Memasuki pukul sepuluh malam Grazian mulai aktif keluyuran. Mengendarai motornya membonceng gadis lainnya untuk diajak bersenang-senang di club malam. Gadis di belakang Grazian itu memeluk erat. Tubuh mereka menempel seperti diberi perekat. Lelaki brengsek sekelas Grazian tidak akan menolak santapan empuk yang disodorkan padanya itu.
Grazian sering kali keluar masuk ke club, tapi tak sekalipun mengizinkan Merona untuk mengikuti jejaknya memasuki tempat penuh dengan huru-hara kesenangan duniawi itu. Perihal hubungannya dengan Merona, Grazian yakin tak seorang pun tahu jika Merona tinggal bersamanya. Sejak dahulu Grazian dan Merona saling menjaga jarak jika mereka ada di luar rumah. Orang-orang hanya tahu keduanya sebatas saling kenal saja.Motor Grazian berhenti di depan pintu masuk club. “Kamu turun duluan ya, aku mau parkir motor dulu.” Titahnya pada gadis yang menemaninya malam ini.Gadis itu sudah barang tentu menurut. Masuk lebih dahulu membiarkan Grazian melakukan apa yang dikatakan sebelumnya. Saat motornya terparkir, tiba-tiba saja pipi Grazian dicium seseorang. Grazian menoleh mendapati Shinta salah satu pacarnya. Anak kelas B fakultas Ekonomi.“Seneng deh bisa ketemu kamu di sini,” kata Shinta bahagia.“Aku juga, tapi aku lagi sama yang lain. Kamu besok aja, ya?” ucap Grazian seraya mengusap lembut pipi Shinta yang kini cemberut.“Yah, padahalkan aku kangen kamu.”Grazian selalu punya cara agar gadis-gadisnya menurut maka, dia bergerak merapat pada Shinta. Mencumbu bibir gadis itu penuh dengan kelembutan seolah-olah benar bahwa ada rasa dalam pagutan manisnya itu. Shinta seperti gadis kebanyakan yang akan terlena akan pesona Grazian. Begitu bibirnya di lepas, Shinta tersenyum.“Oke, kalau begitu aku tunggu besok ya.”“Iya, sayang.”Gadis mana yang tidak Grazian sebut sayang saat bersama dirinya. Mulut manisnya itu penuh tipu muslihat, memperdaya gadis-gadis hingga betekuk lutut pada pesonanya. Meninggalkan Shinta, lelaki itu bergegas masuk menyusul gadis yang datang bersamanya. Namanya Karin baru dipacarinya sore tadi. Bagi Karin ini adalah kencan pertamanya dengan lelaki tapi, bagi Grazian Karin adalah yang entah ke berapa karena begitu banyaknya gadis yang dikencaninya.“Hei baby, maaf ya buat kamu menunggu,” tutur Grazian begitu ia berdiri di sisi Karin, lalu mencium pipi gadis itu. “Udah pesan apa?”“Vodka, kamu mau apa?”“Aku ikut selera kamu aja,” jawab Grazian sambil salah satu tangannya merangkul pundak Karin. Mengajak gadis itu untuk duduk di salah satu sudut club.“Ya sudah kalau gitu aku pesan lagi.”“No!” Grazian meletakan jari telunjuknya di atas bibir Karin. “Biar aku saja, kamu duduk manis aja di sini.”“Oke.”Lantas Grazian yang memesan ke meja bar. Lelaki itu disambut hangat oleh Juno salah satu bartender yang akrab dengannya. “Baru lag?” tanya Juno.“Biasalah, hiburan.”Juno terkekeh sendiri. Bukan sekali dua kali dirinya mendapati Grazian bersama wanita berbeda setiap malamnya. Dunia Juno sendiri tak jauh berbeda dengan Grazian. Perempuan, making love dan alkohol menjadi satu paket yang salah satunya tak bisa dihilangkan. Memesan beberapa botol alkohol, Grazian kemudian meminta Juno untuk mengantarkannya langsung ke mejanya.“Iya, gue anter sendiri bos.”Grazian kembali ke mejanya menghampiri Karin. Mengangkat tubuh gadis itu agar duduk di atas pangkuannya. “Kamu tahu kan peraturan mainnya kalau mau jadi pacar aku?”“Ya, aku tahu dan paham,” Karin lalu mengusap rahang Grazian, mengecup kemudian di sana. “Aku udah enggak perawan kok jadi, aku rasa enggak masalah kalau bercinta dengan kamu.”Banyak gadis yang pada akhirnya mengaku bahwa mereka tak lagi perawan pada Grazian. Bukan hal yang aneh di jaman sekarang banyak gadis yang tak lagi gadis. “Aku tahu, tapi sesuai janji mal ini kita hanya sebatas jalan, bukan bercinta.”Ya tentu saja Grazian menolak Karin karena sudah ada Rachel yang mengajaknya lebih dahulu. Rachel adalah yang paling pandai dalam memuaskan hasrat kelelakian Grazian dibandingkan sederet pacar-pacarnya yang lain. Terlebih lagi Rachel sama seperti dirinya yang hanya untuk memuaskan satu sama lain. Rachel butuh Grazian bukan hanya urusan biologisnya saja, tapi juga dompetnya dan Grazian butuh Rachel karena hasratnya.Menghabiskan malam bersama Karin di club, Grazian mencubui gadis itu. Meraba setiap lekuk tubuhnya sampai Karin merasa puas tanpa harus Grazian memasukinya. Dua jam mereka di sana, Grazian kemudian mengantarkan Karin lalu setelahnya lelaki itu melesat ke apartemen Rachel. **** Rachel Sevanya Haris mahasiswi Fakultas Hukum yang menurut penilaian para lelaki paling cantik dan molek. Hidupnya selalu terlihat mewah dan glamor, tapi mungkin hanya Grazian yang paling tahu sisi kelam seorang Rachel hingga berbuntut gadis itu menjadi seorang wanita bayaran secara diam-diam. Namun sejak dengan Grazian, Rachel tidak pernah melayani siapapun. Itu adalah syarat yang diajukan oleh Grazian.“Wow!” decak Grazian saat kedatangannya disambut seksi oleh Rachel yang mengenakan lingerie hitam transparan hingga memperlihatkan keindahan di balik sana. Terlihat jelas oleh mata Grazian.“Gimana? Seksi enggak?” tanya Rachel yang sebenarnya tak perlu dijawab pun dunia tahu kalau dia begitu seksi.Cekatan tangan Grazian merengkuh Rachel, kaki kirinya mendorong pintu hingga tertutup. “Kamu selalu seksi, Rachel.”“Jadi gimana? Mau hidangan pembuka atau langsung ke menu utama?”“Em… hidangan utama. Aku laper,” tutur Grazian lantas melepas Rachel dan berlalu ke dapur. “Laper beneran Rachel!” serunya menyadari dirinya sudah membuat Rachel kesal.Selain mengerti Grazian dalam urusan hasrat ranjangnya, Rachel juga mengerti Grazian soal urusan makan. Mengikuti langkah kaki Grazian ke dapur, Rachel bersiap membuatkan sesuatu untuk lelaki itu. Lelaki yang mampu membuatnya mendesah berkali-kali.“Tadi nge-date dimana? Sama siapa?” tanya Rachel tanpa rasa marah dengan statusnya sebagai pacar Grazian.“Karin, anak kampus sebelah,” jawab Grazian sebelum menggit apel dan mengunyahnya.“Lama-lama kamu bisa masuk MURI, beb karena mengoleksi banyak perempuan. dibuatan asrama boleh juga tuh kayaknya. Aku jadi kepala asramanya.”Grazian tertawa kecil. “Kepala asrama yang selalu bercinta duluan dengan aku sebelum penghuni asrama lainnya.”“Nah itu!”Jika dengan Rachel tak pernah ada kecanggungan saat mengobrol. Gadis itu tak marah atau tak tersinggung saat Grazian membicarakan pacar-pacarnya. Rachel tak main hati dengan Grazian, tidak seperti kebanyakan yang lainnya. “Besok aku mau putusin tiga pacar aku yang rese.”“Siapa?” tanya Rachel penasaran, tapi tangannya bergerak memasukkan spaghetti ke dalam panci berisi air mendidih.“Anak...? lupa namanya siapa, sebentar aku lihat kontaknya dulu,” Grazian mengecek ponselnya membaca pesan beberapa gadis yang menurutnya mulai menyebalkan, mulai menuntutnya banyak hal seperti yang mereka inginkan. “Tapi diputusin langsung aja kali ya.”Grazian lalu menghubungi kontak pertama dan langsung tersambung. Hanya mengatakan. “Kita putus. Kamu udah mulai rese.”Dan Rachel yang geleng kepala. “Emang brengsek tiada tandingan.”“Yes, I’am!” Grazian lalu merangkul Rachel dari belakang. Menekan tubuhnya agar Rachel bisa merasakan keras bukti gairahnya. “Dia udah hard kayaknya enggak bisa menunggu sampai selesai makan.”Rachel sangat paham apa yang Grazian mau saat ini. Tanpa ragu Rachel berlutut untuk memuaskan hasrat Grazian. Kenikmatan demi kenikmatan keduanya raih bersama. Hal yang wajar bagi mereka bercinta tanpa ikatan ataupun rasa. Dunia keduanya sama-sama keindahan semu.***Pukul tiga dini hari Grazian baru kembali dari kediaman Rachel. Memasuki apartemennya yang sepi, Grazian melirik pintu kamar Merona yang sedikit terbuka dengan cahaya lampu menyorot keluar lewat celah pintu. Grazian tahu kalau Merona sedang mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Antara belum tidur atau baru saja bangun tidur. Merona akan tidur lebih awal lalu bangun sekitar pukul dua dini hari atau pukul tiga dan takan tidur lagi sampai pagi menjelang, atau merona tidak tidur semalam lalu akan tidur pukul lima dan bangun pukul enam pagi. Waktu tidur Merona sangat sedikit, Grazian sering kali melihat Merona terlelap di antara tumpukan buku-buku tebalnya. “Roo?” panggil Grazian dan melangkah masuk ke kamar gadis itu. Diletakkannya paper bag berisi kopi dan roti dari kedai kopi kenamaan itu di atas meja belajar Merona. “Buat kamu, pasti lapar kan?” Merona menatap Grazian dari ujung kepala sampai kaki. Jejak merah di leher lelaki itu terlihat jelas. “Kalau mau tidur di sini mandi dulu yang
Merona mendapat pesan singkat dari Grazian yang memintanya untuk bertemu di parkiran. Lewat pesan singkat itu juga Grazian mengatakan bahwa dirinya hari ini ke kampus membawa mobilnya. Merona yang sudah tahu pun langsung menghampiri dan masuk begitu melihat sedan hitam milik Grazian.“Ada apa?” tanya Merona kemudian saat sudah duduk manis di sisi Grazian.“Makan siang.” Jawab Grazian lantas mengemudi mobilnya keluar dari kampus. “Ada kelas lagi jam berapa?”Merona bersandar pada kursi dengan nyaman. “Satu setengah jam lagi, jangan cari tempat yang jauh.”“Oke tuan puteri.”Grazian membawa Merona ke salah satu restoran cepat saji, tak seberapa jauh dari kampus namun jarang menjadi tempat makan bagi anak-anak kampusnya. Mereka mengambil tempat duduk di sudut, memesan beberapa menu makan sekaligus. Merona meringis saat melihat banyaknya makanan yang Grazian pesan. Pramusaji yang melayani mere
Grazian dan Merona sampai di Bogor saat malam. Mereka menginap di salah satu hotel, sebelum kemudian pagi-pagi mereka check out. Tujuan mereka adalah salah satu pemakan di kawasan Bogor, di sinilah mereka sekarang. Di pemakan yang sepi tanpa sempat sarapan.Merona terlahir kembar hanya saja kembaran Merona meninggal ketika lulus SMP dahulu. Namanya Pelangi, nama yang terukir di batu nisan tepat di sebelah makam kosong atas nama Merona Jingga. “Maaf ya karena aku udah buat kamu meninggal, sekarang rasa memang pantas kalau mama dan papa anggap aku sudah meninggal juga.”Grazian yang duduk di sisi Merona nampak tidak peduli dengan apa yang Merona lakukan. Lelaki itu sibuk membalas pesan-pesan manis yang dikirimkan oleh para jajaran kekasihnya. Bagi Grazian itu rasanya sangat menyenangkan. Membuat gadis-gadis itu melambung lalu setelah bosan dia putuskan hubungan. Dua atau tiga hari, paling lama sebulan.“Zian, aku lagi sedih kok kamu mala
Grazian melempar jaketnya yang kotor secara asal ke sofa dan Merona melihat itu. Kesal memang tapi, gadis itu sedang tidak ingin berdebat. “Roo tadi aku disiram sama mantan yang enggak tahu keberapa. Jaket aku yang dari kamu jadi kotor." Katanya mengadu pada Merona.“Bagus deh, itu artinya mantan kamu itu lebih punya otak dibanding cewek-cewek kamu yang lainnya.”Tanggapan Merona membuat Grazian jadi kesal dan cemberut. Lelaki itu memeluk Merona dari samping. “Kok tega sih ngomongnya? Aku enggak suka ya kamu kayak gitu sama aku.”“Iiih! Zian lepas! Itu baju kamu kotor, rambut kamu juga tuh bau kopi!”"Enggak mau," Grazian semakin mengeratkan pelukannya. "Minta maaf dulu Roo karena kamu udah ngomong enggak sopan sama aku barusan."Merona menghela nafas. Tugasnya masih banyak jika tidak menuruti kemauan Grazian maka lelaki itu tidak akan melepaskannya. Sebagai makhluk waras Merona lebih memilih mengalah.
Ada banyak pelarian yang bisa diambil untuk melepaskan penat, marah dan segala emosi. Sayangnya tak semua mengambil tempat pelarian yang tepat. Grazian salah satunya yang memilih menjadi nakal untuk melepaskan emosinya walau dia tahu tak pernah ada yang selesai dari jalan yang dipilihnya.Semakin malam semakin ramai jalanan di tepi kota yang akan menjadi arena balap dadakan. Sekumpulan muda-muda membentuk dua kelompok di sisi kiri dan kanan jalan. Mendukung jagoan mereka masing-masing. Grazian sendiri tentu lebih mengandalkan Genta siswa SMA yang nasibnya hampir sama dengan Grazian. Punya orang tua tapi, terasa yatim piatu.Gadis-gadis berpakaian seksi, celana pendek yang dipadu dengan tangtop ketat. Satu dari mereka bergelayut manja di lengan Grazian. Tidak tahu siapa namanya tapi, Grazian menikmati ketenarannya di antara para gadis. Membiarkan satu dari mereka menciumnya atau memberikannya minum. Grazian tidak turun ke jalan dia hanya akan mengawasi Genta Ja
Merona cemberut ketika Grazian memintanya mengantar lelaki itu ke perbatasan ibu kota menuju Heaven Hill salah satu pemakaman elit tempat dimana neneknya tidur tenang di sana. Selepas kelas Merona selesai Grazian langsung menghubungi gadis itu dan memintanya ke parkiran. Sekarang keduanya dalam perjalanan dengan Merona yang menjadi supirnya. Grazian? dia tidur di kursi sebelah sambil melipat tangan dan sandaran kursi yang direndahkan.“Dari sekian banyaknya hotel, mall dan rumah makan yang kakek punya kenapa kamu mintanya ketemu di pemakaman?” tanya Merona kesal. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Grazian.“Kan sekalian ketemu nenek juga, sayang.”“Tapi, ini udah sore Zian. Bisa-bisa kita pulang kemaleman, aku ada tugas.”Grazian membuka matanya sebentar untuk melihat Merona yang menggerutu sambil mengendalikan kemudi mobil. “Fokus aja ke jalan Roo, ngocehnya nanti kalau udah sampai.”Sedan
Grazian membawa Merona jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan untuk membeli makanan yang akan dibawa Merona saat kunjungan ke rumah sakit jantung esok hari. Langkah kaki Merona membeku ketika pandangan matanya menangkap sosok orang tuanya tengah berjalan menggandeng seorang anak kecil lelaki berusia tiga tahun dan ayahnya mendorong kereta bayi. Senyum jelas terlihat di wajah mereka. Lain halnya dengan hati Merona yang merasa dilupakan oleh orang tuanya sendiri.Grazian menyadari hal itu lantas menarik pundak Merona berniat membawa gadis itu menjauh dari hal yang menyakitinya tapi, Merona tak mau menurut. “Aku ingin mereka lihat aku, Zian.”“Roo, itu hanya akan menyakiti kamu. Ayo!”Tapi, Merona berjalan menghampiri. Grazian menghela nafas pada akhirnya memang Merona harus dibiarkan melihat kenyataan. Lelaki itu berjalan mengikuti Merona yang sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya. Mereka langsung berhenti melangkah begitu melih
Merona ingat saat dirinya kecil dahulu, ketika merayakan ulang tahunnya bersama Pelangi. Ingatan yang pada akhirnya membawa perih, sebab sejak kecil selalu Pelangi yang didahulukan. Saat Merona meminta kue ulang tahunnya bertema unicorn tapi, yang ada hanya kue ulang tahun yang Pelangi mau dengan tema princess Disney Land. Merona mengalah saat ayahnya bilang kalau Pelangi sedang sakit.Bahkan pernah beberapa kali Merona tidak mendapat gaun ulang tahun dan juga hadiahnya. Bertahun-tahun hal itu terjadi sampai Merona tidak lagi merengek ini dan itu pada orang tuanya. Merona pendam sendiri sakit hatinya saat dibanding-bandingkan dengan Pelangi yang penurut, Pelangi yang cerdan dan Pelangi yang manis. Bahkan keluarga besarnya lebih suka Pelangi dibandingkan dirinya.Hal yang kemudian Merona syukuri adalah dirinya yang tak memiliki wajah serupa dengan Pelangi. Mereka bukan kembar identik yang sama persisi, hanya pada mata dan garis wajah saja yang serupa.
Masih ada dua jam lagi sebelum keberangkatannya. Grazian yang berada di kantor kakeknya untuk sebuah urusan itu, diam-diam menyusup pergi ke kediaman lama Merona. Pria itu yakin gadisnya ada di sana. Lolos dari beberapa pengawal yang menjaganya bukanlah hal yang mudah. Grazian bahkan harus menukar pakaiannya dengan office boy, lalu menutupi wajahnya dengan topi. Keluar dari pintu belakang, Grazian menyetop taksi di depan kantor kemudian.Jika sekarang Grazian tidak memaksakan dirinya bertemu Merona, maka Grazian khawatir tidak akan pernah ada lagi kesempatan bertemu Merona. Tahu benar bahwa kakeknya itu tidak main-main dengan segala rencananya. Pikiran Grazian tidak tenang selama dalam perjalanan, bagaimana dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Merona ketika mereka telah membagi segala rasa. Kenyataan bahwa Grazian terlampau mencintai Merona tak terelakan begitu saja.Maka saat taxi berhenti di depan rumah Merona, pemuda itu langsung turun membuka gerbang rumah yang rupanya tidak diku
Melihat bagaimana bahagianya Merona membuat Grazian tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah mual menaiki macam-macam wahana. Malam yang semakin larut membuat keduanya semakin dekat merapat. Kembang api diluncurkan ke langit. Letupan-letupan indah itu menjadi penutup malah hangat mereka. Kini keduanya sudah kembali ke apartemen membawa serta sisa-sisa tawa.“Aku enggak nyangka kalau kamu ketakutan naik wahan ekstrim,” ucap Merona mengingat beberapa kejadian yang membuat Grazian nyaris muntah.“Bukan takut Sayang, tapi pusing.”“Udah tua ya?”“Bisa aja kamu,” lalu Grazian membawa Merona duduk di atas pangkuannya. Merapatkan tubuh ideal itu padanya. “Besok aku pergi, Roo.”Mata Merona mengerjap, kaget mendengar pengakuan Grazian. Memang sebelum Merona tahu bahwa Grazian akan pergi selama liburan, tapi dia hanya tidak menyangkan akan secepat itu. “Aku kira lusa atau beberapa hari lagi.”“Aku pikir begitu, tapi tadi sore kakek minta aku pergi besok.”Merona tidak tahu harus menjawab apa.
Keseharian hidup Grazian dan Merona sangatlah jauh berbeda. Jika Grazian lebih suka keluyuran mencari tempat-tempat baru yang seru untuk nongkrong, Merona justru lebih senang menghabiskan waktunya belajar di kamar. Saat teman-temannya sibuk mengunggah segala kemewahan tempat dan makanan yang mereka nikmati ke sosial media, maka Merona hanya cukup dengan melihatnya. Bukan lantaran tidak ingin atau tidak tertarik, tapi ada hal yang lebih Merona prioritaskan yaitu belajar dengan baik lalu lulus kuliah segera.Merona ingin membuat Grazian bangga padanya sekaligus membuktikan pada kakek dan orang tuanya bahwa dia layak untuk Grazian. Kehidupan muda Merona hampir tidak seseru kawan-kawannya. Tidak banyak warna dalam dunianya, tapi kehadiran sosok Grazian sudah cukup memberinya pelangi. Perjuangan yang dilakukan Merona adalah semata-mata untuk bisa bertahan dengan Grazian, dan juga untuk hatinya sendiri.Maka saat duduk berdua seperti sekarang bersama Grazian adalah hal yang tak akan Merona
Merona takjub dengan perubahan yang terjadi pada Grazian. Hari ke hari cowok yang terkenal brengsek itu semakin menunjukkan kebaikannya. Tidak lagi bergelut panas dari ranjang ke ranjang lainnya. Tidak juga mengadu motor di jalanan. Grazian fokus dengan kuliahnya. Belajar, lalu mengurus kedai kopi miliknya dan sesekali datang menemui kakeknya untuk mengurus bisnis yang akan wariskan padanya. Jelas saja apa yang dilakukan Grazian membuat Merona senang tanpa ragu mengembangkan senyum bangganya. Hari-harinya saat menjalani ujian Grazian lebih rajin datang ke perpustakaan untuk belajar dan meminjam beberapa buku. Tak jarang Grazian juga ikut belajar kelompok bersama teman-temannya. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan sebelumnya. Saat selesai ujian cowok itu akan bercerita pada Merona bahwa dia bisa mengerjakan soalnya dengan lancar bahkan mempunyai keyakinan kalau nilainya akann sangat bagus. Merona percaya itu karena sejatinya Grazian sangat cerdas, hanya saja tertutup oleh malasnya
Sepulang kuliah Merona dikagetkan dengan kedatangan ayahnya yang menunggu di lobi apartemen. Entah itu bagian dari rencana kakek atau tidak, yang jelas Merona selalu was-was bertemu ayahnya. Perasaannya berkecamuk antara benci dan juga sayang sebagai anak. Sisa-sisa rasa sakit hati itu masih subur tumbuh di hatinya. Sekuat apapun Merona membuangnya namun saat berhadapan langsung seperti sekarang hatinya kembali perih.Meski perih Merona tetap mendekat. “A-ayah ada apa kemari?” “Apa tidak boleh seorang Ayah datang untuk melihat kondisi putrinya?”Boleh-boleh saja. Tak ada yang salah dengan kunjungan Haris hari ini, tapi seandainya hal itu dilukakan lebih cepat mungkin Merona akan senang hati menerima kehadiran pria itu. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah luka. “Kalau saja Ayah datang lebih cepat, mungkin aku akan senang.”“Roo, apa sesulit itu memaafkan orang tuamu sendiri?”Genangan air mata sudah siap tumpah dari pelupuk. Merona menatap ayahnya dengan pandangan kabur. “Apa ses
Merona senang dan merasa sangat bahagia bisa terus bersama Grazian. Setidaknya selagi dirinya bisa. Kabar perihal rencana kepergian Grazian ke Macau adalah ketakutan Merona. Seyakin dirinya pada tindakan kakek. Pria tua memang sudah terlalu lama baik pada dirinya dengan tetap membiarkan Merona tinggal bersama Grazian. Setelah semua kebaikan itu, mesti ada sesuatu yang harus Merona bayar.Seperti siang ini Merona tak menyangka kakek memintanya bertemu di sebuah restoran dengan ruangan privat. Saat Merona masuk dengan diantar pramusaji, dia sudah melihat kakek duduk santai menikmati hidangan yang disajikan. Kakek melihat kedatangannya, lalu memintanya segera duduk.“Duduklah,” pintanya dengan suara tua yang khas.Merona menarik kursi untuknya duduk di hadapan kakek. Sajian makanan yang sudah tersedia tak cukup mampu menggugah seleranya. Merona tak pernah berani membuka pembicaraan dengan kakek. Sejak dulu dia takut pada kakek yang sering kali menatapnya sinis.“Grazian sudah memberitahu
Bagi hampir sebagain orang berpasangan dengan seseorang yang sesuai level mereka adalah keharusan. Entah itu secara kecerdasan, gelar atau pun kekayaan. Pentingnya bukan hanya untuk memperkuat status sosial mereka, tapi juga untuk mencegah rasa minder dari pasangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Danisha—wanita yang sudah melahirkan Darren. Benar memang bahwa Darren sudah bertunangan, namun bagi Danisha untuk merestui sampai ke jenjang pernikahan jelas tidak akan terjadi.Sepulang dari gala dinner, Darren duduk di teras rumah sederhana Alesha. Ayahnya gadis itu adalah seorang kepala sekolah SMP dan ibunya seorang penjahit. Meski kehidupan Alesha tidak kekurangan, namun di mata Danisha tidak kekurangan saja belum cukup. Darren dibuat galau malam ini setelah dipertemukan dengan Angela. Terlebih lagi kakek Alesha adalah orang yang tak pernah disukai Danisha. “Kopinya,” ujar Alesha menyuguhkan secangkir kopi hitam buatan tangannya sendiri.Darren tersenyum menatap tunangannya itu. “
Merona menghela nafas lega tatkala yang berdiri di hadapannya adalah Hanna. Cewek itu sudah tahu perihal hubungannya dengan Grazian, tapi Hanna tetap merasa tidak nyaman ketika melihat Merona bersama Grazian. Pandangan mata Hanna pada Grazian sangat tajam. “Lo kalau berani nyakitin Merona, gue potong burung lo dua kali. Sampai ke akarnya!” ucapnya memperingati Grazian. Apa yang baru saja Hanna katakan membuat Grazian ngeri sekaligus tersenyum kikuk. “Hehehe... Iya.”Hanna lalu memijat keningnya. “Aduh, pusing gue menghadapi kenyataan ini,” katanya lalu pergi begitu saja. Merona dan Grazian saling berpandangan dan terkekeh kemudian. “Itu enggak apa-apa dia tahu?”“Dia justru tahu duluan tanpa aku kasih tahu,” jawab Merona. “Dia hapal sama tas yang aku pakai.”Mereka keluar dari perpustakaan setelah mendapatkan beberapa buku yang Merona butuhkan. Saat keduanya keluar mereka melihat Hanna yang sedang membeli cilok. Merona tersenyum tipis melihat hal itu. Saat Merona dan Grazian mendek
Merona duduk di bangku taman bersama Hanna. Ada setumpuk camilan dan minuman segar di tengah-tengah mereka. Bukan sedang mengerjakan tugas, tapi sedang bergosip. Hanna menjadi sumber paling terpercaya bagi Merona. Sahabatnya itu bercerita dengan sangat menggebu-gebu. “Gue bahkan menyusup ke WAG deretan para mantan Grazian,” jelas Hanna ketika berhasil mendapatkan link group khusus yang dibuat mantan Grazian. “Serius mereka sampai punya group? Buat apaan coba?”“Isinya tuh mencari tahu pacar Grazian yang baru. Lo kayaknya beneran kudu waspada. Di antara mereka ada satu yang terobsesi banget sama Grazian. Nih, lo lihat sendiri aja obrolan mereka.”Hanna memberikan ponselnya pada Merona agar sahabatnya itu membaca sendiri obrolan mereka. “Terus kalau misalnya mereka tahu siapa pacarnya Grazian sekarang, mau diapain gitu?”“Disuruh putus kali.”Merona mengembalikan ponsel itu pada Hanna. “Grazian emang sudah keterlaluan sebagai cowok. Mungkin enggak sedikit dari mereka yang hatinya saki