"Ikan kecil-kecil lagi yang kamu bawa, Nan?” Tiba-tiba suara kakak ipar Adnan menyapa dengan keras.
Adnan yang baru saja akan meletakkan embernya, terkejut mendengar suara yang tiba-tiba menerjangnya. “Nggak untuk kali ini, Mbak. Ikan gabus sama papuyunya besar-besar,” jawabnya, setelah berhasil menguasai keterkejutannya. “Jangan-jangan kamu membelinya,” ujar Salma melongok sekejap ke ember, begitu Adnan membuka tutup embernya, menunjukkan kepada wanita yang lebih tua 2 tahun darinya. Adnan hanya dapat menghembuskan nafasnya dengan sabar. Ada saja komentar negatif dari kakak iparnya itu untuk menjatuhkan mentalnya. Membawa ikan yang kecil pun salah. "Kasian istrimu yang lagi hamil besar harus membersihkan ikan itu, lama,” ujar Salma suatu hari. Kenapa nggak sekalian dia membantu? Toh dia juga ikut memakannya, lahap pula. Sekarang setelah dia membawa ikan yang besar, malah dituduh membelinya. “Kenapa harus beli kalau bisa mancing, Mbak. Kalau Adnan mau beli, mending bawa Nabila makan sekalian ke restoran.” Salma tertawa mengejek. “Lagakmu makan di restoran, cih. Kamu itu lebih mementingkan hobimu daripada istri, mancing itu membuang waktu, unfaedah.” Adnan tidak lagi mendengarkan ocehan kakak iparnya, dia menutup pendengarannya dengan otomatis karena kakak iparnya itu akan mengulang kaset yang sama, menceramahinya. Salma baru berhenti mengoceh ketika Adnan masuk ke dalam kamar mandi. Selama 2 tahun tinggal bersama kakak iparnya, membuat Adnan jengah juga. Kakak iparnya yang ditinggal lama oleh suami karena bertugas di luar kota, sepertinya terus naik pitam bila melihat Adnan, apalagi ketika dia berduaan dengan istrinya, padahal istrinya itu adik kandung Salma sendiri. “Gimana, Mas? Dapat banyak ikannya?” Nabila mendatangi suaminya yang duduk di teras setelah selesai mandi dan berpakaian, mengambil tangan kanannya untuk dicium punggungnya. “Alhamdulillah, Yang. Banyak ikan gabus sama papuyu,” jawab Adnan menerima sambutan istrinya, padahal wanita itu sedang sibuk menjahit tadi, namun ketika melihat suaminya datang, wanita itu gegas menghentikan pekerjaannya. “Bisa dibikin abon, Mas, ikan gabusnya,” ujar Nabila tulus. “Papuyunya bisa dibakar, Yang. Ikan papuyu baubar cacapan asam, sluurrrp sedaap,” timpal Adnan membayangkan makanan favoritnya, makanan khas Banjar. Nabila terkekeh mendengar suaminya, lalu berkata kalau dia mau menyelesaikan jahitannya, “sebentar ya, Mas. Nanggung.” “Ya, Yang. Ikannya udah mas bersihkan, tinggal diolah aja.” Adnan kembali masuk ke dalam kamar untuk menekuni laptopnya. "Lihatlah suamimu, Bilaaaa, apa yang kamu banggakan dari dirinya. Tampan sih iya, tapi nggak punya pekerjaan yang layak, hanya mengandalkan hobinya saja. Memangnya kalian bisa hidup hanya dengan mengandalkan hasil mancing? Makan tuh ikan gabus!" Salma kembali mengomel, tapi beralih ke ruang depan, menyusul Nabila yang sedang menjahit. Nabila hanya tersenyum lembut mendengar ujaran kakaknya. "Nabila nggak memandang harta yang dimilikinya, Mbak. Tapi ketulusan hatinya, cintanya. Bila menikah itu mencari imam yang bisa membimbing ke surga-Nya, yang bisa menegur Bila ketika melakukan kesalahan," jawabnya seperti biasanya. "Halah kamu itu sok suci, hidup susah kok bangga. Lihat kandungan kamu yang semakin membesar, pengeluaran kalian akan semakin membengkak. Menjual ikan hasil mancing gak akan cukup buat kebutuhan kalian dan anak kalian nanti." Salma masih senang menghina adik iparnya itu, membuat Nabila jadi bad mood. “Bukan susah, Mbak, tapi kami senang hidup sederhana," ralat Nabila agak risih dengan ucapan kakaknya itu. "Cih, Nabilaaaa, Nabila. Kamu jangan membuatku tertawa. Lebih baik kamu minta cerai saja sekarang sama suamimu itu dan menerima cintanya teman suamiku." Ucapan Salma membuat Nabila mengucapkan istighfar seketika. “Jaga mulut, Mbak. Ucapan adalah doa, Mbak. Nabila gak suka!” seru Nabila agak keras setelah mengucap istighfar. Nabila membereskan alat jahitnya dan melipat baju setengah jadi pesanan orang ke tempatnya. Dia sudah tidak ada selera lagi melanjutkan jahitannya. Mereka memang tinggal bersama di rumah ibunya Nabila, namun Adnan tidak mengharapkan semua makanan dari mertuanya. Karena selain beras, kebutuhan yang lainnya dicukupi oleh Adnan. Sebab, mertuanya memiliki ladang sendiri sehingga beras itu tidak pernah habis di gudang mertuanya. Yang 100% menumpang itu sebenarnya adalah Salma. Karena wanita itu tidak pernah sepeserpun memberikan uang kepada ibunya untuk membantu kebutuhan sehari-hari ataupun melengkapi kebutuhan di rumah itu meski hanya sabun mandi atau odol sekalipun. Salma tidak tau atau tidak mau tau, kalau perlengkapan dapur maupun kamar mandi itu sebenarnya Adnan yang membelinya sendiri. Ibu mertuanya yang sekarang sedang melaksanakan ibadah umroh pun, tidak pernah melihat Adnan datang membawa belanjaan, hanya saja beliau terkejut karena kebutuhan rumah itu mendadak sudah lengkap. *** "Apa yang Mas lamunkan?" Suara Nabila yang menyapa tiba-tiba mengagetkan Adnan. "Sampai gak dengar dipanggil istri, yuk kita makan," lanjut Nabila, ketika melihat suaminya itu buru-buru menutup album foto pernikahan mereka. "Iya, sebentar." "Jangan bilang, Mas lagi melihat foto almarhum ayah Nabila lagi. Apa Mas sudah ingat, dimana pernah bertemu ayah?" tanya Nabila lagi, bukan pertama kali baginya melihat suaminya itu melamun sambil melihat foto pernikahan mereka. Tepatnya ke foto ayahnya yang dia selipkan ke album itu. Adnan menggeleng sembari menyusul istrinya ke meja makan. Meja makan sederhana, meja makan bundar yang tingginya hanya setengah meter. Jadi mereka duduk tak memakai kursi, mereka duduk di lantai. Mereka memakan ikan papuyu yang dibakar Adnan tadi sore. Ikan itu diceburkan ke dalam cacapan asam buah dan cabe rawit. Melihatnya saja membuat air liur mereka menetes. "Belum. Mas belum ingat, namun mas tetap merasa dekat dengan almarhum ayah mertua," jawab Adnan penuh rahasia, karena dia belum siap mengatakan yang sebenarnya bahwa dia seorang tuan muda di kerajaan bisnis Kalimantan, dan sangat mengenal ayahnya Nabila. Almarhum ayah mertuanya yang sebagai sopir keluarga mereka pada masanya sekolah dulu. "Gak usah dipaksa, Mas. Toh ayah sudah tenang disana," jawab Nabila santai, tak menyadari kegelisahan sang suami. "Hmmm," gumam Adnan singkat. "Besok, apa Mas kembali memancing?" tanya Nabila berbasa basi setelah mereka selesai makan malam dan duduk santai di ruang tamu, padahal dia tau suaminya itu pasti pergi memancing lagi ke danau favoritnya. Adnan mengangguk. "Mas harus menabung buat kehadiran anak kita sebentar lagi." Telunjuk Adnan menelusuri perut buncit istrinya. Nabila tersenyum manis mendengarnya. Meski dia tak tau seberapa banyak uang yang dihasilkan sang suami dengan memancing ikan itu. Dia pun tak tau, harga joran pancing yang selalu dibawa suaminya setiap hari itu saja sudah 7 jutaan, barang mahal yang bisa dipakai untuk memancing di sungai maupun di laut. Wanita itu juga tidak tahu apa saja yang dilakukan suaminya selain memancing di danau itu. Tentu saja sambil mengelola rumah makan dan tempat wisata paunjunannya. Para karyawannya pun tak mengetahui identitas asli pemilik wisata paunjunan. Yang mereka tau, atasan mereka adalah seorang bapak tua beruban yang bertanggung jawab terhadap tempat itu. "Seberapa banyak hasilnya yang bisa ditabung, Mas," tanya Nabila berbasa-basi lagi. Dijawab sukur, gak dijawab pun tak apa pikirnya. "In sya Allah cukup, Sayang." Ucapan lembut Adnan itu mampu membuat Nabila tak bertanya-tanya lagi. Selain mencukupi dapur mereka, Adnan juga melengkapi rumah itu dengan Wifi, lengkap dengan tv androidnya. Kadang Adnan mengerjakan sesuatu di laptopnya, Nabila juga tak pernah bertanya apa yang suaminya itu kerjakan. Namun, Nabila tetap saja penasaran dengan hasil suaminya memancing. Apalagi beberapa hari yang lalu suaminya itu memberikannya cincin emas, bukan cincin emas poles tapi mas 99 alias 24 karat, dengan harga Lima Juta sekian yang tertera dalam surat kwitansinya. Dia takut, suaminya itu malah melakukan bisnis yang diluar akal, jual beli organ tubuh manusia misalnya, membantu mucikari atau malah biangnya. Pikiran negatif kadang hinggap di kepalanya, apalagi tak jarang ujaran-ujaran kakak dan sepupunya itu selalu menghantui. Apa benar seperti itu?"Nabila sudah capek, Mas. Kapan kita punya rumah sendiri? Sudah 2 tahun menikah, masih aja numpang di rumah orang tua. Belum lagi ada Mbak Salma, dia suka sekali gibahin kamu, Mas," ujar Nabila curhat kepada Adnan, sambil membersihkan ikan hasil mancing yang dibawa oleh Adnan keesokan harinya. Kali ini yang dibersihkannya adalah baby papuyu, anakan ikan sungai yang paling enak.Lelaki itu diam saja mendengarkan kegelisahan istrinya, sambil membantu mencuci ikan yang sudah dibelah perutnya. Istrinya yang sedang hamil 7 bulan itu tentu akan capek, kalau harus duduk berlama-lama membersihkan semua."Nabila gak masalah sama Mas yang hobi mancing, tapi masa setiap hari sih, Mas? Kerjaan Mas apa selain mancing, coba? Gak hanya mbak sama ibu yang bertanya, Mas, tapi tetangga juga." Ocehan Nabila masih berlanjut."Iya, memang kebutuhan dapur, perkakas mandi selalu Mas penuhin. Selain beras, kebutuhan kita tercukupi, Mas. Tapi, semua itu seolah tidak terlihat oleh mereka, karena Mas gak ada ke
"Makasih ya, Sayang, kamu sudah mau mengandung anaknya mas," ucap Adnan lirih setelah mereka sudah selesai melakukan hubungan suami istri."Ngomong apa sih, Mas. Nabila juga senang nunggu buah hati kita, udah 2 tahun lebih lho kita berumah tangga. Nabila sangat tidak sabar menunggu kehadirannya." Nabila merem4s lengan kanan Adnan yang memeluk wajahnya."Makasih karena kamu udah mau nerima mas apa adanya, sudah mau hidup susah bareng mas." Adnan semakin memperdalam pelukannya."Mas itu imam, pembimbing dan surganya Nabila. Nabila senang liat mas yang suka beribadah, tak pernah lupa berbagi, dan Nabila yakin, mas lah jodoh yang ditunjuk Tuhan untuk Nabila." Bibir tipe tanduk kerbau itu kemudian dilahap Adnan dengan gemas, bibir yang berbentuk hati pabila pemilik bibir itu mengerucutkannya ketika ciuman berakhir, membuat Adnan semakin gemas ingin melahapnya lagi."Sebenarnya, ada rahasia yang ingin mas sampaikan," ucap Adnan berubah serius."Apa itu, Mas? Jangan bilang kalau Mas sudah ni
"Seratus Ribu aja, La. Nanti diganti setelah suami mbak gajian. Ibu kan belum datang, jadi satu-satunya yang bisa menolong mbak sekarang hanyalah kamu." Salma mencoba membujuk adiknya agar mau melepas cincin di jarinya, harta satu-satunya yang jarang dia lihat pada adiknya."Maaf, Mbak. Nabila gak pegang uang," jawab Nabila lemah."Ya ampun, Bila. Kenapa sih suamimu gitu amat. Dia gak kasih kamu uang atau gimana?" tanya Salma heran, merasa adiknya itu sudah berbohong kalau tidak punya uang, apalagi emas di jari manisnya begitu menyilaukan mata Salma."Bukan gitu, Mbak. Bila yang gak mau pegang uang, toh semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Mas Adnan, kan?" Nabila menjelaskan. Memang Nabila tidak mau pegang uang karena semua kebutuhan dapur maupun kebutuhannya sudah Adnan siapkan."Itulah, Bil. Resikonya punya suami yang gak kerja, uang aja gak punya." Salma mulai menghina Adnan di depan istrinya sendiri."Mas Adnan kerja kok, Mbak. Buktinya dia bisa memenuhi kebutuhan dapur kita, dia m
Salma langsung salah tingkah, yakin kalau Adnan mendengar ucapannya tentang perselingkuhan, terutama tentang dirinya yang memaksa menjual harta satu-satunya di jemari adiknya. Wanita itu langsung berdiri ingin pamit pergi."Lho kok buru-buru, Mbak mau kemana?" tanya Adnan basa-basi, padahal memang itu tujuannya agar wanita itu berhenti merecoki istrinya lagi."Iya nih, Nan. Mbak ada arisan sebentar lagi di rumah teman. Kesini cuma mau pinjam uang sama Nabila," jawabnya, lalu beranjak ke luar."Yang, tolong kasihkan uang ini ke Mbak Salma." Adnan menyerahkan uang berwarna merah 2 lembar."Mas tadi dengar pembicaraan kami, ya?" tanyanya."Ayo cepat, keburu Mbak Salmanya pergi." Tanpa menjawabnya, Adnan mendesak istrinya agar bergegas.Nabila menyusul kakaknya yang sudah berada di halaman, bersiap menunggang motor metiknya. Adnan sebenarnya sudah mengetahui Mbak Salma yang kesulitan uang, dan sering melakukan tutup lobang gali lobang dengan hutang-hutangnya itu. Apalagi gaji suaminya su
Lalu Adnan menceritakan wisata Paunjunan yang dirintisnya sendiri dengan bantuan Pak Muhri. Bisnis yang dipegangnya setelah memutuskan keluar dari rumah Sang Sultan, ayahnya.Sedangkan bisnisnya yang lain itu adalah hotel di ibukota, merupakan milik almarhumah ibunya, dan dia sebagai anak tunggal mewajibkannya meneruskan usaha itu."Hotel Sultan? Hotel ternama itu?" tanya Nabila lagi yang dijawab Adnan dengan anggukan, wanita itu sampai tidak menyadari kalau joran pancingnya yang bergetar karena ada ikan yang menyambar umpannya."Jadi, maksud Mas. Wisata Paunjunan yang sedang viral ini, tempat yang sedang kita kunjungi ini, tempat yang tiap hari Mas datangi, tempat ini, milik Mas Adnan? Mas Adnan pemiliknya?" ujar Nabila bertanya untuk kesekian kalinya, masih tak percaya.Adnan tersenyum melihat reaksi lucu istrinya. Dia lega, karena tidak ada kemarahan di sana. "Iya Sayang, ini tempat wisata yang mas rintis dari nol," jawab Adnan dengan sabar. "Pas pertama kali kita ketemu waktu itu,
Nabila terkejut ketika Adnan malah membawa dirinya ke parkiran mobil, apalagi saat lelaki itu membukakan pintu mobil yang berlogo kuda berdiri dengan kaki belakang itu untuk dirinya.“Mobil siapa ini, Mas?” tanyanya heran,menatap bingung sang suami. Dia tidak lantas masuk ke dalam mobil itu, saking belum percayanya kepada suaminya.“Ini mobil, Mas. Sayaaang.” Jawaban Adnan tidak membuat Nabila langsung percaya, apalagi lelaki itu sambil tersenyum miring.“Seriusan, apa pernah mas bohong, Yang?” lanjutnya karena melihat Nabila masih memasang muka bertanya.Meski masih tidak percaya, Nabila akhirnya masuk ke dalam mobil. Melihat suaminya yang lihai menyetir mobil itu, dia terus memperhatikannya. Adnan mengambil sesuatu di laci mobil di depan Nabila dan menyerahkannya ke tangan Nabila.“Benar ini namamu, Mas,” ucap Nabila setelah membaca surat kepemilikan mobil itu.“Hmm, kita akan naik mobil ini besok, ke hotel Sultan milik ibu.” Ikrar Adnan membawa mobilnya meninggalkan wisata Paunjuna
Nabila sudah ada di ruang makan di lantai atas bersama dengan Adnan dan semua anggota keluarga Adnan dari pihak ibunya. Semuanya terlihat ramah kecuali Zaky yang memang berwajah masam dari lahir, tapi hatinya baik.“Jadi, kamu istrinya adik sepupuku, Si Adnan ini? Adiknya Salma? Iparnya Adli?” tanya Mahyuni sang manager hotel, setelah melihat Nabila duduk di samping Adnan, pemilik hotel itu selepas ibunya tiada.Nabila mengangguk tanpa melepas senyum manisnya, begitu pula Adnan.“Aku sudah mendengar cerita pertemuan kalian tadi di bawah, jadi kamu berteman dengan kakak-kakaknya Nabila?” tanya Adnan yang baru mengetahui kalau ada keluarga istrinya di hotel itu.“Ya, kami pernah satu kelompok di universitas LM. Mereka berempat sudah berteman akrab dari SMA, kan? Sekarang mereka menginap di lantai dasar, katanya ingin melihat Adnan bekerja jadi sekuriti,” ujar Mahyuni, akhirnya tawanya meledak.“Aku tidak menyangka, Adnan kita si glamor ini bisa tahan dengan orang-orang seperti itu.” Zak
"Nab, tolong aku. Dia mau menj4mbak madu barunya," seru Vega sambil berusaha mencegah Salma yang ingin menerj4ng Adli, saat dia melihat kedatangan Nabila bersama Adnan."Madu?" tanya Nabila heran sambil memegang pergelangan Salma dan wanita itu serta merta berhenti berontak saat melihat kehadiran adiknya.Adnan menatap ke arah Adli yang berdiri di depan wanita yang tatanan rambutnya mencuat ke atas, rasanya ingin tertawa begitu menyadari kalau kakak iparnya itu berhasil menj4mbak kekasih suaminya.Memang dia sudah lama mengetahui hubungan gelap suami kakak iparnya itu karena mereka cukup sering datang ke Paunjunan, tapi dia baru mengetahui kalau mereka sebenarnya sudah menikah.“Kakak iparmu nikah lagi tanpa sepengetahuan kita, Bila,” rengek Salma seakan lupa bahwa dia lah setiap hari mengoceh tentang Adnan yang berpotensi untuk selingkuh. “Apa yang harus ku katakan pada ibu besok kalau menantunya sudah menduakan anaknya, hu hu hu.” Salma menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu
Amin masih terdiam, pikirannya berputar cepat, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Darrel yang terlihat sudah akrab dengan Daran, terlepas mereka bertetangga sedari kecil, sekarang diikuti oleh sosok Lisa, gadis yang tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi dengannya, apalagi di acara sebesar ini. Semua ini terasa sangat diluar dugaan, seolah hidupnya yang sederhana tiba-tiba berubah menjadi sebuah cerita yang tidak pernah ia pahami sebelumnya."Saya masih penasaran dengan Aminah, kapan kalian pernah bertemu?" Amin kembali menanyakan tentang saudari kembarnya.Lisa menyimpan senyumnya dan menatap Amin dengan penuh minat, “Ya, aku tahu banyak tentang Aminah. Kami sering bertemu di beberapa acara penting. Bahkan, dia pernah menyebutkan tentang kamu.” Lisa melirik sepintas ke arah Daran yang terlihat tidak mendengarkan pembicaraan mereka.Amin merasa semakin tenggelam dalam kebingungannya. Aminah? Saudarinya ada di acara penting? Ia tahu Aminah selalu menyembunyikan s
Amin merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis yang dipaksakan. Situasi yang tidak biasa ini benar-benar membuatnya bingung. Lisa, gadis yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor karena kecantikan dan kecerdasannya, sekarang berdiri di hadapannya, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.“Saudara kembarnya Aminah, bukan?” Lisa tersenyum lembut.Amin merasa lidahnya kelu, dan pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutnya. “Anda kenal dengan Aminah?”Lisa tertawa kecil. “Oh, hanya pernah mendengar cerita sedikit dari beberapa orang di kantor. Kalian keluarga yang harmonis, katanya.”Sebelum Amin sempat merespon, Daran menepuk bahu putranya dengan bangga. “Perkenalkan, ini putraku satu-satunya. Seorang pria pekerja keras yang selalu memberikan yang terbaik. Dia anak yang berbakti kepada orang tua.”Amin kembali tersenyum, kali ini dengan perasaan semakin tidak nyaman. “Ayah, aku rasa mereka sudah tahu.”“
Suara tegas dari seorang pria membuat mereka berdua menoleh. Darrel, sang atasan yang dulu giginya pernah dipatahkan oleh Aminah, tiba-tiba muncul di dekat pintu masuk, menyusul Amin dan Daran. Dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin canggung, dia melangkah mendekati mereka."Apa yang sedang terjadi di sini?" Darrel bertanya, meskipun jelas dia sudah tahu jawabannya. Pandangannya tertuju ke Daran, seakan menilai pria yang berdiri di depannya. "Jadi, ayahmu datang, Amin?" lanjutnya, menekankan kata 'ayah' dengan sedikit nada mengejek.Amin tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin sekali menyembunyikan kenyataan bahwa ayahnya, yang disangkanya pengangguran, muncul di acara ulang tahun ayah bosnya itu. Dia khawatir Darrel akan menganggap rendah dirinya atau mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja."Ya, Pak. Ini ayah saya," jawab Amin akhirnya, suaranya terdengar lemah.Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Darrel mengulurkan tangannya ke arah Daran
"Putri kesayanganmu itu sudah mematahkan giginya, Daran!”Mendengar itu Daran ternganga, terkejut mendengar penjelasan istrinya. “Kamu pikir itu bermain, itu sudah taraf melukai, apa kamu tidak pernah berantem semasa kecil?” ujar Diana lagi, suaranya penuh kekhawatiran.“Pernah sih, aku lebih seringnya dikeroyok oleh orang lain,” jawab Daran, dengan tampang yang masih ada gurat keterkejutan. Dia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit.“Orang kaya seperti kamu juga dibully?” Diana bertanya tidak percaya. Matanya membesar, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya yang tampak kuat dan berwibawa itu pernah menjadi korban bullying.“Lebih tepatnya, mereka dibayar oleh Kak Agung untuk membuatku tidak percaya diri.” Daran termenung mengingat masa kecilnya, karena dia merasa bodoh waktu itu sebab menganggap Agung sebagai malaikat tak bersayapnya. Kak Agung, saudara tirinya, selalu tampak baik di depan orang tua mereka, tetapi di belakang, dia adalah sumber pe
Fatimah menengok ke belakang, menatap Agung yang berteriak memanggil namanya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan Agung yang selalu mendukungnya, meski lelaki itu sangat dingin.“Sudahlah, Sayang. Sudah waktunya kamu move on. Pria gak guna itu wajib ditinggalkan.” Seorang lelaki bertampang bule mengelus pelan pundak Fatimah.“Ya, kamu benar,” jawabnya seraya berpaling dan tersenyum ke arah lelaki yang bernama Bram, teman lelakinya selama ini.“Untung aku menemukanmu setelah menelusuri jejak yang kamu tinggalkan, Sayang. Suamimu itu bukan darah biru seperti aku, kalau sama aku, kamu hanya bisa senang-senang dan uang ngalir terus ke rekening kamu,” seloroh Bram sombong, sambil meremas-remas pundak Fatimah.Fatimah tertawa lebar mendengarnya, dan si Bram langsung mengecup bibirnya, lalu terjadilah adegan dewasa yang tak diinginkan.Sementara Agung jatuh berlutut, dia tidak menyangka Fatimah yang penurut ternyata mengkhianatinya. Dia tidak pernah menduga, wanita itu bakal berselingkuh
Diana dan Daran sudah menempati rumah almarhum Nabila. Seperti rencananya dulu, Daran bakal pergi ke perusahaan menggunakan helikopter. Sedangkan Adnan sudah kembali ke rumahnya dan sudah jarang pergi ke kantor, karena dia mempercayakan perusahaan ke tangan Daran, kecuali ada keadaan darurat barulah pria itu turun tangan. Adnan hanya menyibukkan dirinya dengan bersantai di halaman belakang rumahnya, atau akan berjalan-jalan menjenguk cucu kembarnya.“Pintar sekali sih cucuku, Amin dan Aminah. 4 bulan sudah bisa duduk, sedangkan bapakmu dulu 4 bulan masih belum bisa membalikkan badannya,” ucap Adnan, sambil memangku kedua anak Daran yang sudah beranjak usia 5 bulan.“Diminum, Yah, kopinya.” Diana membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng ke hadapan ayah mertuanya.“Kenapa Daran belum pulang, sudah sore seperti ini?” tanya Adnan, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.Diana menghela nafas panjang. “Palingan mampir dulu ke sungai, Yah. Daran lagi keracunan hob
Daran teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih bekerja dengan Pak RT. Saat mereka membawakan bibit cabe rawit ke sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman luas. Saat itu, Daran merasa canggung ketika pemilik rumah itu menatapnya tanpa henti ketika membantu Pak RT menurunkan puluhan bibit rawit dari mobil pick up. Tatapan wanita itu begitu tajam, seolah-olah mencoba mengingat setiap detail wajahnya. Daran merasa tidak nyaman, tetapi dia tetap fokus pada pekerjaannya.Begitu ayahnya Daran memberitahunya bahwa mereka memiliki rumah di daerah itu, Daran terkejut, karena selama ini dia tidak pernah tahu tentang rumah tersebut. Ayahnya menjelaskan bahwa rumah itu adalah rumah mereka ketika mengandung dirinya, dan ibunya memilih kembali tinggal beberapa tahun lalu sebelum meninggal. Banyak pertanyaan yang mengganggu Daran, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi dia tidak ingin membuat ayahnya sedih dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.Diana, yang mendengar cerit
"Fatimah … apa yang membuat kamu datang kemari?” tanya Daran terkejut, dia tidak dapat menutupi suaranya yang sedikit bergetar. Sudah lama dia tidak melihatnya, terakhir kali bertemu Fatimah ketika Agung akan pergi keluar pulau.“Kenapa kamu terkejut begitu, Daran? Aku gak mengganggu reuni keluarga kalian, kan?” Fatimah menatap Daran dan Diana bergantian, lalu menatap Bu Mislah dan Hanum yang masih berdiri di teras, juga menatapnya dengan diam.“Tentu saja tidak, Fatimah. Silahkan saja masuk,” jawab Diana dengan senyum ramah, membuka lebar pintu masuk. Dia mempersilahkan Fatimah untuk masuk terlebih dahulu sebelum ibu mertua dan kakak iparnya.Fatimah melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu suasana. “Aku hanya sebentar, Diana. Aku ingin mengambil barang milik Agung yang ada di kamarnya dahulu,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.Diana mengangguk, “Tentu, silahkan. Kamarnya masih seperti dulu, tidak ada yang berubah.”Fatimah berjalan melewati Daran dan Dian
Kehamilan Diana yang sudah memasuki bulan ke-5 membuat perutnya semakin melebar dan membesar dua kali lipat dari orang yang hamil biasa. Dengan keadaan itu, membuatnya semakin tidak leluasa pergi terlalu jauh dan berjalan terlalu lama.“Bagaimana kalau kita periksa ke dokter, Sayang,” ujar Daran yang khawatir melihat keadaan istrinya. Seringnya Daran pergi seorang diri ke kantor membuatnya khawatir meninggalkan Diana tanpa keberadaannya.“Aku gak apa-apa, Daran. Kamu jangan berlebihan,” ucap Diana kesal. Meski sebenarnya dia juga khawatir dengan perubahan tubuhnya yang tidak sama seperti yang dipelajarinya di YouTube.“Berat badanmu sudah naik lima kali lipat, kita harus USG, ya,” bujuk Daran.“Iya nanti, sekarang aku lagi capek. Kamu harus ke kantor kan?” Dengan beribu alasan, Diana menolak karena takut dengan hasilnya yang mengecewakan.“Iya, ada rapat pemegang saham. Aku harus hadir mewakili ayah. Tapi setelah selesai, aku akan segera pulang.” Daran mengecup dahi Diana lama. Berat