Felicia memekik kaget dan refleks menjatuhkan dompet Theo. Ia pun menutup mulutnya sambil melirik ke arah Theo yang masih terlelap.
‘I-ini… tidak mungkin kan?’
Dengan panik Felicia mengambil KTM itu sambil berharap kalau Theo adalah mahasiswa S2, bukan S1 yang masih bocah. Namun, saat Felicia melihat keterangan di KTM itu …
“Theodorus Leonell Wijaya, mahasiswa S1, jurusan Manajemen!” pekik Felicia tertahan,.
Felicia menatap tanggal lahir yang tertera di kartu tanda mahasiswa milik Theo. Astaga, ternyata umur Theo baru dua puluh satu tahun! Theo enam tahun lebih muda dari Felicia!
“A-aku tidur dengan berodong?!”
Felicia seketika merasa tertipu. Kakinya langsung lemas, dan hampir terjatuh kalau tangannya tidak memegang tangan sofa lebih dulu. Ini gila!
‘Aku merelakan keperawananku untuk bocah 21 tahun?! Gila kamu, Feli!’
Tidak, hubungan ini harus segera diselesaikan. Felicia tidak mau bermain-main cinta dengan bocah ingusan yang 6 tahun lebih muda darinya. Ia mencari suami, bukan berondong!
Felicia bergegas mengambil barang-barangnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia harus kabur dari hotel itu sebelum Theo bangun.
“Ternyata aku korban penipuan bocah kuliah! Sialan!” Felicia berseru kesal dalam perjalanan pulang ke rumah usai kabur dari hotel.
Pantas saja Felicia merasa aneh. Tadi malam sebelum berakhir di hotel, Felicia sempat mengajak Theo mengobrol tentang pekerjaan. Namun, jawaban Theo terdengar seperti orang bingung.
Felicia kira itu karena Theo gugup, tapi memang ilmunya belum sampai sana. Mana ada bocah kuliahan yang paham dunia orang kerja?
Begitu sampai di rumah, Felicia langsung mendapat sambutan sinis dari adiknya, William. Pria itu meliriknya dari sofa, dengan TV menyala di depannya.
“Dari mana aja kamu, Kak? Tadi malam nggak pulang,” tanya William.
Felicia tidak langsung menjawab adiknya yang sekarang genap berusia 25 tahun itu. Ia hanya diam menatapnya. Kira-kira bagaimana kalau adiknya tahu apa yang terjadi tadi malam?
William itu pasti akan menertawakannya jika mengetahui dia menjalin hubungan dengan pria yang lebih muda dari dirinya, apalagi menjadi korban penipuan sampai berakhir di ranjang!
“Dari rumah Diana,” bohong Felicia, menyebut nama salah satu temannya.
William tampak tidak curiga, dan hanya melengos untuk kembali menonton TV. Ya, untung saja Felicia memang sering menginap di rumah teman-temannya, termasuk Diana.
Melihat dirinya lolos dari interogasi adik bawelnya itu, Felicia langsung melesat ke kamar. Namun, baru saja hendak rebahan, tiba-tiba terdengar dering dari ponselnya pertanda ada panggilan masuk.
Theo memanggil….
Ketika melihat nama yang tertera di layar, Felicia sontak melotot.
“Aku harus blokir nomornya!”
Panik, Felicia bergegas menolak panggilan yang masuk dari Theo. Dia pun memblokir nomor Theo kemudian.
“Gila! Berondong!” pekik Felicia ketika teringat umur Theo.
Tipe idaman Felicia adalah pria yang lebih tua darinya. Jika tidak ada, yang seumuran pun tidak masalah. Karena itulah dia ingin berkencan dengan Theo, bahkan sampai membawanya ke hadapan sang ibu.
Namun, siapa sangka, dunia begitu lucu sekarang.
Say no to berondong! Felicia tidak suka dengan pria yang masih bocah!
*
“Kenapa bengong?”
Felicia terlonjak kaget saat mendengar pertanyaan dari teman kerjanya sekaligus sahabatnya, Diana.
Dua hari lalu merupakan hari terburuk sepanjang hidupnya. Ia tidak bisa tidur, dan Theo tetap berusaha menghubunginya melalui semua media sosial.
Saking stresnya memblokir akun-akun Theo, Felicia sampai berangkat kerja satu jam lebih awal. Bukan untuk mulai bekerja, tapi hanya diam di depan komputer.
“Siapa yang bengong? Enggak tuh!” sangkal Felicia.
Diana menyipit curiga. “Lagi mikirin apa, hayo? Jangan-jangan … kamu udah punya pacar baru, ya?”
“E-enggak!”
Felicia diam. Kalau teman-temannya tahu dia menjadi korban penipuan bocah kuliah di aplikasi kencan, pasti dia akan ditertawakan. Saking sayangnya mereka dengan Felicia, bukannya menenangkan, mereka pasti mengumpat.
“Mampus! Nggak denger kata orang tua, sih!” Felicia sudah membayangkan suara Diana yang mengatakan itu di kepalanya.
Ah, sial. Felicia malah teringat lagi dengan malam panas bersama Theo.
Felicia ingat dengan jelas ukuran tubuh Theo. Gila! Bagaimana bisa bocah seperti Theo memiliki ukuran sebesar itu? Walaupun ini pertama kalinya untuk Felicia juga, setidaknya ia sudah beberapa kali menonton film dewasa, kan.
Memang Theo sangat menarik dari segi fisik, kepribadiannya dan suaranya juga oke. Namun, ketika mengingat bagaimana pria itu menipunya, Felicia kembali kesal dan marah.
“Hari ini katanya mau kedatangan anak magang,” suara Diana membuat Felicia membuyarkan lamunan mesumnya. “Ada yang ganteng nggak, ya?”
Diana tertawa cekikikan setelahnya.
Felicia berdecak, sambil memutar bola matanya. “Ingat! Kamu udah punya suami!”
“Iyalah, aku tahu. Cuma butuh cuci mata, barangkali ada yang ganteng.”
Felicia tidak peduli ada yang tampan atau tidak. Dia tidak tertarik dengan anak magang, karena mereka pasti bocah-bocah ribet yang selalu tanya ini-itu. Jadi daripada bergosip tentang hal yang tidak penting, lebih baik dia mengurus pekerjaannya.
Tak lama, manajer Felicia datang diikuti oleh beberapa anak muda di belakangnya. Para karyawan yang penasaran pun menoleh, sepertinya itu para anak magang.
“Fel, lihat tuh. Ada yang ganteng, woi! Badannya juga bagus,” bisik Diana di sebelahnya.
“Nggak tertarik,” ucap Felicia sambil menatap layar komputer, tidak menoleh sama sekali.
Sang manajer menyuruh para anak magang itu untuk berkenalan. Mau tak mau, Felicia juga berdiri di mejanya, siap menyambut anak-anak magang itu.
“Halo, Bu.”
Deg!
Suara berat itu mengingatkan Felicia dengan desahan rendah di hotel malam itu. Tubuh Felicia langsung menegang. Perlahan, Felicia pun mengangkat pandangannya.
“Saya Theodorus, mohon bimbingannya untuk ke depan.” Benar, itu Theo, pria berondong yang tidur dengannya malam itu.
Theo melempar senyum yang tidak Felicia ketahui maksudnya, tetapi senyum itu mampu membuat Felicia merinding dan teringat dengan kejadian malam panas waktu itu.
“Sa-saya Felicia.”
Felicia membalas jabat tangan Theo dengan dada berdebar hebat. Bagaimana bisa dia bertemu lagi dengan Theo?! Takdir macam apa ini?! Ingin rasanya Felicia menjerit lalu kabur dari sini secepatnya.
Namun, keterkejutan Felicia teralihkan saat menatap tangannya yang berjabatan dengan Theo. Dia terpana, otot tangan Theo terlihat seksi, tangannya pun kekar saat menggenggamnya.
Grep!
Felicia tersentak kaget saat Theo tiba-tiba meremas tangannya.
***
Felicia buru-buru melepaskan jabat tangannya dengan Theo. Sepertinya dia sudah tidak waras, bisa-bisanya dia malah terpikirkan hal mesum!“Anak magang dibimbing sama asisten manajer Felicia ya. Kalau ada pertanyaan bisa ke dia,” kata sang manajer.Sontak, Felicia melotot. Dia harus membimbing anak magang yang di dalamnya ada Theo? Tidak!“Tapi, Pak—”Felicia langsung menghentikan ucapannya saat melihat atasannya, menatapnya sambil tersenyum. Felicia paham maksud tatapan dan senyum manajernya itu, tandanya beliau tidak mau ditolak. Pasrah, akhirnya Felicia diam dan menerima. “Baik, Pak.”Felicia menghela napas ketika atasannya itu keluar dari ruangan. Ia memang sudah pernah mendengar soal anak magang ini, tapi tidak pernah tahu kapan mereka datang. Apalagi soal Felicia yang menjadi penanggungjawabnya.“Kalian, ikut saya,” perintah Felicia setelahnya kepada anak magang.Felicia mengajak mereka memutari ruangan sambil menjelaskan beberapa hal, termasuk aturan dan apa saja yang harus dik
Felicia memijat keningnya, kepalanya berdenyut. Dia merasa stres setelah kedatangan Theo di tempat kerjanya, bahkan di akhir pekan seperti ini juga dia masih pusing.Bagaimana tidak? Theo terus mengganggu Felicia, baik itu di tempat kerja maupun saat Felicia sudah tiba di rumah. Saat di tempat kerja, Theo sering mengikuti Felicia seperti anak ayam yang mengekori induknya. Sedangkan saat di rumah, Felicia sering mendapatkan chat dan telepon tidak penting dari Theo. Ini karena Felicia sudah membuka blokiran nomor Theo.“Makanya cari pacar biar nggak pusing lagi. Seenggaknya pacar bisa menghiburmu,” ucap Fani, teman Felicia.Saat ini Felicia sedang berada di café milik suami Fani, tempat biasanya Felicia nongkrong dan bertemu dengan teman-temannya.“Pacar….” gumam Felicia. Dia hendak kembali bicara, tetapi terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari arah belakang.“Hai, Bu Feli,” suara berat itu seketika membuat Felicia menegang di tempatnya. “Atau seharusnya saya pan
“Serius, Pak?!” pekik Diana dengan mata melotot.Tak hanya Diana yang kaget, Felicia dan yang lainnya juga.Sang manajer kembali berbisik-bisik, “Iya, tapi saya nggak tahu anaknya yang mana. Makanya kalian perlakukan para anak magang dengan baik, jangan macam-macam. Dan saya perlu kasih kesan baik, jadi kita adakan makan malam buat menyambut mereka.”Felicia dan rekan-rekan kerjanya mengangguk paham masih dengan raut kaget. Benarkah ada anaknya sang pemilik perusahaan? Felicia jadi penasaran.Mereka mulai menduga-duga siapa anak magang yang dimaksud sang manajer. Apakah pria atau wanita? Siapa namanya? Dan dugaan lainnya.“Kalau menurutku, anaknya Pak Martin cewek yang itu.” Salah satu karyawan menunjuk seorang perempuan di antara anak magang.Perempuan yang dimaksud bernama Sophia. Ia memang tampak paling mencolok di antara anak magang yang lain. Ia juga yang terlihat paling supel di hari pertama, bahkan memberikan kukis kepada para senior di hari kedua. Belum lagi barang-barang yan
“Theo! Lepas! Nanti dilihat orang lain!”Felicia berseru sambil berusaha melepaskan tangan Theo yang membelit pinggangnya. Namun, sialnya, pelukan Theo amat kuat. Astaga!“Felicia… temani aku. Jangan pergi, please…” mohon Theo, bahkan pria itu mulai menggesekkan kepalanya di perut Felicia, persis seperti anak kucing.Felicia menganga saat melihat Theo mengerjapkan mata dengan tampang sok imut, setelahnya pria itu mengerucutkan bibirnya. Pria ini sedang apa sih? Ia akui Theo memang menggemaskan, tetapi hanya sesaat!“Saya nggak bisa melupakan kejadian waktu di hotel, nggak bisa!”Wajah Felicia rasanya baru dilempar bara api, panas sekali. Mendadak tubuhnya kaku, bahkan untuk mendorong Theo kembali saja tidak mampu.“Saya ingat terus ‘rasa’ Felicia gimana—hmp!”Khawatir ada orang lain yang mendengar racauan gila Theo, Felicia bergegas membungkam mulut Theo dengan tangannya. Jangan sampai Theo mengoceh sesuatu yang berbahaya!“Ssttt! Diam, Theo!” desis Felicia tajam.Theo mengangguk patu
“Lepas, The! Saya harus pergi!”Sayangnya, Theo tak menggubris. Ia memejamkan mata dan memeluk Felicia sambil mencari posisi yang nyaman. Sedangkan Felicia kesulitan ketika mencoba melepaskan tangan Theo yang membelit tubuhnya.Felicia menghela napas pada akhirnya, berniat membiarkan Theo seperti ini hanya sekitar sepuluh menit. Namun, ia yang lelah malah berakhir terpejam.Mereka sama-sama ketiduran.Itu adalah malam yang melelahkan, tapi anehnya Felicia bisa tidur dengan nyenyak. Kasur yang ia tempati terasa sangat hangat dan nyaman. Bahkan selimutnya bisa membelai pipinya dengan lembut.Tunggu!M-membelainya?Felicia membuka matanya lebar-lebar. Wajah Theo yang sedang mengerjapkan mata, lalu tersenyum hangat menjadi pemandangan pertama.Namun, bukan itu masalahnya. ‘Sejak kapan aku berada di pelukan pria ini?!’“AAAA!” Felicia refleks mendorong tubuh Theo. “Apa yang kamu—”Seketika, ia teringat dengan kejadian tadi malam. Astaga, bisa-bisanya ia berakhir ketiduran di kasur Theo!F
Entah mengapa Felicia merasa lemah setiap kali mendengar permohonan Theo, seperti malam tadi saat Theo memeluknya. Pagi ini pun ia membiarkan Theo memeluknya seperti ini selama beberapa saat.Felicia hanya diam, tak bicara dan tak juga membalas pelukan Theo. Namun, ia merasa waswas karena ini di tempat umum, bagaimana kalau ada karyawan lain yang melihat? Mata Felicia pun terus bergerak ke sana kemari mengawasi sekeliling.“Theo, sudah atau belum?” tanya Felicia.“Belum,” jawab Theo.Theo masih memeluk Felicia dari belakang, dan kini malah mengeratkan pelukannya sambil menumpukan dagunya di puncak kepala Felicia lantas mengendus bau harum rambut Felicia.“Tadi katanya cuma sebentar.” Felicia sedikit menoleh ke belakang.“Satu menit lagi,” tawar Theo, kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Felicia.Felicia menghela napas. Sekali lagi, ia begitu lemah dengan suara lembut pria ini. 'Baiklah, hanya satu menit lag.'Eratnya pelukan Theo membuat Felicia dapat merasakan otot tubuh T
Pria itu memang terlihat sangat menawan. Tubuhnya terlihat kokoh dan tinggi, seperti aktor-aktor Amerika yang sering Felicia tonton. Walaupun terdapat kumis tipis, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya. Malah membuat aura wibawa itu semakin kuat.Kalau dibandingkan Theo... mungkin berbeda.Marcell memiliki tatapan mata yang kuat dan tajam, seperti predator yang siap memangsa Felicia. Senyumnya terasa penuh kemisteriusan, berbeda dengan Theo yang seperti anak anjing. Namun biar begitu, Felicia tidak merasa nyaman.Untungnya perkenalan berlangsung singkat, jadi Felicia bisa kembali ke tempatnya dan mulai fokus pada pekerjaannya.Sekitar satu jam kemudian, Felicia beristirahat sejenak dan hendak mengambil minum. Ketika ia tanpa sengaja menoleh ke arah Marcell, rupanya pria itu sedang memandangnya. Astaga, jangan bilang Marcell masih memperhatikannya sejak tadi?Felicia membatin, ‘Apa mungkin dia tertarik sama aku?’Karena sedang diperhatikan, Felicia pun batal mengambil minum. Ia duduk
Felicia melirik ke arah Marcell, lagi-lagi Marcell tak terlihat kaget. Sepertinya di sini hanya ia yang kaget. Apa mungkin Marcell sudah tahu, karena itulah Marcell terus menatapnya di tempat kerja?“Marcell nih sesuai kriteria kamu loh,” kata mama Felicia, senyum-senyum sendiri sambil menatap Marcell. “Ganteng, mapan, dan lebih tua dari kamu.”“Haha, iya, Jeng. Marcell baru genap tiga puluh tahun kok, jadi belum tua-tua banget. Cocok lah sama Feli,” sahut mama Marcell.“Betul.”Kedua ibu-ibu itu malah asyik sendiri.Yang dikatakan mamanya memang benar, Felicia mengakui itu. Dari segi kriteria, Marcell masuk ke dalam tipe calon suami idalamnya. Mapan, tampan, dan lebih tua darinya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Marcell, dan entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.“Kapan tanggal pernikahan yang cocok buat kalian ya?”Felicia melotot dan nyaris menyemburkan