Pukul tiga dini hari Grazian baru kembali dari kediaman Rachel. Memasuki apartemennya yang sepi, Grazian melirik pintu kamar Merona yang sedikit terbuka dengan cahaya lampu menyorot keluar lewat celah pintu. Grazian tahu kalau Merona sedang mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Antara belum tidur atau baru saja bangun tidur.
Merona akan tidur lebih awal lalu bangun sekitar pukul dua dini hari atau pukul tiga dan takan tidur lagi sampai pagi menjelang, atau merona tidak tidur semalam lalu akan tidur pukul lima dan bangun pukul enam pagi. Waktu tidur Merona sangat sedikit, Grazian sering kali melihat Merona terlelap di antara tumpukan buku-buku tebalnya.“Roo?” panggil Grazian dan melangkah masuk ke kamar gadis itu. Diletakkannya paper bag berisi kopi dan roti dari kedai kopi kenamaan itu di atas meja belajar Merona. “Buat kamu, pasti lapar kan?”Merona menatap Grazian dari ujung kepala sampai kaki. Jejak merah di leher lelaki itu terlihat jelas. “Kalau mau tidur di sini mandi dulu yang bersih.”“Kamu selalu jijik ya Roo kalau lihat aku habis bercinta dengan perempuan lain? pasti aku di suruh bersih-bersih. Kotor banget kayaknya badan aku.”Merona menarik nafasnya pelan. “Bukan itu maksud aku, tapi itu badan kamu pasti lengket. Gak nyaman kalau langsung tidur.”“Bercanda sayang, enggak usah cemberut gitu,” kata Grazian diiringi kekehan kecil. Tangannya lalu mengusak kepala Merona. “Besok ada kuis ya?”“Hmmm, pak Budi.”“Bagus deh, belajar yang rajin ya calon dokter.”Setelah mengucapkan itu Grazian keluar dari kamar Merona. Dia memasuki kamarnya sendiri tepat di sebelah kamar Merona. Lelaki itu ingat benar saat pertamakali bertemu dengan Merona. Hujan hari itu, Merona kuyup dengan seragam sekolahnya membawa koper dan tas di punggungnya. Grazian tahu hari itu Merona tengah kesusahan, tapi Merona tetap menolongnya. Menyelamatkan Grazian dengan membawanya ke rumah sakit padahal gadis itu tak punya cukup uang.Dari kejadian hari itu Grazian diam-diam memperhatikan Merona di sekolah. Pernah sekali memergoki gadis itu bermalam di gudang sekolah. Lambat laun Grazian tahu bahwa Merona ditendang oleh keluarganya sendiri dari rumah. Sejak saat itu Grazian memilih untuk menjaga dan memberikan Merona tempat paling nyaman.Meski pada akhirnya dirinya pun nyaman dengan Merona. Gadis itu selalu jadi tempatnya pulang. “Roo!” teriaknya kembali menghampiri Merona seusai membersihkan diri. “Kamu mau mie instan enggak? Aku mau masak nih.”“Enggak ah, gak sehat.”“Mentang-mentang anak kedokteran, tapi ya udah deh enggak apa-apa. Besok jangan bangunin aku ya, libur soalnya.”“Iya tahu,” balas Merona, lalu terdiam mengingat sesuatu. “Tadi ada orangnya kakek ke sini.”Grazian pura-pura tak mendengar. Dia tetap melangkah sampai ke dapur. Hal itu membuat Merona kesal sendiri lantas mengikuti lelaki itu. “Pak Arman bilang kalau bisa besok kamu datang ke acara ulang tahun perusahaan.”“Buat apa? Jadi pajangan lagi kayak yang udah-udah?” tanya Grazian sini. Ingat benar bahwa dirinya hanya dicap anak haram di keluarga besarnya. Satu-satunya yang sayang pada Grazian adalah kakeknya sendiri.“Ini kakek yang minta, Zian.”“Tapi enggak dengan orang tua aku!” bentak Grazian karena paling sebal jika harus membahas keluarganya. “Mereka sampai kapapun enggak akan pernah anggap aku, Roo dan kamu tahu itu. Tolong jangan bicara apapun ke aku soal mereka.”Grazian menjadi sensitif dan pemarah jika sudah membahas tentang keluarganya. Merona tahu bahwa dirinya sudah menyinggung bagian terdalam dari hati lelaki itu maka, satu pelukkan dia berikan untuk meluruhkan segela emosi Grazian. “Maaf Zian. Aku hanya menyampaikan, kalau kamu enggak mau datang ya enggak apa-apa.”Membalas pelukkan Merona, tangan Grazian mendekap erat tubuh ringkih gadis itu. Mengusap surai panjangnya dengan lembut lalu menghujani Merona dengan ciuman di puncak kepalanya. “Maaf juga karena udah bentak kamu.”Dekapan itu selalu berhasil membuat keduanya merasa tenang dari segala kacaunya perasaan mereka. Grazian bergerak untuk melepas pelukkan tapi, tetap menahan Merona dalam dekapannya. Lelaki itu menunduk untuk mendapatkan bibir Merona. Bibir yang menurutnya jauh lebih manis dari banyaknya bibir wanita yang pernah dia rasakan.“Zian, aku masih ada tugas,” kata Merona begitu ciuman Grazian turun ke leher.Lelaki itu tersenyum kecil, menjawil hidung Merona dengan gemas. “Aku udah bilang berapa kali kalau aku enggak akan sentuh kamu lebih jauh. Aku akan menjaga kamu sampai kamu bertemu dengan orang yang tepat.”Merona mematung di tempatnya. Sadar bahwa selama ini ada sesuatu yang menjadi penghalang antara dirinya dan Grazian namun, sesuatu tersebut tak mampu dijabarkan lewat kata-kata. Hal yang kemudian membuatnya meneteskan air mata di depan Grazian. Sakit yang tak teraba itu selalu datang tiba-tiba dan Grazian tahu arti tetesan air mata milik Merona.“Selamat malam, Zian.”“Selamat malam Roo.”**** Pagi-pagi sekali Merona sudah bangun dari tidurnya. Setelah belajar untuk kuisnya hari ini, Merona hanya tidur selama lima belas menit. Bangun saat jam setengah enam, mandi membuat sarapan dan meninggalkan Grazian yang masih terlelap. Menuruti perintah lelaki itu yang melarangnya untuk membangunkan saat kuliahnya libur.Jika Grazian pulang pergi ke kampus dengan kendaraan pribadi lain halnya dengan Merona yang memilih naik angkutan umum. Merona tidak merengek manja pada Grazian untuk sebuah kendaraan. Sudah bersyukur karena lelaki itu mau membiayai hidupnya. Di dalam bus Merona bertemu dengan teman sekelasnya. Namanya Antaresh, lebih akrab dipanggil Aresh.“Gimana buat kuis hari ini?” tanya Aresh.“Siap enggak siap, pak Budi mana peduli.”Aresh tertawa mendengar penuturan Merona. “Endokrinologi kayaknya bakal masuk kuis hari ini. Apalagi beliau lusa kemarin menyinggung lagi soal penyakit dalam.”“Bukan cuma Endokrinologi. Kisi-kisi yang bocor dari kelas sebelah Imunologi, Nefrologi, Gastroenterologi dan Pulmonilogi juga masuk ke daftar kuis penyakit dalam, tapi pak Budi enggak akan kasih soal yang sama disetiap kelasnya. Walau pokok meterinya sama.”“Gue malah baca bagian Hipertensi. Males banget hari ini masuk kelas.”Kuis memang jadi momok tersendiri bagi para mahasiswa di fakultas manapun. Masih baik pak Budi yang tidak pernah mengadakan kuis dadakan. “Tapi, seenggaknya beliau enggak pernah mendadak kayak bu Siska.”“Masa kemarin gue salah isi. Harusnya Perikarditis buat infeksi selaput jantung, gue malah isi Miokarditis.”“Itukan infeski otot jantung.”“Makanya, gue hopeless sama hasil kuis pak Budi.”Merona tersenyum mendengarnya. Memasuki semester enam Merona dan teman-temannya harus menghadapi banyak sekali ujian kompetensi klinik. Dari semester tiga lebih tepatnya mereka harus menyelesaikan empat belas blok sampai di semester tujuh nanti. Harus ikut ujian sesuai jumlah blok agar bisa lulus pendidikan dasar kedokteran. Meski begitu Merona tetap yakin bahwa apa yang mereka lewati hari ini adalah jalan menuju sukses di masa depan.Lima belas menit di perjalanan akhirnya mereka sampai di kampus. Gerbang megah yang menjulang tinggi itu bukti bahwa betapa terpandangnya mahasiswa yang berhasil menduduki salah satu kursi di antara fakultas-fakultas yang ada. Merona merasa beruntung menjadi satu dari sekian banyaknya mahasiswa yang bisa masuk di universitas terbaik di negeri ini.“Rona! Lo masih simpen pedoman umum keterampilan pemerikasaan THT yang dibuat dokter Hamzah sama dokter Tiwi?” tanya salah satu teman sekelas Merona.“Masih, emang punya kamu kemana?”“Dibakar sama nyokap gue. dikira sampah.”Aresh dan Merona tertawa mendengarnya. Menimpali ucapan Hanna teman sekelasnya, Aresh berkata. “Muka lo emang gak ada kelihatan anak yang rajin belajar, Na. Nyokap lo ragu tuh buku pedoman dipake sama lo.”“Mana sabtu depan ada keterampilan klinik, pasti deh gue kena damprat.”“Sabar-sabar. Nanti aku kasih pinjam, tapi habis keterampilan klinik langsung balikin,” Merona mengusap punggung Hanna. “Ayo masuk deh, bentar lagi kelasnya pak Budi.”Sambil menuju kelas, Hanna mengajak Merona bergosip. “Lo tahu enggak kalau Erika semalem dapet DM dari Grazian. Diajak kencan.”“Enggak.”“Gila sih tuh anak terkenal sampai seluruh kampus. Gue juga pengen jadi pacarnya Grazian,” Hanna mengakui benar bahwa pesona Grazian tidak bisa ditolak.Dari belakang Aresh menimpali. “Cewek ya gitu, dikasih good boy malah pilih bad boy. Nanti giliran disakiti bilangnya semua cowok sama aja, padahal gak sadar kalau dirinya bego karena mau-mau aja dikibulin bad boy.”Plak!“Lo bukan cewek sih jadi mana ngerti kalau bad boy itu selalu berkarisma. Bikin penasaran,” balas Hanna tak mau kalah.Pertengakaran kecil dua teman terdekat Merona itu hanya satu dari sekian banyaknya pertengkaran yang terjadi, tapi ngomong-ngomong perihal kabar Grazian yang akan mendekati Erika menjadikan Merona sedikit gusar. Rasanya baru kemarin Grazian bilang akan mendekati Erika, tapi hari ini dirinya sudah mendapat kabar bahwa lelaki itu sudah mengajak Erika kencan.***Terimakasih salam dari si amatiran :)Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”“Oke tuan puteri.”Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mere
Grazian dan Merona sampai di Bogor saat malam. Mereka menginap di salah satu hotel, sebelum kemudian pagi-pagi mereka check out. Tujuan mereka adalah salah satu pemakan di kawasan Bogor, di sinilah mereka sekarang. Di pemakan yang sepi tanpa sempat sarapan.Merona terlahir kembar hanya saja kembaran Merona meninggal ketika lulus SMP dahulu. Namanya Pelangi, nama yang terukir di batu nisan tepat di sebelah makam kosong atas nama Merona Jingga. “Maaf ya karena aku udah buat kamu meninggal, sekarang rasa memang pantas kalau mama dan papa anggap aku sudah meninggal juga.”Grazian yang duduk di sisi Merona nampak tidak peduli dengan apa yang Merona lakukan. Lelaki itu sibuk membalas pesan-pesan manis yang dikirimkan oleh para jajaran kekasihnya. Bagi Grazian itu rasanya sangat menyenangkan. Membuat gadis-gadis itu melambung lalu setelah bosan dia putuskan hubungan. Dua atau tiga hari, paling lama sebulan.“Zian, aku lagi sedih kok kamu mala
Grazian melempar jaketnya yang kotor secara asal ke sofa dan Merona melihat itu. Kesal memang tapi, gadis itu sedang tidak ingin berdebat. “Roo tadi aku disiram sama mantan yang enggak tahu keberapa. Jaket aku yang dari kamu jadi kotor." Katanya mengadu pada Merona.“Bagus deh, itu artinya mantan kamu itu lebih punya otak dibanding cewek-cewek kamu yang lainnya.”Tanggapan Merona membuat Grazian jadi kesal dan cemberut. Lelaki itu memeluk Merona dari samping. “Kok tega sih ngomongnya? Aku enggak suka ya kamu kayak gitu sama aku.”“Iiih! Zian lepas! Itu baju kamu kotor, rambut kamu juga tuh bau kopi!”"Enggak mau," Grazian semakin mengeratkan pelukannya. "Minta maaf dulu Roo karena kamu udah ngomong enggak sopan sama aku barusan."Merona menghela nafas. Tugasnya masih banyak jika tidak menuruti kemauan Grazian maka lelaki itu tidak akan melepaskannya. Sebagai makhluk waras Merona lebih memilih mengalah.
Ada banyak pelarian yang bisa diambil untuk melepaskan penat, marah dan segala emosi. Sayangnya tak semua mengambil tempat pelarian yang tepat. Grazian salah satunya yang memilih menjadi nakal untuk melepaskan emosinya walau dia tahu tak pernah ada yang selesai dari jalan yang dipilihnya.Semakin malam semakin ramai jalanan di tepi kota yang akan menjadi arena balap dadakan. Sekumpulan muda-muda membentuk dua kelompok di sisi kiri dan kanan jalan. Mendukung jagoan mereka masing-masing. Grazian sendiri tentu lebih mengandalkan Genta siswa SMA yang nasibnya hampir sama dengan Grazian. Punya orang tua tapi, terasa yatim piatu.Gadis-gadis berpakaian seksi, celana pendek yang dipadu dengan tangtop ketat. Satu dari mereka bergelayut manja di lengan Grazian. Tidak tahu siapa namanya tapi, Grazian menikmati ketenarannya di antara para gadis. Membiarkan satu dari mereka menciumnya atau memberikannya minum. Grazian tidak turun ke jalan dia hanya akan mengawasi Genta Ja
Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”Sedan
Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melih
Merona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa.
Jika Merona tengah serius mendengarkan dan memperhatikan hal-hal apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang membimbing kelompoknya di rumah sakit jantung maka, lain halnya dengan Grazian yang kini tengah memamerkan kehebatannya bermain basket sembari bertelanjang dada memberikan tontonan gratis untuk kaum hawa yang memekik memujanya. Semakin heboh teriakan mereka setiap kali Grazian berhasil menggiring bola basket masuk sempurna ke dalam ring. Terasa semakin seksi ketika lelaki itu mengelap peluhnya dengan punggung tangan, lalu menyugar rambutnya hingga keningnya terlihat membuat jantung para gadis berdebar-debar ingin mendaratkan satu kecupan manis di atas kening mulus itu. Grazian tentu saja menikmati popularitasnya, bahkan melemparkan kedipan genit pada sekumpulan gadis yang berdiri di pinggir lapangan setelah berhasil melempar kembali memasukan bola ke dalam ring. “Aaah! Grazian main mata ke gue!” pekik salah satu di antara mereka. “Mana ada? Sama gue kali, tuh! Senyum dia ke gue
- 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses
Merona senang dan merasa sangat bahagia bisa terus bersama Grazian. Setidaknya selagi dirinya bisa. Kabar perihal rencana kepergian Grazian ke Macau adalah ketakutan Merona. Seyakin dirinya pada tindakan kakek. Pria tua memang sudah terlalu lama baik pada dirinya dengan tetap membiarkan Merona tinggal bersama Grazian. Setelah semua kebaikan itu, mesti ada sesuatu yang harus Merona bayar.Seperti siang ini Merona tak menyangka kakek memintanya bertemu di sebuah restoran dengan ruangan privat. Saat Merona masuk dengan diantar pramusaji, dia sudah melihat kakek duduk santai menikmati hidangan yang disajikan. Kakek melihat kedatangannya, lalu memintanya segera duduk.“Duduklah,” pintanya dengan suara tua yang khas.Merona menarik kursi untuknya duduk di hadapan kakek. Sajian makanan yang sudah tersedia tak cukup mampu menggugah seleranya. Merona tak pernah berani membuka pembicaraan dengan kakek. Sejak dulu dia takut pada kakek yang sering kali menatapnya sinis.“Grazian sudah memberitahu
Bagi hampir sebagain orang berpasangan dengan seseorang yang sesuai level mereka adalah keharusan. Entah itu secara kecerdasan, gelar atau pun kekayaan. Pentingnya bukan hanya untuk memperkuat status sosial mereka, tapi juga untuk mencegah rasa minder dari pasangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Danisha—wanita yang sudah melahirkan Darren. Benar memang bahwa Darren sudah bertunangan, namun bagi Danisha untuk merestui sampai ke jenjang pernikahan jelas tidak akan terjadi.Sepulang dari gala dinner, Darren duduk di teras rumah sederhana Alesha. Ayahnya gadis itu adalah seorang kepala sekolah SMP dan ibunya seorang penjahit. Meski kehidupan Alesha tidak kekurangan, namun di mata Danisha tidak kekurangan saja belum cukup. Darren dibuat galau malam ini setelah dipertemukan dengan Angela. Terlebih lagi kakek Alesha adalah orang yang tak pernah disukai Danisha. “Kopinya,” ujar Alesha menyuguhkan secangkir kopi hitam buatan tangannya sendiri.Darren tersenyum menatap tunangannya itu. “
Merona menghela nafas lega tatkala yang berdiri di hadapannya adalah Hanna. Cewek itu sudah tahu perihal hubungannya dengan Grazian, tapi Hanna tetap merasa tidak nyaman ketika melihat Merona bersama Grazian. Pandangan mata Hanna pada Grazian sangat tajam. “Lo kalau berani nyakitin Merona, gue potong burung lo dua kali. Sampai ke akarnya!” ucapnya memperingati Grazian. Apa yang baru saja Hanna katakan membuat Grazian ngeri sekaligus tersenyum kikuk. “Hehehe... Iya.”Hanna lalu memijat keningnya. “Aduh, pusing gue menghadapi kenyataan ini,” katanya lalu pergi begitu saja. Merona dan Grazian saling berpandangan dan terkekeh kemudian. “Itu enggak apa-apa dia tahu?”“Dia justru tahu duluan tanpa aku kasih tahu,” jawab Merona. “Dia hapal sama tas yang aku pakai.”Mereka keluar dari perpustakaan setelah mendapatkan beberapa buku yang Merona butuhkan. Saat keduanya keluar mereka melihat Hanna yang sedang membeli cilok. Merona tersenyum tipis melihat hal itu. Saat Merona dan Grazian mendek