“Serius, Pak?!” pekik Diana dengan mata melotot.
Tak hanya Diana yang kaget, Felicia dan yang lainnya juga.
Sang manajer kembali berbisik-bisik, “Iya, tapi saya nggak tahu anaknya yang mana. Makanya kalian perlakukan para anak magang dengan baik, jangan macam-macam. Dan saya perlu kasih kesan baik, jadi kita adakan makan malam buat menyambut mereka.”
Felicia dan rekan-rekan kerjanya mengangguk paham masih dengan raut kaget. Benarkah ada anaknya sang pemilik perusahaan? Felicia jadi penasaran.
Mereka mulai menduga-duga siapa anak magang yang dimaksud sang manajer. Apakah pria atau wanita? Siapa namanya? Dan dugaan lainnya.
“Kalau menurutku, anaknya Pak Martin cewek yang itu.” Salah satu karyawan menunjuk seorang perempuan di antara anak magang.
Perempuan yang dimaksud bernama Sophia. Ia memang tampak paling mencolok di antara anak magang yang lain.
Ia juga yang terlihat paling supel di hari pertama, bahkan memberikan kukis kepada para senior di hari kedua. Belum lagi barang-barang yang dipakainya hampir semuanya bermerk.
“Aku juga pernah lihat dia datang diantar sopir dan naik mobil mahal. Kayaknya dia yang anaknya Pak Martin, soalnya anak magang yang lain kelihatan biasa aja,” imbuh karyawan itu.
Felicia menatap Sophia yang sedang mengobrol dengan wajah ceria, lalu beralih pada Theo yang duduk di sebelahnya.
Ah, ia jadi teringat isi dompet Theo saat di hotel waktu itu. Sebagai anak berusia 21 tahun, rasanya sangat ganjil sudah memiliki black card.
‘Kalau itu dikasih sama orang tuanya, berarti Theo juga orang kaya, kan? Kalau gitu… ada kemungkinan juga kalau dia anak Pak Martin.’
Tiba-tiba Felicia merinding sendiri membayangkannya. Sudah tidur dengan brondong, dan ternyata brondong itu adalah anak bosnya sendiri. Bayangan surat pengunduran diri berkibar-kibar di kepala Felicia.
“Sophia, ke sini sebentar!” suara Diana yang keras membuat lamunan Felicia pecah. Ia memanggil anak magang yang disinyalir anak bos itu.
Para karyawan menatap Diana dengan tatapan penuh tanya. Diana hanya tersenyum lalu mengangguk, entah apa maksudnya, atau mungkin Diana hendak menginterogasi Sophia?
“Iya, Bu Diana,” sahut Sophia sambil tersenyum dan mendekat pada Diana.
“Saya mau tanya, tapi kalau kamu nggak mau jawab nggak masalah. Papa kamu kerja di mana?”
“Di, jangan tanya begitu!” bisik Felicia. Itu tidak sopan ‘kan?
Namun, Sophia tampak biasa saja, malah masih tersenyum. “Papa saya kerja di perusahaan.”
Felicia dan rekan kerjanya saling pandang dengan raut penasaran.
“Jabatan Papamu pasti tinggi, ya?” tebak Diana.
“Iya, hehe.” Sophia menyengir malu.
Jawaban Sophia lantas membuat Felicia tanpa sadar menghela napas lega. Kalau begitu, dugaan rekan-rekan kerjanya kemungkinan benar. Sophia-lah yang merupakan anak Pak Martin.
‘Aman… aman… aku gak tidur sama anak bos berarti….’
Setelah itu, Felicia jadi lebih santai dan mulai menikmati waktunya di sana. Karena Felicia tidak terlalu lapar, ia hanya memesan minuman beralkohol, dan memakan camilan.
Felicia menegak minumannya sambil sesekali melirik ke arah Theo. Terlihat kalau Theo sedang asyik mengobrol dengan anak magang yang lain.
‘Hm… dia cepet juga akrab sama karyawan lain….’
Deg!
Felicia hampir tersedak minumannya sendiri ketika pandangan mereka bertemu. Tatapan Felicia dan Theo terkunci. Selama beberapa detik, Felicia terfokus pada netra kecokelatan yang terlihat indah serta bulu mata lentik pria itu.
Namun, tiba-tiba Theo melempar senyuman yang sontak membuat Felicia gelagapan. Hal yang mengejutkannya lagi, Theo bahkan mengedipkan sebelah matanya kepada Felicia.
‘Apa itu maksudnya? Dasar bocah aneh!’ batin Felicia.
Felicia membuang muka lebih dulu. Dia mengipas wajahnya yang tiba-tiba terasa panas.
Entah ada apa dengan mata Felicia, karena beberapa menit kemudian, ia malah kembali menatap Theo. Sekarang wajah Theo tampak lebih memerah dari sebelumnya. Sepertinya pria itu sudah mabuk.
“Fel, aku mau balik duluan. Anak udah rewel,” ucapan Diana membuat Felicia tersadar dan menoleh.
“O-oh, oke,” angguk Felicia.
Diana pamit. Selepas kepergian Diana, Felicia menunduk dan memilih untuk bermain ponsel.
Tak lama setelahnya, sang manajer dan rekan kerja Felicia yang lain pun satu per satu pamit pulang, disusul oleh para anak magang. Felicia sejak tadi sibuk dengan ponselnya, dan hanya menyahut seadanya.
Lantas, saat mendongak, dia terkejut menyadari kini hanya tinggal dirinya dan Theo di sini.
Felicia bergegas berdiri, bersiap untuk pergi. Namun, gerakannya terhenti ketika melihat Theo hanya menundukkan kepala di atas meja. Wajah dan telinga pria itu sudah sangat merah.
Felicia menghela napas, dan mendekati Theo.
“The, jangan lupa telepon keluargamu untuk minta dijemput,” ucap Felicia sebelum pergi.
Baginya, itu hanya bentuk kepeduliannya kepada anak magang.
Felicia berbalik badan, hendak berjalan pergi ketika tiba-tiba Theo menahan tangannya. Belum juga Felicia melayangkan protes, pria itu sudah menariknya, lalu meraih pinggangnya dan memeluknya.
Theo yang masih dalam posisi duduk mendongak, menatap Felicia dengan tangan yang melingkar di pinggang Felicia begitu erat.
“Felicia … jangan pergi,” pinta Theo.
***
“Theo! Lepas! Nanti dilihat orang lain!”Felicia berseru sambil berusaha melepaskan tangan Theo yang membelit pinggangnya. Namun, sialnya, pelukan Theo amat kuat. Astaga!“Felicia… temani aku. Jangan pergi, please…” mohon Theo, bahkan pria itu mulai menggesekkan kepalanya di perut Felicia, persis seperti anak kucing.Felicia menganga saat melihat Theo mengerjapkan mata dengan tampang sok imut, setelahnya pria itu mengerucutkan bibirnya. Pria ini sedang apa sih? Ia akui Theo memang menggemaskan, tetapi hanya sesaat!“Saya nggak bisa melupakan kejadian waktu di hotel, nggak bisa!”Wajah Felicia rasanya baru dilempar bara api, panas sekali. Mendadak tubuhnya kaku, bahkan untuk mendorong Theo kembali saja tidak mampu.“Saya ingat terus ‘rasa’ Felicia gimana—hmp!”Khawatir ada orang lain yang mendengar racauan gila Theo, Felicia bergegas membungkam mulut Theo dengan tangannya. Jangan sampai Theo mengoceh sesuatu yang berbahaya!“Ssttt! Diam, Theo!” desis Felicia tajam.Theo mengangguk patu
“Lepas, The! Saya harus pergi!”Sayangnya, Theo tak menggubris. Ia memejamkan mata dan memeluk Felicia sambil mencari posisi yang nyaman. Sedangkan Felicia kesulitan ketika mencoba melepaskan tangan Theo yang membelit tubuhnya.Felicia menghela napas pada akhirnya, berniat membiarkan Theo seperti ini hanya sekitar sepuluh menit. Namun, ia yang lelah malah berakhir terpejam.Mereka sama-sama ketiduran.Itu adalah malam yang melelahkan, tapi anehnya Felicia bisa tidur dengan nyenyak. Kasur yang ia tempati terasa sangat hangat dan nyaman. Bahkan selimutnya bisa membelai pipinya dengan lembut.Tunggu!M-membelainya?Felicia membuka matanya lebar-lebar. Wajah Theo yang sedang mengerjapkan mata, lalu tersenyum hangat menjadi pemandangan pertama.Namun, bukan itu masalahnya. ‘Sejak kapan aku berada di pelukan pria ini?!’“AAAA!” Felicia refleks mendorong tubuh Theo. “Apa yang kamu—”Seketika, ia teringat dengan kejadian tadi malam. Astaga, bisa-bisanya ia berakhir ketiduran di kasur Theo!F
Entah mengapa Felicia merasa lemah setiap kali mendengar permohonan Theo, seperti malam tadi saat Theo memeluknya. Pagi ini pun ia membiarkan Theo memeluknya seperti ini selama beberapa saat.Felicia hanya diam, tak bicara dan tak juga membalas pelukan Theo. Namun, ia merasa waswas karena ini di tempat umum, bagaimana kalau ada karyawan lain yang melihat? Mata Felicia pun terus bergerak ke sana kemari mengawasi sekeliling.“Theo, sudah atau belum?” tanya Felicia.“Belum,” jawab Theo.Theo masih memeluk Felicia dari belakang, dan kini malah mengeratkan pelukannya sambil menumpukan dagunya di puncak kepala Felicia lantas mengendus bau harum rambut Felicia.“Tadi katanya cuma sebentar.” Felicia sedikit menoleh ke belakang.“Satu menit lagi,” tawar Theo, kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Felicia.Felicia menghela napas. Sekali lagi, ia begitu lemah dengan suara lembut pria ini. 'Baiklah, hanya satu menit lag.'Eratnya pelukan Theo membuat Felicia dapat merasakan otot tubuh T
Pria itu memang terlihat sangat menawan. Tubuhnya terlihat kokoh dan tinggi, seperti aktor-aktor Amerika yang sering Felicia tonton. Walaupun terdapat kumis tipis, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Malah membuat aura wibawa itu semakin kuat.Kalau dibandingkan Theo... mungkin berbeda.Marcell memiliki tatapan mata yang kuat dan tajam, seperti predator yang siap memangsa Felicia. Senyumnya terasa penuh kemisteriusan, berbeda dengan Theo yang seperti anak anjing. Namun biar begitu, Felicia tidak merasa nyaman.Untungnya perkenalan berlangsung singkat, jadi Felicia bisa kembali ke tempatnya dan mulai fokus pada pekerjaannya.Sekitar satu jam kemudian, Felicia beristirahat sejenak dan hendak mengambil minum. Ketika ia tanpa sengaja menoleh ke arah Marcell, rupanya pria itu sedang memandangnya. Astaga, jangan bilang Marcell masih memperhatikannya sejak tadi?Felicia membatin, ‘Apa mungkin dia tertarik sama aku?’Karena sedang diperhatikan, Felicia pun batal mengambil minum. Ia duduk
Felicia melirik ke arah Marcell, lagi-lagi Marcell tak terlihat kaget. Sepertinya di sini hanya ia yang kaget. Apa mungkin Marcell sudah tahu, karena itulah Marcell terus menatapnya di tempat kerja?“Marcell nih sesuai kriteria kamu loh,” kata mama Felicia, senyum-senyum sendiri sambil menatap Marcell. “Ganteng, mapan, dan lebih tua dari kamu.”“Haha, iya, Jeng. Marcell baru genap tiga puluh tahun kok, jadi belum tua-tua banget. Cocok lah sama Feli,” sahut mama Marcell.“Betul.”Kedua ibu-ibu itu malah asyik sendiri.Yang dikatakan mamanya memang benar, Felicia mengakui itu. Dari segi kriteria, Marcell masuk ke dalam tipe calon suami idalamnya. Mapan, tampan, dan lebih tua darinya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Marcell, dan entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.“Kapan tanggal pernikahan yang cocok buat kalian ya?”Felicia melotot dan nyaris menyemburkan
“Jadi, Bu Feli mau pilih yang mana?” tanya Theo.“Uhm …”Felicia kembali menatap Theo dan Marcell yang tampak menanti jawabannya. Duh, ia bingung.Untungnya Diana dan karyawan lain datang. Marcell dan Theo pun beranjak dari tempat duduk.“Wah, ada sushi sama bento. Kamu beli, Fel?” tanya Diana.“Dikasih. Bantu aku habiskan ini, yuk,” ajak Felicia.“Siapa yang ngasih itu?” Diana terdiam sejenak, tadi sempat memergoki Marcell dan Theo di dekat Felicia. “Jangan bilang … Pak Marcell sama Theo?”“E-enggaklah! Bukan mereka!” sangkal Felicia. “Ini adikku yang ngasih, tadi dia datang ke sini.”“Hm … masa sih?” Diana tak percaya begitu saja. Ia tahu William, tak mungkin datang ke sini hanya untuk memberikan makan siang.Diana hendak kembali melontarkan pertanyaan, tapi mulutnya sudah lebih dulu dimasuki
Anehnya, Felicia tak bisa menolak ciuman Theo. Pikiran jernih Felicia lenyap entah ke mana saat Theo mengangkat tubuhnya lalu memindahkannya ke atas pangkuan pria itu.Napas Felicia memburu, ia mulai membalas ciuman Theo, mengalungkan tangannya ke leher Theo. Bunyi pertemuan bibir mereka terdengar jelas, untungnya saat itu di basement sedang sepi.Nafsu mulai menguasai Felicia ketika ia semakin merapat di pangkuan Theo dan merasakan tubuh Theo yang mengeras di bawah sana. Ia tak lagi ingat tempat! Padahal kini masih berada di dalam mobil.Suara dering dari ponsel Felicia berbunyi. Sontak, Felicia dan Theo terkejut. Mereka sama-sama menjauhkan wajah, memutus ciuman.Dengan napas terengah dan tangan gemetar, Felicia membuka tasnya lalu mengambil ponsel. Ada telepon masuk dari William.Felicia perlu bersyukur, untungnya sang adik menelepon. Kalau tidak, apakah ia akan berakhir berbuat mesum di sini?! Di basement dan masih di dalam mobil?! Gila! Yang benar saja!“Ha-halo, Will,” sapa Feli
“Ke-kenapa tiba-tiba meluk?” tanya Felicia, tapi ia masih diam, membiarkan Theo memeluknya dari belakang.Bukannya menjawab pertanyaan, Felicia mendengar Theo malah berujar, “Bu Feli kelihatan dekat sama Pak Marcell.”Felicia bisa merasakan pelukan Theo mengerat setelah mengatakan itu, seolah Theo tak mau melepaskannya.Namun, ternyata Felicia salah mengira. Theo melepaskannya beberapa detik setelahnya, tapi bukan untuk menjauh darinya.Theo memutar tubuh Felicia agar menghadapnya lalu menyentuh pundak Felicia. Dapat Felicia lihat raut wajah Theo tampak serius.“Saya lihat semuanya. Waktu Pak Marcell kasih makanan, kasih minum, dan tadi menawarkan pulang bersama sampai sentuh kepala Bu Feli. Kalian nggak sedang pacaran ‘kan?” tanya Theo, tampak tak tenang.Felicia tertegun mendengarnya. Jadi Theo melihat semuanya? Apa jangan-jangan karyawan lain juga ada yang melihat? Duh, gawat.Felicia menggeleng dengan cepat. “Nggak. Saya nggak pacaran sama dia.”Namun, kedua tangan Theo belum menja