun batal mengambil minum. Ia duduk
Felicia melirik ke arah Marcell, lagi-lagi Marcell tak terlihat kaget. Sepertinya di sini hanya ia yang kaget. Apa mungkin Marcell sudah tahu, karena itulah Marcell terus menatapnya di tempat kerja?“Marcell nih sesuai kriteria kamu loh,” kata mama Felicia, senyum-senyum sendiri sambil menatap Marcell. “Ganteng, mapan, dan lebih tua dari kamu.”“Haha, iya, Jeng. Marcell baru genap tiga puluh tahun kok, jadi belum tua-tua banget. Cocok lah sama Feli,” sahut mama Marcell.“Betul.”Kedua ibu-ibu itu malah asyik sendiri.Yang dikatakan mamanya memang benar, Felicia mengakui itu. Dari segi kriteria, Marcell masuk ke dalam tipe calon suami idalamnya. Mapan, tampan, dan lebih tua darinya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Marcell, dan entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.“Kapan tanggal pernikahan yang cocok buat kalian ya?”Felicia melotot dan nyaris menyemburkan
“Jadi, Bu Feli mau pilih yang mana?” tanya Theo.“Uhm …”Felicia kembali menatap Theo dan Marcell yang tampak menanti jawabannya. Duh, ia bingung.Untungnya Diana dan karyawan lain datang. Marcell dan Theo pun beranjak dari tempat duduk.“Wah, ada sushi sama bento. Kamu beli, Fel?” tanya Diana.“Dikasih. Bantu aku habiskan ini, yuk,” ajak Felicia.“Siapa yang ngasih itu?” Diana terdiam sejenak, tadi sempat memergoki Marcell dan Theo di dekat Felicia. “Jangan bilang … Pak Marcell sama Theo?”“E-enggaklah! Bukan mereka!” sangkal Felicia. “Ini adikku yang ngasih, tadi dia datang ke sini.”“Hm … masa sih?” Diana tak percaya begitu saja. Ia tahu William, tak mungkin datang ke sini hanya untuk memberikan makan siang.Diana hendak kembali melontarkan pertanyaan, tapi mulutnya sudah lebih dulu dimasuki
Anehnya, Felicia tak bisa menolak ciuman Theo. Pikiran jernih Felicia lenyap entah ke mana saat Theo mengangkat tubuhnya lalu memindahkannya ke atas pangkuan pria itu.Napas Felicia memburu, ia mulai membalas ciuman Theo, mengalungkan tangannya ke leher Theo. Bunyi pertemuan bibir mereka terdengar jelas, untungnya saat itu di basement sedang sepi.Nafsu mulai menguasai Felicia ketika ia semakin merapat di pangkuan Theo dan merasakan tubuh Theo yang mengeras di bawah sana. Ia tak lagi ingat tempat! Padahal kini masih berada di dalam mobil.Suara dering dari ponsel Felicia berbunyi. Sontak, Felicia dan Theo terkejut. Mereka sama-sama menjauhkan wajah, memutus ciuman.Dengan napas terengah dan tangan gemetar, Felicia membuka tasnya lalu mengambil ponsel. Ada telepon masuk dari William.Felicia perlu bersyukur, untungnya sang adik menelepon. Kalau tidak, apakah ia akan berakhir berbuat mesum di sini?! Di basement dan masih di dalam mobil?! Gila! Yang benar saja!“Ha-halo, Will,” sapa Feli