Nabila terkejut ketika Adnan malah membawa dirinya ke parkiran mobil, apalagi saat lelaki itu membukakan pintu mobil yang berlogo kuda berdiri dengan kaki belakang itu untuk dirinya.
“Mobil siapa ini, Mas?” tanyanya heran,menatap bingung sang suami. Dia tidak lantas masuk ke dalam mobil itu, saking belum percayanya kepada suaminya. “Ini mobil, Mas. Sayaaang.” Jawaban Adnan tidak membuat Nabila langsung percaya, apalagi lelaki itu sambil tersenyum miring. “Seriusan, apa pernah mas bohong, Yang?” lanjutnya karena melihat Nabila masih memasang muka bertanya. Meski masih tidak percaya, Nabila akhirnya masuk ke dalam mobil. Melihat suaminya yang lihai menyetir mobil itu, dia terus memperhatikannya. Adnan mengambil sesuatu di laci mobil di depan Nabila dan menyerahkannya ke tangan Nabila. “Benar ini namamu, Mas,” ucap Nabila setelah membaca surat kepemilikan mobil itu. “Hmm, kita akan naik mobil ini besok, ke hotel Sultan milik ibu.” Ikrar Adnan membawa mobilnya meninggalkan wisata Paunjunan, meninggalkan motor tua yang menemaninya selama ini. * “Jadi ini istrimu, Adnan, “ sapa seorang pemuda yang seumuran dengan Adnan, begitu mereka sudah sampai di lantai atas tempat mereka akan mengadakan rapat. “Sayang, kenalin ini Zaky, sepupu mas,” ujar Adnan memperkenalkan anak dari acilnya, yaitu anak dari tantenya. Zaky yang memang berwajah masam dari lahir, mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman dengan Nabila, namun cewek itu mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya. “Oh.” Zaky dengan salah tingkah melakukan hal yang sama. Setelahnya, Adnan masuk ke ruang meeting di lantai itu bersama para tetua keluarganya sementara Nabila menunggu di sebuah kamar suite khusus milik Adnan. “Well, well, well. Sepertinya kita memang berjodoh, ya. Entah di kampung, di kota pun kita bertemu terus, dunia ini memang kecil, ya.” Tiba-tiba terdengar suara Lukman menyapa Nabila yang berjalan di lantai dasar hotel karena bosan. Kakak Nabila dan iparnya, juga sepupunya yang bernama Vega hari itu pergi ke ibukota bersama dengan Lukman, merayakan ulang tahun salah satu teman SMA mereka di hotel Sultan. “Lho, kalian juga di sini,” seru Nabila terkejut melihat hampir separo keluarganya juga ada di hotel milik suaminya. “Ya, karena kami diundang oleh teman kami yang manajer di hotel ini. Lah kalau kamu ngapain di sini? Jangan bilang kalau kamu lagi honeymoon sama suami miskin kamu itu?” hardik Vega tak suka, apalagi melihat pakaian adik sepupunya yang terlihat lebih elegan dari biasanya. “Vega, jangan kasar sama tantenya Susan, nanti anakmu menirumu,” bisik Salma menggamit adik sepupunya saat dilihatnya kening Susan mengkerut bingung mendengar suara sang ibu yang keras. “Emm … bisa dibilang begitu, Mbak,” sahut Nabila setelah pura-pura berpikir. Setelah tahu status suaminya yang sebenarnya, timbul keberanian melawan dihatinya Nabila. “Jangan bilang kalau suamimu itu sedang melamar pekerjaan disini, Bila. Kalau itu benar, aku bisa minta bantuan teman kami untuk menerima suamimu bekerja disini,” ujar Lukman, berusaha terdengar perhatian dan dekat dengan wanita yang sudah lama ditaksirnya. Nabila menatap sekilas lelaki yang menyebut namanya dengan sebutan Bila. Karena hanya kakak dan ibunya saja yang biasa menyebut nama itu. “Wah, benar. Mungkin saja ada posisi sekuriti yang kosong.” Suami Salma, Adli ikutan bicara. “Apa yang kalian gosipkan disini, hingga belum juga masuk ke acaraku?” Tiba-tiba sang manajer hotel yang merupakan teman Lukman, datang menghampiri mereka. Lukman dengan antusias menceritakan suami Nabila tanpa menyebutkan namanya. “Gimana, Yun. Ada posisi kosong yang cocok buat suami adik kami ini?” “Boleh lah, nanti suruh menghadap saja ke dalam.” Sang manager menatap Nabila dengan ramah. Nabila pun membalasnya dengan mengangguk ramah. “Cepat telepon dia, Bila. Mumpung Mahyuni belum sibuk,” desak Salma menggamit kasar adiknya. “Tapi, Mbak. Dia lagi di lantai atas, sedang ….” Belum sempat Nabila menyelesaikan kalimatnya, Vega sudah memotongnya. “Alaaah, jangan sok jual mahal, Nabila. Gak setiap hari ada pekerjaan yang menawarkan diri begini, pekerjaan ini akan merubah kehidupan kalian juga, ingat anak Nabila. Cepat telepon cowok miskin itu.” Ucapan Vega sudah keterlaluan, kesabaran Nabila ada ambang batasnya. “Nggak bisa, Mbak. Dia sedang di lantai atas, menghadiri rapat.” Penjelasan Nabila malah membuat semuanya tertawa, kecuali Mahyuni, manager hotel itu. “Rapat? Jangan-jangan suamimu itu ….” Vega mendadak panik karena melihat putrinya yang sudah ada di dalam ruangan tempat acara Mahyuni diadakan, apalagi anak itu dengan lincahnya menghampiri kue ulang tahun yang berada di samping balon helium. Setelah kepergian Vega, Salma pun juga pergi menyusul sepupunya dan meninggalkan adik kandungnya bersama dengan Lukman. “Hubungi aku ya, Bil. Jika suamimu itu sudah selesai rapatnya,” ujar Lukman hampir mendenguskan tawanya di ujung kalimatnya. “Aku akan membantumu agar dia mendapatkan pekerjaan ini.” “Gak perlu, Kak. Tapi, terima kasih,” ucap Nabila risih karena mereka hanya berdua saja, sementara Mahyuni ikut meninggalkan mereka. Tanpa menunggu Lukman membalasnya, Nabila langsung mengambil langkahnya meninggalkan Lukman yang masih berdiri di antara lift dan ruangan tempat acara. “Suami adikmu itu, Nabila. Siapa namanya? Apa dia orang penting yang bisa menghadiri rapat para tetua?” tanya Mahyuni begitu dia berhasil menyusul Salma. Salma menutup tawanya dengan tangannya guna meredam suara tawanya yang meledak. “Orang miskin itu orang penting? Mana mungkin, si Adnan udik yang hobinya hanya mancing saja, tidak ada kerjaan lain selain memancing, menafkahi istrinya saja dengan hasil mancing.” Mendengar jawaban Salma membuat kepala Mahyuni seperti meledak, antara ingin berteriak histeris dan tertawa ngakak. Tentu saja dia mengenal Adnan dengan baik, dan dia sangat penasaran kenapa kakak sepupunya itu sampai dikira orang miskin yang menyedihkan.Nabila sudah ada di ruang makan di lantai atas bersama dengan Adnan dan semua anggota keluarga Adnan dari pihak ibunya. Semuanya terlihat ramah kecuali Zaky yang memang berwajah masam dari lahir, tapi hatinya baik.“Jadi, kamu istrinya adik sepupuku, Si Adnan ini? Adiknya Salma? Iparnya Adli?” tanya Mahyuni sang manager hotel, setelah melihat Nabila duduk di samping Adnan, pemilik hotel itu selepas ibunya tiada.Nabila mengangguk tanpa melepas senyum manisnya, begitu pula Adnan.“Aku sudah mendengar cerita pertemuan kalian tadi di bawah, jadi kamu berteman dengan kakak-kakaknya Nabila?” tanya Adnan yang baru mengetahui kalau ada keluarga istrinya di hotel itu.“Ya, kami pernah satu kelompok di universitas LM. Mereka berempat sudah berteman akrab dari SMA, kan? Sekarang mereka menginap di lantai dasar, katanya ingin melihat Adnan bekerja jadi sekuriti,” ujar Mahyuni, akhirnya tawanya meledak.“Aku tidak menyangka, Adnan kita si glamor ini bisa tahan dengan orang-orang seperti itu.” Zak
"Nab, tolong aku. Dia mau menj4mbak madu barunya," seru Vega sambil berusaha mencegah Salma yang ingin menerj4ng Adli, saat dia melihat kedatangan Nabila bersama Adnan."Madu?" tanya Nabila heran sambil memegang pergelangan Salma dan wanita itu serta merta berhenti berontak saat melihat kehadiran adiknya.Adnan menatap ke arah Adli yang berdiri di depan wanita yang tatanan rambutnya mencuat ke atas, rasanya ingin tertawa begitu menyadari kalau kakak iparnya itu berhasil menj4mbak kekasih suaminya.Memang dia sudah lama mengetahui hubungan gelap suami kakak iparnya itu karena mereka cukup sering datang ke Paunjunan, tapi dia baru mengetahui kalau mereka sebenarnya sudah menikah.“Kakak iparmu nikah lagi tanpa sepengetahuan kita, Bila,” rengek Salma seakan lupa bahwa dia lah setiap hari mengoceh tentang Adnan yang berpotensi untuk selingkuh. “Apa yang harus ku katakan pada ibu besok kalau menantunya sudah menduakan anaknya, hu hu hu.” Salma menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu
Tidak berapa lama kemudian, mobil pajero hitam datang dan berhenti di depan mereka. Vega dan Salma melongo ketika melihat siapa yang keluar dari mobil itu dan menyapa Adnan dengan akrab."Mahyuni?" seru Salma senang, karena temannya datang menyelamatkan mereka dari kesintingan Adnan."Jadi, orang yang ditelepon Adnan itu kamu?" tanya Vega setelah menyaksikan temannya itu melempar kunci mobil ke arah Adnan yang menangkapnya dengan santai."Ya, kukira kalian sudah tau siapa Adnan sebenarnya?" Mahyuni balik bertanya setelah mengambil kunci mobil milik sepupunya, Adnan."Mereka menganggap kalau aku hanya bercanda dan ipar yang sinting," kekeh Adnan merasa lucu."Oh ya?" celetuk Mahyuni dengan cengiran jahilnya lalu memencet tombol di kunci yang dipegangnya sehingga mobil sport berwarna biru metalik berbunyi."Bolehkah ku pakai mobil ini bekencan? Sampai kapan mobil ini bisa ku genggam?" lanjutnya seraya menelengkan matanya ke arah Adnan."Palingan 2 hari lagi aku ke sini lagi, ada tamu pe
"Aku tidak perduli kalau Adli membuat keributan atau apapun itu, bukannya dia sedang bersama istri barunya?" Salma berkata dengan memasang wajah tidak tertarik.Namun Adnan yang ingin masalah cepat selesai, mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Dia ada di kamarku."Beberapa menit kemudian, Adli datang ke kamar suite milik Adnan. Pria itu tidak sempat terpana melihat kamar Adnan yang besar saking kesalnya kepada Salma karena menghilang dari kamar mereka."Ayo kembali ke kamar, aku mau bicara," desaknya sambil menarik kasar tangan Salma."Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Kamu sudah memilihnya, jadi tinggalkan aku sekarang. Hiduplah dengan bahagia, kalian. Apalagi sebentar lagi kalian akan punya anak." Salma menyentak kasar pegangan tangan Adli."Aku khilaf, Salma. Aku tidak mencintainya," sangkal Adli dengan nada kesal. Antara malu dengan Adnan karena dialah yang meracuni istrinya kalau Adnan telah bermain perempuan di paunjunan. Apalagi suami adik iparnya itu memakai p
Sesuai janji Adnan, begitu Bu Vina pulang dari umroh mereka akan mengadakan acara tujuh bulanan kehamilan Nabila.Acara itu berlangsung sederhana sesuai adat di desa mereka. Para undangan pun mendoakan kelancaran lahiran Nabila nanti dan tidak sedikit orang yang memberikan amalan ketika tiba saatnya nanti."Yang penting jangan mengangkat pantat ketika mengejan nanti, Nabila, kalau gak mau itumusobek ," ucap salah satu tetangga Bu Vina.Nabila tersenyum sambil menutup mulutnya dengan tangan karena ekspresi ibu itu lucu saat menyebut 'itumu'. "Nabila sambil latihan mengejan, Bu. Di klinik sebulan sekali kami adakan pertemuan, senam hamil setelah memeriksakan kandungan kami," jawab Nabila lembut."Cukup mengepel sambil nungging, Nabila." Tetangga yang satunya ikut menimbrung sambil menggamit lengan Nabila."Iya, Bu. Sambil sujud pas sehabis shalat juga, satu menitan pun gak apa-apa," sahut Nabila lagi.Salma hanya mendengarkan saja pembicaraan Nabila dan para ibu-ibu tetangga. Terkadang
"Pantas saja pernikahan mereka tidak pernah dirayakan," ucap Chiko sambil bersandar di pagar pembatas."Karena Adnan menikah tanpa restu dari ayahnya. Dia memberi kabar setelah sudah menikah dan beliau tidak bisa membangkang Adnan jika masih ingin menjalin hubungan baik dengan anaknya, kan?" Kali ini Natasha yang tadi hanya diam ikut bersuara, perempuan yang lebih muda dari Chiko itu malah duduk santai di pagar pembatas."Dari mana kamu tahu? Bukankah kamu sibuk belajar di luar negri," sahut Chiko heran."Aku memiliki sinyal yang kuat, sehingga tahu berita-berita yang tidak kamu ketahui," jawab Natasha sinis."Persis ayahmu, dia tidak mau pulang hanya untuk acara remeh seperti ini," ujar Uak Santi yang merupakan ibunya Natasha dan Angel."Jadi, Nabila itu anak sopir keluarga ini, Bun?" tanya Angel penasaran, adik Natasha dengan perbedaan usia hanya 2 tahun."Sopir yang dijadikan tumbal kebebasan Sultan. Pria paruh baya itu dibiarkan mati demi kebebasan Sultan dari musuh yang terus men
Nabila berlari setelah menuruni tangga, dia menuju ke arah taman belakang yang gelap. Namun dia tersentak kaget ketika lampu taman menyala saat dia mendekat, rupanya lampu itu mendeteksi hawa panas yang membuatnya menyala secara otomatis."Apa yang kamu lakukan berlari-larian di tempat gelap seperti ini? Kamu kan lagi hamil." Suara berat seorang pria lebih mengagetkan Nabila."A-ayah...," ucapnya terbata begitu melihat sosok pria itu ternyata ayah mertuanya. "Sa-saya ....""Apa kamu ingin pergi dari sini setelah mendengar semuanya?" Pertanyaan ayah mertua membuat Nabila semakin terkejut. "Kamu pasti mendengar pembicaraan mereka di balkon."Penjelasan berikutnya barulah disadari oleh Nabila bahwa tempat mereka berdiri itu ada di bawah balkon, sehingga beliau juga pasti mendengar pembicaraan Uak Santi yang memiliki suara menggelegar."Aku bisa memesankan kamu taksi, pergilah ke pagar depan, satpam akan membukakan pintunya begitu taksi sudah tiba. Menjauhlah dari Adnan, pergilah jauh mem
Adnan tersungkur kalah dihajar oleh preman bertubuh besar. Dia tersengal-sengal mengatur nafasnya sementara orang yang memukulinya sibuk memunguti uang yang berserakan."Dimana istriku?" tanyanya menangkap tangan besar milik si preman ketika akan mengambil lembaran uang di dekat Adnan."Mana kutahu? Istrimu, kenapa tanya padaku?" jawabnya seraya menepis keras tangan Adnan."Itu uang istriku yang kamu ambil! Dompet di tanganmu itu milik istriku, Nabila Rahman!" teriak Adnan sambil melepas rasa sakitnya, lalu terbatuk. Rahangnya terasa berdenyut akibat hantaman si preman.Preman itu terpaku sebelum memeriksa dompet wanita di tangannya, membaca data diri si pemilik dompet lalu melirik Adnan yang menatapnya lemah."Dimana dia? Istriku." Adnan mengulang pertanyaannya."Seburuk apa kamu, sampai istrimu saja pergi meninggalkanmu. Dia pergi pakai kapal dengan selingkuhannya," jawabnya ketus, melempar dompet itu ke samping kepala Adnan yang masih terbaring di tanah."Bantu aku mencarinya dan j
Amin masih terdiam, pikirannya berputar cepat, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Darrel yang terlihat sudah akrab dengan Daran, terlepas mereka bertetangga sedari kecil, sekarang diikuti oleh sosok Lisa, gadis yang tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi dengannya, apalagi di acara sebesar ini. Semua ini terasa sangat diluar dugaan, seolah hidupnya yang sederhana tiba-tiba berubah menjadi sebuah cerita yang tidak pernah ia pahami sebelumnya."Saya masih penasaran dengan Aminah, kapan kalian pernah bertemu?" Amin kembali menanyakan tentang saudari kembarnya.Lisa menyimpan senyumnya dan menatap Amin dengan penuh minat, “Ya, aku tahu banyak tentang Aminah. Kami sering bertemu di beberapa acara penting. Bahkan, dia pernah menyebutkan tentang kamu.” Lisa melirik sepintas ke arah Daran yang terlihat tidak mendengarkan pembicaraan mereka.Amin merasa semakin tenggelam dalam kebingungannya. Aminah? Saudarinya ada di acara penting? Ia tahu Aminah selalu menyembunyikan s
Amin merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis yang dipaksakan. Situasi yang tidak biasa ini benar-benar membuatnya bingung. Lisa, gadis yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor karena kecantikan dan kecerdasannya, sekarang berdiri di hadapannya, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.“Saudara kembarnya Aminah, bukan?” Lisa tersenyum lembut.Amin merasa lidahnya kelu, dan pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutnya. “Anda kenal dengan Aminah?”Lisa tertawa kecil. “Oh, hanya pernah mendengar cerita sedikit dari beberapa orang di kantor. Kalian keluarga yang harmonis, katanya.”Sebelum Amin sempat merespon, Daran menepuk bahu putranya dengan bangga. “Perkenalkan, ini putraku satu-satunya. Seorang pria pekerja keras yang selalu memberikan yang terbaik. Dia anak yang berbakti kepada orang tua.”Amin kembali tersenyum, kali ini dengan perasaan semakin tidak nyaman. “Ayah, aku rasa mereka sudah tahu.”“
Suara tegas dari seorang pria membuat mereka berdua menoleh. Darrel, sang atasan yang dulu giginya pernah dipatahkan oleh Aminah, tiba-tiba muncul di dekat pintu masuk, menyusul Amin dan Daran. Dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin canggung, dia melangkah mendekati mereka."Apa yang sedang terjadi di sini?" Darrel bertanya, meskipun jelas dia sudah tahu jawabannya. Pandangannya tertuju ke Daran, seakan menilai pria yang berdiri di depannya. "Jadi, ayahmu datang, Amin?" lanjutnya, menekankan kata 'ayah' dengan sedikit nada mengejek.Amin tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin sekali menyembunyikan kenyataan bahwa ayahnya, yang disangkanya pengangguran, muncul di acara ulang tahun ayah bosnya itu. Dia khawatir Darrel akan menganggap rendah dirinya atau mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja."Ya, Pak. Ini ayah saya," jawab Amin akhirnya, suaranya terdengar lemah.Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Darrel mengulurkan tangannya ke arah Daran
"Putri kesayanganmu itu sudah mematahkan giginya, Daran!”Mendengar itu Daran ternganga, terkejut mendengar penjelasan istrinya. “Kamu pikir itu bermain, itu sudah taraf melukai, apa kamu tidak pernah berantem semasa kecil?” ujar Diana lagi, suaranya penuh kekhawatiran.“Pernah sih, aku lebih seringnya dikeroyok oleh orang lain,” jawab Daran, dengan tampang yang masih ada gurat keterkejutan. Dia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit.“Orang kaya seperti kamu juga dibully?” Diana bertanya tidak percaya. Matanya membesar, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya yang tampak kuat dan berwibawa itu pernah menjadi korban bullying.“Lebih tepatnya, mereka dibayar oleh Kak Agung untuk membuatku tidak percaya diri.” Daran termenung mengingat masa kecilnya, karena dia merasa bodoh waktu itu sebab menganggap Agung sebagai malaikat tak bersayapnya. Kak Agung, saudara tirinya, selalu tampak baik di depan orang tua mereka, tetapi di belakang, dia adalah sumber pe
Fatimah menengok ke belakang, menatap Agung yang berteriak memanggil namanya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan Agung yang selalu mendukungnya, meski lelaki itu sangat dingin.“Sudahlah, Sayang. Sudah waktunya kamu move on. Pria gak guna itu wajib ditinggalkan.” Seorang lelaki bertampang bule mengelus pelan pundak Fatimah.“Ya, kamu benar,” jawabnya seraya berpaling dan tersenyum ke arah lelaki yang bernama Bram, teman lelakinya selama ini.“Untung aku menemukanmu setelah menelusuri jejak yang kamu tinggalkan, Sayang. Suamimu itu bukan darah biru seperti aku, kalau sama aku, kamu hanya bisa senang-senang dan uang ngalir terus ke rekening kamu,” seloroh Bram sombong, sambil meremas-remas pundak Fatimah.Fatimah tertawa lebar mendengarnya, dan si Bram langsung mengecup bibirnya, lalu terjadilah adegan dewasa yang tak diinginkan.Sementara Agung jatuh berlutut, dia tidak menyangka Fatimah yang penurut ternyata mengkhianatinya. Dia tidak pernah menduga, wanita itu bakal berselingkuh
Diana dan Daran sudah menempati rumah almarhum Nabila. Seperti rencananya dulu, Daran bakal pergi ke perusahaan menggunakan helikopter. Sedangkan Adnan sudah kembali ke rumahnya dan sudah jarang pergi ke kantor, karena dia mempercayakan perusahaan ke tangan Daran, kecuali ada keadaan darurat barulah pria itu turun tangan. Adnan hanya menyibukkan dirinya dengan bersantai di halaman belakang rumahnya, atau akan berjalan-jalan menjenguk cucu kembarnya.“Pintar sekali sih cucuku, Amin dan Aminah. 4 bulan sudah bisa duduk, sedangkan bapakmu dulu 4 bulan masih belum bisa membalikkan badannya,” ucap Adnan, sambil memangku kedua anak Daran yang sudah beranjak usia 5 bulan.“Diminum, Yah, kopinya.” Diana membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng ke hadapan ayah mertuanya.“Kenapa Daran belum pulang, sudah sore seperti ini?” tanya Adnan, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.Diana menghela nafas panjang. “Palingan mampir dulu ke sungai, Yah. Daran lagi keracunan hob
Daran teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih bekerja dengan Pak RT. Saat mereka membawakan bibit cabe rawit ke sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman luas. Saat itu, Daran merasa canggung ketika pemilik rumah itu menatapnya tanpa henti ketika membantu Pak RT menurunkan puluhan bibit rawit dari mobil pick up. Tatapan wanita itu begitu tajam, seolah-olah mencoba mengingat setiap detail wajahnya. Daran merasa tidak nyaman, tetapi dia tetap fokus pada pekerjaannya.Begitu ayahnya Daran memberitahunya bahwa mereka memiliki rumah di daerah itu, Daran terkejut, karena selama ini dia tidak pernah tahu tentang rumah tersebut. Ayahnya menjelaskan bahwa rumah itu adalah rumah mereka ketika mengandung dirinya, dan ibunya memilih kembali tinggal beberapa tahun lalu sebelum meninggal. Banyak pertanyaan yang mengganggu Daran, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi dia tidak ingin membuat ayahnya sedih dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.Diana, yang mendengar cerit
"Fatimah … apa yang membuat kamu datang kemari?” tanya Daran terkejut, dia tidak dapat menutupi suaranya yang sedikit bergetar. Sudah lama dia tidak melihatnya, terakhir kali bertemu Fatimah ketika Agung akan pergi keluar pulau.“Kenapa kamu terkejut begitu, Daran? Aku gak mengganggu reuni keluarga kalian, kan?” Fatimah menatap Daran dan Diana bergantian, lalu menatap Bu Mislah dan Hanum yang masih berdiri di teras, juga menatapnya dengan diam.“Tentu saja tidak, Fatimah. Silahkan saja masuk,” jawab Diana dengan senyum ramah, membuka lebar pintu masuk. Dia mempersilahkan Fatimah untuk masuk terlebih dahulu sebelum ibu mertua dan kakak iparnya.Fatimah melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu suasana. “Aku hanya sebentar, Diana. Aku ingin mengambil barang milik Agung yang ada di kamarnya dahulu,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.Diana mengangguk, “Tentu, silahkan. Kamarnya masih seperti dulu, tidak ada yang berubah.”Fatimah berjalan melewati Daran dan Dian
Kehamilan Diana yang sudah memasuki bulan ke-5 membuat perutnya semakin melebar dan membesar dua kali lipat dari orang yang hamil biasa. Dengan keadaan itu, membuatnya semakin tidak leluasa pergi terlalu jauh dan berjalan terlalu lama.“Bagaimana kalau kita periksa ke dokter, Sayang,” ujar Daran yang khawatir melihat keadaan istrinya. Seringnya Daran pergi seorang diri ke kantor membuatnya khawatir meninggalkan Diana tanpa keberadaannya.“Aku gak apa-apa, Daran. Kamu jangan berlebihan,” ucap Diana kesal. Meski sebenarnya dia juga khawatir dengan perubahan tubuhnya yang tidak sama seperti yang dipelajarinya di YouTube.“Berat badanmu sudah naik lima kali lipat, kita harus USG, ya,” bujuk Daran.“Iya nanti, sekarang aku lagi capek. Kamu harus ke kantor kan?” Dengan beribu alasan, Diana menolak karena takut dengan hasilnya yang mengecewakan.“Iya, ada rapat pemegang saham. Aku harus hadir mewakili ayah. Tapi setelah selesai, aku akan segera pulang.” Daran mengecup dahi Diana lama. Berat