Daran remaja berjalan ke atas bukit, berhenti ketika sudah sampai di puncaknya, merentangkan tangan dan menarik nafas dalam. “Berarti setelah lulus kuliah, Kakak akan membantu ayah di perusahaan?” tanya Daran menengok ke belakang dan memutar tubuhnya menghadap seseorang yang berjalan gontai. Ada seorang lelaki bejalan malas menyusulnya, lelaki yang selalu ada di dalam mimpi Daran, penolong tak bersayapnya.Sepertinya mereka sedang mendaki berdua saja, entah di gunung mana. Terlihat villa besar menjulang di kaki bukit itu, berwarna putih bersih.Daran merasa bangga karena sampai lebih dulu ke puncak daripada kakak sepupunya itu. Pertama kali pergi ke puncak tanpa pengawal ayahnya, hanya pergi berdua saja bersama malaikat tak bersayapnya.“Ya, sampai kamu lulus kuliah atau mungkin S2 dan siap mengambil alih semuanya,” jawab lelaki itu lembut, namun dalam manik matanya menyimpan iri dengki kepada Daran.Daran remaja baru menyadarinya sekarang, kalau lelaki dihadapannya itu berubah jadi
"Hai, Daran. Betah banget renang lama-lama, udah kutungguin dari tadi, lho." Tiba-tiba suara perempuan mengalihkan perhatian Daran yang sibuk melatih pernafasannya di dalam air."Eh, Imah? Sejak kapan disitu, sumpah aku gak melihatmu." Daran membawa tubuhnya ke tepi kolam, menatap perempuan itu dengan riang. Fatimah dimasa remajanya."Dari tadi, ku panggil kamunya gak dengar, keasikan renang, sih," jawab Fatimah pura-pura kesal.Daran nyengir tanpa rasa bersalah. Dia melambaikan tangan ke arah balkon di lantai 2 ketika melihat Agung memperhatikan mereka. Agung membalas lambaiannya dengan wajah masam, namun Daran tidak menyadari ketidaksukaan kakak sepupunya itu ketika melihatnya bersama dengan Fatimah Azzahra.Ya, tentu saja Daran mengingat cinta pertamanya. Perempuan yang juga disukai Agung, kakak sepupunya sehingga membuat Daran menahan diri agar tidak berakrab ria dengan Imah, panggilan akrab mereka."Kalian, sudah pacaran?" tanya Daran.Dia tidak tau harus bersikap seperti apa, se
Agung berdiri di balkon lantai 2 yang menghadap ke halaman belakang rumah Adnan. Membayangkan dirinya bekerja dengan Daran sebagai pengawalnya, sebagai bodyguard-nya dan menjaganya Dua Puluh Empat jam dengan setelas jas berwarna hitam.Dia menatap sinis ke arah Daran yang sedang asyik berenang di kolam renang, diperhatikan oleh Fatimah yang duduk di kursi santai di pinggir kolam renang. Lalu memperhatikan beberapa orang yang berdiri di halaman dengan pakaian serba hitam, menjaga keamanan di area rumah Si Sultan."Nggak. Aku nggak akan menjadi bagian dari mereka. Aku ingin jadi orang yang dijaga oleh mereka." Ikrarnya pada diri sendiri lalu berpaling hendak menuju kamarnya."Kenapa kamu gak ikut berenang." Suara Sang Sultan mengagetkannya, menghentikan langkah Agung."Sa--saya akan ke kamar saya, be-belajar," jawabnya gugup.Entah kenapa bila berhadapan dengan pamannya itu, rasanya dirinya segan luar biasa. Seperti ada tameng besar yang membatasi keduanya.Beliau hanya bergumam tak jel
Daran terbatuk. Dirinya terbaring di tanah yang dingin dengan kesakitan. Ada yang menghantam tubuhnya tadi, entah siapa karena dia mendengar tapak kaki orang berjalan dan tawa pelan seakan puas sudah menyakitinya. Tapi ada satu orang yang dicurigai Daran siapa pelakunya, karena dia juga mendengar suara motor sport.Daran yang berparas tampan dan tinggi, namun sering diremehkan oleh pemuda seusianya karena terlihat culun dan mengesalkan bagi mereka. Apalagi Daran termasuk pendatang di desa mereka, meski sudah 9 tahun dia bermukim disana.Daran yang pekerjaannya serabutan, jadi kuli batu, juga memuat batu-batu gunung ke atas truk untuk dijual atau mencari kayu di hutan karena di desa tempatnya tinggal masih ada yang menggunakan kayu untuk memasak terutama bagi orang tua yang takut menggunakan kompor gas. Kalau tidak mencari kayu, dia juga mau membantu warga yang membutuhkan tenaganya, apapun dia lakukan asal menghasilkan uang yang halal.“Daran?” Terdengar suara terkejut seorang cewek y
Lagi, Daran kembali berdiri menatap foto keluarga yang ada di ruang depan. Menatap penuh ke arah foto ibunya yang digandeng mesra oleh ayahnya, sementara Daran kecil dipangku oleh ibunya."Apa kamu ingat ibumu?" Tiba-tiba Fatimah datang menghampiri Daran. Kali ini cewek itu memakai pakaian lebih tertutup, meski belum menggunakan kerudung seperti Nabila."Hemm," gumam Daran sebagai jawaban."Tentu saja aku mengingat ibuku. Aku ingat kamu dan juga Kak Agung. Tapi, aku gak ingat kehidupanku selama 9 tahun terakhir ini. Ayah bilang aku ditemukan pingsan di suatu desa. Aku penasaran dengan kehidupanku di desa itu. Kenapa ada seseorang yang terus menghantui mimpiku?" lanjut Daran."Seram banget, Daran. Menghantui?" ujar Fatimah bingung. "Berarti, kamu juga sudah ingat ketika kamu terjatuh ke jurang 9 tahun yang lalu?""Tentu, aku mengingatnya ketika tergelincir ke jurang." Daran berpaling dan menghadap ke arah Fatimah."Aku sangat khawatir waktu itu, Daran. Kak Agung menceritakan semuanya k
Daran memakai pakaian milik ayahnya, karena pakaian miliknya tidak ada yang pas kecuali pakaiannya ketika ditemukan di hutan."Apa tidak ada pakaian yang lebih sederhana, Yah? Masa' aku ke mall memakai setelan jas, kayak mau ke kantor aja," ujar Daran protes. Menyusul ayahnya yang sedang menikmati kopi paginya sambil melihat tablet kerjanya."Pakaian itu cocok untukmu, Nak, meski kemeja itu terlalu kecil buat tubuhmu, ototmu itu lebih besar daripada milik ayah," ujar Adnan senang melihat perawakan putranya lebih macho darinya."Tapi, Yah. Aku tidak nyaman." Daran menggerak-gerakan bahunya yang terasa ketat."Kamu harus terbiasa dengan jas itu, sebentar lagi kamu harus menggantikan ayah ke kantor. Selama ini, ayah dibantu oleh Agung untuk mengurus perusahaan." Adnan menggigit roti lapisnya."Kak Agung?" tanya Daran tertarik lalu duduk di kursi seberang ayahnya, mengambil roti lapis juga dan menggigitnya."Mau teh, Tuan Muda?" Tiba-tiba datang seorang wanita baya dengan rambut bergelung
Diana terkejut ketika layar ponselnya menampilkan wajah suaminya yang tampan, Daran yang sudah lama menghilang.Namun sayang, dia hanya bisa melihatnya dalam beberapa detik saja sebelum sambungan telepon itu mati. "Mirip banget sama Daran, tapi... kenapa dia ada di ibukota?" gumamnya heran."Kenapa, Diana?" tanya Pak Aruf yang melihat anaknya menutup mulut dengan jari tangannya menahan keterkejutannya.Diana membuka aplikasi pesan berwarna hijau dan mencari kontak bernama Rafi, kakak pertamanya yang bekerja di ibukota sebagai sales mobil.Panggilan itu tidak terhubung, sepertinya ponsel kakaknya itu mati."Kenapa kamu menghubungi kakakmu? Ada kabar apa?" tanya Pak Aruf khawatir, melihat raut wajah putri bungsunya yang panik."Kak Hanum tadi menelpon, Yah. Menunjukkan wajah Daran, suami Diana ada di ibukota," jawab Diana, menatap ayahnya dengan linglung."Lho, ngapain dia ada disana, jauh banget." Pak Aruf duduk di samping Diana, dipijakan tangga teras."Makanya, Yah. Tadinya Diana jug
Diana yang terkejut karena dipeluk oleh Daran, jadi membeku. Apalagi separuh keluarganya menyaksikan mereka dalam diam.Ingin rasanya membalas pelukan itu. Sebab Diana seperti terhipnotis karena aroma tubuh Daran yang dirindukannya, namun sebelum tangannya bergerak naik ke punggung Daran, matanya menangkap sosok perempuan asing di rumahnya yang turut memperhatikan adegan yang mereka lakukan."Apa yang kamu lakukan, Daran!" bisik Diana, mendorong keras dada bidang Daran yang menempel padanya."Aku merindukanmu, Diana," ucap Daran lembut, mengambil kedua tangan istrinya untuk dikecup. Entah kenapa, kalimat Daran berhasil membuat hatinya meleleh."Ehem, ehem...." Suara keras Pak Aruf mengagetkan keduanya."Eh, maaf, Pak. Saya terlalu senang." Daran nyengir kegirangan, memutar tubuhnya menghadap ke arah kedua mertuanya, sementara Bu Mislah tertegun melihat anak perempuannya dipeluk oleh Daran.Tadinya Bu Mislah ingin meneriaki keduanya, tapi dicegah oleh Pak Aruf. Sekarang perhatian belia