Lebih dari apapun ada yang Grazian ingat dari setiap tetes hujan yang jatuh mencium bumi. Hujan yang sejuk dan membuat damai itu nyatanya tak pernah demikian bagi Grazian. Tidak sama sekali, Grazian tidak pernah menyukai hujan sebab hujan selalu berhasil membuat memori kelamnya kembali naik ke permukaan menyusup dan mengisi celah-celah kosong di hatinya. Terlebih lagi hujan sore ini diiringi dengan gemuruh bercampur kilat yang menyala di langit.
Seperti anak kecil Grazian meringkuk dibalik selimut dengan telinga yang disumbat earphone mendengarkan kencangnya musik dalam volume suara seratus persen hanya untuk meredam suara kejam langit yang berteriak marah itu. Selain earphone, Grazian juga menutup telinga dengan bantal. Mencoba memejamkan matanya untuk sekedar membuat perasaannya tenang.
Tapi, sekuat apapun Grazian berusaha meredam apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya tetap saja lelaki itu tak mampu. Kesal sebab suara musik rock yang diputar lewat ponselnya itu tak mampu mengalahkan kerasanya hantaman petir di luar sana. Lantas dengan kasar dia melempar bantal hingga jatuh sembarang ke lantai. earphone di telinganya ia cabut dan berakhir sama dengan bantal yang beberapa saat lalu dilempar.
“Aaarrrrghhh! Setan lo pada! Bisa diem enggak?!” Grazian berteriak marah entah pada langit yang bergemuruh atau pada bisingnya ingatan-ingatan pahit itu yang berebut tempat di ingatannya.
Grazian mengamuk, mengambil vas bunga lalu ia lempar sekuat tenaga hingga hancur berkeping menghantam dinding lalu meluruh berserakan ke lantai. Dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang kian memburu. Belum puas Grazian melepas emosinya kali ini dia menyasar pada buku-buku di meja belajarnya, disingkirkan dengan kasar dan menendang kuat kursinya.
Gaduh suara kamarnya disetiap kali Grazian membanting sesuatu, sebelum kemudian denting retakan cermin terdengar nyaring ketika Grazian menijunya dengan kuat. Kepalan tangannya berdarah serpihan cermin menyeset kulitnya. Belum puas dengan satu tangannya, kini tangan kirinya harus bernasib sama. Cermin retak itu kini terpisah dari bingkainya kala Grazian kembali melayakan satun pukulan kuat di sana. Bahu kokoh itu nampak bergetar sekarang, Grazian menangis dengan nafas memburu, rasa sesak itu kian mendesak-desak rongga parunya.
“Zian!” seru Merona yang baru saja pulang. Gadis itu berlalu merangkul Grazian kemudian. Dalam perjalanan pulang hujan turun dan Merona tak tenang. Dia bahkan berlari untuk segera sampai. Dugaannya benar bahwa Grazian hancur sekarang.
“Sakit Roo, sakit.” Lirihnya dalam pelukkan Merona. “Suruh mereka diam, Roo. Mereka berisik.”
Sebenarnya Merona tak bisa berbuat banyak ketika Grazian tengah kacau seperti sekarang ini. Hal kecil yang bisa dia lakukan adalah memeluk Grazian erat, menenangkan lelaki itu lewat dekapan hangat dan juga usapan lembut tangannya. Satu pelukkan tulus sering kali lebih mujarab dari serentetan kata-kata penuh nasehat.
Ingat Merona ditarik mundur ketika pertama kali dirinya tinggal bersama Grazian, lalu hujan turun hari itu sama seperti sore ini. Grazian masih kelas satu SMA sama seperti dirinya. Hari itu berlari masuk ke kamar dan menyembunyikan diri di dalam lemari. Merona tak mengerti tapi, saat membuka pintu lemari itu dia mendapati Grazian yang menekuk kedua lututnya dan menyembunyikan kepalanya di antara lipatan kaki.
Meski saat itu tak mengerti apa-apa tapi, Merona memberanikan diri untuk memeluk Grazian. pelukkan yang pada akhirnya membawa Grazian pada rasa nyaman dan tenang. Satu dari banyak alasan mengapa Grazian rela menampung dan membiayai Merona, menjaga gadis itu dengan baik. Merona adalah tempatnya pulang meski, Grazian sendiri tak yakin bisa menetap.
“Zian, hujannya sudah reda.” Bisik Merona di telinga Grazian.
Pelukkan itu berangsur-angsur mereda. Kepala Grazian mendongak untuk melihat wajah Merona. Gadis itu tersenyum manis ketika mendapati wajah sayu Grazian dengan genangan air mata. “Terima kasih, Roo.”
Tangan Merona lalu terulur meraih kedua tangan Grazian yang berdarah. “Aku ambil kotak obat dulu ya.”
Belum sempat Merona berdiri, Grazian sudah menahan gadis itu. “Nanti dulu.”
Merona membiarkan Grazian kembali memeluknya. Menenggelamkan kepalanya di dada gadis itu. Grazian suka mendengarkan detak jantung Merona yang bertalu lebih cepat karena dirinya. Kedua tangannya semakin mengerat hinga mereka kian merapat. Grazian selalu berhasil membuat Merona tak berkutik.
“Zian…”
“Dada kamu hangat, Roo.” Kata Grazian memotong lebih dulu perkataan Merona tapi, yang didapatnya adalah pukulan sadis dari Merona di atas kepalanya.
Plak!
“Lepas, Zian.”
“Enggak mau, di sini hangat dan empuk.” Katanya semakin menenggelamkan wajahnya di atas dada Merona. Bahkan mulut nakalnya menggigit kecil dada Merona dari balik baju.
“Sakit tahu!”
Kali ini Merona membuang jauh rasa ibanya pada Grazian. sekuat tenaga yang dia punya dalam satu dorongan kuat Merona berhasil melepaskan diri dari dekapan Grazian. Dia bersingut kesal meninggalkan kamar Grazian untuk mengambil kotak obat. Sedangkan Grazian sendiri sudah terkekeh sejak tadi, melupakan bayang-bayang mengerikan yang beberapa saat lalu menerkamnya hidup-hidup. Lelaki itu bersandar pada dinding menarik nafas lega.
****
Ada bisu yang menyelimuti kedua insan itu, Grazian hanya duduk di kursi pantry memperhatikan Merona yang tengah membuat makan malam untuk mereka. Lima telur satu persatu dipecahkan isinya masuk ke dalam wadah stainless, lalu Merona memasukan potongan daun seledri dan juga bawang daun ke dalamnya. Garam, sedikit gula dan tanpa penyedap Merona mulai mengocoknya.
Pan yang sudah panas itu kini di isi dengan butter jatuh di atasnya dan berdesis. Sekaligus telur dalam wadah yang sudah dikocok itu dituang ke dalam pan. Merona menggemang ganggang pan sedikit menggerakkannya ke kiri dan ke kanan agar telurnya merata memenuhi semua bagian pan. Menunggu sampai matang, kini Merona beralih pada kompor satunya. Mengambil pancil yang berisi air kemudian meletakannya di sana. Merona kembali pada telur dadanya, membaliknya dengan spatula tanpa gagal sedikitpun. Begitu matang telur dadar itu di sisihkan ke atas piring.
Kini Merona beralih pada air yang sudah mendidih. Sayur yang sudah dipotong-potong seperti wortel, kol, dan kentang ia masukkan ke dalam air yang mendidih. Lalu pelan-pelan menuangkan bubuk kaldu, tumis bawang merah dan bawang putih halus dan mengaduknya kemudian sampai rata dan tercium aromanya. Hal terakhir yang Merona masukkan adalah jamur kupingnya.
“Kamu mau pakai nasi?” tanya Merona pada Grazian yang sejak tadi memperhatikannya.
“Suapin.”
“Iya.”
Kedua tangan Grazian sudah diobati, sedikit parah sampai Merona harus membalutnya dengan perban. Lelaki itu selalu saja membuat Merona khawatir dengan segala tindak tanduknya. Sambil menunggu supnya matang, Merona meninggalkan dapur sejenak. Masuk ke ruang laundry untuk mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah kering dari mesin cuci, lalu memindahkannya ke keranjang.
Merona kembali lagi ke dapur dan melihat Grazian berdiri di dekat kompor. “Supnya udah mateng, Roo.” Lelaki itu mematikan kompornya, lalu meminta Merona untuk mengambil mangkuk.
“Nih.”
Pelan-pelan Grazian menuangkan supnya ke dalam mangkuk. Kali ini Merona yang diam memperhatikan. Sebenarnya gadis itu lelah tapi, Merona selalu berhasil menahan diri untuk tidak merengek. Jika membandingkan kelelahan dirinya dengan Grazian maka, lelaki itu paling banyak lelahnya. Harus memberinya uang setiap bulan, mengelola bisnis kecilnya, kuliah, menghadapi pacar-pacarnya dan juga menghadapi tekanan mentalnya.
Saat menu makan malam sederhana sudah tersaji di atas meja, Merona duduk di dekat Grazian memudahkan dirinya untuk menyuapi lelaki itu. Sementara Grazian menerima setiap suapan dari Merona sambil bermain games. Merona sendiri ikut makan mengisi perutnya yang kosong, seperti biasa jika tengah menyuapi Grazian maka dirinya pun makan dari piring dan sendok yang sama.
Saat makanan di piring sudah habis, Grazian menahan tangan Merona yang akan beranjak untuk merapikan bekas makan mereka. “Roo, tidur di kamar aku ya malam ini.”
Merona mengulas senyum dan mengangguk. “Iya.”
Jangan lupa kasih komentar dan vote kalian biar aku tambah semangat nulisnya. Add ke libary juga biar tahu bab berikutnya. Terima kasih :)
Pukul dua belas malam lampu kamar masih menyala. Dari tempat tidur Grazian memperhatikan Merona yang menggunaka meja belajarnya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Malam ini setelah makan malam Grazian menahan Merona di kamarnya, bahkan lelaki itu juga mengunci pintu kamarnya agar Merona tak bisa keluar. kelakuan Grazian yang seenaknya itulah yang sering membuat Merona kesal tapi, gadis itu masih bisa menahan diri untuk mengumpati lelaki yang bertelanjang dada itu. Saat Merona menutup laptopnya, senyum terbit di bibir Grazian. Tahu benar bahwa gadis itu sudah selesai dengan tugasnya. Merona tanpa bicara masuk ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya. Beruntung ada satu botol face wash miliknya yang tersedia di kamar mandi milik Grazian. Soal sikat gigi gadis itu mengambil kemasan baru dari dalam laci. Grazian senantiasa menunggu Merona sampai gadis itu keluar dari kamar mandi, lalu mengambil tempat di sisinya. Merona mendesak Grazian deng
Di taman kampus gedung fakultas hukum Grazian duduk di atas rumput bersama Rachel. Di tangannya ada satu cup boba yang Rachel belikan untuk teman ranjangnya itu. "Habis dari mana lo?" Tanya Rachel sebab saat masuk kelas lelaki itu hampir datang terlambat."Cewek baru, lo tahu dia lebih gokil dari lo."Rachel terkekeh kecil. "Masa?"Sejenak Grazian merenungi segala petualangan hidupnya di atas ranjang bersama gadis-gadis. Lelaki itu menatap Rachel dari samping. "Lo pernah merasa bosan enggak sih dengan hidup yang gini-gini aja?""Gini-gini gimana maksud lo? Bukannya hidup kita seru ya? Bebas, enggak terkekang kayak kehidupan orang-orang.""Justru karena terlalu bebas, kayaknya kita enggak punya tujuan. Sekarang gue tanya, lulus nanti lo mau jadi apa?""Pengacara mungkin?""Masih mungkin enggak jelas," Grazian mendesah, lalu dia menyedot es bobanya dengan rakus. "Kayak gue harus lebih sering minum dan makan yang manis-manis. Pahit banget hidup, gue."Rachel kini mengamati Grazian. "Lo b
Jika ditanya hal apa yang dibenci Grazian maka, jawabannya adalah masa lalunya. Grazian tak pernah suka jika seseorang bertanya tentang masa lalunya termasuk perihal keluarganya. Keduanya sangat berkaitan. Lelaki itu lahir karena sebuah kesalahan begitu ibunya menyebut lantang bahwa Grazian adalah sebuah kesalahan tapi, terpaksa harus dibesarkan untuk sebuah warisan keluarga. Ketika Grazian tumbuh orang tua justru sibuk berselingkuh dengan kekasih mereka masing-masing. Grazian kecil sering diabaikan. Orang tuanya pulang hanya membawa keributan besar di rumah mewahnya. Segala barang dibanting dan berisik, lalu mereka saling menyalahkan membawa-membawa nama Grazian dalam pertengkaran itu. Grazian adalah kesalahan, Grazian membuat kedua orang tuanya terisak, Grazian hadirnya tak pernah diinginkan dan banyak lagi penyesalan-penyelsaln yang keluar dari mulut orang tuanya tentang Grazian.Tak pernah ada yang baik-baik saja di balik dunia Grazian yang gemerlap. Percayalah semua itu hanya pel
Grazian datang ke kediaman kakeknya, bukan untuk kembali tinggal, tapi untuk membicarakan beberapa hal serius dengan kakeknya itu, selain karena memang dirinya diundang untuk datang oleh kakeknya.Kehadiran Grazian sudah dinantikan. Lelaki itu memarkirkan motornya sembarangan. Dia melirik dua penjaga, dan berkata. "Motor gue tetap di sini jangan lo pindahin."Membawa kakinya masuk, Grazian melihat kakeknya dengan Arman sedang bicara di ruang tamu. Arman sudah seperti anak dari kakeknya karena Arman yang selalu ada, dan juga Arman yang lebih paham bagaimana kakeknya itu.Grazian duduk di dekat mereka. "Jadi apa yang mau kakek bicarakan?""Ah, anak muda ini terlalu terburu-buru. Padahal kakek ingin minum kopi dulu dengan kamu," ucap Danuwiratmaja pada cucunya itu. "Arman tolong buatkan dia kopi.""Baik, Tuan." Arman beranjak."Gulanya sedikit saja," pinta Grazian yang dibalas anggukan dari Arman."Zian, kamu tahu sendiri bukan kalau kakek ini sudah tua dan kakek tidak bisa mempercayakan
"Oweeek." Merona muntah-muntah mengeluarkan sesuatu dari mulutnya yang tanpa bisa terkontrol juga ikut tertelan. "Oweeek..."Grazian ikut masuk ke kamar mandi. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Merona. "Ya maaf, Roo kalau aku kebablasan.""Sumpah, ini tuh enggak enak banget rasanya," Merona menyalakan keran dan berkumur banyak-banyak guna menghilangkan sisa-sisa rasa dari cairan yang Grazian keluarkan dalam mulutnya.Tangan Grazian yang semula di punggung bergeser ke pundak merapikan pakaian Merona yang melorot. "Dasar amatir, segitu aja udah muntah-muntah. Kayaknya kamu harus sering-sering latihan, Roo.""Enggak, aku kapok," balas Merona, dia mengambil tisu dan menyeka mulutnya. "Kayaknya mendingan kamu cari mulut perempuan lain aja deh buat menelan cairan kamu itu.""Yakin? Nanti cemburu lagi."Merona menghela nafasnya. "Sumpah ya, kamu tuh nyebelin banget Zian. Enggak bisa apa berhenti dan mulai serius sama hidup."Sejenak Grazian diam menelaah ucapan Merona. Ada perasaan yang
Darren mendengus sebal ketika tempatnya disambangi Grazian yang tanpa permisi masuk begitu saja ke kamarnya ketika tengah mengerjakan tugasnya. "Ada apa?" tanya Darren malas."Om sama tante kemana?" Grazian balik bertanya, lalu merebahkan dirinya di tempat tidur Darren."Eropa, urusan pekerjaan."Grazian lalu bangun lagi. "Lo enggak berniat ambil alih perusahaan kakek, The King?"Tampaknya Grazian ingin serius bicara maka, Darren mengenyampingkan tugas-tugasnya dahulu. Kursinya diputar agar bisa menghadap Grazian yang duduk di tempat tidur."Lo tahukan kalau yang anak kakek itu mama, jadi mama enggak akan dapat sebanyak yang bokap lo dapat. Perusahaan utama jelas jadi milik bokap lo, mama dapat anak perusahaan, restoran. Ditambah lagi papa juga punya perusahaan sendiri yang akan gue warisi, jadi gue enggak tertarik sama sekali dengan The Kings.""Yakan siapa tahu lo mau, jadi kakek enggak harus mendesak gue lagi.""The Kings itu Casino terbesar ke tiga di dunia, dan terbesar pertama d
Saat pagi menjelang dengan malas Grazian membuka matanya. Tirai yang dibuka oleh Merona membawa matahari pagi masuk menyilaukan matanya. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Grazian menggerutu ketika dibangunkan oleh Merona."Silau banget, Roo. Tutup lagi dong."Merona tentu saja tidak mengindahkan permintaan Grazian. "Hari ini kamu ada kelas, jam sembilan dan ini sudah jam tujuh. Buruan bangun.""Masih dua jam lagi.""Awas ya kalau kamu sampai bolos. Aku mau ke kampus sekarang nih.""Iya, kamu pergi aja sana."Merona mendengus tentu saja. Tingkah Grazian setiap pagi tidak pernah benar. Meninggalkan Grazian yang masih di tempat tidur, Merona segara menyambar tasnya. Dia sudah membuatkan sarapan untuk lelaki itu, jadi perasaanya lebih tenang.Di dekat apartemen ada halte, Merona melihat Aresh yang beberapa hari belakangan terlihat menghindarinya. "Hai, Resh." sapanya kemudian."Hai," balas Aresh singkat. Dia melirik Merona. "Enggak diantar cowok lo?""Lo tuh sebenarnya kenapa sih, Resh? Lo te
Pukul empat sore Grazian baru keluar dari kelasnya sambil menguap lebar. Langkah-langkah kakinya terlihat berat diseret. Kelasnya hari ini nyaris membuat kepalanya pecah karena tiga dosen yang mengajar hari ini adalah dosen-dosen yang menyandang sebagai musuh besar Grazian. Grazian melihat jam tangannya, kelas Merona sudah selesai sejak lima belas menit yang lalu. Grazian segera mengirim pesan pada Merona untuk bertemu di gerbang belakang yang biasa sepi.Baik Grazian mau pun Merona memang sengaja merahasiakan kedekatan mereka sejak lama dari teman-temannya. Keduanya perihal privasi paling tidak suka diusik."Zian!" Rachel memanggilnya ketika Grazian berjalan menuju tempat parkir."Iya?""Kayaknya kita berhenti deh buat mengusut kasus bokap tiri gue." "Kenapa? Bukannya lo mau ini cepat selesai, lagi pula Teja juga mendukung penuh?" tanya Grazian penuh selidik."Lo tahu bokap tiri gue enggak mungkin menyebarkan video gue yang tidur dengan temannya dan dia...""Dia siapa?""Lucas Baska
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses
Merona senang dan merasa sangat bahagia bisa terus bersama Grazian. Setidaknya selagi dirinya bisa. Kabar perihal rencana kepergian Grazian ke Macau adalah ketakutan Merona. Seyakin dirinya pada tindakan kakek. Pria tua memang sudah terlalu lama baik pada dirinya dengan tetap membiarkan Merona tinggal bersama Grazian. Setelah semua kebaikan itu, mesti ada sesuatu yang harus Merona bayar.Seperti siang ini Merona tak menyangka kakek memintanya bertemu di sebuah restoran dengan ruangan privat. Saat Merona masuk dengan diantar pramusaji, dia sudah melihat kakek duduk santai menikmati hidangan yang disajikan. Kakek melihat kedatangannya, lalu memintanya segera duduk.“Duduklah,” pintanya dengan suara tua yang khas.Merona menarik kursi untuknya duduk di hadapan kakek. Sajian makanan yang sudah tersedia tak cukup mampu menggugah seleranya. Merona tak pernah berani membuka pembicaraan dengan kakek. Sejak dulu dia takut pada kakek yang sering kali menatapnya sinis.“Grazian sudah memberitahu
Bagi hampir sebagain orang berpasangan dengan seseorang yang sesuai level mereka adalah keharusan. Entah itu secara kecerdasan, gelar atau pun kekayaan. Pentingnya bukan hanya untuk memperkuat status sosial mereka, tapi juga untuk mencegah rasa minder dari pasangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Danisha—wanita yang sudah melahirkan Darren. Benar memang bahwa Darren sudah bertunangan, namun bagi Danisha untuk merestui sampai ke jenjang pernikahan jelas tidak akan terjadi.Sepulang dari gala dinner, Darren duduk di teras rumah sederhana Alesha. Ayahnya gadis itu adalah seorang kepala sekolah SMP dan ibunya seorang penjahit. Meski kehidupan Alesha tidak kekurangan, namun di mata Danisha tidak kekurangan saja belum cukup. Darren dibuat galau malam ini setelah dipertemukan dengan Angela. Terlebih lagi kakek Alesha adalah orang yang tak pernah disukai Danisha. “Kopinya,” ujar Alesha menyuguhkan secangkir kopi hitam buatan tangannya sendiri.Darren tersenyum menatap tunangannya itu. “
Merona menghela nafas lega tatkala yang berdiri di hadapannya adalah Hanna. Cewek itu sudah tahu perihal hubungannya dengan Grazian, tapi Hanna tetap merasa tidak nyaman ketika melihat Merona bersama Grazian. Pandangan mata Hanna pada Grazian sangat tajam. “Lo kalau berani nyakitin Merona, gue potong burung lo dua kali. Sampai ke akarnya!” ucapnya memperingati Grazian. Apa yang baru saja Hanna katakan membuat Grazian ngeri sekaligus tersenyum kikuk. “Hehehe... Iya.”Hanna lalu memijat keningnya. “Aduh, pusing gue menghadapi kenyataan ini,” katanya lalu pergi begitu saja. Merona dan Grazian saling berpandangan dan terkekeh kemudian. “Itu enggak apa-apa dia tahu?”“Dia justru tahu duluan tanpa aku kasih tahu,” jawab Merona. “Dia hapal sama tas yang aku pakai.”Mereka keluar dari perpustakaan setelah mendapatkan beberapa buku yang Merona butuhkan. Saat keduanya keluar mereka melihat Hanna yang sedang membeli cilok. Merona tersenyum tipis melihat hal itu. Saat Merona dan Grazian mendek
Merona duduk di bangku taman bersama Hanna. Ada setumpuk camilan dan minuman segar di tengah-tengah mereka. Bukan sedang mengerjakan tugas, tapi sedang bergosip. Hanna menjadi sumber paling terpercaya bagi Merona. Sahabatnya itu bercerita dengan sangat menggebu-gebu. “Gue bahkan menyusup ke WAG deretan para mantan Grazian,” jelas Hanna ketika berhasil mendapatkan link group khusus yang dibuat mantan Grazian. “Serius mereka sampai punya group? Buat apaan coba?”“Isinya tuh mencari tahu pacar Grazian yang baru. Lo kayaknya beneran kudu waspada. Di antara mereka ada satu yang terobsesi banget sama Grazian. Nih, lo lihat sendiri aja obrolan mereka.”Hanna memberikan ponselnya pada Merona agar sahabatnya itu membaca sendiri obrolan mereka. “Terus kalau misalnya mereka tahu siapa pacarnya Grazian sekarang, mau diapain gitu?”“Disuruh putus kali.”Merona mengembalikan ponsel itu pada Hanna. “Grazian emang sudah keterlaluan sebagai cowok. Mungkin enggak sedikit dari mereka yang hatinya saki