Felicia melirik ke arah Marcell, lagi-lagi Marcell tak terlihat kaget. Sepertinya di sini hanya ia yang kaget. Apa mungkin Marcell sudah tahu, karena itulah Marcell terus menatapnya di tempat kerja?“Marcell nih sesuai kriteria kamu loh,” kata mama Felicia, senyum-senyum sendiri sambil menatap Marcell. “Ganteng, mapan, dan lebih tua dari kamu.”“Haha, iya, Jeng. Marcell baru genap tiga puluh tahun kok, jadi belum tua-tua banget. Cocok lah sama Feli,” sahut mama Marcell.“Betul.”Kedua ibu-ibu itu malah asyik sendiri.Yang dikatakan mamanya memang benar, Felicia mengakui itu. Dari segi kriteria, Marcell masuk ke dalam tipe calon suami idalamnya. Mapan, tampan, dan lebih tua darinya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Marcell, dan entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.“Kapan tanggal pernikahan yang cocok buat kalian ya?”Felicia melotot dan nyaris menyemburkan
“Jadi, Bu Feli mau pilih yang mana?” tanya Theo.“Uhm …”Felicia kembali menatap Theo dan Marcell yang tampak menanti jawabannya. Duh, ia bingung.Untungnya Diana dan karyawan lain datang. Marcell dan Theo pun beranjak dari tempat duduk.“Wah, ada sushi sama bento. Kamu beli, Fel?” tanya Diana.“Dikasih. Bantu aku habiskan ini, yuk,” ajak Felicia.“Siapa yang ngasih itu?” Diana terdiam sejenak, tadi sempat memergoki Marcell dan Theo di dekat Felicia. “Jangan bilang … Pak Marcell sama Theo?”“E-enggaklah! Bukan mereka!” sangkal Felicia. “Ini adikku yang ngasih, tadi dia datang ke sini.”“Hm … masa sih?” Diana tak percaya begitu saja. Ia tahu William, tak mungkin datang ke sini hanya untuk memberikan makan siang.Diana hendak kembali melontarkan pertanyaan, tapi mulutnya sudah lebih dulu dimasuki
Anehnya, Felicia tak bisa menolak ciuman Theo. Pikiran jernih Felicia lenyap entah ke mana saat Theo mengangkat tubuhnya lalu memindahkannya ke atas pangkuan pria itu.Napas Felicia memburu, ia mulai membalas ciuman Theo, mengalungkan tangannya ke leher Theo. Bunyi pertemuan bibir mereka terdengar jelas, untungnya saat itu di basement sedang sepi.Nafsu mulai menguasai Felicia ketika ia semakin merapat di pangkuan Theo dan merasakan tubuh Theo yang mengeras di bawah sana. Ia tak lagi ingat tempat! Padahal kini masih berada di dalam mobil.Suara dering dari ponsel Felicia berbunyi. Sontak, Felicia dan Theo terkejut. Mereka sama-sama menjauhkan wajah, memutus ciuman.Dengan napas terengah dan tangan gemetar, Felicia membuka tasnya lalu mengambil ponsel. Ada telepon masuk dari William.Felicia perlu bersyukur, untungnya sang adik menelepon. Kalau tidak, apakah ia akan berakhir berbuat mesum di sini?! Di basement dan masih di dalam mobil?! Gila! Yang benar saja!“Ha-halo, Will,” sapa Feli
“Ke-kenapa tiba-tiba meluk?” tanya Felicia, tapi ia masih diam, membiarkan Theo memeluknya dari belakang.Bukannya menjawab pertanyaan, Felicia mendengar Theo malah berujar, “Bu Feli kelihatan dekat sama Pak Marcell.”Felicia bisa merasakan pelukan Theo mengerat setelah mengatakan itu, seolah Theo tak mau melepaskannya.Namun, ternyata Felicia salah mengira. Theo melepaskannya beberapa detik setelahnya, tapi bukan untuk menjauh darinya.Theo memutar tubuh Felicia agar menghadapnya lalu menyentuh pundak Felicia. Dapat Felicia lihat raut wajah Theo tampak serius.“Saya lihat semuanya. Waktu Pak Marcell kasih makanan, kasih minum, dan tadi menawarkan pulang bersama sampai sentuh kepala Bu Feli. Kalian nggak sedang pacaran ‘kan?” tanya Theo, tampak tak tenang.Felicia tertegun mendengarnya. Jadi Theo melihat semuanya? Apa jangan-jangan karyawan lain juga ada yang melihat? Duh, gawat.Felicia menggeleng dengan cepat. “Nggak. Saya nggak pacaran sama dia.”Namun, kedua tangan Theo belum menja
“Theo,” panggil Felicia.Beberapa kali Felicia memanggil Theo, namun Theo tampak melamun masih dengan wajah yang pucat. Bahkan Felicia bisa melihat Theo berkeringat, sepertinya keringat dingin.Felicia menyentuh tangan Theo lalu kembali memanggil pria itu. Ternyata benar kalau Theo berkeringat dingin.“The, kamu jadi mengantar saya nggak?” tanya Felicia.“Hah?” Theo mengerjap kaget selama beberapa detik lalu mengangguk. “Ya.”Theo sudah akan keluar. Tapi, Theo melupakan sesuatu, Felicia pun bergegas mengambil benda penting yang lupa Theo bawa.“Theo, kunci mobilnya. Ketinggalan nih,” kata Felicia lalu menyodorkan kunci mobil kepada Theo.“Oh, ya.”Theo mengambil kunci mobil itu dari tangan Felicia, tapi Theo tampak seperti orang linglung sampai menjatuhkan kunci mobil yang baru diambilnya.Felicia yang terkejut buru-buru menunduk, mengambilkan kunci mobil Theo.“Kamu sepertinya sakit. Di rumah aja, ya? Biar saya pulang sendiri,” ucap Felicia.Theo mengerjap. “Hah? Nggak, saya nggak ap
Di jam istirahat makan siang, Felicia melihat Theo hendak pergi. Ia bergegas mengejar Theo lalu refleks meraih tangan Theo.“Theo—”Felicia terkesiap karena Theo menepis tangannya. Seolah baru sadar dengan perbuatannya, Theo tampak panik.“Ma-maaf, Bu Feli.”“Mau gabung makan siang bareng saya dan karyawan lain?” tawar Felicia.Felicia penasaran, apa yang terjadi dengan Theo? Jadi, ia ingin mengajak Theo makan bersama sambil mengobrol. Ia yakin Theo yang biasanya menempel padanya tak akan menolak ajakannya. Namun …Theo menggeleng. “Maaf, saya nggak bisa. Permisi.”Theo dengan formal pamit pergi dari hadapan Felicia. Hal itu membuat Felicia terdiam di tempat, tak menyangka ajakannya akan ditolak. Ditambah lagi, Theo tak menatapnya sama sekali, raut wajah pria itu masih datar seperti tadi.“Theo!”Suara lain terdengar, sosok Sophia muncul dengan seny
“Maaf, Pak. Dia anak magang di divisi saya dan sedang nggak enak badan,” ucap Felicia kepada Pak CEO.Felicia bergegas menarik Theo agar menyingkir dari hadapan Martin.Felicia melirik ke arah Martin yang menatap Theo lurus-lurus dengan muka datarnya. Sungguh, Felicia gugup karena khawatir Theo akan dimarahi. Sempat menegangkan, tapi untungnya kekhawatiran Felicia tak terjadi.CEO mereka hanya menatap Theo tanpa bicara lalu berjalan pergi bersama sekretarisnya.“Wah! Gila! Deg-degan banget!” seru Diana.“Iya! Kenapa Pak Martin diam aja?” sahut karyawan lain.Sementara itu, Felicia hendak bicara kepada Theo. Ia menoleh ke samping, melihat Theo yang menghela napas seolah merasa lega.Theo sampai nyaris merosot jatuh. Dengan sigap Felicia meraih tangan Theo, memegangnya.“The, saya yakin kamu benar-benar nggak enak badan. Gimana kalau kamu pulang aja? Nanti saya ijinkan ke Pak Marcell,&rdq
Jarak wajah yang begitu dekat membuat Felicia tersadar kalau napas Theo menerpa kulit wajahnya. Sekarang ia khawatir, debaran jantungnya yang begitu keras, apakah Theo mendengarnya?“Ekhem!” dehem Felicia.Felicia sampai nyaris gemetar karena Theo masih menatapnya dengan intens. Pelan-pelan ia melepas kancing kemeja Theo paling atas, lalu melepas satu lagi.“Su-sudah saya lepas. Atau perlu saya lepas satu lagi biar lebih lega?” Suara Felicia terdengar jelas kalau ia gugup.Setelah bertanya seperti itu, Felicia merutuki dirinya di dalam hati. Seharusnya ia langsung pergi! Mengapa malah menawarkan diri untuk melepas kancing kemeja lagi? Ah, sial!“Hm.” Theo bergumam singkat seraya mengangguk.Pandangan Theo masih belum lepas dari Felicia, tapi tetap tak ada ekspresi di sana.Felicia jadi merindukan ekspresi jahil dan menggemaskan milik Theo, terutama senyum pria itu.Felicia melepas satu lagi k