Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
- 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern
Salah besar jika Grazian selama ini diam dan tidak tahu menahu keberadaan Merona. Pria itu tetap tahu kabar pujaan hatinya, meski hidup di bawah tekanan sang kakek tetap saja Grazian mengawasi Merona. Pria itu bahkan tahu soal Sagara—anaknya bersama Merona. Semua kemudahan yang Merona dapatkan pun tak lepas dari campur tangan Grazian. Hanya saja pria itu menahan diri untuk kontak langsung dengan Merona demi keselamatan mereka.Namun hari ini rupanya Grazian sudah tak sabar menahan diri lagi. Terlebih dia mempunyai kesempatan sejak kondisi kakeknya memburuk. Sepenuhnya kekuasaan sekarang ada di tangan Grazian, namun dia khawatir jika Merona enggan menemuinya. Jauh dari Merona membuat kehidupan Grazian berubah, terasa semakin kelam dan kotor dunianya. Grazian terkadang bertanya-tanya tentang apakah memang pantas dirinya untuk Merona?Grazian menatap Sagara lewat jendela mobilnya. Bocah lelaki itu tengah duduk di bangku taman bersama pengasuhnya. Ada anak-anak kecil lainnya yang bermain
Kabar rumah angker yang sudah dibeli dan sedang dibongkar untuk renovasi itu langsung menyebar ke seluruh lingkungan. Termasuk Sagara, bocah itu bercerita pada Merona bahwa Om tampan yang dijumpainya tempo harilah yang membeli rumah tersebuh.Merona masih tak tahu siapa om tampan yang dimaksud anaknya. Lantai dia bertanya pada Chika. “Kamu tahu siapa om tampan yang dibicarakan Sagara?”“Oh itu, waktu di taman beberapa hari yang lalu ada om-om duduk di samping Sagara terus ngajak ngobrol. Kalau enggak salah namanya Zyan Malik.”Sesaat Merona terdiam. “Saya kan sudah bilang jangan dekat-dekat orang asing.”“Bukan orang asing, Mami. Nanti om tampan itu kan jadi tetangga kita juga.” Timpal Sagara sambil duduk di meja makan dan menarik piring berisi omlete dan roti panggang untuk cemilan sorenya.“Kok kamu tahu kalau om-om itu akan jadi tetangga kita?”“Tahulah,” jawab Sagara bangga. “Pulang sekolah tadi kan aku main di rumah Sulki yang rumahnya di depan rumah angker itu, Mi.”Merona waspa
Sagara sudah pusing melihat ibunya yang sejak tadi mondar-mandir tak karuan. Bocah lelaki itu tak mengerti karena ucapan Merona tak sesuai seperti siang hari. Sagara dilarang datang ke ulang tahun adiknya Sulki. Alhasil Sagara melewatkan ajakan beberapa teman sepermainnya.“Siang tadi Mami bilang boleh, Mami juga yang akan antar. Kenapa sekarang enggak boleh?” tanya Sagara lesu.Merona berhenti mondar-mandir, dia menatap putra tunggalnya. “Maafin Mami ya.”“Mami harus kasih alasan yang jelas dong.”Tentu saja Merona tidak tahu harus memberi alasan jelas seperti apa. Langit tidak hujan, tidak pula ada badai. Sekuat apapun Merona mencari alasan, hasilnya tetap saja buntu. Sampai kemudian pintu rumahnya diketuk dari luar, Merona terlonjak kaget. Lalu terdengar suara beberapa anak memanggil anaknya.“Sagaaa!”Sagara melompat dari kursinya. Buru-buru dia keluar menghampiri kawan-kawannya. Merona tak sempat mencegah ketika anaknya itu membuka pintu depan rumah. Sagara tersenyum melihat tema
Bad boy kalau masih ingat ibadah namanya bukan bad boy atau masih sayang orang tua. Ah, itu juga tidak bisa disebut bad boy sejati. Contoh the true bad boy adalah Grazian Pradipta Halvor. Bad boy dari segala kumpulan bad boy. Mendefiniskan Grazian hanya akan membuat naik darah, terus kena serangan jantung atau mendadak kena stroke. Segala citra buruk menumpuk dalam seorang Grazian.Pemangsa wanita? Of course he is the number one. Pagi berangkat dengan si seksi dari kelas A, siangnya sudah makan berdua dengan si polos dari kelas B di kantin, sorenya saat pulang sudah berganti lagi dengan si cantik dari kelas C. Saat malam Grazian semakin liar duduk di club dengan deretan wanita berpakaian minim di sisi kiri dan kanannya.Mabuk? Itu pasti. Merokok? Jangan ditanya lagi, kamarnya saja sudah beraroma nikotin. Sexs? Dia akan melakukannya dengan senang hati pada wanita-wanita yang rela menjatuhkan diri ke dalam pelukkan hangatnya. Berkelahi? Grazian jagonya. Raja jalanan tapi, Grazian tidak m
Sagara sudah pusing melihat ibunya yang sejak tadi mondar-mandir tak karuan. Bocah lelaki itu tak mengerti karena ucapan Merona tak sesuai seperti siang hari. Sagara dilarang datang ke ulang tahun adiknya Sulki. Alhasil Sagara melewatkan ajakan beberapa teman sepermainnya.“Siang tadi Mami bilang boleh, Mami juga yang akan antar. Kenapa sekarang enggak boleh?” tanya Sagara lesu.Merona berhenti mondar-mandir, dia menatap putra tunggalnya. “Maafin Mami ya.”“Mami harus kasih alasan yang jelas dong.”Tentu saja Merona tidak tahu harus memberi alasan jelas seperti apa. Langit tidak hujan, tidak pula ada badai. Sekuat apapun Merona mencari alasan, hasilnya tetap saja buntu. Sampai kemudian pintu rumahnya diketuk dari luar, Merona terlonjak kaget. Lalu terdengar suara beberapa anak memanggil anaknya.“Sagaaa!”Sagara melompat dari kursinya. Buru-buru dia keluar menghampiri kawan-kawannya. Merona tak sempat mencegah ketika anaknya itu membuka pintu depan rumah. Sagara tersenyum melihat tema
Kabar rumah angker yang sudah dibeli dan sedang dibongkar untuk renovasi itu langsung menyebar ke seluruh lingkungan. Termasuk Sagara, bocah itu bercerita pada Merona bahwa Om tampan yang dijumpainya tempo harilah yang membeli rumah tersebuh.Merona masih tak tahu siapa om tampan yang dimaksud anaknya. Lantai dia bertanya pada Chika. “Kamu tahu siapa om tampan yang dibicarakan Sagara?”“Oh itu, waktu di taman beberapa hari yang lalu ada om-om duduk di samping Sagara terus ngajak ngobrol. Kalau enggak salah namanya Zyan Malik.”Sesaat Merona terdiam. “Saya kan sudah bilang jangan dekat-dekat orang asing.”“Bukan orang asing, Mami. Nanti om tampan itu kan jadi tetangga kita juga.” Timpal Sagara sambil duduk di meja makan dan menarik piring berisi omlete dan roti panggang untuk cemilan sorenya.“Kok kamu tahu kalau om-om itu akan jadi tetangga kita?”“Tahulah,” jawab Sagara bangga. “Pulang sekolah tadi kan aku main di rumah Sulki yang rumahnya di depan rumah angker itu, Mi.”Merona waspa
Salah besar jika Grazian selama ini diam dan tidak tahu menahu keberadaan Merona. Pria itu tetap tahu kabar pujaan hatinya, meski hidup di bawah tekanan sang kakek tetap saja Grazian mengawasi Merona. Pria itu bahkan tahu soal Sagara—anaknya bersama Merona. Semua kemudahan yang Merona dapatkan pun tak lepas dari campur tangan Grazian. Hanya saja pria itu menahan diri untuk kontak langsung dengan Merona demi keselamatan mereka.Namun hari ini rupanya Grazian sudah tak sabar menahan diri lagi. Terlebih dia mempunyai kesempatan sejak kondisi kakeknya memburuk. Sepenuhnya kekuasaan sekarang ada di tangan Grazian, namun dia khawatir jika Merona enggan menemuinya. Jauh dari Merona membuat kehidupan Grazian berubah, terasa semakin kelam dan kotor dunianya. Grazian terkadang bertanya-tanya tentang apakah memang pantas dirinya untuk Merona?Grazian menatap Sagara lewat jendela mobilnya. Bocah lelaki itu tengah duduk di bangku taman bersama pengasuhnya. Ada anak-anak kecil lainnya yang bermain
- 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses