Share

Sang Manager Hotel

Nabila terkejut ketika Adnan malah membawa dirinya ke parkiran mobil, apalagi saat lelaki itu membukakan pintu mobil yang berlogo kuda berdiri dengan kaki belakang itu untuk dirinya.

“Mobil siapa ini, Mas?” tanyanya heran,menatap bingung sang suami. Dia tidak lantas masuk ke dalam mobil itu, saking belum percayanya kepada suaminya.

“Ini mobil, Mas. Sayaaang.” Jawaban Adnan tidak membuat Nabila langsung percaya, apalagi lelaki itu sambil tersenyum miring.

“Seriusan, apa pernah mas bohong, Yang?” lanjutnya karena melihat Nabila masih memasang muka bertanya.

Meski masih tidak percaya, Nabila akhirnya masuk ke dalam mobil. Melihat suaminya yang lihai menyetir mobil itu, dia terus memperhatikannya. Adnan mengambil sesuatu di laci mobil di depan Nabila dan menyerahkannya ke tangan Nabila.

“Benar ini namamu, Mas,” ucap Nabila setelah membaca surat kepemilikan mobil itu.

“Hmm, kita akan naik mobil ini besok, ke hotel Sultan milik ibu.” Ikrar Adnan membawa mobilnya meninggalkan wisata Paunjunan, meninggalkan motor tua yang menemaninya selama ini.

*

“Jadi ini istrimu, Adnan, “ sapa seorang pemuda yang seumuran dengan Adnan, begitu mereka sudah sampai di lantai atas tempat mereka akan mengadakan rapat.

“Sayang, kenalin ini Zaky, sepupu mas,” ujar Adnan memperkenalkan anak dari acilnya, yaitu anak dari tantenya.

Zaky yang memang berwajah masam dari lahir, mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman dengan Nabila, namun cewek itu mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya.

“Oh.” Zaky dengan salah tingkah melakukan hal yang sama.

Setelahnya, Adnan masuk ke ruang meeting di lantai itu bersama para tetua keluarganya sementara Nabila menunggu di sebuah kamar suite khusus milik Adnan.

“Well, well, well. Sepertinya kita memang berjodoh, ya. Entah di kampung, di kota pun kita bertemu terus, dunia ini memang kecil, ya.” Tiba-tiba terdengar suara Lukman menyapa Nabila yang berjalan di lantai dasar hotel karena bosan.

Kakak Nabila dan iparnya, juga sepupunya yang bernama Vega hari itu pergi ke ibukota bersama dengan Lukman, merayakan ulang tahun salah satu teman SMA mereka di hotel Sultan.

“Lho, kalian juga di sini,” seru Nabila terkejut melihat hampir separo keluarganya juga ada di hotel milik suaminya.

“Ya, karena kami diundang oleh teman kami yang manajer di hotel ini. Lah kalau kamu ngapain di sini? Jangan bilang kalau kamu lagi honeymoon sama suami miskin kamu itu?” hardik Vega tak suka, apalagi melihat pakaian adik sepupunya yang terlihat lebih elegan dari biasanya.

“Vega, jangan kasar sama tantenya Susan, nanti anakmu menirumu,” bisik Salma menggamit adik sepupunya saat dilihatnya kening Susan mengkerut bingung mendengar suara sang ibu yang keras.

“Emm … bisa dibilang begitu, Mbak,” sahut Nabila setelah pura-pura berpikir. Setelah tahu status suaminya yang sebenarnya, timbul keberanian melawan dihatinya Nabila.

“Jangan bilang kalau suamimu itu sedang melamar pekerjaan disini, Bila. Kalau itu benar, aku bisa minta bantuan teman kami untuk menerima suamimu bekerja disini,” ujar Lukman, berusaha terdengar perhatian dan dekat dengan wanita yang sudah lama ditaksirnya.

Nabila menatap sekilas lelaki yang menyebut namanya dengan sebutan Bila. Karena hanya kakak dan ibunya saja yang biasa menyebut nama itu.

“Wah, benar. Mungkin saja ada posisi sekuriti yang kosong.” Suami Salma, Adli ikutan bicara.

“Apa yang kalian gosipkan disini, hingga belum juga masuk ke acaraku?” Tiba-tiba sang manajer hotel yang merupakan teman Lukman, datang menghampiri mereka.

Lukman dengan antusias menceritakan suami Nabila tanpa menyebutkan namanya. “Gimana, Yun. Ada posisi kosong yang cocok buat suami adik kami ini?”

“Boleh lah, nanti suruh menghadap saja ke dalam.” Sang manager menatap Nabila dengan ramah. Nabila pun membalasnya dengan mengangguk ramah.

“Cepat telepon dia, Bila. Mumpung Mahyuni belum sibuk,” desak Salma menggamit kasar adiknya.

“Tapi, Mbak. Dia lagi di lantai atas, sedang ….”

Belum sempat Nabila menyelesaikan kalimatnya, Vega sudah memotongnya.

“Alaaah, jangan sok jual mahal, Nabila. Gak setiap hari ada pekerjaan yang menawarkan diri begini, pekerjaan ini akan merubah kehidupan kalian juga, ingat anak Nabila. Cepat telepon cowok miskin itu.” Ucapan Vega sudah keterlaluan, kesabaran Nabila ada ambang batasnya.

“Nggak bisa, Mbak. Dia sedang di lantai atas, menghadiri rapat.” Penjelasan Nabila malah membuat semuanya tertawa, kecuali Mahyuni, manager hotel itu.

“Rapat? Jangan-jangan suamimu itu ….”

Vega mendadak panik karena melihat putrinya yang sudah ada di dalam ruangan tempat acara Mahyuni diadakan, apalagi anak itu dengan lincahnya menghampiri kue ulang tahun yang berada di samping balon helium.

Setelah kepergian Vega, Salma pun juga pergi menyusul sepupunya dan meninggalkan adik kandungnya bersama dengan Lukman.

“Hubungi aku ya, Bil. Jika suamimu itu sudah selesai rapatnya,” ujar Lukman hampir mendenguskan tawanya di ujung kalimatnya.

“Aku akan membantumu agar dia mendapatkan pekerjaan ini.”

“Gak perlu, Kak. Tapi, terima kasih,” ucap Nabila risih karena mereka hanya berdua saja, sementara Mahyuni ikut meninggalkan mereka.

Tanpa menunggu Lukman membalasnya, Nabila langsung mengambil langkahnya meninggalkan Lukman yang masih berdiri di antara lift dan ruangan tempat acara.

“Suami adikmu itu, Nabila. Siapa namanya? Apa dia orang penting yang bisa menghadiri rapat para tetua?” tanya Mahyuni begitu dia berhasil menyusul Salma.

Salma menutup tawanya dengan tangannya guna meredam suara tawanya yang meledak. “Orang miskin itu orang penting? Mana mungkin, si Adnan udik yang hobinya hanya mancing saja, tidak ada kerjaan lain selain memancing, menafkahi istrinya saja dengan hasil mancing.”

Mendengar jawaban Salma membuat kepala Mahyuni seperti meledak, antara ingin berteriak histeris dan tertawa ngakak. Tentu saja dia mengenal Adnan dengan baik, dan dia sangat penasaran kenapa kakak sepupunya itu sampai dikira orang miskin yang menyedihkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status