“Apa aku selemah itu, Sayang? Aku gak mampu menembusmu selama satu bulan lebih pernikahan kita?” tanya Daran terhenyak, lelaki itu berhenti bergerak saat bagian kecl tubuhnya terasa telah merobek sesuatu di dalam tubuh bagian bawah istrinya.“Cepat selesaikan apa yang sudah kamu mulai,” geram Diana menahan malu.Cewek itu merasa tubuhnya terasa aneh. Memang dia merasakan sakit pada awalnya, namun mendapati Daran berhenti bergerak membuatnya kesal, karena dia baru saja merasakan denyut nikmat di bawah sana.“Pantas saja selama ini kamu marah-marah terus, ternyata kamu belum mendapat nafkah dariku,” ucap Daran ketika mereka sudah selesai bertempur.Diana sedang pasrah dalam dekapan Daran di bawah selimut, cewek itu bahkan membalas pelukan suaminya.“Jadi, selama ini kamu mengingatnya? Namun pura-pura lupa, iya?” tuntut Diana mendongakkan kepalanya, lantas terlihat olehnya leher putih Daran dengan jakunnya yang lancip. Benda itu bergerak saat lelaki itu bicara, membuat perut Diana berdes
“Cieee, yang suaminya udah pulaaang. Pasti tadi malam tempur habis-habisan, ya,” goda teman sekantor Diana yang bernama Hakim. “Hah, kok tau kalau Daran sudah pulang?” tanya Diana, memutar tubuhnya agar dapat melihat pemuda yang asik menonton berita selebritis. “Orang muka sumringah gitu, senyum terus dari tadi,” jawab Hakim. “Lagian kalau berita dari Zurai, gak bakal meleset, tu anak julidnya melebihi jaringan 5G,” lanjutnya. “Heleh, orang kami liat kok kemarin, Daran diantar dengan mobil mewah. Memangnya Daran ketemu dimana, Diana?” Sekdes ikut menimbrung bicara. Zurai dan Hakim tertawa karena sudah ketahuan dari mana Zurai mendapat berita itu, karena melihat sendiri Daran turun dari mobil di halaman rumah Diana kemarin. “Kakak iparnya, ternyata Daran anak kota,” jawab Diana tanpa mau mengatakan kalau suaminya itu sebenarnya anak Sultan Kalimantan. “Apa kamu bakal ikut dia ke kota, Diana? Bertemu dengan mertuamu?” tanya Hakim. Diana tidak pernah memikirkannya dan mereka berdu
Keesokan harinya, Bu Mislah yang sedang menyapu teras dikagetkan oleh mobil pick-up yang membawa motor gede yang berwarna biru metalik, memasuki halaman rumahnya.“Motor siapa ini, Pak?” tanya beliau saat sopir pick-up itu turun.“Atas naman Daran, Bu,” jawab pemuda yang seumuran menantunya itu.“Oh, kalau begitu turunkan saja, Pak. Sudah lunas kan, ya?” ujar beliau memastikan.“Tentu sudah dong, Bu. Yang beli kan horang kayah,” jawab pemuda itu cengengesan. Dia tau kalau dia sedang mengantarkan motor untuk anak Sultan Kalimantan.“Berapa harganya?” tanya Bu Mislah penasaran.“Pak Darannya ada gak, Bu. Saya perlu tanda tangannya sama foto beliau menaiki motor ini.” Bukannya menjawab, pemuda itu malah penasaran karena sang empu motor ini tidak nampak batang hidungnya dari tadi.“Ada. Lagi mandi ke sungai sama istrinya,” jawab Bu Mislah sambil mengelilingi motor gede itu, yang diturunkan oleh pemuda dan 2 orang temannya yang ikut dalam pengantaran motor tersebut.Lalu, Bu Mislah menyent
Sesuai kesepakatan, Daran membawa istrinya ke ibukota. Namun, Bu Mislah dan Pak Aruf tidak bisa ikut karena tidak bisa meninggalkan sawah mereka sebab sudah masuk masa panen.“Wow, Daran. Ini rumah ayah kamu?” Diana terkesima melihat rumah besar bak kastil di negeri dongeng.Saat gerbang utama dibuka pun, mereka harus berkendara beratus-ratus meter untuk sampai ke rumah utama.“Rumah keluarga, tapi ayah menetap disini setelah kematian ibu,” jawab Daran, lalu memarkirkan motor besarnya di depan undakan teras.Beberapa pelayan yang kebetulan ada di luar, menunduk hormat begitu melihat kedatangan Daran dan Diana sebelum mereka melanjutkan langkah mereka. Seorang pemuda menghampiri Daran dan mengambil alih motor itu agar diparkirkan di tempat khusus.“Ayo, ayah sudah menunggu kita, juga keluarga besar yang lainnya.” Daran mengulurkan tangannya ke arah Diana.Mendengar keluarga besar, Diana menjadi ragu. “Kamu gak pernah bilang kalau ada kumpul keluarga.”“Tidak ada kumpul keluarga, mereka
Fatimah berlaku seperti tidak melihat Diana, padahal wanita itu menatapnya dengan iri waktu itu, saat wanita itu berkunjung ke desa. Namun, sekarang malah tidak menyapanya sama sekali.Memang Daran pernah mengatakan kalau Fatimah adalah kakak iparnya, istri kakak sepupunya, namun Diana tidak percaya begitu saja karena tatapan wanita itu begitu menusuk kepadanya ketika dirumahnya dulu.Sekarangpun masih sama, bahkan perempuan itu seakan tidak melihat keberadaannya.“Eh, hai Fatimah. Kapan kalian datang, kenapa tadi tidak ikut makan bersama?” Diana berinisiatif menyapanya terlebih dahulu.Senyum di bibir Fatimah memudar seiring dirinya menoleh ke arah Diana. “Hai, Diana. Maaf, aku tidak melihatmu tadi. Kami tidak bisa ikut karena terjebak macet, Agung benar-benar sibuk.”Diana memperhatikan perempuan itu berjalan mengelilinginya lalu duduk di kursi santai di sampingnya. ‘cantik, benar-benar cantik, sempurna!’“Kudengar, kalian dipaksa menikah oleh warga. Apakah kalian saling mencintai?
"Bisa dipikirkan lagi, Nak. Apa kalian serius ingin pulang, tidak ingin tinggal bersama ayah?" tanya Adnan ketika Daran minta ijin mau ke desa tempat tinggal Diana, mengantar istrinya pulang."Nggak bisa, Yah. Diana harus masuk kerja besok, tapi aku akan pulang, kok," jawab Daran lalu mengambil tangan kanan Adnan untuk dicium punggungnya. Diana pun melakukan hal yang sama."Baiklah, ayah sangat berharap kalau kamu menggantikan ayah. Sepupu kamu sudah mulai bergerak, ketika kamu sudah ditemukan dan kembali kesini," ucap Adnan penuh harapan.Daran mengangguk paham. "Ya, ayah. Pasti."Meski Diana kurang paham apa yang mereka bicarakan, dia tidak bertanya apapun. Dia bisa mengambil kesimpulan kalau sepupu Daran yang bernama Agung itu tidak beres, karena Daran pernah mengatakan padanya kalau orang itulah yang mencelakainya 9 tahun yang lalu.*"Hai, Diana. Tumben ada di ibukota, ngapain?" Tiba-tiba ada yang menyapa Diana ketika dia menunggu Daran yang membayar belanjaan mereka di kasir.Da
Diana menunggu kedatangan Daran, karena di hari libur itu giliran suami tengilnya yang menginap ke desa.Wanita dua puluh enam tahun itu sekarang duduk di kursi samping jendela kamarnya, yang menghadap ke halaman, sambil sesekali melirik ke ponselnya. Ingin menghubungi lelaki itu, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi lelaki terlebih dahulu.“Ish, masa’ aku kecentilan menghubunginya lebih dulu. Gak laaah.” Diana kembali mengembalikan layar ponselnya yang menampilkan kontak Daran.Hingga cewek itu tertidur karena kebosanan, lelaki tengil yang ditunggunya belum juga muncul.Sementara itu, Daran juga diliputi kecemasan. Beberapa kali melirik ponselnya, ingin menghubungi istri cerewetnya dan menanyakan tentang apa yang dikatakan Fatimah. Meski dia sulit mempercayai, tapi berita itu tetap saja membuatnya galau.*Ternyata, Fatimah melihat Diana yang berbincang dengan Andi ketika di mall waktu itu.“Bukankah itu pegawai yang ada di kantor Paman Adnan? Apa dia mengenal Diana?” gumamnya yang
Sudah seminggu Daran tidak menghubungi Diana, terlebih lagi dia sedang sibuk mengurus magangnya, sehingga dia tidak sempat lagi menelepon sang istri.Diana pun juga sama, dia sibuk menghadiri pelatihan perangkat desa sehingga melupakan suaminya untuk sesaat, padahal ingin sekali menghubungi lelaki itu dan ingin mengetahui kabar terkini suaminya.Sudah 2 tahun Daran menjalani dunia perkuliahan. Anak yang cerdas itu diperkirakan bakal lulus 1 tahun lagi, lebih cepat dari mahasiswa seangkatannya."Hei, pegawai magang. Buatkan aku kopi hitam dong," seru seorang pria, memanggil Daran yang baru saja datang dari pantry."Siap, Pak," sahut Daran cepat, padahal dia baru saja meletakkan kopi buat pegawai yang lain."Kenapa gak dari tadi coba, kan aku gak perlu bolak balik ," gerutu Daran pelan.Padahal tadi dia sudah menawari bagi siapa yang mau dibuatkan minuman olehnya juga, agar sekalian dibuatkan. Daran memilih magang di perusahaan ayahnya sebagai pegawai biasa, padahal jurusan yang dia am