Bad boy kalau masih ingat ibadah namanya bukan bad boy atau masih sayang orang tua. Ah, itu juga tidak bisa disebut bad boy sejati. Contoh the true bad boy adalah Grazian Pradipta Halvor. Bad boy dari segala kumpulan bad boy. Mendefiniskan Grazian hanya akan membuat naik darah, terus kena serangan jantung atau mendadak kena stroke. Segala citra buruk menumpuk dalam seorang Grazian.
Pemangsa wanita? Of course he is the number one. Pagi berangkat dengan si seksi dari kelas A, siangnya sudah makan berdua dengan si polos dari kelas B di kantin, sorenya saat pulang sudah berganti lagi dengan si cantik dari kelas C. Saat malam Grazian semakin liar duduk di club dengan deretan wanita berpakaian minim di sisi kiri dan kanannya.Mabuk? Itu pasti. Merokok? Jangan ditanya lagi, kamarnya saja sudah beraroma nikotin. Sexs? Dia akan melakukannya dengan senang hati pada wanita-wanita yang rela menjatuhkan diri ke dalam pelukkan hangatnya. Berkelahi? Grazian jagonya. Raja jalanan tapi, Grazian tidak masuk ke dalam geng motor manapun. Lalu, apalagi? Tidak menghormati orang tuanya? Iya, Grazian bahkan sudah merasa tidak mempunyai orang tua.Namun dari semua keburukan yang melekat dalam dari Grazian tidak membuat seorang Merona Jingga menyerah padanya atau lebih tepatnya belum. “Zian! Hari ini kamu ada kuliah! Bangun!”“Diem Roo, aku masih ngantuk sayang," balas Grazian dengan mata yang tetap tertutup, lalu menarik bantal untuk menutupi telinganya hanya agar teriakan Merona sedikit teredam.“Sumpah ya!” Merona naik ke tempat tidur. Menarik paksa bantal yang digunakan Grazian untuk menutup telinga. “Aku enggak masalah kalau kamu merokok atau mabuk, asal jangan bolos kuliah!”Grazian menggeliat paksa, bangun dengan mata sayu menatap Merona. “Roo, bisa enggak sih sehari aja tuh mulut jangan dipake buat ngoceh mulu? Pake buat mengulum punya gue kek, itu kan lebih bermanfaat.”Merona kejam pada Grazian. Menggunakan bantal sebagai senjata untuk memukuli Grazian habis-habisan. “Otak kamu tuh ya isinya porno semua! Geger otak aja kamu Grazian!!”Buk! Buk! Buk!Merona membabi buta memukuli Grazian, tapi lelaki itu hanya tertawa membiarkan Merona puas memukulinya. Saat tenaga Merona mulai melemah, Grazian mengambil kesempatan untuk menahan tangan Merona. Mata kelamnya menatap lembut pada gadis yang sejak SMA tinggal bersamanya. Satu-satunya gadis yang tak pernah Grazian jamah.“Udah?”“Masih belum puas marahnya.”Grazian terkekeh, lalu melepas tangan Merona. Lelaki itu turun dari tempat tidur mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar. Dia membuka ruang obrolan group di kelasnya dan memberikan itu pada Merona. “Pak Endang enggak masuk, si kumis itu cuma kasih tugas.”Merona membaca pesan yang tertulis di sana. “Si kumis? Pak Endang dosen paling baik masih aja kamu nastain, gimana yang sekejam pak Hardi?” lalu Merona mengembalikan ponsel itu dan dia turun dari tempat tidur.“Kamu ada kelas jam berapa?” kali ini giliran Grazian yang bertanya.“Jam sepuluh sampai jam tiga. Ada tiga MK hari ini.”Grazian mengangguk mengerti, lalu kembali berbaring di tempat tidur. “Kuliah yang benar ya, Roo. Gue rela duit gue habis asal lo bisa jadi orang sukses. Biar mereka lihat kalau lo bisa tanpa mereka.”Mendengar kata-kata Grazian membuat Merona terdiam. Lelaki itu sudah banyak berkorban untuknya. Membiayai pendidikannya dan segala kebutuhan hidupnya di saat keluarganya sendiri membuang jauh Merona dari kehidupan mereka. Tak ada alasan lain yang membuat Merona untuk menjauhi Grazian sebab, sejak awal lelaki itu adalah malaikat penolongnya walau sering kali membuat dirinya sakit.Grazian menyadari keterdiaman Merona hingga memaksa dirinya untuk bangun lagi dan mendekati gadis itu. Meraih pinggang rampingnya yang sempurna dalam dekapannya. “Aku serius dengan kata-kata aku, Roo.”“Iya, aku janji akan lulus dengan predikat terbaik, terus jadi dokter sukses dan aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa hidup dengan baik tanpa mereka.”Jernih mata Merona selalu membuat hati Grazian menghangat. Pandang sendu mata itu membuatnya kian sayang pada Merona. “Gitu dong,” katanya lalu melepaskan Merona. “Eh, Roo di kelas kamu ada yang namanya Erika, kan?”Mulai lagi membahas soal perempuan. “Ada, anak wakil menteri kesehatan. Kenapa mau kamu gebet?”“Kalau boleh? Hehehe.”Merona mengangkat kedua bahunya acuh. Sejak kapan juga Grazian izin padanya untuk mendekati gadis-gadis di kampus. “Jangan libatkan aku ke dalam urusan asmara kamu, Grazian.”“Cieee.. cemburu,” Grazian dengan jahil mencolek pipi Merona, tapi Merona menangkap jarinya lalu digigit. “Sakit Roo!”“Rasain!”****Beberapa gadis mendefinisikan Grazian secara Hiperbola. Seperti mereka bisa mencium wangi tubuh Grazian sebelum mata mereka menangkap rupanya. Ada juga yang memuji Grazian selayaknya dewa-dewa Yunani seperti apa yang sering mereka dengar bahwa dewa-dewa Yunani begitu sangat sempurna, seperti itu pula Grazian di mata gadis-gadis yang menggilainya.Deru motornya saja sudah membuat seisi kampus heboh. Hiperbola sekali memang, tapi fakta itu tak bisa dielakan. Turun dari motor sport besarnya yang keseluruhannya berwarna hitam. Dua gadis yang tengah mengobrol di bangku taman sambil makan Cilok pun langsung mengalihkan atensi mereka pada Grazian. Kerumunan gadis yang akan ke perpustakaan berhenti melangkah hanya untuk mengagumi sosok Grazian. Termasuk dosen hukum mereka, bu Kiki juga menahan nafas saat Grazian membuka helm-nya. Merapikan rambut berantakannya dengan jari-jari tangan.Seorang gadis menghampiri Grazian. “Hai Zian!” sapanya dengan senyum mengembang.“Oh, hai cantik,” Grazian membalas dengan senyum mautnya. Senyum yang membuat gadis-gadis langsung merasa dicintai.“Nama aku Alika, anak Fisip semester dua. Aku suka sama kakak.”See? Gedung Fakultas Hukum dan Fisip itu letaknya berjauhan, tapi Grazian sudah terkenal seantero kamus. “Kamu cantik, simpan nomor telepon kamu di sini. Nanti kakak hubungi.”Gadis berlesung pipi itu menerima uluran ponsel Grazian. Mengetikan nomor ponselnya di sana. Sementara Merona yang harus ke ruangan dosen melewati area parkir Fakultas Hukum pun menyaksikan Grazian dengan geleng kepala. Entah mangsa yang keberapa junior mereka itu. Tatapan matanya bertemu dengan mata Grazian yang sedetik kemudian mengedipkan matanya genit pada Merona.Bisa-bisanya Grazian berkedip genit menggodanya saat tengah berhadapan dengan gadis lain. Merona melengos kemudian, meladeni Grazian tidak akan ada habisnya. Kembali pada Alika si gadis yang berharap menjadi kekasih Grazian. Gadis itu menunduk malu-malu, lalu Grazian menunduk berbisik di telinga gadis itu.“Nanti malam aku telepon,” bisiknya dengan suara berat yang mengoda.“I-iya, kak.”Grazian lalu mengusak puncak kepala gadis itu sebelum berlalu. Baru beberapa langkah seorang gadis lain menghampirinya, merangkul lengan Grazian dengan posesif. Ada kententuan yang Grazian buat bagi para kekasihnya. Yaitu jika saat Grazian dengan salah satu mereka, maka yang lainnya tidak boleh marah atau mengganggunya. Tunggu sampai Grazian selesai dan menghampiri mereka.Jika tidak mau maka, siap-siap akan menyandang status mantan. Bodohnya para gadis Grazian menurut saja. Beberapa hanya ada yang sekedar untuk senang-senang, atau memanfaatkan dompet lelaki itu, tapi Grazian tidak keberatan selama dirinya juga mendapatkan keuntungan dari mereka. Tubuh yang siap dijamahnya ketika diminta kapanpun.‘Sayang nanti malam kita nonton yuk,” ajak si seksi dari kelas A. namanya Rachel dipacari Grazian seminggu yang lalu dalam kondisi gadis itu sudah tidak perawan. Bukan lagi rahasia jika Rachel sering tidur dengan siapa saja yang membayarnya tapi, informasi tersebut hanya berputar pada sekelompok orang tertentu saja di kampus.“Ngamar aja, gimana?”Pipi Rachel bersemu. “Sambil nonton ya?”“Nonton blue film,” bisik Grazian lalu mengulum telinga Rachel dengan sensual.Brengsek memang, tapi Grazian tidak memacari gadis-gadis yang tak mau dengannya. Semuanya berdasarkan hukum suka sama suka. Tanpa paksaan apalagi tekanan. Itulah prinsip Grazian yang tak mau rugi apalagi bertanggung jawab jika ada yang hamil. Sejauh ini belum pernah ada gadis yang mendatanginya karena hamil, tapi Grazian tentu punya peraturan ketika berhubungan dengan gadis-gadis itu.****Hai! hai! Terima kasih untuk yang membaca ini. Gimana Grazian udah brengsek belum? kalau merasa belum baca bab berikutnya ya. Akan ada banyak keberengsekan Grazian.Memasuki pukul sepuluh malam Grazian mulai aktif keluyuran. Mengendarai motornya membonceng gadis lainnya untuk diajak bersenang-senang di club malam. Gadis di belakang Grazian itu memeluk erat. Tubuh mereka menempel seperti diberi perekat. Lelaki brengsek sekelas Grazian tidak akan menolak santapan empuk yang disodorkan padanya itu. Grazian sering kali keluar masuk ke club, tapi tak sekalipun mengizinkan Merona untuk mengikuti jejaknya memasuki tempat penuh dengan huru-hara kesenangan duniawi itu. Perihal hubungannya dengan Merona, Grazian yakin tak seorang pun tahu jika Merona tinggal bersamanya. Sejak dahulu Grazian dan Merona saling menjaga jarak jika mereka ada di luar rumah. Orang-orang hanya tahu keduanya sebatas saling kenal saja. Motor Grazian berhenti di depan pintu masuk club. “Kamu turun duluan ya, aku mau parkir motor dulu.” Titahnya pada gadis yang menemaninya malam ini. Gadis itu sudah barang tentu menurut. Masuk lebih dahulu membiarkan Grazian melakukan apa yang dika
Pukul tiga dini hari Grazian baru kembali dari kediaman Rachel. Memasuki apartemennya yang sepi, Grazian melirik pintu kamar Merona yang sedikit terbuka dengan cahaya lampu menyorot keluar lewat celah pintu. Grazian tahu kalau Merona sedang mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Antara belum tidur atau baru saja bangun tidur. Merona akan tidur lebih awal lalu bangun sekitar pukul dua dini hari atau pukul tiga dan takan tidur lagi sampai pagi menjelang, atau merona tidak tidur semalam lalu akan tidur pukul lima dan bangun pukul enam pagi. Waktu tidur Merona sangat sedikit, Grazian sering kali melihat Merona terlelap di antara tumpukan buku-buku tebalnya. “Roo?” panggil Grazian dan melangkah masuk ke kamar gadis itu. Diletakkannya paper bag berisi kopi dan roti dari kedai kopi kenamaan itu di atas meja belajar Merona. “Buat kamu, pasti lapar kan?” Merona menatap Grazian dari ujung kepala sampai kaki. Jejak merah di leher lelaki itu terlihat jelas. “Kalau mau tidur di sini mandi dulu yang
Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”“Oke tuan puteri.”Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mere
Grazian dan Merona sampai di Bogor saat malam. Mereka menginap di salah satu hotel, sebelum kemudian pagi-pagi mereka check out. Tujuan mereka adalah salah satu pemakan di kawasan Bogor, di sinilah mereka sekarang. Di pemakan yang sepi tanpa sempat sarapan.Merona terlahir kembar hanya saja kembaran Merona meninggal ketika lulus SMP dahulu. Namanya Pelangi, nama yang terukir di batu nisan tepat di sebelah makam kosong atas nama Merona Jingga. “Maaf ya karena aku udah buat kamu meninggal, sekarang rasa memang pantas kalau mama dan papa anggap aku sudah meninggal juga.”Grazian yang duduk di sisi Merona nampak tidak peduli dengan apa yang Merona lakukan. Lelaki itu sibuk membalas pesan-pesan manis yang dikirimkan oleh para jajaran kekasihnya. Bagi Grazian itu rasanya sangat menyenangkan. Membuat gadis-gadis itu melambung lalu setelah bosan dia putuskan hubungan. Dua atau tiga hari, paling lama sebulan.“Zian, aku lagi sedih kok kamu mala
Grazian melempar jaketnya yang kotor secara asal ke sofa dan Merona melihat itu. Kesal memang tapi, gadis itu sedang tidak ingin berdebat. “Roo tadi aku disiram sama mantan yang enggak tahu keberapa. Jaket aku yang dari kamu jadi kotor." Katanya mengadu pada Merona.“Bagus deh, itu artinya mantan kamu itu lebih punya otak dibanding cewek-cewek kamu yang lainnya.”Tanggapan Merona membuat Grazian jadi kesal dan cemberut. Lelaki itu memeluk Merona dari samping. “Kok tega sih ngomongnya? Aku enggak suka ya kamu kayak gitu sama aku.”“Iiih! Zian lepas! Itu baju kamu kotor, rambut kamu juga tuh bau kopi!”"Enggak mau," Grazian semakin mengeratkan pelukannya. "Minta maaf dulu Roo karena kamu udah ngomong enggak sopan sama aku barusan."Merona menghela nafas. Tugasnya masih banyak jika tidak menuruti kemauan Grazian maka lelaki itu tidak akan melepaskannya. Sebagai makhluk waras Merona lebih memilih mengalah.
Ada banyak pelarian yang bisa diambil untuk melepaskan penat, marah dan segala emosi. Sayangnya tak semua mengambil tempat pelarian yang tepat. Grazian salah satunya yang memilih menjadi nakal untuk melepaskan emosinya walau dia tahu tak pernah ada yang selesai dari jalan yang dipilihnya.Semakin malam semakin ramai jalanan di tepi kota yang akan menjadi arena balap dadakan. Sekumpulan muda-muda membentuk dua kelompok di sisi kiri dan kanan jalan. Mendukung jagoan mereka masing-masing. Grazian sendiri tentu lebih mengandalkan Genta siswa SMA yang nasibnya hampir sama dengan Grazian. Punya orang tua tapi, terasa yatim piatu.Gadis-gadis berpakaian seksi, celana pendek yang dipadu dengan tangtop ketat. Satu dari mereka bergelayut manja di lengan Grazian. Tidak tahu siapa namanya tapi, Grazian menikmati ketenarannya di antara para gadis. Membiarkan satu dari mereka menciumnya atau memberikannya minum. Grazian tidak turun ke jalan dia hanya akan mengawasi Genta Ja
Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”Sedan
Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melih
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses
Merona senang dan merasa sangat bahagia bisa terus bersama Grazian. Setidaknya selagi dirinya bisa. Kabar perihal rencana kepergian Grazian ke Macau adalah ketakutan Merona. Seyakin dirinya pada tindakan kakek. Pria tua memang sudah terlalu lama baik pada dirinya dengan tetap membiarkan Merona tinggal bersama Grazian. Setelah semua kebaikan itu, mesti ada sesuatu yang harus Merona bayar.Seperti siang ini Merona tak menyangka kakek memintanya bertemu di sebuah restoran dengan ruangan privat. Saat Merona masuk dengan diantar pramusaji, dia sudah melihat kakek duduk santai menikmati hidangan yang disajikan. Kakek melihat kedatangannya, lalu memintanya segera duduk.“Duduklah,” pintanya dengan suara tua yang khas.Merona menarik kursi untuknya duduk di hadapan kakek. Sajian makanan yang sudah tersedia tak cukup mampu menggugah seleranya. Merona tak pernah berani membuka pembicaraan dengan kakek. Sejak dulu dia takut pada kakek yang sering kali menatapnya sinis.“Grazian sudah memberitahu
Bagi hampir sebagain orang berpasangan dengan seseorang yang sesuai level mereka adalah keharusan. Entah itu secara kecerdasan, gelar atau pun kekayaan. Pentingnya bukan hanya untuk memperkuat status sosial mereka, tapi juga untuk mencegah rasa minder dari pasangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Danisha—wanita yang sudah melahirkan Darren. Benar memang bahwa Darren sudah bertunangan, namun bagi Danisha untuk merestui sampai ke jenjang pernikahan jelas tidak akan terjadi.Sepulang dari gala dinner, Darren duduk di teras rumah sederhana Alesha. Ayahnya gadis itu adalah seorang kepala sekolah SMP dan ibunya seorang penjahit. Meski kehidupan Alesha tidak kekurangan, namun di mata Danisha tidak kekurangan saja belum cukup. Darren dibuat galau malam ini setelah dipertemukan dengan Angela. Terlebih lagi kakek Alesha adalah orang yang tak pernah disukai Danisha. “Kopinya,” ujar Alesha menyuguhkan secangkir kopi hitam buatan tangannya sendiri.Darren tersenyum menatap tunangannya itu. “
Merona menghela nafas lega tatkala yang berdiri di hadapannya adalah Hanna. Cewek itu sudah tahu perihal hubungannya dengan Grazian, tapi Hanna tetap merasa tidak nyaman ketika melihat Merona bersama Grazian. Pandangan mata Hanna pada Grazian sangat tajam. “Lo kalau berani nyakitin Merona, gue potong burung lo dua kali. Sampai ke akarnya!” ucapnya memperingati Grazian. Apa yang baru saja Hanna katakan membuat Grazian ngeri sekaligus tersenyum kikuk. “Hehehe... Iya.”Hanna lalu memijat keningnya. “Aduh, pusing gue menghadapi kenyataan ini,” katanya lalu pergi begitu saja. Merona dan Grazian saling berpandangan dan terkekeh kemudian. “Itu enggak apa-apa dia tahu?”“Dia justru tahu duluan tanpa aku kasih tahu,” jawab Merona. “Dia hapal sama tas yang aku pakai.”Mereka keluar dari perpustakaan setelah mendapatkan beberapa buku yang Merona butuhkan. Saat keduanya keluar mereka melihat Hanna yang sedang membeli cilok. Merona tersenyum tipis melihat hal itu. Saat Merona dan Grazian mendek
Merona duduk di bangku taman bersama Hanna. Ada setumpuk camilan dan minuman segar di tengah-tengah mereka. Bukan sedang mengerjakan tugas, tapi sedang bergosip. Hanna menjadi sumber paling terpercaya bagi Merona. Sahabatnya itu bercerita dengan sangat menggebu-gebu. “Gue bahkan menyusup ke WAG deretan para mantan Grazian,” jelas Hanna ketika berhasil mendapatkan link group khusus yang dibuat mantan Grazian. “Serius mereka sampai punya group? Buat apaan coba?”“Isinya tuh mencari tahu pacar Grazian yang baru. Lo kayaknya beneran kudu waspada. Di antara mereka ada satu yang terobsesi banget sama Grazian. Nih, lo lihat sendiri aja obrolan mereka.”Hanna memberikan ponselnya pada Merona agar sahabatnya itu membaca sendiri obrolan mereka. “Terus kalau misalnya mereka tahu siapa pacarnya Grazian sekarang, mau diapain gitu?”“Disuruh putus kali.”Merona mengembalikan ponsel itu pada Hanna. “Grazian emang sudah keterlaluan sebagai cowok. Mungkin enggak sedikit dari mereka yang hatinya saki