Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.
“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.
“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”
Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”
“Oke tuan puteri.”
Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mereka mencatat pesanan Grazian dengan baik, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan keduanya.
“Tadi pagi kamu enggak sarapan?” Tanya Merona pada akhirnya.
Grazian menggeleng. “Mana sempet, bangun tidur langsung mandi terus ke temuin kamu.”
“Pulang kuliah aku mau ke Bogor ya.”
“Aku antar.”
Merona menunduk, menghindari tatapan Grazian. “Aku mau sendiri, lagi pula nanti malam kamu harus…”
“Enggak Roo! Aku enggak akan biarin kamu ke sana sendirian dan lagi aku enggak akan datang ke acara ulang tahun perusahaan sialan itu!”
Kalimat penuh ketegasan itu akhirnya membungkam Merona. Grazian jika sekali berkata tidak maka, selamanya akan tidak. Sering kali Merona mendapati dirinya tersesat dan kesulitan menyangkal setiap tindak tanduk lelaki yang duduk santai di depannya itu sambil memainkan ponselnya. Merona yakin Grazian tengah membalas pesan-pesan dari deretan kekasihnya.
Pernah Merona bertanya apa Grazian tidak lelah menjalani hubungan seperti itu? hubungan tanpa arah dan kepastian. Saat itu Grazian menjawab dengan lantang bahwa dirinya butuh pelarian jika tidak maka, Merona bisa saja menjadi pelampiasan Grazian dalam segala hal. Sedangkan Grazian sendiri tidak ingin menyakiti Merona.
Sadar bahwa suasana hati Grazian memburuk Merona meraih tangan lelaki itu untuk digenggam. Mengusap punggung tangannya. “Kamu inget enggak waktu aku mau bunuh diri terus kamu bilang kalau sekejam apapun keluarga, mereka akan tetap menjadi keluarga. Satu hubungan yang tak bisa diputus oleh apapun kecuali Tuhan.”
Grazian ingat pernah mengatakan itu pada Merona. Mengatakan bahwa membenci keluarga hanya akan menyakiti hati sendiri. “Itu sebelum aku tahu pengkhiatan itu, Roo.” Dua orang pramusaji datang mengantar makanan mereka. Grazian langsung diam menunggu mereka segera pergi. Setelah dia kembali berkata. “Makan dulu, jangan bahas apapun. Aku lapar.”
Ada udang bakar di sana. Merona mengambil satu untuk dipisahkan antara dagingnya dan cangkang. Grazian suka udang tapi, paling malas memisahkan cangkangnya. Merona selalu melakukan hal itu untuk Grazian, sama seperti ketika Merona makan ayam maka, Grazian akan memisahkan kulitnya dan memberikannya pada Merona si penggemar kulit ayam.
Merona tersenyum saat Grazian makan dengan lahap. Lelaki itu benar-benar terlihar kelaparan. Grazian saat makan lebih suka hening, Merona tahu itu jadi dia pun mengikuti aturan makan Grazian. Menerima suapan dari Grazian saat lelaki itu menyodorkan makanan ke mulutnya. Saling pandang, tersenyum dan menyuapi mereka benar-benar selayaknya sepasang kekasih
Tapi, jika ditanya apakah mereka kekasih? Maka, Merona tidak bisa menjawab tegas dengan ‘Iya’ tapi, juga tidak bisa mengatakan tidak. Dilihat dari dekatnya mereka, berbagi tempat tinggal dan mengetahui rahasia masing-masing yang tidak bisa disepelekan. Kedekatan keduanya dari sudut pandang Merona hanyalah dua insan yang terluka, yang berusaha saling menjaga tanpa mau kehilangan dan tanpa status yang jelas. Perasaannya terhadap Grazian menjadi sesuatu yang nyaris mustahil akan berbalas.
Dari sudah pandang Grazian, gadis yang bersamanya sekarang itu adalah tumpuan hidupnya. Alasannya bertahan, tempatnya pulang membagi luka dan tangisnya. Kejam memang tapi, Grazian yang tahu perasaan Merona tak pernah sekalipun menyatakan cinta pada gadis itu. Jika memanggil Merona dengan sebutan sayang maka, semua gadis pun dipanggil sayang olehnya.
Selesai makan Grazian kembali mengantar Merona ke kampus. Menurunkan gadis itu di depan gerbang kampus. Grazian masih ada urusan dengan pacarnya yang lain tapi, Grazian menjanjikan akan menjemput Merona dan mengantar gadis itu ke Bogor. Merona mengangguk setuju saja.
***
Jam empat sore Merona sudah selesai dengan kelasnya. Dia mengirim pesan pada Grazian untuk memberi tahu tapi, langkah Merona terhenti saat Aresh menghadang jalannya. “Ada apa, Resh?”
“Gue mau tanya tadi pas makan siang lo sama siapa?” Aresh Melipat tangannya di dada menunggu jawaban Merona.
“Harus banget ya aku kasih tahu?”
“Ya haruslah, lo naik mobil mewah Roo. Mobil siapa itu?”
Merona melangkah melewati Aresh yang kini mengikutinya. “Emang kenapa kalau aku naik mobil mewah? Enggak pantas karena aku cuma anak beasiswa?”
“Bukan begitu maksud gue tapi, aneh aja Roo. Waktu gue bawa mobil dan mau anter jemput lo nolak. Ya gue merasa tersinggung aja karena lo menolak ajakan gue tapi, enggak dengan orang lain.”
Berhenti melangkah, Merona menghadap Aresh. Menatap tepat di mata lelaki yang sudah pernah menyatakan cinta padanya itu. “Dia bukan orang lain buat aku, Resh. Dia alasan aku sampai sekarang masih hidup. Dia satu-satunya orang yang ada untuk aku saat aku sengsara disaat yang lain mengusir dan memilih pergi."
Aresh terdiam akan penuturan gadis itu. “Grazian, iyakan?” tanyanya kemudian. Bisa Aresh lihat keterkejutan Merona karena dirinya tahu perihal Grazian.
“Bukan.” Merona mencoba menyanggah.
“Gue tahu Roo selama ini lo tinggal sama Grazian. Itu alasannya lo enggak mau gue antar jemput dan gue juga tahu kalau lo terikat sama dia.” Sedikit berbisik Aresh menuturkan apa yang dia ketahui tentang Merona dan Grazian.
“Apa yang kamu tahu lagi?” tanya Merona penuh selidik. Bagaimana pun hubungannya dengan Grazian harus tetap menjadi rahasia.
“Enggak banyak, hanya sebatas tahu lo tinggal bersama play boy itu.”
Merona menghela nafas. “Maaf Resh kalau tindakan atau perkataan aku pernah menyinggung kamu tapi, aku mohon jangan bawa-bawa kehidupan pribadi aku dalam pembicaraan kita. Masalah aku tinggal dengan Grazian itu privasi. Jangan kamu umbar ke siapapun karena aku enggak suka dengan orang yang suka mengumbar urusan pribadi aku.”
Kali ini Aresh yang dibuat bungkam oleh Merona. Dirinya memang tidak berniat membocorkan rahasia itu pada siapapun, lagi pula dia hanya ingin tetap Merona di dekatnya. Aresh meraih tangan Merona. “Dia enggak baik buat lo dan gue enggak mau lo terpengaruh hal-hal buruk dari Grazian.”
Pelan-pelan Merona melepas tangan Aresh dari pergelangan tangannya. “Aku lebih tahu dia, Aresh lebih dari siapapun. Kamu enggak usah khawatir.” Katanya lalu pergi begitu saja sebab ponselnya sudah berdering. Grazian sudah menunggunya.
Bergegas Merona mengambil langkah lebar-lebar. Buku dalam pelukkannya nyari terjatuh tapi, segera dia perbaiki. Menarik tas dari punggungnya untuk memasukkan semua buku-buku tebal itu ke dalamnya, lalu kembali berjalan menuju gerbang. Dari pesan yang Grazian kirim lelaki itu mengatakan menunggunya di sana tapi, sebelum sampai Merona bisa melihat dari kejauhan ada Grazian di salah satu kedai kopi tengah mengobrol dengan dua gadis.
“Tebar pesona terus.” Kata Merona pada dirinya sendiri. Dia lalu mengambil ponselnya mengirim pesan tapi, nampaknya Grazian masih asyik dengan dua gadis itu. Merona memantaunya.
Dia duduk di salah satu bangku taman. Kembali mengirim Grazian pesan, berharap lelaki itu mau membacanya.
Masih asyik ya ngobrolnya? Kalau gitu aku ke Bogor duluan ya.
Dan Grazian dalam pandangan Merona masih belum membuka ponselnya. Benar-benar play boy kelas kakap yang pandai sekali tebar pesona dan mencuri banyak perhatian. Lima menit Merona menunggu akhirnya memilih untuk menghubungi lelaki itu, kali ini Grazian mengangkatanya. Mengambil jarak dari dua gadis yang sejak tadi berbincang riang dengannya.
Mata Grazian langsung mengedar ke sekeliling, melihat Rona ada di seberang sana. Lelaki itu tersenyum. “Kamu tunggu di sana, aku ambil mobil dulu.”
“Hmmm.” Merona hanya bergumam membalas perkataan Grazian, kemudian mematikan sambungannya.
Mata Merona tetap memperhatikan Grazian yang mengambil mobilnya yang terparkir di depan mini market, sedikit jauh dari tempat lelaki itu mengobrol dengan gadis-gadis yang ditemui di kedai kopi. Dari parkiran mini market, mobil Grazian harus putar arah untuk sampai di depan Merona. Langsung masuk seperti biasanya. Merona diam tanpa bicara.
“Maaf deh, tadi ceweknya ngajak kenalan duluan.”
Menyindir perkataan Grazian, Merona membalas dengan tenang. “Biasanya juga gitu. Mereka ngajak kenalan terus kamu ladenin, kamu simpan nomor ponsel mereka, kamu ngobrol sehari dua hari udah jadian. Aku udah paham gimana step kamu cari mangsa.”
“Emang cuma kamu yang paling ngerti aku.” Kata Grazian dengan kekehan lalu mengusak puncak kepala Merona.
Tapi, tangan itu segera ditepis Merona. “Kena karma tahu rasa kamu.”
“Ya enggaklah, aku kan main bersih.”
“Kalau karmanya lewat aku gimana?” kali ini Merona bertanya dengan serius. “Kamu yang main-main terus aku yang kena karmanya.”
Grazian yang semula ingin melajukan mobilnya memilih untuk menunda sejenak menanggapi perkataan Merona. “Itu enggak akan terjadi. Kamu selalu ada dalam perlindungan aku dan kamu aman.”
“Semoga.”
Pelan-pelan mobil mulai bergerak dari Jakarta menuju Bogor. Tempat tinggal Merona dahulu. Grazian sudah tahu kebiasaan Merona yang akan berkunjung ke Bogor disetiap akhir bulan. Bukan untuk menemui keluarganya tapi, untuk mendatangi pemakamannya sendiri. Merona dianggap sudah mati oleh keluarganya. Datang ke tempat itu untuk mengingatkan Merona pada betapa kejam keluarganya sendiri.
Grazian dan Merona sampai di Bogor saat malam. Mereka menginap di salah satu hotel, sebelum kemudian pagi-pagi mereka check out. Tujuan mereka adalah salah satu pemakan di kawasan Bogor, di sinilah mereka sekarang. Di pemakan yang sepi tanpa sempat sarapan.Merona terlahir kembar hanya saja kembaran Merona meninggal ketika lulus SMP dahulu. Namanya Pelangi, nama yang terukir di batu nisan tepat di sebelah makam kosong atas nama Merona Jingga. “Maaf ya karena aku udah buat kamu meninggal, sekarang rasa memang pantas kalau mama dan papa anggap aku sudah meninggal juga.”Grazian yang duduk di sisi Merona nampak tidak peduli dengan apa yang Merona lakukan. Lelaki itu sibuk membalas pesan-pesan manis yang dikirimkan oleh para jajaran kekasihnya. Bagi Grazian itu rasanya sangat menyenangkan. Membuat gadis-gadis itu melambung lalu setelah bosan dia putuskan hubungan. Dua atau tiga hari, paling lama sebulan.“Zian, aku lagi sedih kok kamu mala
Grazian melempar jaketnya yang kotor secara asal ke sofa dan Merona melihat itu. Kesal memang tapi, gadis itu sedang tidak ingin berdebat. “Roo tadi aku disiram sama mantan yang enggak tahu keberapa. Jaket aku yang dari kamu jadi kotor." Katanya mengadu pada Merona.“Bagus deh, itu artinya mantan kamu itu lebih punya otak dibanding cewek-cewek kamu yang lainnya.”Tanggapan Merona membuat Grazian jadi kesal dan cemberut. Lelaki itu memeluk Merona dari samping. “Kok tega sih ngomongnya? Aku enggak suka ya kamu kayak gitu sama aku.”“Iiih! Zian lepas! Itu baju kamu kotor, rambut kamu juga tuh bau kopi!”"Enggak mau," Grazian semakin mengeratkan pelukannya. "Minta maaf dulu Roo karena kamu udah ngomong enggak sopan sama aku barusan."Merona menghela nafas. Tugasnya masih banyak jika tidak menuruti kemauan Grazian maka lelaki itu tidak akan melepaskannya. Sebagai makhluk waras Merona lebih memilih mengalah.
Ada banyak pelarian yang bisa diambil untuk melepaskan penat, marah dan segala emosi. Sayangnya tak semua mengambil tempat pelarian yang tepat. Grazian salah satunya yang memilih menjadi nakal untuk melepaskan emosinya walau dia tahu tak pernah ada yang selesai dari jalan yang dipilihnya.Semakin malam semakin ramai jalanan di tepi kota yang akan menjadi arena balap dadakan. Sekumpulan muda-muda membentuk dua kelompok di sisi kiri dan kanan jalan. Mendukung jagoan mereka masing-masing. Grazian sendiri tentu lebih mengandalkan Genta siswa SMA yang nasibnya hampir sama dengan Grazian. Punya orang tua tapi, terasa yatim piatu.Gadis-gadis berpakaian seksi, celana pendek yang dipadu dengan tangtop ketat. Satu dari mereka bergelayut manja di lengan Grazian. Tidak tahu siapa namanya tapi, Grazian menikmati ketenarannya di antara para gadis. Membiarkan satu dari mereka menciumnya atau memberikannya minum. Grazian tidak turun ke jalan dia hanya akan mengawasi Genta Ja
Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”Sedan
Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melih
Merona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa.
Jika Merona tengah serius mendengarkan dan memperhatikan hal-hal apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang membimbing kelompoknya di rumah sakit jantung maka, lain halnya dengan Grazian yang kini tengah memamerkan kehebatannya bermain basket sembari bertelanjang dada memberikan tontonan gratis untuk kaum hawa yang memekik memujanya. Semakin heboh teriakan mereka setiap kali Grazian berhasil menggiring bola basket masuk sempurna ke dalam ring. Terasa semakin seksi ketika lelaki itu mengelap peluhnya dengan punggung tangan, lalu menyugar rambutnya hingga keningnya terlihat membuat jantung para gadis berdebar-debar ingin mendaratkan satu kecupan manis di atas kening mulus itu. Grazian tentu saja menikmati popularitasnya, bahkan melemparkan kedipan genit pada sekumpulan gadis yang berdiri di pinggir lapangan setelah berhasil melempar kembali memasukan bola ke dalam ring. “Aaah! Grazian main mata ke gue!” pekik salah satu di antara mereka. “Mana ada? Sama gue kali, tuh! Senyum dia ke gue
Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit. Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang. Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diput
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses
Merona senang dan merasa sangat bahagia bisa terus bersama Grazian. Setidaknya selagi dirinya bisa. Kabar perihal rencana kepergian Grazian ke Macau adalah ketakutan Merona. Seyakin dirinya pada tindakan kakek. Pria tua memang sudah terlalu lama baik pada dirinya dengan tetap membiarkan Merona tinggal bersama Grazian. Setelah semua kebaikan itu, mesti ada sesuatu yang harus Merona bayar.Seperti siang ini Merona tak menyangka kakek memintanya bertemu di sebuah restoran dengan ruangan privat. Saat Merona masuk dengan diantar pramusaji, dia sudah melihat kakek duduk santai menikmati hidangan yang disajikan. Kakek melihat kedatangannya, lalu memintanya segera duduk.“Duduklah,” pintanya dengan suara tua yang khas.Merona menarik kursi untuknya duduk di hadapan kakek. Sajian makanan yang sudah tersedia tak cukup mampu menggugah seleranya. Merona tak pernah berani membuka pembicaraan dengan kakek. Sejak dulu dia takut pada kakek yang sering kali menatapnya sinis.“Grazian sudah memberitahu
Bagi hampir sebagain orang berpasangan dengan seseorang yang sesuai level mereka adalah keharusan. Entah itu secara kecerdasan, gelar atau pun kekayaan. Pentingnya bukan hanya untuk memperkuat status sosial mereka, tapi juga untuk mencegah rasa minder dari pasangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Danisha—wanita yang sudah melahirkan Darren. Benar memang bahwa Darren sudah bertunangan, namun bagi Danisha untuk merestui sampai ke jenjang pernikahan jelas tidak akan terjadi.Sepulang dari gala dinner, Darren duduk di teras rumah sederhana Alesha. Ayahnya gadis itu adalah seorang kepala sekolah SMP dan ibunya seorang penjahit. Meski kehidupan Alesha tidak kekurangan, namun di mata Danisha tidak kekurangan saja belum cukup. Darren dibuat galau malam ini setelah dipertemukan dengan Angela. Terlebih lagi kakek Alesha adalah orang yang tak pernah disukai Danisha. “Kopinya,” ujar Alesha menyuguhkan secangkir kopi hitam buatan tangannya sendiri.Darren tersenyum menatap tunangannya itu. “
Merona menghela nafas lega tatkala yang berdiri di hadapannya adalah Hanna. Cewek itu sudah tahu perihal hubungannya dengan Grazian, tapi Hanna tetap merasa tidak nyaman ketika melihat Merona bersama Grazian. Pandangan mata Hanna pada Grazian sangat tajam. “Lo kalau berani nyakitin Merona, gue potong burung lo dua kali. Sampai ke akarnya!” ucapnya memperingati Grazian. Apa yang baru saja Hanna katakan membuat Grazian ngeri sekaligus tersenyum kikuk. “Hehehe... Iya.”Hanna lalu memijat keningnya. “Aduh, pusing gue menghadapi kenyataan ini,” katanya lalu pergi begitu saja. Merona dan Grazian saling berpandangan dan terkekeh kemudian. “Itu enggak apa-apa dia tahu?”“Dia justru tahu duluan tanpa aku kasih tahu,” jawab Merona. “Dia hapal sama tas yang aku pakai.”Mereka keluar dari perpustakaan setelah mendapatkan beberapa buku yang Merona butuhkan. Saat keduanya keluar mereka melihat Hanna yang sedang membeli cilok. Merona tersenyum tipis melihat hal itu. Saat Merona dan Grazian mendek
Merona duduk di bangku taman bersama Hanna. Ada setumpuk camilan dan minuman segar di tengah-tengah mereka. Bukan sedang mengerjakan tugas, tapi sedang bergosip. Hanna menjadi sumber paling terpercaya bagi Merona. Sahabatnya itu bercerita dengan sangat menggebu-gebu. “Gue bahkan menyusup ke WAG deretan para mantan Grazian,” jelas Hanna ketika berhasil mendapatkan link group khusus yang dibuat mantan Grazian. “Serius mereka sampai punya group? Buat apaan coba?”“Isinya tuh mencari tahu pacar Grazian yang baru. Lo kayaknya beneran kudu waspada. Di antara mereka ada satu yang terobsesi banget sama Grazian. Nih, lo lihat sendiri aja obrolan mereka.”Hanna memberikan ponselnya pada Merona agar sahabatnya itu membaca sendiri obrolan mereka. “Terus kalau misalnya mereka tahu siapa pacarnya Grazian sekarang, mau diapain gitu?”“Disuruh putus kali.”Merona mengembalikan ponsel itu pada Hanna. “Grazian emang sudah keterlaluan sebagai cowok. Mungkin enggak sedikit dari mereka yang hatinya saki