Share

Pinjam Dulu Seratus

"Seratus Ribu aja, La. Nanti diganti setelah suami mbak gajian. Ibu kan belum datang, jadi satu-satunya yang bisa menolong mbak sekarang hanyalah kamu." Salma mencoba membujuk adiknya agar mau melepas cincin di jarinya, harta satu-satunya yang jarang dia lihat pada adiknya.

"Maaf, Mbak. Nabila gak pegang uang," jawab Nabila lemah.

"Ya ampun, Bila. Kenapa sih suamimu gitu amat. Dia gak kasih kamu uang atau gimana?" tanya Salma heran, merasa adiknya itu sudah berbohong kalau tidak punya uang, apalagi emas di jari manisnya begitu menyilaukan mata Salma.

"Bukan gitu, Mbak. Bila yang gak mau pegang uang, toh semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Mas Adnan, kan?" Nabila menjelaskan. Memang Nabila tidak mau pegang uang karena semua kebutuhan dapur maupun kebutuhannya sudah Adnan siapkan.

"Itulah, Bil. Resikonya punya suami yang gak kerja, uang aja gak punya." Salma mulai menghina Adnan di depan istrinya sendiri.

"Mas Adnan kerja kok, Mbak. Buktinya dia bisa memenuhi kebutuhan dapur kita, dia memberi uang kalau Bila minta buat beli sayur, itu pun jarang." Nabila merasa tidak terima suaminya dihina.

"Kerja apa?" Melihat Nabila tidak bisa menjawab, Salma semakin menatap adiknya dengan sinis. "Masa gak punya simpanan? Itu emasmu ada di tangan." Salma menunjuk cincin emas yang melingkar di jari manis adiknya, mulut wanita itu sudah gatal ingin sekali mengatakannya.

"Ini emas juga punya Mas Adnan, Mbak. Dia yang belikan." Nabila menyentuh cincinnya, dia sangat senang karena suaminya itu sangat perhatian. “Buat tabungan anak kita nanti,” ujar Adnan waktu memasangkan cincin itu.

“Adnan? Bukan dari hasil kamu menjahit?” tanyanya terpukau. “Tapi buat kamu kan? Berarti cincin itu milikmu. Boleh dong mbak pinjam emasmu dulu, nanti mbak ganti cincin kamu.” Salma masih memaksa.

“Nggak berani Bila, Mbak. Harus ijin Mas Adnan dulu.” Nabila mulai merasa risih dengan kakaknya yang selalu memaksa, dia pun masih ingat kalau kakaknya itu sering membicarakan dirinya di belakangnya, menghinanya karena mau menikah dengan Adnan yang hanya mereka kenal dalam waktu yang singkat.

"Mana bisa sih perempuan kayak kamu gak butuh uang, apalagi sebentar lagi kamu melahirkan. Nabila, kasian amat sih kamu," ucap Salma bersimpati, namun dengan nada kasar..

"Bisa kok, Mbak. Bila gak harus dipusingkan dengan masalah uang." Nabila masih berkata sopan meski hatinya sudah bergetar dari tadi. “Cincin inipun buat persiapan melahirkan nanti, Mbak. Buat keponakan Mbak sendiri.”

"Bukan gitu maksud Mbak… kamu itu gak ada kerjaan, kuliah saja enggak, kalau Adnan selingkuh dan kalian cerai, mau makan apa kamu kalau gak ada simpanan." Salma terus berusaha meracuni pikiran adiknya.

"Mbak! Jangan bicara seperti itu. Ucapan adalah doa, lagian siapa yang mau cerai." Nabila sudah tidak tahan lagi dan merasa kakaknya itu sudah keterlaluan.

"Bukannya begitu, Bila. Mbak hanya mau membuka matamu, apa yang bakal kamu lakukan nanti sementara kalian akan punya anak. Harus punya pegangan." Salma tak kalah keras.

"Gak akan, Mbak. Perceraian dilarang agama!" Desis Nabila.

"Kalau suamimu selingkuh?" Tantang Salma.

"Jangan mendahului takdir, Mbak." Wajah Nabila sudah tegang.

Adnan yang memang memasang telinga dengan benar, merasa kakak iparnya itu sudah keterlaluan. Sebelum pembicaraan itu semakin jauh, Adnan memutuskan untuk ke dapur, pura-pura ingin buang air kecil.

"Ehem," dehemnya memberitahu kehadirannya. "Lho, serius amat kayaknya. Lagi bahas apa?" tanya Adnan yang melihat kedua kakak beradik itu duduk lesehan di lantai dapur.

"Nggak, Mas. Mbak Salma lagi cerita tentang Mas Adli." Nabila mencoba menutupi ketidaksopanan kakaknya.

Adnan berjalan terus ke belakang dan setelah kembali dari toilet, kakak iparnya itu sudah tidak ada.

*

"Mau mancing lagi kamu, Nan?" Terdengar lagi suara perempuan menyapa keesokan harinya, Adnan menoleh dari pekerjaannya menyiapkan umpan.

"Eh, Mbak Salma. Iya nih, Mbak. Mau mancing sama istri," jawab Adnan, melihat siapa yang menyapanya dengan dingin.

Salma hanya tersenyum sinis menanggapi jawaban Adnan, perempuan itu masuk tanpa disuruh lagi ke dalam rumah mencari adiknya, Nabila.

Adnan melanjutkan mempersiapkan keperluan mancingnya sebentar lagi, dia ingin memancing ikan nila dan mujair di danau favoritnya bersama istri tercinta, lalu mengajaknya makan makanan enak.

"Bila, mending kamu jual emas mu sekarang, mumpung emas lagi mahal." Salma langsung menyemburkan unek-uneknya ketika mendapati adiknya itu kembali menekuni mesin jahitnya.

"Kenapa dijual, Mbak? Mas Adnan baru membelinya, kenapa dijual lagi?" tanya Nabila tanpa mengalihkan perhatiannya dari mesin jahitnya.

"Sebentar lagi kandunganmu 7 bulan, harus mengadakan selamatan biar anak kalian nanti gak seperti aku dulu," ujar Salma antusias, dia sampai berjongkok di samping mesin jahit, menengadah ke wajah sang adik.

Nabila menghela nafas, mengunci jahitannya sebelum menyahut, "jangan menyalahkan takdir, Mbak. Kejadian yang lalu bukan karena mbak gak mengadakan acara 7 bulanan, bukan, tapi itu sudah takdir yang maha kuasa."

Salma berdiri dan menggebrak meja mesin jahit. "Susah ya, ngomong sama orang yang sok suci," geram Salma. Nabila mengelus dadanya terkejut, tidak menyangka kalau kakaknya bisa berbuat mengejutkan seperti tadi.

"Apa salahnya kita mengadakan selamatan? Biar aku yang ke pasar menjual emas itu," lanjut Salma memaksa.

"Emas apa?" tiba-tiba Adnan sudah ada di ambang pintu menyaksikan perdebatan kedua kakak beradik itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status