Lalu Adnan menceritakan wisata Paunjunan yang dirintisnya sendiri dengan bantuan Pak Muhri. Bisnis yang dipegangnya setelah memutuskan keluar dari rumah Sang Sultan, ayahnya.
Sedangkan bisnisnya yang lain itu adalah hotel di ibukota, merupakan milik almarhumah ibunya, dan dia sebagai anak tunggal mewajibkannya meneruskan usaha itu. "Hotel Sultan? Hotel ternama itu?" tanya Nabila lagi yang dijawab Adnan dengan anggukan, wanita itu sampai tidak menyadari kalau joran pancingnya yang bergetar karena ada ikan yang menyambar umpannya. "Jadi, maksud Mas. Wisata Paunjunan yang sedang viral ini, tempat yang sedang kita kunjungi ini, tempat yang tiap hari Mas datangi, tempat ini, milik Mas Adnan? Mas Adnan pemiliknya?" ujar Nabila bertanya untuk kesekian kalinya, masih tak percaya. Adnan tersenyum melihat reaksi lucu istrinya. Dia lega, karena tidak ada kemarahan di sana. "Iya Sayang, ini tempat wisata yang mas rintis dari nol," jawab Adnan dengan sabar. "Pas pertama kali kita ketemu waktu itu, ketika mas sedang mengalami patah hati karena kecewa dengan ayah mas sendiri," ujar Adnan bercerita. “Hotel keren itu juga dipegang oleh Mas Adnan, suami Bila?” Nabila sangat sulit mencernanya sekarang. Sekali lagi, Adnan menjawabnya dengan anggukan, tapi dia belum siap menceritakan tentang hubungannya dengan ayahnya Nabila – Pak Daus. Adnan hanya menceritakan tentang usaha dan bisnisnya saja. "Jadi, Mas bukanlah orang miskin yang selama ini kami kira?" tanya Nabila melongo. Nabila bahkan tidak menyadari kalau batang kurus yang sedari tadi digenggam, menyentak semakin keras tanda ada ikan yang sudah terpancing ingin melepaskan diri. "Ada berapa bisnis yang Mas punya?" "Tarik dulu pancingmu, Sayang." Tunjuk Adnan ke arah kedua tangan Nabila yang menggenggam erat joran pancingnya. "Oh oh, tolong Nabila, Mas!" seru Nabila, tersadar kalau ada ikan yang menyambar umpannya. Karena mereka memakai pancingan biasa, joran pancing itu cukup hanya ditarik saja. Tapi, karena ikan yang mematuk umpan Nabila cukup besar, jadi perempuan itu tak kuat untuk menariknya seorang diri. "Ikan Nila? Mas gak pernah membawa pulang ikan nila," ucap Nabila begitu melihat ikan yang menggantung di kail pancingnya. Adnan tertawa senang. "Apa kamu pernah makan ikan gurame?" Adnan balik bertanya. Nabila menjawabnya dengan gelengan. "Mas punya beberapa buah bisnis yang sedang mas jalankan. Yuk kita ke atas, mas sudah lapar dan Pak Muhri bakal menghidangkan ikan gurame buat kita." "Lho? Kok jadi gurame?" Heran Nabila. "Kan kamu belum pernah memakannya," ujar Adnan santai. "Tapi Nila-nya?" Nabila makin bingung dengan maksud suaminya itu. Adnan mengambil ikan yang sudah dibebaskan dari kail pancingan Nabila, lalu melemparnya kembali ke danau. "Beres, yuk!" ajaknya, menjawab keheranan wanita yang begitu disayanginya. "Kenapa mas gak pernah bawa ikan nila? Bahkan ada ikan gurame disini, mahal kan itu?" tanya Nabila lagi karena belum mendapat jawaban dari Adnan. "Karena masih baru, Sayang. Ikan-ikan itu baru dibesarkan beberapa bulan yang lalu," jawab Adnan, Nabila merasa puas dengan jawaban itu sehingga dia tidak bertanya lagi. Mereka mendatangi usaha utama dari wisata itu, yaitu rumah makannya. Rumah makan di Paunjunan termasuk unik, karena berupa gazebo-gazebo yang dibangun diatas air, diatas danau pemancingan. "Nabila?" Terdengar suara familiar seorang wanita. "Mbak Salma? Kenapa disini, katanya mau ke tempat arisan?" tanya Nabila begitu melihat kakaknya ada di gazebo sebelahnya. Meski dia merasa tidak habis pikir, kok bisa-bisanya arisan kakaknya itu diadakan setiap hari. Soalnya Salma sering minta uang ke Nabila dengan alasan ingin ikut arisan. Memang ada beberapa teman kakaknya juga duduk santai di samping Salma, termasuk pria yang sering dijodoh-jodohkan kakaknya yang sekarang menatap Nabila dengan tajam. "Ya, disini arisannya," jawab Salma agak kesal, karena bertemu dengan iparnya yang miskin. Sekarang Nabila mengerti, kenapa kakaknya selalu saja pinjam uang lagi dan lagi, ternyata ingin ke tempat bergengsi seperti ini. Tanpa diduga Salma, Adnan dan Nabila malah duduk di gazebo yang bertepatan di samping gazebo tempatnya juga makan, lebih tepatnya gazebo khusus yang disiapkan oleh Pak Muhri. Hal itulah yang membuat Salma makin kesal. Hanya ada sedikit perbedaan pada gazebo mereka. Gazebo milik Adnan berada tepat di tengah danau, dan memiliki tirai penutup yang membuat gazebo itu menjadi tertutup. Adnan menarik tali pengikat tirai di sampingnya ketika istrinya itu tidak lagi saling sapa dengan Salma, sehingga ruang terbuka itu tertutup dengan tirai kain sutra. "Mas merasa terganggu dengan tatapan teman kakakmu itu. Matanya hampir copot karena selalu menatap istri mas yang cantik," ucap Adnan kembali duduk di samping Nabila. "Maksud Mas, Si Lukman?" tanya Nabila, melihat ke arah lelaki yang duduk di samping kakaknya. "Jadi, namanya Lukman? Lelaki yang selalu Mbak Salma jodohkan denganmu itu?" tanya Adnan sok cuek. "Mas tau? Tentang jodoh menjodohkan itu?" kata Nabila terkejut. "Hemm, pasti lah. Mbak Salma pasti membahas itu setiap ada kesempatan. Mas dengar, Yang, tapi pura-pura nggak." "Mas marah?" tanya Nabila. Adnan menggeleng. "Mas percaya sama kamu, Yang. Kamu perempuan yang akan selalu menjaga harga diri suaminya," jawab Adnan mengulas senyum lembutnya yang mampu meluluhkan hati Nabila. Nabila pun membalas dengan senyum manisnya tepat ketika hidangan yang di pesan Adnan datang. "Mas tahu kamu pecinta ikan bakar. Kamu harus mencicipi gurame bakar ini, rasanya manis. Tapi kalau kamu mau yang goreng, rasanya tak kalah gurih." Adnan menunjukkan masing-masing ikan yang disodorkan para pegawainya. Nabila tertawa renyah. "Kamu sudah cocok kayak penjual kuliner, Mas. Kayak pedagang di pasar Ramadhan." Adnan ikut tertawa, melihat tawa istrinya itu membuatnya tertular bahagia. Mereka tak menyadari, tatapan iri Lukman ke arah siluet mereka yang terlihat bahagia, tidak memperhatikan kalau makanan yang mereka pesan juga telah datang. "Besok, ikutlah dengan mas ke ibukota. Mas ingin mengenalkanmu dengan keluarga ibu," ucap Adnan senang. Nabila mengangguk antusias, dia sangat senang karena setelah beberapa tahun menikah dengan suaminya, bahkan mungkin juga dengan ayah mertuanya.Nabila terkejut ketika Adnan malah membawa dirinya ke parkiran mobil, apalagi saat lelaki itu membukakan pintu mobil yang berlogo kuda berdiri dengan kaki belakang itu untuk dirinya.“Mobil siapa ini, Mas?” tanyanya heran,menatap bingung sang suami. Dia tidak lantas masuk ke dalam mobil itu, saking belum percayanya kepada suaminya.“Ini mobil, Mas. Sayaaang.” Jawaban Adnan tidak membuat Nabila langsung percaya, apalagi lelaki itu sambil tersenyum miring.“Seriusan, apa pernah mas bohong, Yang?” lanjutnya karena melihat Nabila masih memasang muka bertanya.Meski masih tidak percaya, Nabila akhirnya masuk ke dalam mobil. Melihat suaminya yang lihai menyetir mobil itu, dia terus memperhatikannya. Adnan mengambil sesuatu di laci mobil di depan Nabila dan menyerahkannya ke tangan Nabila.“Benar ini namamu, Mas,” ucap Nabila setelah membaca surat kepemilikan mobil itu.“Hmm, kita akan naik mobil ini besok, ke hotel Sultan milik ibu.” Ikrar Adnan membawa mobilnya meninggalkan wisata Paunjuna
Nabila sudah ada di ruang makan di lantai atas bersama dengan Adnan dan semua anggota keluarga Adnan dari pihak ibunya. Semuanya terlihat ramah kecuali Zaky yang memang berwajah masam dari lahir, tapi hatinya baik.“Jadi, kamu istrinya adik sepupuku, Si Adnan ini? Adiknya Salma? Iparnya Adli?” tanya Mahyuni sang manager hotel, setelah melihat Nabila duduk di samping Adnan, pemilik hotel itu selepas ibunya tiada.Nabila mengangguk tanpa melepas senyum manisnya, begitu pula Adnan.“Aku sudah mendengar cerita pertemuan kalian tadi di bawah, jadi kamu berteman dengan kakak-kakaknya Nabila?” tanya Adnan yang baru mengetahui kalau ada keluarga istrinya di hotel itu.“Ya, kami pernah satu kelompok di universitas LM. Mereka berempat sudah berteman akrab dari SMA, kan? Sekarang mereka menginap di lantai dasar, katanya ingin melihat Adnan bekerja jadi sekuriti,” ujar Mahyuni, akhirnya tawanya meledak.“Aku tidak menyangka, Adnan kita si glamor ini bisa tahan dengan orang-orang seperti itu.” Zak
"Nab, tolong aku. Dia mau menj4mbak madu barunya," seru Vega sambil berusaha mencegah Salma yang ingin menerj4ng Adli, saat dia melihat kedatangan Nabila bersama Adnan."Madu?" tanya Nabila heran sambil memegang pergelangan Salma dan wanita itu serta merta berhenti berontak saat melihat kehadiran adiknya.Adnan menatap ke arah Adli yang berdiri di depan wanita yang tatanan rambutnya mencuat ke atas, rasanya ingin tertawa begitu menyadari kalau kakak iparnya itu berhasil menj4mbak kekasih suaminya.Memang dia sudah lama mengetahui hubungan gelap suami kakak iparnya itu karena mereka cukup sering datang ke Paunjunan, tapi dia baru mengetahui kalau mereka sebenarnya sudah menikah.“Kakak iparmu nikah lagi tanpa sepengetahuan kita, Bila,” rengek Salma seakan lupa bahwa dia lah setiap hari mengoceh tentang Adnan yang berpotensi untuk selingkuh. “Apa yang harus ku katakan pada ibu besok kalau menantunya sudah menduakan anaknya, hu hu hu.” Salma menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu
Tidak berapa lama kemudian, mobil pajero hitam datang dan berhenti di depan mereka. Vega dan Salma melongo ketika melihat siapa yang keluar dari mobil itu dan menyapa Adnan dengan akrab."Mahyuni?" seru Salma senang, karena temannya datang menyelamatkan mereka dari kesintingan Adnan."Jadi, orang yang ditelepon Adnan itu kamu?" tanya Vega setelah menyaksikan temannya itu melempar kunci mobil ke arah Adnan yang menangkapnya dengan santai."Ya, kukira kalian sudah tau siapa Adnan sebenarnya?" Mahyuni balik bertanya setelah mengambil kunci mobil milik sepupunya, Adnan."Mereka menganggap kalau aku hanya bercanda dan ipar yang sinting," kekeh Adnan merasa lucu."Oh ya?" celetuk Mahyuni dengan cengiran jahilnya lalu memencet tombol di kunci yang dipegangnya sehingga mobil sport berwarna biru metalik berbunyi."Bolehkah ku pakai mobil ini bekencan? Sampai kapan mobil ini bisa ku genggam?" lanjutnya seraya menelengkan matanya ke arah Adnan."Palingan 2 hari lagi aku ke sini lagi, ada tamu pe
"Aku tidak perduli kalau Adli membuat keributan atau apapun itu, bukannya dia sedang bersama istri barunya?" Salma berkata dengan memasang wajah tidak tertarik.Namun Adnan yang ingin masalah cepat selesai, mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Dia ada di kamarku."Beberapa menit kemudian, Adli datang ke kamar suite milik Adnan. Pria itu tidak sempat terpana melihat kamar Adnan yang besar saking kesalnya kepada Salma karena menghilang dari kamar mereka."Ayo kembali ke kamar, aku mau bicara," desaknya sambil menarik kasar tangan Salma."Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Kamu sudah memilihnya, jadi tinggalkan aku sekarang. Hiduplah dengan bahagia, kalian. Apalagi sebentar lagi kalian akan punya anak." Salma menyentak kasar pegangan tangan Adli."Aku khilaf, Salma. Aku tidak mencintainya," sangkal Adli dengan nada kesal. Antara malu dengan Adnan karena dialah yang meracuni istrinya kalau Adnan telah bermain perempuan di paunjunan. Apalagi suami adik iparnya itu memakai p
Sesuai janji Adnan, begitu Bu Vina pulang dari umroh mereka akan mengadakan acara tujuh bulanan kehamilan Nabila.Acara itu berlangsung sederhana sesuai adat di desa mereka. Para undangan pun mendoakan kelancaran lahiran Nabila nanti dan tidak sedikit orang yang memberikan amalan ketika tiba saatnya nanti."Yang penting jangan mengangkat pantat ketika mengejan nanti, Nabila, kalau gak mau itumusobek ," ucap salah satu tetangga Bu Vina.Nabila tersenyum sambil menutup mulutnya dengan tangan karena ekspresi ibu itu lucu saat menyebut 'itumu'. "Nabila sambil latihan mengejan, Bu. Di klinik sebulan sekali kami adakan pertemuan, senam hamil setelah memeriksakan kandungan kami," jawab Nabila lembut."Cukup mengepel sambil nungging, Nabila." Tetangga yang satunya ikut menimbrung sambil menggamit lengan Nabila."Iya, Bu. Sambil sujud pas sehabis shalat juga, satu menitan pun gak apa-apa," sahut Nabila lagi.Salma hanya mendengarkan saja pembicaraan Nabila dan para ibu-ibu tetangga. Terkadang
"Pantas saja pernikahan mereka tidak pernah dirayakan," ucap Chiko sambil bersandar di pagar pembatas."Karena Adnan menikah tanpa restu dari ayahnya. Dia memberi kabar setelah sudah menikah dan beliau tidak bisa membangkang Adnan jika masih ingin menjalin hubungan baik dengan anaknya, kan?" Kali ini Natasha yang tadi hanya diam ikut bersuara, perempuan yang lebih muda dari Chiko itu malah duduk santai di pagar pembatas."Dari mana kamu tahu? Bukankah kamu sibuk belajar di luar negri," sahut Chiko heran."Aku memiliki sinyal yang kuat, sehingga tahu berita-berita yang tidak kamu ketahui," jawab Natasha sinis."Persis ayahmu, dia tidak mau pulang hanya untuk acara remeh seperti ini," ujar Uak Santi yang merupakan ibunya Natasha dan Angel."Jadi, Nabila itu anak sopir keluarga ini, Bun?" tanya Angel penasaran, adik Natasha dengan perbedaan usia hanya 2 tahun."Sopir yang dijadikan tumbal kebebasan Sultan. Pria paruh baya itu dibiarkan mati demi kebebasan Sultan dari musuh yang terus men
Nabila berlari setelah menuruni tangga, dia menuju ke arah taman belakang yang gelap. Namun dia tersentak kaget ketika lampu taman menyala saat dia mendekat, rupanya lampu itu mendeteksi hawa panas yang membuatnya menyala secara otomatis."Apa yang kamu lakukan berlari-larian di tempat gelap seperti ini? Kamu kan lagi hamil." Suara berat seorang pria lebih mengagetkan Nabila."A-ayah...," ucapnya terbata begitu melihat sosok pria itu ternyata ayah mertuanya. "Sa-saya ....""Apa kamu ingin pergi dari sini setelah mendengar semuanya?" Pertanyaan ayah mertua membuat Nabila semakin terkejut. "Kamu pasti mendengar pembicaraan mereka di balkon."Penjelasan berikutnya barulah disadari oleh Nabila bahwa tempat mereka berdiri itu ada di bawah balkon, sehingga beliau juga pasti mendengar pembicaraan Uak Santi yang memiliki suara menggelegar."Aku bisa memesankan kamu taksi, pergilah ke pagar depan, satpam akan membukakan pintunya begitu taksi sudah tiba. Menjauhlah dari Adnan, pergilah jauh mem