Share

Hinaan Ipar untuk Sang Raja Bisnis
Hinaan Ipar untuk Sang Raja Bisnis
Penulis: Trioboy

Diremehkan Ipar

"Ikan kecil-kecil lagi yang kamu bawa, Nan?” Tiba-tiba suara kakak ipar Adnan menyapa dengan keras.

Adnan yang baru saja akan meletakkan embernya, terkejut mendengar suara yang tiba-tiba menerjangnya. “Nggak untuk kali ini, Mbak. Ikan gabus sama papuyunya besar-besar,” jawabnya, setelah berhasil menguasai keterkejutannya.

“Jangan-jangan kamu membelinya,” ujar Salma melongok sekejap ke ember, begitu Adnan membuka tutup embernya, menunjukkan kepada wanita yang lebih tua 2 tahun darinya.

Adnan hanya dapat menghembuskan nafasnya dengan sabar. Ada saja komentar negatif dari kakak iparnya itu untuk menjatuhkan mentalnya. Membawa ikan yang kecil pun salah.

"Kasian istrimu yang lagi hamil besar harus membersihkan ikan itu, lama,” ujar Salma suatu hari. Kenapa nggak sekalian dia membantu? Toh dia juga ikut memakannya, lahap pula.

Sekarang setelah dia membawa ikan yang besar, malah dituduh membelinya. “Kenapa harus beli kalau bisa mancing, Mbak. Kalau Adnan mau beli, mending bawa Nabila makan sekalian ke restoran.”

Salma tertawa mengejek. “Lagakmu makan di restoran, cih. Kamu itu lebih mementingkan hobimu daripada istri, mancing itu membuang waktu, unfaedah.”

Adnan tidak lagi mendengarkan ocehan kakak iparnya, dia menutup pendengarannya dengan otomatis karena kakak iparnya itu akan mengulang kaset yang sama, menceramahinya.

Salma baru berhenti mengoceh ketika Adnan masuk ke dalam kamar mandi. Selama 2 tahun tinggal bersama kakak iparnya, membuat Adnan jengah juga.

Kakak iparnya yang ditinggal lama oleh suami karena bertugas di luar kota, sepertinya terus naik pitam bila melihat Adnan, apalagi ketika dia berduaan dengan istrinya, padahal istrinya itu adik kandung Salma sendiri.

“Gimana, Mas? Dapat banyak ikannya?” Nabila mendatangi suaminya yang duduk di teras setelah selesai mandi dan berpakaian, mengambil tangan kanannya untuk dicium punggungnya.

“Alhamdulillah, Yang. Banyak ikan gabus sama papuyu,” jawab Adnan menerima sambutan istrinya, padahal wanita itu sedang sibuk menjahit tadi, namun ketika melihat suaminya datang, wanita itu gegas menghentikan pekerjaannya.

“Bisa dibikin abon, Mas, ikan gabusnya,” ujar Nabila tulus.

“Papuyunya bisa dibakar, Yang. Ikan papuyu baubar cacapan asam, sluurrrp sedaap,” timpal Adnan membayangkan makanan favoritnya, makanan khas Banjar.

Nabila terkekeh mendengar suaminya, lalu berkata kalau dia mau menyelesaikan jahitannya, “sebentar ya, Mas. Nanggung.”

“Ya, Yang. Ikannya udah mas bersihkan, tinggal diolah aja.” Adnan kembali masuk ke dalam kamar untuk menekuni laptopnya.

"Lihatlah suamimu, Bilaaaa, apa yang kamu banggakan dari dirinya. Tampan sih iya, tapi nggak punya pekerjaan yang layak, hanya mengandalkan hobinya saja. Memangnya kalian bisa hidup hanya dengan mengandalkan hasil mancing? Makan tuh ikan gabus!" Salma kembali mengomel, tapi beralih ke ruang depan, menyusul Nabila yang sedang menjahit.

Nabila hanya tersenyum lembut mendengar ujaran kakaknya. "Nabila nggak memandang harta yang dimilikinya, Mbak. Tapi ketulusan hatinya, cintanya. Bila menikah itu mencari imam yang bisa membimbing ke surga-Nya, yang bisa menegur Bila ketika melakukan kesalahan," jawabnya seperti biasanya.

"Halah kamu itu sok suci, hidup susah kok bangga. Lihat kandungan kamu yang semakin membesar, pengeluaran kalian akan semakin membengkak. Menjual ikan hasil mancing gak akan cukup buat kebutuhan kalian dan anak kalian nanti." Salma masih senang menghina adik iparnya itu, membuat Nabila jadi bad mood.

“Bukan susah, Mbak, tapi kami senang hidup sederhana," ralat Nabila agak risih dengan ucapan kakaknya itu.

"Cih, Nabilaaaa, Nabila. Kamu jangan membuatku tertawa. Lebih baik kamu minta cerai saja sekarang sama suamimu itu dan menerima cintanya teman suamiku." Ucapan Salma membuat Nabila mengucapkan istighfar seketika.

“Jaga mulut, Mbak. Ucapan adalah doa, Mbak. Nabila gak suka!” seru Nabila agak keras setelah mengucap istighfar.

Nabila membereskan alat jahitnya dan melipat baju setengah jadi pesanan orang ke tempatnya. Dia sudah tidak ada selera lagi melanjutkan jahitannya.

Mereka memang tinggal bersama di rumah ibunya Nabila, namun Adnan tidak mengharapkan semua makanan dari mertuanya. Karena selain beras, kebutuhan yang lainnya dicukupi oleh Adnan. Sebab, mertuanya memiliki ladang sendiri sehingga beras itu tidak pernah habis di gudang mertuanya.

Yang 100% menumpang itu sebenarnya adalah Salma. Karena wanita itu tidak pernah sepeserpun memberikan uang kepada ibunya untuk membantu kebutuhan sehari-hari ataupun melengkapi kebutuhan di rumah itu meski hanya sabun mandi atau odol sekalipun.

Salma tidak tau atau tidak mau tau, kalau perlengkapan dapur maupun kamar mandi itu sebenarnya Adnan yang membelinya sendiri. Ibu mertuanya yang sekarang sedang melaksanakan ibadah umroh pun, tidak pernah melihat Adnan datang membawa belanjaan, hanya saja beliau terkejut karena kebutuhan rumah itu mendadak sudah lengkap.

***

"Apa yang Mas lamunkan?" Suara Nabila yang menyapa tiba-tiba mengagetkan Adnan.

"Sampai gak dengar dipanggil istri, yuk kita makan," lanjut Nabila, ketika melihat suaminya itu buru-buru menutup album foto pernikahan mereka.

"Iya, sebentar."

"Jangan bilang, Mas lagi melihat foto almarhum ayah Nabila lagi. Apa Mas sudah ingat, dimana pernah bertemu ayah?" tanya Nabila lagi, bukan pertama kali baginya melihat suaminya itu melamun sambil melihat foto pernikahan mereka. Tepatnya ke foto ayahnya yang dia selipkan ke album itu.

Adnan menggeleng sembari menyusul istrinya ke meja makan. Meja makan sederhana, meja makan bundar yang tingginya hanya setengah meter. Jadi mereka duduk tak memakai kursi, mereka duduk di lantai.

Mereka memakan ikan papuyu yang dibakar Adnan tadi sore. Ikan itu diceburkan ke dalam cacapan asam buah dan cabe rawit. Melihatnya saja membuat air liur mereka menetes.

"Belum. Mas belum ingat, namun mas tetap merasa dekat dengan almarhum ayah mertua," jawab Adnan penuh rahasia, karena dia belum siap mengatakan yang sebenarnya bahwa dia seorang tuan muda di kerajaan bisnis Kalimantan, dan sangat mengenal ayahnya Nabila. Almarhum ayah mertuanya yang sebagai sopir keluarga mereka pada masanya sekolah dulu.

"Gak usah dipaksa, Mas. Toh ayah sudah tenang disana," jawab Nabila santai, tak menyadari kegelisahan sang suami.

"Hmmm," gumam Adnan singkat.

"Besok, apa Mas kembali memancing?" tanya Nabila berbasa basi setelah mereka selesai makan malam dan duduk santai di ruang tamu, padahal dia tau suaminya itu pasti pergi memancing lagi ke danau favoritnya.

Adnan mengangguk. "Mas harus menabung buat kehadiran anak kita sebentar lagi." Telunjuk Adnan menelusuri perut buncit istrinya.

Nabila tersenyum manis mendengarnya. Meski dia tak tau seberapa banyak uang yang dihasilkan sang suami dengan memancing ikan itu.

Dia pun tak tau, harga joran pancing yang selalu dibawa suaminya setiap hari itu saja sudah 7 jutaan, barang mahal yang bisa dipakai untuk memancing di sungai maupun di laut.

Wanita itu juga tidak tahu apa saja yang dilakukan suaminya selain memancing di danau itu. Tentu saja sambil mengelola rumah makan dan tempat wisata paunjunannya.

Para karyawannya pun tak mengetahui identitas asli pemilik wisata paunjunan. Yang mereka tau, atasan mereka adalah seorang bapak tua beruban yang bertanggung jawab terhadap tempat itu.

"Seberapa banyak hasilnya yang bisa ditabung, Mas," tanya Nabila berbasa-basi lagi. Dijawab sukur, gak dijawab pun tak apa pikirnya.

"In sya Allah cukup, Sayang." Ucapan lembut Adnan itu mampu membuat Nabila tak bertanya-tanya lagi.

Selain mencukupi dapur mereka, Adnan juga melengkapi rumah itu dengan Wifi, lengkap dengan tv androidnya. Kadang Adnan mengerjakan sesuatu di laptopnya, Nabila juga tak pernah bertanya apa yang suaminya itu kerjakan.

Namun, Nabila tetap saja penasaran dengan hasil suaminya memancing. Apalagi beberapa hari yang lalu suaminya itu memberikannya cincin emas, bukan cincin emas poles tapi mas 99 alias 24 karat, dengan harga Lima Juta sekian yang tertera dalam surat kwitansinya.

Dia takut, suaminya itu malah melakukan bisnis yang diluar akal, jual beli organ tubuh manusia misalnya, membantu mucikari atau malah biangnya. Pikiran negatif kadang hinggap di kepalanya, apalagi tak jarang ujaran-ujaran kakak dan sepupunya itu selalu menghantui. Apa benar seperti itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status