Entah mengapa Felicia merasa lemah setiap kali mendengar permohonan Theo, seperti malam tadi saat Theo memeluknya. Pagi ini pun ia membiarkan Theo memeluknya seperti ini selama beberapa saat.
Felicia hanya diam, tak bicara dan tak juga membalas pelukan Theo. Namun, ia merasa waswas karena ini di tempat umum, bagaimana kalau ada karyawan lain yang melihat? Mata Felicia pun terus bergerak ke sana kemari mengawasi sekeliling.
“Theo, sudah atau belum?” tanya Felicia.
“Belum,” jawab Theo.
Theo masih memeluk Felicia dari belakang, dan kini malah mengeratkan pelukannya sambil menumpukan dagunya di puncak kepala Felicia lantas mengendus bau harum rambut Felicia.
“Tadi katanya cuma sebentar.” Felicia sedikit menoleh ke belakang.
“Satu menit lagi,” tawar Theo, kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Felicia.
Felicia menghela napas. Sekali lagi, ia begitu lemah dengan suara lembut pria ini. 'Baiklah, hanya satu menit lag.'
Eratnya pelukan Theo membuat Felicia dapat merasakan otot tubuh Theo yang melingkupi tubuhnya. Kenapa berondong ini memiliki tubuh sebesar itu, sih? Apa dia tidak sadar telah membuat Felicia berdebar tiba-tiba begini?!
Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama!
Namun, sebelum Felicia memberontak, Theo sudah menepati ucapannya untuk melepaskan pelukannya. Hembusan napas lega keluar dari mulut Felicia, ia memutar tubuh lalu menghadap Theo.
“Kenapa kamu sepertinya suka banget meluk saya?” tanya Felicia, ia tampak gugup setelah bertanya begitu.
Theo menunduk, tersenyum jahil sambil menatap wajah Felicia yang kini sejajar dengan wajahnya. “Coba tebak kenapa?”
“Y-ya sudahlah! Nggak usah dijawab!”
Felicia berdehem untuk menutupi kegugupannya, ia berjalan cepat mendahului Theo.
Felicia masuk ke dalam lift disusul oleh Theo. Sebelum pintu tertutup, muncul sosok Sophia dari arah parkiran. Gadis itu tampak melempar senyum ramah.
“Selamat pagi, Bu Feli, Theo,” sapa Sophia.
Felicia membalas senyum anak magang itu yang digosipkan sebagai anak pemilik perusahaan. “Pagi juga, Sophia,” ucap Felicia.
Felicia melihat Sophia yang sedang melirik Theo sambil tersenyum. Namun tidak seperti saat berhadapan dengan Felicia tadi, senyum Theo sudah luntur. Pria itu berwajah dingin sekarang, hanya menatap ke depan tanpa minat.
Sophia sepertinya tidak menyadari perubahan raut wajah Theo. Gadis itu masih dengan senyumnya, mengajak Theo mengobrol macam-macam. Felicia pun hanya diam menguping. Dari obrolan Sophia dan Theo, ia yakin kalau mereka teman satu kelas di kampus.
Lift berhenti, ada lagi karyawan lain yang masuk dari lantai satu dan lantai-lantai berikutnya. Felicia sampai terdorong ke belakang, tetapi Theo masih tetap pada posisinya bersama Shopia. Pria itu hanya meliriknya dengan alis berkerut.
Saat lift terbuka, Felicia yang berada paling belakang hanya menunggu sampai lift kosong. Ia juga sudah melihat Theo dan Shopia keluar lebih dulu. Felicia pikir, Theo sudah lebih dulu ke ruangan, tetapi ternyata pria itu menunggu di depan pintu lift.
Felicia tersenyum tipis, dan hendak menyusul dua anak itu, ketika tiba-tiba Shopia menarik tangan Theo sampai menyenggol bahunya dengan cukup kuat. Felicia terkesiap kaget.
‘Apa Sophia sengaja menyenggol aku?’ batinnya.
Bahkan, Sophia tak meminta maaf padanya, padahal ia bisa saja jatuh karena dorongan kuat tadi.
Felicia menyadari kalau Theo berulang kali menoleh ke arahnya. Wanita itu pun hanya bisa berdecak. Ia mendadak kesal karena tadi Theo mendekatinya dan kini malah dekat dengan cewek lain. Alhasil, Felicia berjalan seorang diri menuju ruangan kerjanya.
“Sophia kayaknya dekat sama Theo, ya?” bisik Diana tiba-tiba ketika Felicia mendaratkan bokong di kursinya. Masih pagi sudah mengajak Felicia bergosip.
Felicia mengangkat alis. “Masa sih?”
“Lihat aja tuh,” tunjuk Diana ke arah Sophia yang masih mengobrol dengan Theo. “Mereka kelihatan dekat, cocok sih. Indahnya masa muda.”
Felicia langsung menatap Theo. Entah mengapa mendengar perkataan Diana membuatnya mendidih.
Felicia bisa melihat Theo diam saja ketika didekati oleh Sophia, bahkan saat dipegang oleh Sophia. Meskipun Theo tak tersenyum, tetapi Theo tak menolak.
‘Apa Theo mendekati semua cewek? Nggak hanya aku?’ batin Felicia.
Ketika tatapan Felicia bertemu dengan Theo, Felicia bergegas menoleh ke arah lain. Ia sengaja menghindar.
***
Pagi ini, divisi Felicia sempat terjadi gosip antar karyawan yang cukup menghebohkan karena kabarnya manajer mereka yang sudah tua itu berhasil naik jabatan.
Jadi, akan ada manajer baru yang menggantikan. Memang kabar itu sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu, dan ternyata hari inilah kedatangan manajer baru mereka.
Jam masuk kerja, manajer lama mereka datang bersama seorang pria berwajah tegas nan tampan. Tubuhnya tinggi tegap dengan alis tebal. Sorot matanya yang tajam melayang, menatap ke para karyawan di divisi tersebut.
“Silakan, Pak Marcell,” ucap sang manajer lama Felicia.
Pria yang dipanggil Marcell berdiri di depan para karyawan dan mulai memperkenalkan diri sebagai manajer baru di divisi Felicia.
“Gila, ganteng banget, Fel,” bisik Diana, biasa heboh jika melihat pria tampan.
Felicia tak menyahut, tatapannya tertuju ke arah Marcell. Namun, ia akui kalau Diana benar, Marcell memang tampan, tak kalah tampan dengan Theo.
Tiba-tiba pandangan Felicia bertemu dengan Marcell. Felicia gelagapan dan bergegas membuang muka.
Beberapa detik setelahnya, Felicia kembali memandang Marcell. Betapa terkejutnya ia saat menyadari Marcell masih terus menatapnya, bahkan Marcell tak berkedip dengan memasang raut serius.
“Fel, itu Pak Marcell natap kamu melulu,” bisik Diana, ternyata Diana juga menyadarinya. “Kamu kenal sama dia?”
“Enggak, ini pertama kalinya aku lihat Pak Marcell,” jawab Felicia.
Felicia meneguk ludah dengan gugup karena ditatap oleh Marcell terus-menerus. Mengapa Marcell begitu?
Pria itu memang terlihat sangat menawan. Tubuhnya terlihat kokoh dan tinggi, seperti aktor-aktor Amerika yang sering Felicia tonton. Walaupun terdapat kumis tipis, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Malah membuat aura wibawa itu semakin kuat.Kalau dibandingkan Theo... mungkin berbeda.Marcell memiliki tatapan mata yang kuat dan tajam, seperti predator yang siap memangsa Felicia. Senyumnya terasa penuh kemisteriusan, berbeda dengan Theo yang seperti anak anjing. Namun biar begitu, Felicia tidak merasa nyaman.Untungnya perkenalan berlangsung singkat, jadi Felicia bisa kembali ke tempatnya dan mulai fokus pada pekerjaannya.Sekitar satu jam kemudian, Felicia beristirahat sejenak dan hendak mengambil minum. Ketika ia tanpa sengaja menoleh ke arah Marcell, rupanya pria itu sedang memandangnya. Astaga, jangan bilang Marcell masih memperhatikannya sejak tadi?Felicia membatin, ‘Apa mungkin dia tertarik sama aku?’Karena sedang diperhatikan, Felicia pun batal mengambil minum. Ia duduk
Felicia melirik ke arah Marcell, lagi-lagi Marcell tak terlihat kaget. Sepertinya di sini hanya ia yang kaget. Apa mungkin Marcell sudah tahu, karena itulah Marcell terus menatapnya di tempat kerja?“Marcell nih sesuai kriteria kamu loh,” kata mama Felicia, senyum-senyum sendiri sambil menatap Marcell. “Ganteng, mapan, dan lebih tua dari kamu.”“Haha, iya, Jeng. Marcell baru genap tiga puluh tahun kok, jadi belum tua-tua banget. Cocok lah sama Feli,” sahut mama Marcell.“Betul.”Kedua ibu-ibu itu malah asyik sendiri.Yang dikatakan mamanya memang benar, Felicia mengakui itu. Dari segi kriteria, Marcell masuk ke dalam tipe calon suami idalamnya. Mapan, tampan, dan lebih tua darinya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Marcell, dan entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.“Kapan tanggal pernikahan yang cocok buat kalian ya?”Felicia melotot dan nyaris menyemburkan
“Jadi, Bu Feli mau pilih yang mana?” tanya Theo.“Uhm …”Felicia kembali menatap Theo dan Marcell yang tampak menanti jawabannya. Duh, ia bingung.Untungnya Diana dan karyawan lain datang. Marcell dan Theo pun beranjak dari tempat duduk.“Wah, ada sushi sama bento. Kamu beli, Fel?” tanya Diana.“Dikasih. Bantu aku habiskan ini, yuk,” ajak Felicia.“Siapa yang ngasih itu?” Diana terdiam sejenak, tadi sempat memergoki Marcell dan Theo di dekat Felicia. “Jangan bilang … Pak Marcell sama Theo?”“E-enggaklah! Bukan mereka!” sangkal Felicia. “Ini adikku yang ngasih, tadi dia datang ke sini.”“Hm … masa sih?” Diana tak percaya begitu saja. Ia tahu William, tak mungkin datang ke sini hanya untuk memberikan makan siang.Diana hendak kembali melontarkan pertanyaan, tapi mulutnya sudah lebih dulu dimasuki
Anehnya, Felicia tak bisa menolak ciuman Theo. Pikiran jernih Felicia lenyap entah ke mana saat Theo mengangkat tubuhnya lalu memindahkannya ke atas pangkuan pria itu.Napas Felicia memburu, ia mulai membalas ciuman Theo, mengalungkan tangannya ke leher Theo. Bunyi pertemuan bibir mereka terdengar jelas, untungnya saat itu di basement sedang sepi.Nafsu mulai menguasai Felicia ketika ia semakin merapat di pangkuan Theo dan merasakan tubuh Theo yang mengeras di bawah sana. Ia tak lagi ingat tempat! Padahal kini masih berada di dalam mobil.Suara dering dari ponsel Felicia berbunyi. Sontak, Felicia dan Theo terkejut. Mereka sama-sama menjauhkan wajah, memutus ciuman.Dengan napas terengah dan tangan gemetar, Felicia membuka tasnya lalu mengambil ponsel. Ada telepon masuk dari William.Felicia perlu bersyukur, untungnya sang adik menelepon. Kalau tidak, apakah ia akan berakhir berbuat mesum di sini?! Di basement dan masih di dalam mobil?! Gila! Yang benar saja!“Ha-halo, Will,” sapa Feli
“Ke-kenapa tiba-tiba meluk?” tanya Felicia, tapi ia masih diam, membiarkan Theo memeluknya dari belakang.Bukannya menjawab pertanyaan, Felicia mendengar Theo malah berujar, “Bu Feli kelihatan dekat sama Pak Marcell.”Felicia bisa merasakan pelukan Theo mengerat setelah mengatakan itu, seolah Theo tak mau melepaskannya.Namun, ternyata Felicia salah mengira. Theo melepaskannya beberapa detik setelahnya, tapi bukan untuk menjauh darinya.Theo memutar tubuh Felicia agar menghadapnya lalu menyentuh pundak Felicia. Dapat Felicia lihat raut wajah Theo tampak serius.“Saya lihat semuanya. Waktu Pak Marcell kasih makanan, kasih minum, dan tadi menawarkan pulang bersama sampai sentuh kepala Bu Feli. Kalian nggak sedang pacaran ‘kan?” tanya Theo, tampak tak tenang.Felicia tertegun mendengarnya. Jadi Theo melihat semuanya? Apa jangan-jangan karyawan lain juga ada yang melihat? Duh, gawat.Felicia menggeleng dengan cepat. “Nggak. Saya nggak pacaran sama dia.”Namun, kedua tangan Theo belum menja
“Theo,” panggil Felicia.Beberapa kali Felicia memanggil Theo, namun Theo tampak melamun masih dengan wajah yang pucat. Bahkan Felicia bisa melihat Theo berkeringat, sepertinya keringat dingin.Felicia menyentuh tangan Theo lalu kembali memanggil pria itu. Ternyata benar kalau Theo berkeringat dingin.“The, kamu jadi mengantar saya nggak?” tanya Felicia.“Hah?” Theo mengerjap kaget selama beberapa detik lalu mengangguk. “Ya.”Theo sudah akan keluar. Tapi, Theo melupakan sesuatu, Felicia pun bergegas mengambil benda penting yang lupa Theo bawa.“Theo, kunci mobilnya. Ketinggalan nih,” kata Felicia lalu menyodorkan kunci mobil kepada Theo.“Oh, ya.”Theo mengambil kunci mobil itu dari tangan Felicia, tapi Theo tampak seperti orang linglung sampai menjatuhkan kunci mobil yang baru diambilnya.Felicia yang terkejut buru-buru menunduk, mengambilkan kunci mobil Theo.“Kamu sepertinya sakit. Di rumah aja, ya? Biar saya pulang sendiri,” ucap Felicia.Theo mengerjap. “Hah? Nggak, saya nggak ap
Di jam istirahat makan siang, Felicia melihat Theo hendak pergi. Ia bergegas mengejar Theo lalu refleks meraih tangan Theo.“Theo—”Felicia terkesiap karena Theo menepis tangannya. Seolah baru sadar dengan perbuatannya, Theo tampak panik.“Ma-maaf, Bu Feli.”“Mau gabung makan siang bareng saya dan karyawan lain?” tawar Felicia.Felicia penasaran, apa yang terjadi dengan Theo? Jadi, ia ingin mengajak Theo makan bersama sambil mengobrol. Ia yakin Theo yang biasanya menempel padanya tak akan menolak ajakannya. Namun …Theo menggeleng. “Maaf, saya nggak bisa. Permisi.”Theo dengan formal pamit pergi dari hadapan Felicia. Hal itu membuat Felicia terdiam di tempat, tak menyangka ajakannya akan ditolak. Ditambah lagi, Theo tak menatapnya sama sekali, raut wajah pria itu masih datar seperti tadi.“Theo!”Suara lain terdengar, sosok Sophia muncul dengan seny
“Maaf, Pak. Dia anak magang di divisi saya dan sedang nggak enak badan,” ucap Felicia kepada Pak CEO.Felicia bergegas menarik Theo agar menyingkir dari hadapan Martin.Felicia melirik ke arah Martin yang menatap Theo lurus-lurus dengan muka datarnya. Sungguh, Felicia gugup karena khawatir Theo akan dimarahi. Sempat menegangkan, tapi untungnya kekhawatiran Felicia tak terjadi.CEO mereka hanya menatap Theo tanpa bicara lalu berjalan pergi bersama sekretarisnya.“Wah! Gila! Deg-degan banget!” seru Diana.“Iya! Kenapa Pak Martin diam aja?” sahut karyawan lain.Sementara itu, Felicia hendak bicara kepada Theo. Ia menoleh ke samping, melihat Theo yang menghela napas seolah merasa lega.Theo sampai nyaris merosot jatuh. Dengan sigap Felicia meraih tangan Theo, memegangnya.“The, saya yakin kamu benar-benar nggak enak badan. Gimana kalau kamu pulang aja? Nanti saya ijinkan ke Pak Marcell,&rdq
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p
Flashback, sebelum kedatangan Theo.Setelah usaha Felicia tak membuahkan hasil untuk menemukan Theo, Felicia tak menyerah sampai di situ.Setiap hari, tak terlewat satu hari pun, Felicia akan mencoba menghubungi nomor Theo. Tapi, hasilnya nihil, seolah nomor Theo tak aktif lagi atau mungkin Theo sudah ganti nomor.Dan, setiap ada kesempatan, Felicia akan menemui Martin untuk meminta diberitahu lokasi Theo. Namun, Martin masih tutup mulut.Ketika satu tahun berlalu dan ia masih saja menemui Martin, tampaknya Martin emosi dan langsung mengusirnya begitu ia muncul di depan pintu ruangan CEO.Rasanya … Felicia seperti akan gila. Ia begitu putus asa, tak tahu lagi di mana keberadaan Theo, seperti apa kondisi Theo, dan hanya bisa menerka-nerka selama satu tahun.Felicia mulai berubah, menjadi lebih pendiam, dan tak lagi fokus pada pekerjaannya. Dan, satu-satunya yang memahami kemungkinan penyebab Felicia menjadi seperti itu adalah Marcell.“Feli, kamu butuh bantuan?” tanya Marcell.Felicia m
2 tahun kemudian.Perkiraan Theo meleset.Theo mengharapkan bisa lulus hanya dengan menghabiskan waktu satu semester alias enam bulan. Namun, ternyata ia tak bisa. Akhirnya, ia baru lulus setelah satu tahun meneruskan kuliah di Inggris.Dan, rencana Theo untuk kabur belum matang.Theo merasa tidak bisa menemui Felicia hanya berbekal ijazah, ia ingin menjadi pria keren yang sudah berpengalaman dan nantinya bisa langsung mencari kerja saat di Indonesia. Jadi, Theo menyempatkan untuk bekerja di Inggris selama satu tahun.Setelah mendapatkan pengalaman kerja sekaligus mengumpulkan uang, Theo sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Ia akan langsung mengajak Felicia menikah, entah bagaimanapun caranya.Meskipun sudah dua tahun tak saling bertukar kabar dan tak bertemu, Theo yakin perasaan Felicia masih sama untuknya. Dan, ia yakin Felicia pasti masih setia menunggunya.“Pak Martin baru saja menghubungi, beliau berkata akan berkunjung besok,” beri tahu salah satu bodyguard.Theo hanya mengang
Felicia masih mematung di tempat usai mendengar perkataan Sophia, rasanya dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar.Harus ke mana ia mencari Theo?Sophia memperhatikan Felicia sekilas.Sophia masih menaruh rasa tak suka pada Felicia karena merasa Theo direbut oleh Felicia, padahal ia yang lebih dulu menyukai Theo. Namun, sekarang, melihat Felicia tampak syok sampai terdiam lama seperti itu jadi membuat Sophia sedikit iba.Ya, hanya sedikit, ia tidak ingin peduli pada orang seperti Felicia yang sempat dibencinya.Maka, tanpa bicara apa pun lagi, Sophia berjalan pergi dari hadapan Felicia.“Theo …” gumam Felicia dengan suara bergetar menahan tangis.Felicia rasanya sulit untuk melangkah sekarang, jadi ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, apa Theo benar-benar pergi meninggalkannya tanpa kabar? Tapi, kenapa? Alasannya apa?Tunggu, Martin!Felicia terbelalak ketika menyadari soal Papa Theo. Bisa saja ini ulah Martin yang ingin memisahkannya de