Merona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.
Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.
Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa. Selebihnya Merona warisi rupa ayahnya dan Pelangi adalah perpaduan kedua orang tuanya.
Malam ini Grazian memberikan Merona sebuah kejutan kecil seperti ulang tahun Merona sebelumnya tapi, kali ada yang yang spesial. Grazian mengaja Merona makan malam di roof top apartemen yang disulapnya menjadi tempat makan malam romantis. Meja kayu dengan dua kursi dihiasi bunga Edelweiss dalam pot kaca. Lampu-lampu tumbrl kekuningan menggantung di atas kepala, musik romantis sebagai pengiring.
Merona mendekati meja dan dia tertawa kecil melihat hidangan yang tersaji di sana. Bukan menu makan malam ala restoran mewah tapi, makanan cepat saji dipesan Grazian dari restosan pizza khas Amerika. “Aku kira makanannya sekelas steak gitu?”
“Aku lagi pengen makan Pizza, Roo.” Grazian berkata sambil menarik kursi untuk Merona duduk. “Duduk sini.”
“Terima kasih, Zian.”
“Sama-sama Roo.” Grazian mengambil tempat duduk berhadapan dengan Merona, lalu membuka box pizza dan menyodorkannya pada Merona. “Makan selagi masih hangat.”
“Lumayanlah.” Kata Merona mengapresiasi usaha Grazian dalam memberikannya kejutan kecil.
“Biar lebih dari lumayan aku harus kasih apa, Roo?” tanya Grazian yang juga mengambil sepotong pizza.
Dalam hati Merona berkata sambil menatap mata Grazian. “Kasih hati kamu buat aku, Zian.” Akan tetap yang keluar dari mulut Merona adalah hal lainnya. “Bunga-bunga gitu dibentuk hati, ada lilin-lilin kecil, ada layar yang menampilkan foto-foto aku. Musik beneran dan makanan beneran.”
Grazian terkekeh. “Ini juga makanan beneran, Roo.”
“Iya sih tapi, kan aku pengennya yang enak. Pizza sih sering aku makan.”
“Bilang terima kasih, bukannya protes dan nawar.” Lantas Grazian menarik hidung Merona dengan gemas.
“Terima kasih Grazian.” balas Merona dengan senyum mengembang. Sebenarnya tentu saja hal yang sudah Grazian lakukan lebih dari cukup untuk Merona.
Saat tengah menikmati pizzanya yang ditemani kentang goreng, dan beberapa makanan khas restoran cepat saji lainnya, tiba-tiba saja Grazian menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna biru muda kesukaan Merona. “Hadiah buat kamu.”
Merona menerima pemberian Grazian. kotak biru muda itu dibuka dan isinya membuat Merona takjub. Sebuah kalung cantik dengan bantul berbentuk bunga Edeleiss yang terbuat dari emas putih. Pada bagian tengahnya berlian-berlian kecil menyerupai bentuk asli bunganya. Rantai kalungnya kecil berupas emas putih yang berkilau. Merona merabanya, memperhatikan detailnya yang indah.
“Kenapa Edelweiss?” tanyanya kemudian dengan mata memandang Grazian.
Sebenarnya ada yang ingin Grazian jabarkan lewat bunga Edelweiss yang mempunyai nama lain Leontopodium. Jenis bunga yang berbeda dari yang Grazian berikan pada Merona saat senja beberapa waktu lalu. Bunga yang Grazian berikan itu adalah Edelweiss lokal hasil budiya tapi, sama-sama keduanya melambangkan kesejatian cinta. Edelweiss adalah bunga yang tak mudah gugur itu alasan disebut bunga abadi.
Grazian ingin mengatakan itu, mengatakan bahwa perasaannya pada Merona ingin selalu abadi tapi, yang dikatakan langsung pada Merona adalah hal lain. “Kalau kasih bunga mawar kan udah pasaran, Roo.”
“Iya juga sih.”
Grazian berdiri dari tempat duduknya. “Biar aku yang pakaikan.”
“Nih.” Merona memberikan kalung itu pada Grazian dan membiarkan lelaki itu memakaikan kalung untuknya. “Zian, kalau aku boleh menebak dan berharap, apa kalau dan bunga yang kamu kasih hari ini adalah bentuk dari perasaan kamu yang sesungguhnya?”
Grazian yang berdiri di belakang Merona itu tidak menjawab sampai dia selesai mengaitkan kalunganya. Tanpa suara lalu Grazian memeluk Merona dari belakang. Tak ada kata yang terucap dari keduanya. Sejak awal saat Grazian meminta Merona untuk tidak mengatakan perasaan cinta padanya sejak saat itu juga dirinya berikrar untuk tidak melakukan hal serupa.
***
Pagi-pagi sekali Merona dan teman satu fakultasnya sudah ada di lapangan parkir kampus dengan beberapa bus berjajar rapi di sana. Mereka akan melakukan kunjungan ke rumah sakit jantung di luar kota untuk beberapa hari. Selain itu mereka juga akan mengadakan penyuluhan kesehatan yang akan dibantu praktisi kesehatan setempat. Merona mendapatkan ucapan ulang tahun dari teman-teman yang mengenalnya.
Hanna memberinya sebuah hadiah. “Buat lo dan harus lo pake.”
“Apaan sih ini?” Merona bertanya karena hadiah dari Hanna sedikit besar meski, masih muat untuk disimpan dalam ranselnya.
“Buka aja.”
Rasa penasaran mendorong Merona untuk membuka kotak berwarna merah muda itu. Merona tertawa kecil melihat isinya. “Kamu suruh aku dandan kayak kamu?”
“Iya Roo, biar pipi lo merona kayak nama lo.”
Hanna memberikannya set make up lengkap dengan kuas dan cermin kecil. Merona memang jarang berdandan tapi, bukan berarti dia tidak bisa. Merona hanya sesekali berdandan untuk acara tertentu saja tapi, Merona tetap menghargai pemberian Hanna yang dia tahu bahwa brand make up yang Hanna berikan padanya tidaklah murah.
“Thank Hanna.”
Mata Hanna yang jeli menelisik pada leher Merona. “Lo pakai kalung? Itu hadiah dari cowok lo ya? Ayo ngaku!”
“Enggak ada, aku beli sendiri kok.” Merona berusaha mengelak.
“Gue enggak percaya.”
“Beneran deh.”
Aresh yang melihat itu pun jadi menyembunyikan hadiahnya untuk Merona. Lelaki itu kalah cepat karena Grazian sudah lebih dahulu memberi Merona kalung. Tidak mungkinkan kalau Merona memakai dua kalung di satu leher. Aresh kalah cepat, kalungnya dia masukkan ke dalam tas. Lebih baik disembunyikan dan berpura-pura lupa hari ulang tahun Merona.
Aresh berjalan menuju bus tapi, Hanna menahan langkahnya. “Lo enggak mau ngucapin ulang tahun buat Merona?”
“Emang tanggal berapa sekarang?”
“Lima belas Juni, Resh.”
“Oh iya! Gue lupa. Eh… Selamat ulang tahun Merona.”
“Terima kasih Aresh.”
Melihat Merona yang tersenyum hari ini padanya membuat Aresh teringat akan perkataan Grazian tempo lalu, benar mungkin kelak Merona akan luluh padanya jika dia bisa menjadi teman yang baik untuk Merona. Selama ini Aresh tidak pernah menunjukkan perasaannya terhadap Merona pada siapapun kecuali, pada Merona sendiri. Aresh pun tipe orang yang sama seperti Merona tak suka mengumbar urusan pribadinya di muka public.
Dosen pembimbing mereka datang mengarahkan mereka untuk masuk ke bus. Satu persatu dengan tertib mereka masuk bus sesuai dengan nomor yang ditentukan. Tempat duduk juga sudah di tentukan. Merona kebagian tempat duduk dengan Erika, gadis itu memilih duduk di dekat jendela.
Saat melihat ke luar motor Grazian masuk ke area parkir. Merona memperhatikan itu dari tempatnya. Melihat pada Grazian yang dihampiri Rachel, bahkan pipi lelaki itu dicium oleh Rachel. Grazian tersenyum membalas perlakukan Rachel padanya, lain halnya dengan hati Merona yang berdenyut perih. Dari kemarin sampai semalam rasanya Grazian masih miliknya seorang tapi, pagi ini lelaki itu sudah menjadi milik pacar-pacarnya lagi.
Helaan nafas berat Merona membuat Erika menoleh padanya. “Kamu kenapa Na?”
“Enggak apa-apa, cuma deg-degan aja sama kunjungan kita kali ini.”
“Iya sama aku juga. Apalagi di sana ada dokter Tomo, kata papa beliau itu galak. Teman papa waktu kuliah dulu.”
“Oh.”
Mata Erika lalu melihat ke jendela. “Itu Grazian sama cewek lain? dia punya pacar berapa sih?”
“Mana aku tahu.”
Pada akhirnya Erika menceritakan kisahnya pada Merona saat janjian dengan Grazian sampai pada lelaki itu disiram oleh mantannya. Merona tersenyum sekarang dia tahu cerita lengkap dari alasan kenapa Grazian hari itu pulang dengan jaket basah dan rambut yang bau kopi.
Jika Merona tengah serius mendengarkan dan memperhatikan hal-hal apa saja yang dijelaskan oleh dokter yang membimbing kelompoknya di rumah sakit jantung maka, lain halnya dengan Grazian yang kini tengah memamerkan kehebatannya bermain basket sembari bertelanjang dada memberikan tontonan gratis untuk kaum hawa yang memekik memujanya. Semakin heboh teriakan mereka setiap kali Grazian berhasil menggiring bola basket masuk sempurna ke dalam ring. Terasa semakin seksi ketika lelaki itu mengelap peluhnya dengan punggung tangan, lalu menyugar rambutnya hingga keningnya terlihat membuat jantung para gadis berdebar-debar ingin mendaratkan satu kecupan manis di atas kening mulus itu. Grazian tentu saja menikmati popularitasnya, bahkan melemparkan kedipan genit pada sekumpulan gadis yang berdiri di pinggir lapangan setelah berhasil melempar kembali memasukan bola ke dalam ring. “Aaah! Grazian main mata ke gue!” pekik salah satu di antara mereka. “Mana ada? Sama gue kali, tuh! Senyum dia ke gue
Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit. Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang. Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diput
Pukul dua belas malam lampu kamar masih menyala. Dari tempat tidur Grazian memperhatikan Merona yang menggunaka meja belajarnya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Malam ini setelah makan malam Grazian menahan Merona di kamarnya, bahkan lelaki itu juga mengunci pintu kamarnya agar Merona tak bisa keluar. kelakuan Grazian yang seenaknya itulah yang sering membuat Merona kesal tapi, gadis itu masih bisa menahan diri untuk mengumpati lelaki yang bertelanjang dada itu. Saat Merona menutup laptopnya, senyum terbit di bibir Grazian. Tahu benar bahwa gadis itu sudah selesai dengan tugasnya. Merona tanpa bicara masuk ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya. Beruntung ada satu botol face wash miliknya yang tersedia di kamar mandi milik Grazian. Soal sikat gigi gadis itu mengambil kemasan baru dari dalam laci. Grazian senantiasa menunggu Merona sampai gadis itu keluar dari kamar mandi, lalu mengambil tempat di sisinya. Merona mendesak Grazian deng
Di taman kampus gedung fakultas hukum Grazian duduk di atas rumput bersama Rachel. Di tangannya ada satu cup boba yang Rachel belikan untuk teman ranjangnya itu. "Habis dari mana lo?" Tanya Rachel sebab saat masuk kelas lelaki itu hampir datang terlambat."Cewek baru, lo tahu dia lebih gokil dari lo."Rachel terkekeh kecil. "Masa?"Sejenak Grazian merenungi segala petualangan hidupnya di atas ranjang bersama gadis-gadis. Lelaki itu menatap Rachel dari samping. "Lo pernah merasa bosan enggak sih dengan hidup yang gini-gini aja?""Gini-gini gimana maksud lo? Bukannya hidup kita seru ya? Bebas, enggak terkekang kayak kehidupan orang-orang.""Justru karena terlalu bebas, kayaknya kita enggak punya tujuan. Sekarang gue tanya, lulus nanti lo mau jadi apa?""Pengacara mungkin?""Masih mungkin enggak jelas," Grazian mendesah, lalu dia menyedot es bobanya dengan rakus. "Kayak gue harus lebih sering minum dan makan yang manis-manis. Pahit banget hidup, gue."Rachel kini mengamati Grazian. "Lo b
Jika ditanya hal apa yang dibenci Grazian maka, jawabannya adalah masa lalunya. Grazian tak pernah suka jika seseorang bertanya tentang masa lalunya termasuk perihal keluarganya. Keduanya sangat berkaitan. Lelaki itu lahir karena sebuah kesalahan begitu ibunya menyebut lantang bahwa Grazian adalah sebuah kesalahan tapi, terpaksa harus dibesarkan untuk sebuah warisan keluarga. Ketika Grazian tumbuh orang tua justru sibuk berselingkuh dengan kekasih mereka masing-masing. Grazian kecil sering diabaikan. Orang tuanya pulang hanya membawa keributan besar di rumah mewahnya. Segala barang dibanting dan berisik, lalu mereka saling menyalahkan membawa-membawa nama Grazian dalam pertengkaran itu. Grazian adalah kesalahan, Grazian membuat kedua orang tuanya terisak, Grazian hadirnya tak pernah diinginkan dan banyak lagi penyesalan-penyelsaln yang keluar dari mulut orang tuanya tentang Grazian.Tak pernah ada yang baik-baik saja di balik dunia Grazian yang gemerlap. Percayalah semua itu hanya pel
Grazian datang ke kediaman kakeknya, bukan untuk kembali tinggal, tapi untuk membicarakan beberapa hal serius dengan kakeknya itu, selain karena memang dirinya diundang untuk datang oleh kakeknya.Kehadiran Grazian sudah dinantikan. Lelaki itu memarkirkan motornya sembarangan. Dia melirik dua penjaga, dan berkata. "Motor gue tetap di sini jangan lo pindahin."Membawa kakinya masuk, Grazian melihat kakeknya dengan Arman sedang bicara di ruang tamu. Arman sudah seperti anak dari kakeknya karena Arman yang selalu ada, dan juga Arman yang lebih paham bagaimana kakeknya itu.Grazian duduk di dekat mereka. "Jadi apa yang mau kakek bicarakan?""Ah, anak muda ini terlalu terburu-buru. Padahal kakek ingin minum kopi dulu dengan kamu," ucap Danuwiratmaja pada cucunya itu. "Arman tolong buatkan dia kopi.""Baik, Tuan." Arman beranjak."Gulanya sedikit saja," pinta Grazian yang dibalas anggukan dari Arman."Zian, kamu tahu sendiri bukan kalau kakek ini sudah tua dan kakek tidak bisa mempercayakan
"Oweeek." Merona muntah-muntah mengeluarkan sesuatu dari mulutnya yang tanpa bisa terkontrol juga ikut tertelan. "Oweeek..."Grazian ikut masuk ke kamar mandi. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Merona. "Ya maaf, Roo kalau aku kebablasan.""Sumpah, ini tuh enggak enak banget rasanya," Merona menyalakan keran dan berkumur banyak-banyak guna menghilangkan sisa-sisa rasa dari cairan yang Grazian keluarkan dalam mulutnya.Tangan Grazian yang semula di punggung bergeser ke pundak merapikan pakaian Merona yang melorot. "Dasar amatir, segitu aja udah muntah-muntah. Kayaknya kamu harus sering-sering latihan, Roo.""Enggak, aku kapok," balas Merona, dia mengambil tisu dan menyeka mulutnya. "Kayaknya mendingan kamu cari mulut perempuan lain aja deh buat menelan cairan kamu itu.""Yakin? Nanti cemburu lagi."Merona menghela nafasnya. "Sumpah ya, kamu tuh nyebelin banget Zian. Enggak bisa apa berhenti dan mulai serius sama hidup."Sejenak Grazian diam menelaah ucapan Merona. Ada perasaan yang
Darren mendengus sebal ketika tempatnya disambangi Grazian yang tanpa permisi masuk begitu saja ke kamarnya ketika tengah mengerjakan tugasnya. "Ada apa?" tanya Darren malas."Om sama tante kemana?" Grazian balik bertanya, lalu merebahkan dirinya di tempat tidur Darren."Eropa, urusan pekerjaan."Grazian lalu bangun lagi. "Lo enggak berniat ambil alih perusahaan kakek, The King?"Tampaknya Grazian ingin serius bicara maka, Darren mengenyampingkan tugas-tugasnya dahulu. Kursinya diputar agar bisa menghadap Grazian yang duduk di tempat tidur."Lo tahukan kalau yang anak kakek itu mama, jadi mama enggak akan dapat sebanyak yang bokap lo dapat. Perusahaan utama jelas jadi milik bokap lo, mama dapat anak perusahaan, restoran. Ditambah lagi papa juga punya perusahaan sendiri yang akan gue warisi, jadi gue enggak tertarik sama sekali dengan The Kings.""Yakan siapa tahu lo mau, jadi kakek enggak harus mendesak gue lagi.""The Kings itu Casino terbesar ke tiga di dunia, dan terbesar pertama d
- 6 Tahun Kemudian - "Selamat pagi!" Merona hangat menyapa pada pasien pertamanya hari ini. Seorang wanita muda yang tengah berbadan dua. Datang bersama suaminya. Merona tersenyum tatkala dengan sigap sang suami menarik kursi untuk istrinya duduk. "Jadi apa yang ibu rasakan?" tanya Merona ramah. "Saya enggak merasakan apa-apa, tapi suami saya, Dok. Kan saya yang hamil, terus kenapa dia yang mual-mual dan ngidam?" Merona tersenyum mendengar penuturan si ibu muda tersebut, lanjut kembali dia menjelaskan. "Itu namanya kehamilan simpatik, atau disebut juga dengan sindrom Couvade. Walaupun bapaknya mual-mual dan ngidam itu enggak berbahaya." Sang suami menjawab. "Sebenarnya saya enggak masalah untuk hal tersebut, Dok. Saya dan istri datang ingin melihat buah hati pertama kami." "Baik," balas Merona. Lalu bertanya. "Apa sebelumnya sudah pernah melakukan pemeriksaan?" Mereka menggeleng. Kening Merona berkerut, melihat kondisi perut yang sudah besar tersebut. "USG belum pern
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses
Merona senang dan merasa sangat bahagia bisa terus bersama Grazian. Setidaknya selagi dirinya bisa. Kabar perihal rencana kepergian Grazian ke Macau adalah ketakutan Merona. Seyakin dirinya pada tindakan kakek. Pria tua memang sudah terlalu lama baik pada dirinya dengan tetap membiarkan Merona tinggal bersama Grazian. Setelah semua kebaikan itu, mesti ada sesuatu yang harus Merona bayar.Seperti siang ini Merona tak menyangka kakek memintanya bertemu di sebuah restoran dengan ruangan privat. Saat Merona masuk dengan diantar pramusaji, dia sudah melihat kakek duduk santai menikmati hidangan yang disajikan. Kakek melihat kedatangannya, lalu memintanya segera duduk.“Duduklah,” pintanya dengan suara tua yang khas.Merona menarik kursi untuknya duduk di hadapan kakek. Sajian makanan yang sudah tersedia tak cukup mampu menggugah seleranya. Merona tak pernah berani membuka pembicaraan dengan kakek. Sejak dulu dia takut pada kakek yang sering kali menatapnya sinis.“Grazian sudah memberitahu
Bagi hampir sebagain orang berpasangan dengan seseorang yang sesuai level mereka adalah keharusan. Entah itu secara kecerdasan, gelar atau pun kekayaan. Pentingnya bukan hanya untuk memperkuat status sosial mereka, tapi juga untuk mencegah rasa minder dari pasangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Danisha—wanita yang sudah melahirkan Darren. Benar memang bahwa Darren sudah bertunangan, namun bagi Danisha untuk merestui sampai ke jenjang pernikahan jelas tidak akan terjadi.Sepulang dari gala dinner, Darren duduk di teras rumah sederhana Alesha. Ayahnya gadis itu adalah seorang kepala sekolah SMP dan ibunya seorang penjahit. Meski kehidupan Alesha tidak kekurangan, namun di mata Danisha tidak kekurangan saja belum cukup. Darren dibuat galau malam ini setelah dipertemukan dengan Angela. Terlebih lagi kakek Alesha adalah orang yang tak pernah disukai Danisha. “Kopinya,” ujar Alesha menyuguhkan secangkir kopi hitam buatan tangannya sendiri.Darren tersenyum menatap tunangannya itu. “
Merona menghela nafas lega tatkala yang berdiri di hadapannya adalah Hanna. Cewek itu sudah tahu perihal hubungannya dengan Grazian, tapi Hanna tetap merasa tidak nyaman ketika melihat Merona bersama Grazian. Pandangan mata Hanna pada Grazian sangat tajam. “Lo kalau berani nyakitin Merona, gue potong burung lo dua kali. Sampai ke akarnya!” ucapnya memperingati Grazian. Apa yang baru saja Hanna katakan membuat Grazian ngeri sekaligus tersenyum kikuk. “Hehehe... Iya.”Hanna lalu memijat keningnya. “Aduh, pusing gue menghadapi kenyataan ini,” katanya lalu pergi begitu saja. Merona dan Grazian saling berpandangan dan terkekeh kemudian. “Itu enggak apa-apa dia tahu?”“Dia justru tahu duluan tanpa aku kasih tahu,” jawab Merona. “Dia hapal sama tas yang aku pakai.”Mereka keluar dari perpustakaan setelah mendapatkan beberapa buku yang Merona butuhkan. Saat keduanya keluar mereka melihat Hanna yang sedang membeli cilok. Merona tersenyum tipis melihat hal itu. Saat Merona dan Grazian mendek