Agung berdiri di balkon lantai 2 yang menghadap ke halaman belakang rumah Adnan. Membayangkan dirinya bekerja dengan Daran sebagai pengawalnya, sebagai bodyguard-nya dan menjaganya Dua Puluh Empat jam dengan setelas jas berwarna hitam.Dia menatap sinis ke arah Daran yang sedang asyik berenang di kolam renang, diperhatikan oleh Fatimah yang duduk di kursi santai di pinggir kolam renang. Lalu memperhatikan beberapa orang yang berdiri di halaman dengan pakaian serba hitam, menjaga keamanan di area rumah Si Sultan."Nggak. Aku nggak akan menjadi bagian dari mereka. Aku ingin jadi orang yang dijaga oleh mereka." Ikrarnya pada diri sendiri lalu berpaling hendak menuju kamarnya."Kenapa kamu gak ikut berenang." Suara Sang Sultan mengagetkannya, menghentikan langkah Agung."Sa--saya akan ke kamar saya, be-belajar," jawabnya gugup.Entah kenapa bila berhadapan dengan pamannya itu, rasanya dirinya segan luar biasa. Seperti ada tameng besar yang membatasi keduanya.Beliau hanya bergumam tak jel
Daran terbatuk. Dirinya terbaring di tanah yang dingin dengan kesakitan. Ada yang menghantam tubuhnya tadi, entah siapa karena dia mendengar tapak kaki orang berjalan dan tawa pelan seakan puas sudah menyakitinya. Tapi ada satu orang yang dicurigai Daran siapa pelakunya, karena dia juga mendengar suara motor sport.Daran yang berparas tampan dan tinggi, namun sering diremehkan oleh pemuda seusianya karena terlihat culun dan mengesalkan bagi mereka. Apalagi Daran termasuk pendatang di desa mereka, meski sudah 9 tahun dia bermukim disana.Daran yang pekerjaannya serabutan, jadi kuli batu, juga memuat batu-batu gunung ke atas truk untuk dijual atau mencari kayu di hutan karena di desa tempatnya tinggal masih ada yang menggunakan kayu untuk memasak terutama bagi orang tua yang takut menggunakan kompor gas. Kalau tidak mencari kayu, dia juga mau membantu warga yang membutuhkan tenaganya, apapun dia lakukan asal menghasilkan uang yang halal.“Daran?” Terdengar suara terkejut seorang cewek y
Lagi, Daran kembali berdiri menatap foto keluarga yang ada di ruang depan. Menatap penuh ke arah foto ibunya yang digandeng mesra oleh ayahnya, sementara Daran kecil dipangku oleh ibunya."Apa kamu ingat ibumu?" Tiba-tiba Fatimah datang menghampiri Daran. Kali ini cewek itu memakai pakaian lebih tertutup, meski belum menggunakan kerudung seperti Nabila."Hemm," gumam Daran sebagai jawaban."Tentu saja aku mengingat ibuku. Aku ingat kamu dan juga Kak Agung. Tapi, aku gak ingat kehidupanku selama 9 tahun terakhir ini. Ayah bilang aku ditemukan pingsan di suatu desa. Aku penasaran dengan kehidupanku di desa itu. Kenapa ada seseorang yang terus menghantui mimpiku?" lanjut Daran."Seram banget, Daran. Menghantui?" ujar Fatimah bingung. "Berarti, kamu juga sudah ingat ketika kamu terjatuh ke jurang 9 tahun yang lalu?""Tentu, aku mengingatnya ketika tergelincir ke jurang." Daran berpaling dan menghadap ke arah Fatimah."Aku sangat khawatir waktu itu, Daran. Kak Agung menceritakan semuanya k
Daran memakai pakaian milik ayahnya, karena pakaian miliknya tidak ada yang pas kecuali pakaiannya ketika ditemukan di hutan."Apa tidak ada pakaian yang lebih sederhana, Yah? Masa' aku ke mall memakai setelan jas, kayak mau ke kantor aja," ujar Daran protes. Menyusul ayahnya yang sedang menikmati kopi paginya sambil melihat tablet kerjanya."Pakaian itu cocok untukmu, Nak, meski kemeja itu terlalu kecil buat tubuhmu, ototmu itu lebih besar daripada milik ayah," ujar Adnan senang melihat perawakan putranya lebih macho darinya."Tapi, Yah. Aku tidak nyaman." Daran menggerak-gerakan bahunya yang terasa ketat."Kamu harus terbiasa dengan jas itu, sebentar lagi kamu harus menggantikan ayah ke kantor. Selama ini, ayah dibantu oleh Agung untuk mengurus perusahaan." Adnan menggigit roti lapisnya."Kak Agung?" tanya Daran tertarik lalu duduk di kursi seberang ayahnya, mengambil roti lapis juga dan menggigitnya."Mau teh, Tuan Muda?" Tiba-tiba datang seorang wanita baya dengan rambut bergelung
Diana terkejut ketika layar ponselnya menampilkan wajah suaminya yang tampan, Daran yang sudah lama menghilang.Namun sayang, dia hanya bisa melihatnya dalam beberapa detik saja sebelum sambungan telepon itu mati. "Mirip banget sama Daran, tapi... kenapa dia ada di ibukota?" gumamnya heran."Kenapa, Diana?" tanya Pak Aruf yang melihat anaknya menutup mulut dengan jari tangannya menahan keterkejutannya.Diana membuka aplikasi pesan berwarna hijau dan mencari kontak bernama Rafi, kakak pertamanya yang bekerja di ibukota sebagai sales mobil.Panggilan itu tidak terhubung, sepertinya ponsel kakaknya itu mati."Kenapa kamu menghubungi kakakmu? Ada kabar apa?" tanya Pak Aruf khawatir, melihat raut wajah putri bungsunya yang panik."Kak Hanum tadi menelpon, Yah. Menunjukkan wajah Daran, suami Diana ada di ibukota," jawab Diana, menatap ayahnya dengan linglung."Lho, ngapain dia ada disana, jauh banget." Pak Aruf duduk di samping Diana, dipijakan tangga teras."Makanya, Yah. Tadinya Diana jug
Diana yang terkejut karena dipeluk oleh Daran, jadi membeku. Apalagi separuh keluarganya menyaksikan mereka dalam diam.Ingin rasanya membalas pelukan itu. Sebab Diana seperti terhipnotis karena aroma tubuh Daran yang dirindukannya, namun sebelum tangannya bergerak naik ke punggung Daran, matanya menangkap sosok perempuan asing di rumahnya yang turut memperhatikan adegan yang mereka lakukan."Apa yang kamu lakukan, Daran!" bisik Diana, mendorong keras dada bidang Daran yang menempel padanya."Aku merindukanmu, Diana," ucap Daran lembut, mengambil kedua tangan istrinya untuk dikecup. Entah kenapa, kalimat Daran berhasil membuat hatinya meleleh."Ehem, ehem...." Suara keras Pak Aruf mengagetkan keduanya."Eh, maaf, Pak. Saya terlalu senang." Daran nyengir kegirangan, memutar tubuhnya menghadap ke arah kedua mertuanya, sementara Bu Mislah tertegun melihat anak perempuannya dipeluk oleh Daran.Tadinya Bu Mislah ingin meneriaki keduanya, tapi dicegah oleh Pak Aruf. Sekarang perhatian belia
“Apa aku selemah itu, Sayang? Aku gak mampu menembusmu selama satu bulan lebih pernikahan kita?” tanya Daran terhenyak, lelaki itu berhenti bergerak saat bagian kecl tubuhnya terasa telah merobek sesuatu di dalam tubuh bagian bawah istrinya.“Cepat selesaikan apa yang sudah kamu mulai,” geram Diana menahan malu.Cewek itu merasa tubuhnya terasa aneh. Memang dia merasakan sakit pada awalnya, namun mendapati Daran berhenti bergerak membuatnya kesal, karena dia baru saja merasakan denyut nikmat di bawah sana.“Pantas saja selama ini kamu marah-marah terus, ternyata kamu belum mendapat nafkah dariku,” ucap Daran ketika mereka sudah selesai bertempur.Diana sedang pasrah dalam dekapan Daran di bawah selimut, cewek itu bahkan membalas pelukan suaminya.“Jadi, selama ini kamu mengingatnya? Namun pura-pura lupa, iya?” tuntut Diana mendongakkan kepalanya, lantas terlihat olehnya leher putih Daran dengan jakunnya yang lancip. Benda itu bergerak saat lelaki itu bicara, membuat perut Diana berdes
“Cieee, yang suaminya udah pulaaang. Pasti tadi malam tempur habis-habisan, ya,” goda teman sekantor Diana yang bernama Hakim. “Hah, kok tau kalau Daran sudah pulang?” tanya Diana, memutar tubuhnya agar dapat melihat pemuda yang asik menonton berita selebritis. “Orang muka sumringah gitu, senyum terus dari tadi,” jawab Hakim. “Lagian kalau berita dari Zurai, gak bakal meleset, tu anak julidnya melebihi jaringan 5G,” lanjutnya. “Heleh, orang kami liat kok kemarin, Daran diantar dengan mobil mewah. Memangnya Daran ketemu dimana, Diana?” Sekdes ikut menimbrung bicara. Zurai dan Hakim tertawa karena sudah ketahuan dari mana Zurai mendapat berita itu, karena melihat sendiri Daran turun dari mobil di halaman rumah Diana kemarin. “Kakak iparnya, ternyata Daran anak kota,” jawab Diana tanpa mau mengatakan kalau suaminya itu sebenarnya anak Sultan Kalimantan. “Apa kamu bakal ikut dia ke kota, Diana? Bertemu dengan mertuamu?” tanya Hakim. Diana tidak pernah memikirkannya dan mereka berdu
Amin masih terdiam, pikirannya berputar cepat, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Darrel yang terlihat sudah akrab dengan Daran, terlepas mereka bertetangga sedari kecil, sekarang diikuti oleh sosok Lisa, gadis yang tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi dengannya, apalagi di acara sebesar ini. Semua ini terasa sangat diluar dugaan, seolah hidupnya yang sederhana tiba-tiba berubah menjadi sebuah cerita yang tidak pernah ia pahami sebelumnya."Saya masih penasaran dengan Aminah, kapan kalian pernah bertemu?" Amin kembali menanyakan tentang saudari kembarnya.Lisa menyimpan senyumnya dan menatap Amin dengan penuh minat, “Ya, aku tahu banyak tentang Aminah. Kami sering bertemu di beberapa acara penting. Bahkan, dia pernah menyebutkan tentang kamu.” Lisa melirik sepintas ke arah Daran yang terlihat tidak mendengarkan pembicaraan mereka.Amin merasa semakin tenggelam dalam kebingungannya. Aminah? Saudarinya ada di acara penting? Ia tahu Aminah selalu menyembunyikan s
Amin merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis yang dipaksakan. Situasi yang tidak biasa ini benar-benar membuatnya bingung. Lisa, gadis yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor karena kecantikan dan kecerdasannya, sekarang berdiri di hadapannya, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.“Saudara kembarnya Aminah, bukan?” Lisa tersenyum lembut.Amin merasa lidahnya kelu, dan pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutnya. “Anda kenal dengan Aminah?”Lisa tertawa kecil. “Oh, hanya pernah mendengar cerita sedikit dari beberapa orang di kantor. Kalian keluarga yang harmonis, katanya.”Sebelum Amin sempat merespon, Daran menepuk bahu putranya dengan bangga. “Perkenalkan, ini putraku satu-satunya. Seorang pria pekerja keras yang selalu memberikan yang terbaik. Dia anak yang berbakti kepada orang tua.”Amin kembali tersenyum, kali ini dengan perasaan semakin tidak nyaman. “Ayah, aku rasa mereka sudah tahu.”“
Suara tegas dari seorang pria membuat mereka berdua menoleh. Darrel, sang atasan yang dulu giginya pernah dipatahkan oleh Aminah, tiba-tiba muncul di dekat pintu masuk, menyusul Amin dan Daran. Dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin canggung, dia melangkah mendekati mereka."Apa yang sedang terjadi di sini?" Darrel bertanya, meskipun jelas dia sudah tahu jawabannya. Pandangannya tertuju ke Daran, seakan menilai pria yang berdiri di depannya. "Jadi, ayahmu datang, Amin?" lanjutnya, menekankan kata 'ayah' dengan sedikit nada mengejek.Amin tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin sekali menyembunyikan kenyataan bahwa ayahnya, yang disangkanya pengangguran, muncul di acara ulang tahun ayah bosnya itu. Dia khawatir Darrel akan menganggap rendah dirinya atau mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja."Ya, Pak. Ini ayah saya," jawab Amin akhirnya, suaranya terdengar lemah.Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Darrel mengulurkan tangannya ke arah Daran
"Putri kesayanganmu itu sudah mematahkan giginya, Daran!”Mendengar itu Daran ternganga, terkejut mendengar penjelasan istrinya. “Kamu pikir itu bermain, itu sudah taraf melukai, apa kamu tidak pernah berantem semasa kecil?” ujar Diana lagi, suaranya penuh kekhawatiran.“Pernah sih, aku lebih seringnya dikeroyok oleh orang lain,” jawab Daran, dengan tampang yang masih ada gurat keterkejutan. Dia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit.“Orang kaya seperti kamu juga dibully?” Diana bertanya tidak percaya. Matanya membesar, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya yang tampak kuat dan berwibawa itu pernah menjadi korban bullying.“Lebih tepatnya, mereka dibayar oleh Kak Agung untuk membuatku tidak percaya diri.” Daran termenung mengingat masa kecilnya, karena dia merasa bodoh waktu itu sebab menganggap Agung sebagai malaikat tak bersayapnya. Kak Agung, saudara tirinya, selalu tampak baik di depan orang tua mereka, tetapi di belakang, dia adalah sumber pe
Fatimah menengok ke belakang, menatap Agung yang berteriak memanggil namanya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan Agung yang selalu mendukungnya, meski lelaki itu sangat dingin.“Sudahlah, Sayang. Sudah waktunya kamu move on. Pria gak guna itu wajib ditinggalkan.” Seorang lelaki bertampang bule mengelus pelan pundak Fatimah.“Ya, kamu benar,” jawabnya seraya berpaling dan tersenyum ke arah lelaki yang bernama Bram, teman lelakinya selama ini.“Untung aku menemukanmu setelah menelusuri jejak yang kamu tinggalkan, Sayang. Suamimu itu bukan darah biru seperti aku, kalau sama aku, kamu hanya bisa senang-senang dan uang ngalir terus ke rekening kamu,” seloroh Bram sombong, sambil meremas-remas pundak Fatimah.Fatimah tertawa lebar mendengarnya, dan si Bram langsung mengecup bibirnya, lalu terjadilah adegan dewasa yang tak diinginkan.Sementara Agung jatuh berlutut, dia tidak menyangka Fatimah yang penurut ternyata mengkhianatinya. Dia tidak pernah menduga, wanita itu bakal berselingkuh
Diana dan Daran sudah menempati rumah almarhum Nabila. Seperti rencananya dulu, Daran bakal pergi ke perusahaan menggunakan helikopter. Sedangkan Adnan sudah kembali ke rumahnya dan sudah jarang pergi ke kantor, karena dia mempercayakan perusahaan ke tangan Daran, kecuali ada keadaan darurat barulah pria itu turun tangan. Adnan hanya menyibukkan dirinya dengan bersantai di halaman belakang rumahnya, atau akan berjalan-jalan menjenguk cucu kembarnya.“Pintar sekali sih cucuku, Amin dan Aminah. 4 bulan sudah bisa duduk, sedangkan bapakmu dulu 4 bulan masih belum bisa membalikkan badannya,” ucap Adnan, sambil memangku kedua anak Daran yang sudah beranjak usia 5 bulan.“Diminum, Yah, kopinya.” Diana membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng ke hadapan ayah mertuanya.“Kenapa Daran belum pulang, sudah sore seperti ini?” tanya Adnan, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.Diana menghela nafas panjang. “Palingan mampir dulu ke sungai, Yah. Daran lagi keracunan hob
Daran teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih bekerja dengan Pak RT. Saat mereka membawakan bibit cabe rawit ke sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman luas. Saat itu, Daran merasa canggung ketika pemilik rumah itu menatapnya tanpa henti ketika membantu Pak RT menurunkan puluhan bibit rawit dari mobil pick up. Tatapan wanita itu begitu tajam, seolah-olah mencoba mengingat setiap detail wajahnya. Daran merasa tidak nyaman, tetapi dia tetap fokus pada pekerjaannya.Begitu ayahnya Daran memberitahunya bahwa mereka memiliki rumah di daerah itu, Daran terkejut, karena selama ini dia tidak pernah tahu tentang rumah tersebut. Ayahnya menjelaskan bahwa rumah itu adalah rumah mereka ketika mengandung dirinya, dan ibunya memilih kembali tinggal beberapa tahun lalu sebelum meninggal. Banyak pertanyaan yang mengganggu Daran, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi dia tidak ingin membuat ayahnya sedih dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.Diana, yang mendengar cerit
"Fatimah … apa yang membuat kamu datang kemari?” tanya Daran terkejut, dia tidak dapat menutupi suaranya yang sedikit bergetar. Sudah lama dia tidak melihatnya, terakhir kali bertemu Fatimah ketika Agung akan pergi keluar pulau.“Kenapa kamu terkejut begitu, Daran? Aku gak mengganggu reuni keluarga kalian, kan?” Fatimah menatap Daran dan Diana bergantian, lalu menatap Bu Mislah dan Hanum yang masih berdiri di teras, juga menatapnya dengan diam.“Tentu saja tidak, Fatimah. Silahkan saja masuk,” jawab Diana dengan senyum ramah, membuka lebar pintu masuk. Dia mempersilahkan Fatimah untuk masuk terlebih dahulu sebelum ibu mertua dan kakak iparnya.Fatimah melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu suasana. “Aku hanya sebentar, Diana. Aku ingin mengambil barang milik Agung yang ada di kamarnya dahulu,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.Diana mengangguk, “Tentu, silahkan. Kamarnya masih seperti dulu, tidak ada yang berubah.”Fatimah berjalan melewati Daran dan Dian
Kehamilan Diana yang sudah memasuki bulan ke-5 membuat perutnya semakin melebar dan membesar dua kali lipat dari orang yang hamil biasa. Dengan keadaan itu, membuatnya semakin tidak leluasa pergi terlalu jauh dan berjalan terlalu lama.“Bagaimana kalau kita periksa ke dokter, Sayang,” ujar Daran yang khawatir melihat keadaan istrinya. Seringnya Daran pergi seorang diri ke kantor membuatnya khawatir meninggalkan Diana tanpa keberadaannya.“Aku gak apa-apa, Daran. Kamu jangan berlebihan,” ucap Diana kesal. Meski sebenarnya dia juga khawatir dengan perubahan tubuhnya yang tidak sama seperti yang dipelajarinya di YouTube.“Berat badanmu sudah naik lima kali lipat, kita harus USG, ya,” bujuk Daran.“Iya nanti, sekarang aku lagi capek. Kamu harus ke kantor kan?” Dengan beribu alasan, Diana menolak karena takut dengan hasilnya yang mengecewakan.“Iya, ada rapat pemegang saham. Aku harus hadir mewakili ayah. Tapi setelah selesai, aku akan segera pulang.” Daran mengecup dahi Diana lama. Berat