Diana dan Daran sudah menempati rumah almarhum Nabila. Seperti rencananya dulu, Daran bakal pergi ke perusahaan menggunakan helikopter. Sedangkan Adnan sudah kembali ke rumahnya dan sudah jarang pergi ke kantor, karena dia mempercayakan perusahaan ke tangan Daran, kecuali ada keadaan darurat barulah pria itu turun tangan. Adnan hanya menyibukkan dirinya dengan bersantai di halaman belakang rumahnya, atau akan berjalan-jalan menjenguk cucu kembarnya.“Pintar sekali sih cucuku, Amin dan Aminah. 4 bulan sudah bisa duduk, sedangkan bapakmu dulu 4 bulan masih belum bisa membalikkan badannya,” ucap Adnan, sambil memangku kedua anak Daran yang sudah beranjak usia 5 bulan.“Diminum, Yah, kopinya.” Diana membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng ke hadapan ayah mertuanya.“Kenapa Daran belum pulang, sudah sore seperti ini?” tanya Adnan, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.Diana menghela nafas panjang. “Palingan mampir dulu ke sungai, Yah. Daran lagi keracunan hob
Fatimah menengok ke belakang, menatap Agung yang berteriak memanggil namanya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan Agung yang selalu mendukungnya, meski lelaki itu sangat dingin.“Sudahlah, Sayang. Sudah waktunya kamu move on. Pria gak guna itu wajib ditinggalkan.” Seorang lelaki bertampang bule mengelus pelan pundak Fatimah.“Ya, kamu benar,” jawabnya seraya berpaling dan tersenyum ke arah lelaki yang bernama Bram, teman lelakinya selama ini.“Untung aku menemukanmu setelah menelusuri jejak yang kamu tinggalkan, Sayang. Suamimu itu bukan darah biru seperti aku, kalau sama aku, kamu hanya bisa senang-senang dan uang ngalir terus ke rekening kamu,” seloroh Bram sombong, sambil meremas-remas pundak Fatimah.Fatimah tertawa lebar mendengarnya, dan si Bram langsung mengecup bibirnya, lalu terjadilah adegan dewasa yang tak diinginkan.Sementara Agung jatuh berlutut, dia tidak menyangka Fatimah yang penurut ternyata mengkhianatinya. Dia tidak pernah menduga, wanita itu bakal berselingkuh
"Putri kesayanganmu itu sudah mematahkan giginya, Daran!”Mendengar itu Daran ternganga, terkejut mendengar penjelasan istrinya. “Kamu pikir itu bermain, itu sudah taraf melukai, apa kamu tidak pernah berantem semasa kecil?” ujar Diana lagi, suaranya penuh kekhawatiran.“Pernah sih, aku lebih seringnya dikeroyok oleh orang lain,” jawab Daran, dengan tampang yang masih ada gurat keterkejutan. Dia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit.“Orang kaya seperti kamu juga dibully?” Diana bertanya tidak percaya. Matanya membesar, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya yang tampak kuat dan berwibawa itu pernah menjadi korban bullying.“Lebih tepatnya, mereka dibayar oleh Kak Agung untuk membuatku tidak percaya diri.” Daran termenung mengingat masa kecilnya, karena dia merasa bodoh waktu itu sebab menganggap Agung sebagai malaikat tak bersayapnya. Kak Agung, saudara tirinya, selalu tampak baik di depan orang tua mereka, tetapi di belakang, dia adalah sumber pe
Suara tegas dari seorang pria membuat mereka berdua menoleh. Darrel, sang atasan yang dulu giginya pernah dipatahkan oleh Aminah, tiba-tiba muncul di dekat pintu masuk, menyusul Amin dan Daran. Dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin canggung, dia melangkah mendekati mereka."Apa yang sedang terjadi di sini?" Darrel bertanya, meskipun jelas dia sudah tahu jawabannya. Pandangannya tertuju ke Daran, seakan menilai pria yang berdiri di depannya. "Jadi, ayahmu datang, Amin?" lanjutnya, menekankan kata 'ayah' dengan sedikit nada mengejek.Amin tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin sekali menyembunyikan kenyataan bahwa ayahnya, yang disangkanya pengangguran, muncul di acara ulang tahun ayah bosnya itu. Dia khawatir Darrel akan menganggap rendah dirinya atau mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja."Ya, Pak. Ini ayah saya," jawab Amin akhirnya, suaranya terdengar lemah.Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Darrel mengulurkan tangannya ke arah Daran
Amin merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis yang dipaksakan. Situasi yang tidak biasa ini benar-benar membuatnya bingung. Lisa, gadis yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor karena kecantikan dan kecerdasannya, sekarang berdiri di hadapannya, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.“Saudara kembarnya Aminah, bukan?” Lisa tersenyum lembut.Amin merasa lidahnya kelu, dan pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutnya. “Anda kenal dengan Aminah?”Lisa tertawa kecil. “Oh, hanya pernah mendengar cerita sedikit dari beberapa orang di kantor. Kalian keluarga yang harmonis, katanya.”Sebelum Amin sempat merespon, Daran menepuk bahu putranya dengan bangga. “Perkenalkan, ini putraku satu-satunya. Seorang pria pekerja keras yang selalu memberikan yang terbaik. Dia anak yang berbakti kepada orang tua.”Amin kembali tersenyum, kali ini dengan perasaan semakin tidak nyaman. “Ayah, aku rasa mereka sudah tahu.”“
Amin masih terdiam, pikirannya berputar cepat, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Darrel yang terlihat sudah akrab dengan Daran, terlepas mereka bertetangga sedari kecil, sekarang diikuti oleh sosok Lisa, gadis yang tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi dengannya, apalagi di acara sebesar ini. Semua ini terasa sangat diluar dugaan, seolah hidupnya yang sederhana tiba-tiba berubah menjadi sebuah cerita yang tidak pernah ia pahami sebelumnya."Saya masih penasaran dengan Aminah, kapan kalian pernah bertemu?" Amin kembali menanyakan tentang saudari kembarnya.Lisa menyimpan senyumnya dan menatap Amin dengan penuh minat, “Ya, aku tahu banyak tentang Aminah. Kami sering bertemu di beberapa acara penting. Bahkan, dia pernah menyebutkan tentang kamu.” Lisa melirik sepintas ke arah Daran yang terlihat tidak mendengarkan pembicaraan mereka.Amin merasa semakin tenggelam dalam kebingungannya. Aminah? Saudarinya ada di acara penting? Ia tahu Aminah selalu menyembunyikan s
"Ikan kecil-kecil lagi yang kamu bawa, Nan?” Tiba-tiba suara kakak ipar Adnan menyapa dengan keras.Adnan yang baru saja akan meletakkan embernya, terkejut mendengar suara yang tiba-tiba menerjangnya. “Nggak untuk kali ini, Mbak. Ikan gabus sama papuyunya besar-besar,” jawabnya, setelah berhasil menguasai keterkejutannya.“Jangan-jangan kamu membelinya,” ujar Salma melongok sekejap ke ember, begitu Adnan membuka tutup embernya, menunjukkan kepada wanita yang lebih tua 2 tahun darinya.Adnan hanya dapat menghembuskan nafasnya dengan sabar. Ada saja komentar negatif dari kakak iparnya itu untuk menjatuhkan mentalnya. Membawa ikan yang kecil pun salah."Kasian istrimu yang lagi hamil besar harus membersihkan ikan itu, lama,” ujar Salma suatu hari. Kenapa nggak sekalian dia membantu? Toh dia juga ikut memakannya, lahap pula.Sekarang setelah dia membawa ikan yang besar, malah dituduh membelinya. “Kenapa harus beli kalau bisa mancing, Mbak. Kalau Adnan mau beli, mending bawa Nabila makan s
"Nabila sudah capek, Mas. Kapan kita punya rumah sendiri? Sudah 2 tahun menikah, masih aja numpang di rumah orang tua. Belum lagi ada Mbak Salma, dia suka sekali gibahin kamu, Mas," ujar Nabila curhat kepada Adnan, sambil membersihkan ikan hasil mancing yang dibawa oleh Adnan keesokan harinya. Kali ini yang dibersihkannya adalah baby papuyu, anakan ikan sungai yang paling enak.Lelaki itu diam saja mendengarkan kegelisahan istrinya, sambil membantu mencuci ikan yang sudah dibelah perutnya. Istrinya yang sedang hamil 7 bulan itu tentu akan capek, kalau harus duduk berlama-lama membersihkan semua."Nabila gak masalah sama Mas yang hobi mancing, tapi masa setiap hari sih, Mas? Kerjaan Mas apa selain mancing, coba? Gak hanya mbak sama ibu yang bertanya, Mas, tapi tetangga juga." Ocehan Nabila masih berlanjut."Iya, memang kebutuhan dapur, perkakas mandi selalu Mas penuhin. Selain beras, kebutuhan kita tercukupi, Mas. Tapi, semua itu seolah tidak terlihat oleh mereka, karena Mas gak ada ke