Di jam istirahat makan siang, Felicia melihat Theo hendak pergi. Ia bergegas mengejar Theo lalu refleks meraih tangan Theo.
“Theo—”
Felicia terkesiap karena Theo menepis tangannya. Seolah baru sadar dengan perbuatannya, Theo tampak panik.
“Ma-maaf, Bu Feli.”
“Mau gabung makan siang bareng saya dan karyawan lain?” tawar Felicia.
Felicia penasaran, apa yang terjadi dengan Theo? Jadi, ia ingin mengajak Theo makan bersama sambil mengobrol. Ia yakin Theo yang biasanya menempel padanya tak akan menolak ajakannya. Namun …
Theo menggeleng. “Maaf, saya nggak bisa. Permisi.”
Theo dengan formal pamit pergi dari hadapan Felicia. Hal itu membuat Felicia terdiam di tempat, tak menyangka ajakannya akan ditolak. Ditambah lagi, Theo tak menatapnya sama sekali, raut wajah pria itu masih datar seperti tadi.
“Theo!”
Suara lain terdengar, sosok Sophia muncul dengan seny
“Maaf, Pak. Dia anak magang di divisi saya dan sedang nggak enak badan,” ucap Felicia kepada Pak CEO.Felicia bergegas menarik Theo agar menyingkir dari hadapan Martin.Felicia melirik ke arah Martin yang menatap Theo lurus-lurus dengan muka datarnya. Sungguh, Felicia gugup karena khawatir Theo akan dimarahi. Sempat menegangkan, tapi untungnya kekhawatiran Felicia tak terjadi.CEO mereka hanya menatap Theo tanpa bicara lalu berjalan pergi bersama sekretarisnya.“Wah! Gila! Deg-degan banget!” seru Diana.“Iya! Kenapa Pak Martin diam aja?” sahut karyawan lain.Sementara itu, Felicia hendak bicara kepada Theo. Ia menoleh ke samping, melihat Theo yang menghela napas seolah merasa lega.Theo sampai nyaris merosot jatuh. Dengan sigap Felicia meraih tangan Theo, memegangnya.“The, saya yakin kamu benar-benar nggak enak badan. Gimana kalau kamu pulang aja? Nanti saya ijinkan ke Pak Marcell,&rdq
Jarak wajah yang begitu dekat membuat Felicia tersadar kalau napas Theo menerpa kulit wajahnya. Sekarang ia khawatir, debaran jantungnya yang begitu keras, apakah Theo mendengarnya?“Ekhem!” dehem Felicia.Felicia sampai nyaris gemetar karena Theo masih menatapnya dengan intens. Pelan-pelan ia melepas kancing kemeja Theo paling atas, lalu melepas satu lagi.“Su-sudah saya lepas. Atau perlu saya lepas satu lagi biar lebih lega?” Suara Felicia terdengar jelas kalau ia gugup.Setelah bertanya seperti itu, Felicia merutuki dirinya di dalam hati. Seharusnya ia langsung pergi! Mengapa malah menawarkan diri untuk melepas kancing kemeja lagi? Ah, sial!“Hm.” Theo bergumam singkat seraya mengangguk.Pandangan Theo masih belum lepas dari Felicia, tapi tetap tak ada ekspresi di sana.Felicia jadi merindukan ekspresi jahil dan menggemaskan milik Theo, terutama senyum pria itu.Felicia melepas satu lagi k
Asumsi Felicia semakin kuat kalau Theo menghilang, karena sampai hari berikutnya masih tak ada kabar tentang Theo.Tak ada yang tahu di mana keberadaan Theo.Hingga memasuki libur akhir pekan, Felicia masih tetap mencoba menghubungi Theo, meskipun masih tak ada respon. Setiap harinya ia dilanda kekhawatiran.“Kamu kenapa sih, Kak? Setiap hari mengecek hp, mondar-mandir seperti orang khawatir,” heran William.“Ssttt! Diam dulu!” seru Felicia.Kini Felicia sedang mencoba menelepon Theo entah untuk keberapa kalinya. Ia berharap Theo mengangkat panggilannya meskipun hanya satu kali.Selang beberapa menit, harapan Felicia terwujud.Panggilan Felicia diangkat oleh Theo! Tanpa berbasa-basi, Felicia bertanya,“Theo! Kamu di mana?”Tak ada jawaban dari seberang sana. Namun, Theo benar-benar sudah mengangkat panggilan dari Felicia.“The, kasih tahu aku kamu ada di mana?” tanya
Felicia tidak tahu apa yang terjadi dengan Theo. Tapi, mendengar Theo menangis membuatnya turut ingin menangis. Apalagi suara tangisan Theo cukup menyayat hati Felicia.Mata Felicia sudah terasa panas dan pandangannya berangsur memburam, tapi ia menahan diri untuk tak turut meneteskan air mata. Ia tak mau memperburuk suasana, di sini ia harus menghibur Theo.Felicia turut sedih. Ia tak pernah mendengar atau melihat pria dewasa menangis seperti Theo, bahkan adiknya juga tak pernah sampai begini.“F-Feli …”Theo masih terisak dan sesekali memanggil nama Felicia.“Iya, saya di sini.” Felicia menyahut sambil mengelus punggung Theo.Tatapan Felicia tertuju ke tangan Theo yang meremas erat bajunya sampai kusut. Felicia membiarkan itu, justru ia merasa iba kepada Theo.Setelah Theo berhenti terisak, pelukan Theo mengendur dari tubuh Felicia.Felicia menatap Theo yang menjauh sesaat, menunduk sambil mengu
Theo terus berjalan maju mendekat padanya, tapi Felicia berusaha untuk tenang, walaupun jantungnya sudah berdebar hebat seolah sedang lari marathon.“Ta-tapi saya tidur di mana kalau menginap di sini? Di sofa?” Felicia bertanya dengan nada bicara yang terdengar gugup.“Ada dua kamar. Bu Feli tadi udah keliling ‘kan?” Theo bertanya sambil memajukan langkahnya.Kini, Felicia berhasil terpojok, punggungnya sudah mencium tembok.“Bagaimana?” tanya Theo.Duh, Felicia kehabisan alasan untuk menolak. Akhirnya ia mengangguk setuju.“Oke, saya tidur di sini.”Felicia sudah waswas, mengira Theo akan macam-macam, contohnya menciumnya. Tapi, ternyata tidak.Tiba-tiba senyum Theo terbit.Felicia mengerjap kaget melihat Theo mengulas senyum. Setelah berhari-hari Theo tampak murung, lebih banyak diam dengan raut datar, akhirnya kini Theo kembali tersenyum manis. Terlihat tulus.Theo menjauh perlahan, lalu melepaskan genggaman ta
“Eunghh … Theo …”Felicia mengerang di sela-sela ciumannya dengan Theo. Gerakan bibir Theo yang lembut begitu membuainya. Ia merasakan jemari Theo yang berada di punggungnya mulai bergerak, mengusap lembut, meninggalkan jejak hangat.Hembusan napas hangat saling menerpa, bersatu, terasa intim.Perlahan, Felicia membalas ciuman Theo. Dan, ketika mendapat balasan, bisa ia rasakan Theo semakin intens menciumnya.Tak mau kalah dengan tangan Theo, kini tangan Felicia hinggap di dada bidang Theo yang keras, Felicia mengelus lembut di sana. Giliran Theo yang terdengar mengerang.Felicia butuh mengambil napas, begitu juga dengan Theo. Terpaksa, mereka memutus ciuman.Kedua mata Felicia terbuka perlahan dan langsung bertubrukan dengan netra kecokelatan milik Theo yang sedang menatapnya lekat.“Maaf,” bisik Theo, suaranya terdengar serak, tak dapat ia sembunyikan.Felicia gugup menatap Theo dalam jar
“Ka-kamu ‘kan udah sembuh. Makan sendiri lah!” seru Felicia, suaranya dibuat tegas agar tak terlihat jelas kalau sedang gugup.Felicia mengernyit ketika melihat Theo beranjak dari duduk. Setelahnya, ia dibuat terbelalak karena Theo berpindah duduk di sebelahnya.“Saya sedang nggak nafsu makan. Suapin dong, kalau enggak, nanti sakit lagi gimana?”“Tapi—"“Ayo, suapin! Aaaa …” Theo membuka mulutnya.Felicia tercengang melihat tingkah Theo.Kalau sudah begini, Felicia tak sanggup menolak. Akhirnya ia menyendok bubur, memasukkan ke mulut Theo.Theo menelannya lalu tersenyum dan kembali membuka mulutnya. Tanpa sadar, Felicia tersenyum melihat tingkah Theo, apakah rasa bubur buatannya enak di mulut Theo?Entah berapa suapan sudah masuk ke mulut Theo, dan Theo tampak menikmatinya.Felicia sampai menggeleng heran. Rasanya ia seperti sedang menyuapi bayi besar.&
“Loh, apa kamu belum tahu tentang itu?” tanya Rini.Felicia menetralkan keterkejutannya lantas menggeleng. “Belum, Bu.”Felicia memperhatikan lamat-lamat mantan pengasuh Theo yang kini tampak kaget.“Apa seharusnya saya nggak memberi tahu kamu tentang itu?” gumam Rini, tapi masih bisa didengar oleh Felicia.“Kalau itu hal yang seharusnya nggak boleh saya ketahui, maka saya nggak akan ngomong ke Theo. Bu Rini tenang aja.” Felicia tersenyum, menenangkan wanita paruh baya itu.“Terima kasih, ya.” Rini bisa lebih tenang. “Ngomong-ngomong, saya pikir kalian sudah dekat, jadi kamu pasti tahu banyak hal tentang Theo.”Felicia menggeleng. Ia menghela napas tiba-tiba, menatap lurus ke depan.“Saya memang dekat sama Theo.” Felicia mengakui itu. “Tapi, Theo nggak mau terbuka sama saya.”“Mungkin sulit buat Theo bercerita ke orang baru. Kalau saya bukan pengasuhnya sejak bayi, saya yakin dia nggak akan memberi tahu saya apa pun.”“Boleh saya tahu kelanjutannya, Bu? Saya mau dengar cerita lebih ban