"Seratus Ribu aja, La. Nanti diganti setelah suami mbak gajian. Ibu kan belum datang, jadi satu-satunya yang bisa menolong mbak sekarang hanyalah kamu." Salma mencoba membujuk adiknya agar mau melepas cincin di jarinya, harta satu-satunya yang jarang dia lihat pada adiknya.
"Maaf, Mbak. Nabila gak pegang uang," jawab Nabila lemah. "Ya ampun, Bila. Kenapa sih suamimu gitu amat. Dia gak kasih kamu uang atau gimana?" tanya Salma heran, merasa adiknya itu sudah berbohong kalau tidak punya uang, apalagi emas di jari manisnya begitu menyilaukan mata Salma. "Bukan gitu, Mbak. Bila yang gak mau pegang uang, toh semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Mas Adnan, kan?" Nabila menjelaskan. Memang Nabila tidak mau pegang uang karena semua kebutuhan dapur maupun kebutuhannya sudah Adnan siapkan. "Itulah, Bil. Resikonya punya suami yang gak kerja, uang aja gak punya." Salma mulai menghina Adnan di depan istrinya sendiri. "Mas Adnan kerja kok, Mbak. Buktinya dia bisa memenuhi kebutuhan dapur kita, dia memberi uang kalau Bila minta buat beli sayur, itu pun jarang." Nabila merasa tidak terima suaminya dihina. "Kerja apa?" Melihat Nabila tidak bisa menjawab, Salma semakin menatap adiknya dengan sinis. "Masa gak punya simpanan? Itu emasmu ada di tangan." Salma menunjuk cincin emas yang melingkar di jari manis adiknya, mulut wanita itu sudah gatal ingin sekali mengatakannya. "Ini emas juga punya Mas Adnan, Mbak. Dia yang belikan." Nabila menyentuh cincinnya, dia sangat senang karena suaminya itu sangat perhatian. “Buat tabungan anak kita nanti,” ujar Adnan waktu memasangkan cincin itu. “Adnan? Bukan dari hasil kamu menjahit?” tanyanya terpukau. “Tapi buat kamu kan? Berarti cincin itu milikmu. Boleh dong mbak pinjam emasmu dulu, nanti mbak ganti cincin kamu.” Salma masih memaksa. “Nggak berani Bila, Mbak. Harus ijin Mas Adnan dulu.” Nabila mulai merasa risih dengan kakaknya yang selalu memaksa, dia pun masih ingat kalau kakaknya itu sering membicarakan dirinya di belakangnya, menghinanya karena mau menikah dengan Adnan yang hanya mereka kenal dalam waktu yang singkat. "Mana bisa sih perempuan kayak kamu gak butuh uang, apalagi sebentar lagi kamu melahirkan. Nabila, kasian amat sih kamu," ucap Salma bersimpati, namun dengan nada kasar.. "Bisa kok, Mbak. Bila gak harus dipusingkan dengan masalah uang." Nabila masih berkata sopan meski hatinya sudah bergetar dari tadi. “Cincin inipun buat persiapan melahirkan nanti, Mbak. Buat keponakan Mbak sendiri.” "Bukan gitu maksud Mbak… kamu itu gak ada kerjaan, kuliah saja enggak, kalau Adnan selingkuh dan kalian cerai, mau makan apa kamu kalau gak ada simpanan." Salma terus berusaha meracuni pikiran adiknya. "Mbak! Jangan bicara seperti itu. Ucapan adalah doa, lagian siapa yang mau cerai." Nabila sudah tidak tahan lagi dan merasa kakaknya itu sudah keterlaluan. "Bukannya begitu, Bila. Mbak hanya mau membuka matamu, apa yang bakal kamu lakukan nanti sementara kalian akan punya anak. Harus punya pegangan." Salma tak kalah keras. "Gak akan, Mbak. Perceraian dilarang agama!" Desis Nabila. "Kalau suamimu selingkuh?" Tantang Salma. "Jangan mendahului takdir, Mbak." Wajah Nabila sudah tegang. Adnan yang memang memasang telinga dengan benar, merasa kakak iparnya itu sudah keterlaluan. Sebelum pembicaraan itu semakin jauh, Adnan memutuskan untuk ke dapur, pura-pura ingin buang air kecil. "Ehem," dehemnya memberitahu kehadirannya. "Lho, serius amat kayaknya. Lagi bahas apa?" tanya Adnan yang melihat kedua kakak beradik itu duduk lesehan di lantai dapur. "Nggak, Mas. Mbak Salma lagi cerita tentang Mas Adli." Nabila mencoba menutupi ketidaksopanan kakaknya. Adnan berjalan terus ke belakang dan setelah kembali dari toilet, kakak iparnya itu sudah tidak ada. * "Mau mancing lagi kamu, Nan?" Terdengar lagi suara perempuan menyapa keesokan harinya, Adnan menoleh dari pekerjaannya menyiapkan umpan. "Eh, Mbak Salma. Iya nih, Mbak. Mau mancing sama istri," jawab Adnan, melihat siapa yang menyapanya dengan dingin. Salma hanya tersenyum sinis menanggapi jawaban Adnan, perempuan itu masuk tanpa disuruh lagi ke dalam rumah mencari adiknya, Nabila. Adnan melanjutkan mempersiapkan keperluan mancingnya sebentar lagi, dia ingin memancing ikan nila dan mujair di danau favoritnya bersama istri tercinta, lalu mengajaknya makan makanan enak. "Bila, mending kamu jual emas mu sekarang, mumpung emas lagi mahal." Salma langsung menyemburkan unek-uneknya ketika mendapati adiknya itu kembali menekuni mesin jahitnya. "Kenapa dijual, Mbak? Mas Adnan baru membelinya, kenapa dijual lagi?" tanya Nabila tanpa mengalihkan perhatiannya dari mesin jahitnya. "Sebentar lagi kandunganmu 7 bulan, harus mengadakan selamatan biar anak kalian nanti gak seperti aku dulu," ujar Salma antusias, dia sampai berjongkok di samping mesin jahit, menengadah ke wajah sang adik. Nabila menghela nafas, mengunci jahitannya sebelum menyahut, "jangan menyalahkan takdir, Mbak. Kejadian yang lalu bukan karena mbak gak mengadakan acara 7 bulanan, bukan, tapi itu sudah takdir yang maha kuasa." Salma berdiri dan menggebrak meja mesin jahit. "Susah ya, ngomong sama orang yang sok suci," geram Salma. Nabila mengelus dadanya terkejut, tidak menyangka kalau kakaknya bisa berbuat mengejutkan seperti tadi. "Apa salahnya kita mengadakan selamatan? Biar aku yang ke pasar menjual emas itu," lanjut Salma memaksa. "Emas apa?" tiba-tiba Adnan sudah ada di ambang pintu menyaksikan perdebatan kedua kakak beradik itu.Salma langsung salah tingkah, yakin kalau Adnan mendengar ucapannya tentang perselingkuhan, terutama tentang dirinya yang memaksa menjual harta satu-satunya di jemari adiknya. Wanita itu langsung berdiri ingin pamit pergi."Lho kok buru-buru, Mbak mau kemana?" tanya Adnan basa-basi, padahal memang itu tujuannya agar wanita itu berhenti merecoki istrinya lagi."Iya nih, Nan. Mbak ada arisan sebentar lagi di rumah teman. Kesini cuma mau pinjam uang sama Nabila," jawabnya, lalu beranjak ke luar."Yang, tolong kasihkan uang ini ke Mbak Salma." Adnan menyerahkan uang berwarna merah 2 lembar."Mas tadi dengar pembicaraan kami, ya?" tanyanya."Ayo cepat, keburu Mbak Salmanya pergi." Tanpa menjawabnya, Adnan mendesak istrinya agar bergegas.Nabila menyusul kakaknya yang sudah berada di halaman, bersiap menunggang motor metiknya. Adnan sebenarnya sudah mengetahui Mbak Salma yang kesulitan uang, dan sering melakukan tutup lobang gali lobang dengan hutang-hutangnya itu. Apalagi gaji suaminya su
Lalu Adnan menceritakan wisata Paunjunan yang dirintisnya sendiri dengan bantuan Pak Muhri. Bisnis yang dipegangnya setelah memutuskan keluar dari rumah Sang Sultan, ayahnya.Sedangkan bisnisnya yang lain itu adalah hotel di ibukota, merupakan milik almarhumah ibunya, dan dia sebagai anak tunggal mewajibkannya meneruskan usaha itu."Hotel Sultan? Hotel ternama itu?" tanya Nabila lagi yang dijawab Adnan dengan anggukan, wanita itu sampai tidak menyadari kalau joran pancingnya yang bergetar karena ada ikan yang menyambar umpannya."Jadi, maksud Mas. Wisata Paunjunan yang sedang viral ini, tempat yang sedang kita kunjungi ini, tempat yang tiap hari Mas datangi, tempat ini, milik Mas Adnan? Mas Adnan pemiliknya?" ujar Nabila bertanya untuk kesekian kalinya, masih tak percaya.Adnan tersenyum melihat reaksi lucu istrinya. Dia lega, karena tidak ada kemarahan di sana. "Iya Sayang, ini tempat wisata yang mas rintis dari nol," jawab Adnan dengan sabar. "Pas pertama kali kita ketemu waktu itu,
Nabila terkejut ketika Adnan malah membawa dirinya ke parkiran mobil, apalagi saat lelaki itu membukakan pintu mobil yang berlogo kuda berdiri dengan kaki belakang itu untuk dirinya.“Mobil siapa ini, Mas?” tanyanya heran,menatap bingung sang suami. Dia tidak lantas masuk ke dalam mobil itu, saking belum percayanya kepada suaminya.“Ini mobil, Mas. Sayaaang.” Jawaban Adnan tidak membuat Nabila langsung percaya, apalagi lelaki itu sambil tersenyum miring.“Seriusan, apa pernah mas bohong, Yang?” lanjutnya karena melihat Nabila masih memasang muka bertanya.Meski masih tidak percaya, Nabila akhirnya masuk ke dalam mobil. Melihat suaminya yang lihai menyetir mobil itu, dia terus memperhatikannya. Adnan mengambil sesuatu di laci mobil di depan Nabila dan menyerahkannya ke tangan Nabila.“Benar ini namamu, Mas,” ucap Nabila setelah membaca surat kepemilikan mobil itu.“Hmm, kita akan naik mobil ini besok, ke hotel Sultan milik ibu.” Ikrar Adnan membawa mobilnya meninggalkan wisata Paunjuna
Nabila sudah ada di ruang makan di lantai atas bersama dengan Adnan dan semua anggota keluarga Adnan dari pihak ibunya. Semuanya terlihat ramah kecuali Zaky yang memang berwajah masam dari lahir, tapi hatinya baik.“Jadi, kamu istrinya adik sepupuku, Si Adnan ini? Adiknya Salma? Iparnya Adli?” tanya Mahyuni sang manager hotel, setelah melihat Nabila duduk di samping Adnan, pemilik hotel itu selepas ibunya tiada.Nabila mengangguk tanpa melepas senyum manisnya, begitu pula Adnan.“Aku sudah mendengar cerita pertemuan kalian tadi di bawah, jadi kamu berteman dengan kakak-kakaknya Nabila?” tanya Adnan yang baru mengetahui kalau ada keluarga istrinya di hotel itu.“Ya, kami pernah satu kelompok di universitas LM. Mereka berempat sudah berteman akrab dari SMA, kan? Sekarang mereka menginap di lantai dasar, katanya ingin melihat Adnan bekerja jadi sekuriti,” ujar Mahyuni, akhirnya tawanya meledak.“Aku tidak menyangka, Adnan kita si glamor ini bisa tahan dengan orang-orang seperti itu.” Zak
"Nab, tolong aku. Dia mau menj4mbak madu barunya," seru Vega sambil berusaha mencegah Salma yang ingin menerj4ng Adli, saat dia melihat kedatangan Nabila bersama Adnan."Madu?" tanya Nabila heran sambil memegang pergelangan Salma dan wanita itu serta merta berhenti berontak saat melihat kehadiran adiknya.Adnan menatap ke arah Adli yang berdiri di depan wanita yang tatanan rambutnya mencuat ke atas, rasanya ingin tertawa begitu menyadari kalau kakak iparnya itu berhasil menj4mbak kekasih suaminya.Memang dia sudah lama mengetahui hubungan gelap suami kakak iparnya itu karena mereka cukup sering datang ke Paunjunan, tapi dia baru mengetahui kalau mereka sebenarnya sudah menikah.“Kakak iparmu nikah lagi tanpa sepengetahuan kita, Bila,” rengek Salma seakan lupa bahwa dia lah setiap hari mengoceh tentang Adnan yang berpotensi untuk selingkuh. “Apa yang harus ku katakan pada ibu besok kalau menantunya sudah menduakan anaknya, hu hu hu.” Salma menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu
Tidak berapa lama kemudian, mobil pajero hitam datang dan berhenti di depan mereka. Vega dan Salma melongo ketika melihat siapa yang keluar dari mobil itu dan menyapa Adnan dengan akrab."Mahyuni?" seru Salma senang, karena temannya datang menyelamatkan mereka dari kesintingan Adnan."Jadi, orang yang ditelepon Adnan itu kamu?" tanya Vega setelah menyaksikan temannya itu melempar kunci mobil ke arah Adnan yang menangkapnya dengan santai."Ya, kukira kalian sudah tau siapa Adnan sebenarnya?" Mahyuni balik bertanya setelah mengambil kunci mobil milik sepupunya, Adnan."Mereka menganggap kalau aku hanya bercanda dan ipar yang sinting," kekeh Adnan merasa lucu."Oh ya?" celetuk Mahyuni dengan cengiran jahilnya lalu memencet tombol di kunci yang dipegangnya sehingga mobil sport berwarna biru metalik berbunyi."Bolehkah ku pakai mobil ini bekencan? Sampai kapan mobil ini bisa ku genggam?" lanjutnya seraya menelengkan matanya ke arah Adnan."Palingan 2 hari lagi aku ke sini lagi, ada tamu pe
"Aku tidak perduli kalau Adli membuat keributan atau apapun itu, bukannya dia sedang bersama istri barunya?" Salma berkata dengan memasang wajah tidak tertarik.Namun Adnan yang ingin masalah cepat selesai, mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Dia ada di kamarku."Beberapa menit kemudian, Adli datang ke kamar suite milik Adnan. Pria itu tidak sempat terpana melihat kamar Adnan yang besar saking kesalnya kepada Salma karena menghilang dari kamar mereka."Ayo kembali ke kamar, aku mau bicara," desaknya sambil menarik kasar tangan Salma."Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Kamu sudah memilihnya, jadi tinggalkan aku sekarang. Hiduplah dengan bahagia, kalian. Apalagi sebentar lagi kalian akan punya anak." Salma menyentak kasar pegangan tangan Adli."Aku khilaf, Salma. Aku tidak mencintainya," sangkal Adli dengan nada kesal. Antara malu dengan Adnan karena dialah yang meracuni istrinya kalau Adnan telah bermain perempuan di paunjunan. Apalagi suami adik iparnya itu memakai p
Sesuai janji Adnan, begitu Bu Vina pulang dari umroh mereka akan mengadakan acara tujuh bulanan kehamilan Nabila.Acara itu berlangsung sederhana sesuai adat di desa mereka. Para undangan pun mendoakan kelancaran lahiran Nabila nanti dan tidak sedikit orang yang memberikan amalan ketika tiba saatnya nanti."Yang penting jangan mengangkat pantat ketika mengejan nanti, Nabila, kalau gak mau itumusobek ," ucap salah satu tetangga Bu Vina.Nabila tersenyum sambil menutup mulutnya dengan tangan karena ekspresi ibu itu lucu saat menyebut 'itumu'. "Nabila sambil latihan mengejan, Bu. Di klinik sebulan sekali kami adakan pertemuan, senam hamil setelah memeriksakan kandungan kami," jawab Nabila lembut."Cukup mengepel sambil nungging, Nabila." Tetangga yang satunya ikut menimbrung sambil menggamit lengan Nabila."Iya, Bu. Sambil sujud pas sehabis shalat juga, satu menitan pun gak apa-apa," sahut Nabila lagi.Salma hanya mendengarkan saja pembicaraan Nabila dan para ibu-ibu tetangga. Terkadang
Amin masih terdiam, pikirannya berputar cepat, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Darrel yang terlihat sudah akrab dengan Daran, terlepas mereka bertetangga sedari kecil, sekarang diikuti oleh sosok Lisa, gadis yang tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi dengannya, apalagi di acara sebesar ini. Semua ini terasa sangat diluar dugaan, seolah hidupnya yang sederhana tiba-tiba berubah menjadi sebuah cerita yang tidak pernah ia pahami sebelumnya."Saya masih penasaran dengan Aminah, kapan kalian pernah bertemu?" Amin kembali menanyakan tentang saudari kembarnya.Lisa menyimpan senyumnya dan menatap Amin dengan penuh minat, “Ya, aku tahu banyak tentang Aminah. Kami sering bertemu di beberapa acara penting. Bahkan, dia pernah menyebutkan tentang kamu.” Lisa melirik sepintas ke arah Daran yang terlihat tidak mendengarkan pembicaraan mereka.Amin merasa semakin tenggelam dalam kebingungannya. Aminah? Saudarinya ada di acara penting? Ia tahu Aminah selalu menyembunyikan s
Amin merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis yang dipaksakan. Situasi yang tidak biasa ini benar-benar membuatnya bingung. Lisa, gadis yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor karena kecantikan dan kecerdasannya, sekarang berdiri di hadapannya, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.“Saudara kembarnya Aminah, bukan?” Lisa tersenyum lembut.Amin merasa lidahnya kelu, dan pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutnya. “Anda kenal dengan Aminah?”Lisa tertawa kecil. “Oh, hanya pernah mendengar cerita sedikit dari beberapa orang di kantor. Kalian keluarga yang harmonis, katanya.”Sebelum Amin sempat merespon, Daran menepuk bahu putranya dengan bangga. “Perkenalkan, ini putraku satu-satunya. Seorang pria pekerja keras yang selalu memberikan yang terbaik. Dia anak yang berbakti kepada orang tua.”Amin kembali tersenyum, kali ini dengan perasaan semakin tidak nyaman. “Ayah, aku rasa mereka sudah tahu.”“
Suara tegas dari seorang pria membuat mereka berdua menoleh. Darrel, sang atasan yang dulu giginya pernah dipatahkan oleh Aminah, tiba-tiba muncul di dekat pintu masuk, menyusul Amin dan Daran. Dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin canggung, dia melangkah mendekati mereka."Apa yang sedang terjadi di sini?" Darrel bertanya, meskipun jelas dia sudah tahu jawabannya. Pandangannya tertuju ke Daran, seakan menilai pria yang berdiri di depannya. "Jadi, ayahmu datang, Amin?" lanjutnya, menekankan kata 'ayah' dengan sedikit nada mengejek.Amin tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin sekali menyembunyikan kenyataan bahwa ayahnya, yang disangkanya pengangguran, muncul di acara ulang tahun ayah bosnya itu. Dia khawatir Darrel akan menganggap rendah dirinya atau mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja."Ya, Pak. Ini ayah saya," jawab Amin akhirnya, suaranya terdengar lemah.Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Darrel mengulurkan tangannya ke arah Daran
"Putri kesayanganmu itu sudah mematahkan giginya, Daran!”Mendengar itu Daran ternganga, terkejut mendengar penjelasan istrinya. “Kamu pikir itu bermain, itu sudah taraf melukai, apa kamu tidak pernah berantem semasa kecil?” ujar Diana lagi, suaranya penuh kekhawatiran.“Pernah sih, aku lebih seringnya dikeroyok oleh orang lain,” jawab Daran, dengan tampang yang masih ada gurat keterkejutan. Dia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit.“Orang kaya seperti kamu juga dibully?” Diana bertanya tidak percaya. Matanya membesar, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya yang tampak kuat dan berwibawa itu pernah menjadi korban bullying.“Lebih tepatnya, mereka dibayar oleh Kak Agung untuk membuatku tidak percaya diri.” Daran termenung mengingat masa kecilnya, karena dia merasa bodoh waktu itu sebab menganggap Agung sebagai malaikat tak bersayapnya. Kak Agung, saudara tirinya, selalu tampak baik di depan orang tua mereka, tetapi di belakang, dia adalah sumber pe
Fatimah menengok ke belakang, menatap Agung yang berteriak memanggil namanya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan Agung yang selalu mendukungnya, meski lelaki itu sangat dingin.“Sudahlah, Sayang. Sudah waktunya kamu move on. Pria gak guna itu wajib ditinggalkan.” Seorang lelaki bertampang bule mengelus pelan pundak Fatimah.“Ya, kamu benar,” jawabnya seraya berpaling dan tersenyum ke arah lelaki yang bernama Bram, teman lelakinya selama ini.“Untung aku menemukanmu setelah menelusuri jejak yang kamu tinggalkan, Sayang. Suamimu itu bukan darah biru seperti aku, kalau sama aku, kamu hanya bisa senang-senang dan uang ngalir terus ke rekening kamu,” seloroh Bram sombong, sambil meremas-remas pundak Fatimah.Fatimah tertawa lebar mendengarnya, dan si Bram langsung mengecup bibirnya, lalu terjadilah adegan dewasa yang tak diinginkan.Sementara Agung jatuh berlutut, dia tidak menyangka Fatimah yang penurut ternyata mengkhianatinya. Dia tidak pernah menduga, wanita itu bakal berselingkuh
Diana dan Daran sudah menempati rumah almarhum Nabila. Seperti rencananya dulu, Daran bakal pergi ke perusahaan menggunakan helikopter. Sedangkan Adnan sudah kembali ke rumahnya dan sudah jarang pergi ke kantor, karena dia mempercayakan perusahaan ke tangan Daran, kecuali ada keadaan darurat barulah pria itu turun tangan. Adnan hanya menyibukkan dirinya dengan bersantai di halaman belakang rumahnya, atau akan berjalan-jalan menjenguk cucu kembarnya.“Pintar sekali sih cucuku, Amin dan Aminah. 4 bulan sudah bisa duduk, sedangkan bapakmu dulu 4 bulan masih belum bisa membalikkan badannya,” ucap Adnan, sambil memangku kedua anak Daran yang sudah beranjak usia 5 bulan.“Diminum, Yah, kopinya.” Diana membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng ke hadapan ayah mertuanya.“Kenapa Daran belum pulang, sudah sore seperti ini?” tanya Adnan, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.Diana menghela nafas panjang. “Palingan mampir dulu ke sungai, Yah. Daran lagi keracunan hob
Daran teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih bekerja dengan Pak RT. Saat mereka membawakan bibit cabe rawit ke sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman luas. Saat itu, Daran merasa canggung ketika pemilik rumah itu menatapnya tanpa henti ketika membantu Pak RT menurunkan puluhan bibit rawit dari mobil pick up. Tatapan wanita itu begitu tajam, seolah-olah mencoba mengingat setiap detail wajahnya. Daran merasa tidak nyaman, tetapi dia tetap fokus pada pekerjaannya.Begitu ayahnya Daran memberitahunya bahwa mereka memiliki rumah di daerah itu, Daran terkejut, karena selama ini dia tidak pernah tahu tentang rumah tersebut. Ayahnya menjelaskan bahwa rumah itu adalah rumah mereka ketika mengandung dirinya, dan ibunya memilih kembali tinggal beberapa tahun lalu sebelum meninggal. Banyak pertanyaan yang mengganggu Daran, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi dia tidak ingin membuat ayahnya sedih dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.Diana, yang mendengar cerit
"Fatimah … apa yang membuat kamu datang kemari?” tanya Daran terkejut, dia tidak dapat menutupi suaranya yang sedikit bergetar. Sudah lama dia tidak melihatnya, terakhir kali bertemu Fatimah ketika Agung akan pergi keluar pulau.“Kenapa kamu terkejut begitu, Daran? Aku gak mengganggu reuni keluarga kalian, kan?” Fatimah menatap Daran dan Diana bergantian, lalu menatap Bu Mislah dan Hanum yang masih berdiri di teras, juga menatapnya dengan diam.“Tentu saja tidak, Fatimah. Silahkan saja masuk,” jawab Diana dengan senyum ramah, membuka lebar pintu masuk. Dia mempersilahkan Fatimah untuk masuk terlebih dahulu sebelum ibu mertua dan kakak iparnya.Fatimah melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu suasana. “Aku hanya sebentar, Diana. Aku ingin mengambil barang milik Agung yang ada di kamarnya dahulu,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.Diana mengangguk, “Tentu, silahkan. Kamarnya masih seperti dulu, tidak ada yang berubah.”Fatimah berjalan melewati Daran dan Dian
Kehamilan Diana yang sudah memasuki bulan ke-5 membuat perutnya semakin melebar dan membesar dua kali lipat dari orang yang hamil biasa. Dengan keadaan itu, membuatnya semakin tidak leluasa pergi terlalu jauh dan berjalan terlalu lama.“Bagaimana kalau kita periksa ke dokter, Sayang,” ujar Daran yang khawatir melihat keadaan istrinya. Seringnya Daran pergi seorang diri ke kantor membuatnya khawatir meninggalkan Diana tanpa keberadaannya.“Aku gak apa-apa, Daran. Kamu jangan berlebihan,” ucap Diana kesal. Meski sebenarnya dia juga khawatir dengan perubahan tubuhnya yang tidak sama seperti yang dipelajarinya di YouTube.“Berat badanmu sudah naik lima kali lipat, kita harus USG, ya,” bujuk Daran.“Iya nanti, sekarang aku lagi capek. Kamu harus ke kantor kan?” Dengan beribu alasan, Diana menolak karena takut dengan hasilnya yang mengecewakan.“Iya, ada rapat pemegang saham. Aku harus hadir mewakili ayah. Tapi setelah selesai, aku akan segera pulang.” Daran mengecup dahi Diana lama. Berat