Diana menunggu kedatangan Daran, karena di hari libur itu giliran suami tengilnya yang menginap ke desa.Wanita dua puluh enam tahun itu sekarang duduk di kursi samping jendela kamarnya, yang menghadap ke halaman, sambil sesekali melirik ke ponselnya. Ingin menghubungi lelaki itu, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi lelaki terlebih dahulu.“Ish, masa’ aku kecentilan menghubunginya lebih dulu. Gak laaah.” Diana kembali mengembalikan layar ponselnya yang menampilkan kontak Daran.Hingga cewek itu tertidur karena kebosanan, lelaki tengil yang ditunggunya belum juga muncul.Sementara itu, Daran juga diliputi kecemasan. Beberapa kali melirik ponselnya, ingin menghubungi istri cerewetnya dan menanyakan tentang apa yang dikatakan Fatimah. Meski dia sulit mempercayai, tapi berita itu tetap saja membuatnya galau.*Ternyata, Fatimah melihat Diana yang berbincang dengan Andi ketika di mall waktu itu.“Bukankah itu pegawai yang ada di kantor Paman Adnan? Apa dia mengenal Diana?” gumamnya yang
Sudah seminggu Daran tidak menghubungi Diana, terlebih lagi dia sedang sibuk mengurus magangnya, sehingga dia tidak sempat lagi menelepon sang istri.Diana pun juga sama, dia sibuk menghadiri pelatihan perangkat desa sehingga melupakan suaminya untuk sesaat, padahal ingin sekali menghubungi lelaki itu dan ingin mengetahui kabar terkini suaminya.Sudah 2 tahun Daran menjalani dunia perkuliahan. Anak yang cerdas itu diperkirakan bakal lulus 1 tahun lagi, lebih cepat dari mahasiswa seangkatannya."Hei, pegawai magang. Buatkan aku kopi hitam dong," seru seorang pria, memanggil Daran yang baru saja datang dari pantry."Siap, Pak," sahut Daran cepat, padahal dia baru saja meletakkan kopi buat pegawai yang lain."Kenapa gak dari tadi coba, kan aku gak perlu bolak balik ," gerutu Daran pelan.Padahal tadi dia sudah menawari bagi siapa yang mau dibuatkan minuman olehnya juga, agar sekalian dibuatkan. Daran memilih magang di perusahaan ayahnya sebagai pegawai biasa, padahal jurusan yang dia am
“Ayah mau kamu menghadiri rapat pemegang saham, ayah ingin memperkenalkan kamu sebagai penerus ayah,” ujar Adnan ketika Daran sudah masuk ke ruangannya.“Jangan terburu-buru, Yah. Daran masih belum lulus kuliah, bahkan Daran mau S2 dulu.” Daran masih mencoba mengulur waktu, karena dia sendiri belum siap.“Kalau S2 itu gampang, kamu bisa sambil jalan, kuliah sambil mengurus perusahaan. Lagian ada orang kepercayaan ayah yang akan membantu.” Adnan masih bersikeras.“Tunggu sebentar lagi, Yah, saat Daran benar-benar siap,” ujar Daran lagi sambil melirik orang kepercayaan ayahnya, yang setia berdiri di samping beliau."Jangan lama-lama, ayah tidak ingin Agung semakin bergerak dan juga ingin menyingkirkanmu," ujar Adnan pelan. Daran melihat orang kepercayaan ayahnya tidak bereaksi, itu artinya orang tersebut juga sudah mengetahui tau kalau Agung itu orang seperti apa."Aku hanya ingin melihat kamu sukses dan memimpin perusahaan ini sebelum aku menyusul ibumu,” ujar Adnan di dalam hati. Mena
Daran sibuk dengan ponselnya ketika di dalam lift yang menuju lantai dasar, sehingga dia tidak menyadari adanya perempuan bernama Anggun di dalam kotak besi itu juga.“Mau pulang bareng aku, gak?” Daran terkejut mendengar suara perempuan begitu dekat di sampingnya. Karena terlalu asyik dengan ponselnya, lelaki itu pun berjalan tanpa melihat arah, hanya mengikuti arus orang-orang yang juga menuju luar.“Lho, kapan turun hujan?” Daran malah balik bertanya ketika menyadari kalau hujan sudah mengguyur bumi, membasahi halaman perkantoran.“Kamu bisa ikut mobilku kalau mau pulang.” Anggun menunjuk mobil sedan putih yang sudah menunggunya di depan teras kantor, sepertinya ada sopir muda di dalamnya.“Gak perlu, Nona. Aku bisa pulang sendiri,” jawab Daran setelah menyadari maksud perempuan di sampingnya itu. Padahal mereka baru saja bertemu, kenapa ada perempuan yang dengan mudahnya mengajak seorang lelaki yang baru dikenalnya pulang bersama?“Hujannya semakin lebat lho, Daran.” Perempuan itu
"Apa yang kamu lakukan disini, Fatimah?" Adnan terkejut ketika membuka pintu kamar anaknya, beliau ingin keluar bersama dokter yang memeriksa keadaan Diana dan sudah ada perempuan itu berdiri di depannya. Begitupun dengan Fatimah, dia tersentak kaget ketika pintu di depannya terbuka."Sa- sayaaaa, ingin menemui Daran, Paman," jawabnya tergagap. "Katanya sebentar lagi Daran akan bersedia memimpin perusahaan, pasti akan membutuhkan sekretaris kan. Saya ingin melamar.""Diana lagi sakit, Daran sedang sibuk menemani istrinya. Lebih baik kamu datang lagi besok, sekarang hari sudah mulai gelap," ujar Adnan, lalu berjalan meninggalkan Fatimah yang masih berdiri seorang diri di depan pintu kamar Daran yang tertutup."Baiklah, Paman," jawabnya pelan, menatap kepergian ayahnya Daran. Lalu, menatap pintu kamar Daran dan bergumam, "jadi ... Diana ada disini?"Sementara di dalam kamar, Daran dan Diana saling berpandangan, karena mendengar pembicaraan Adnan dan Fatimah terdengar samar-samar. "Tuh,
“Apa yang kamu lakukan disini? Kamu pegawai magang bagian mana, kenapa ada disini?”Saking terkejutnya, seluruh tubuh Diana terlonjak. “Eh, sa—sayaaaa.”Belum sempat Diana menjawab, tiba-tiba terdengar suara lift berdenting. Membuat kedua wanita itu menolehkan kepalanya masing-masing, melihat siapa lagi orang yang datang ke lantai khusus ruang pimpinan.“Anggun, kok disini? Mau bertemu Pak Direktur, kah?” Ternyata orang itu adalah Daran, naik bersama kaki tangan ayahnya.Beliau langsung mengetuk pintu direktur, ketika terdengar suara sahutan dari dalam, barulah mereka bertiga masuk.“Oh, ada Nak Anggun. Ada angin apa sampai anak ketua geng kemari?” Adnan terdengar senang melihat wanita yang masuk bersama anak dan menantunya.“Iya, Pak. Saya disuruh ayah untuk mengantar undangan makan malam, Daran juga diundang,” ucapnya lalu melempar senyuman manis ke arah Daran, sementara Diana yang melihat itu mencubit kecil perut Daran.Lelaki itu mengaduh tanpa suara, sementara Adnan yang melihat
Daran menegakkan tubuhnya, tadinya dia setengah menindih tubuh Diana, karena cewek itu mendadak punya kekuatan besar untuk mendorong tubuhnya. Cewek itu terkejut mendengar suara pintu terbuka, sebelum terdengar teriakan Anggun.“Waduh ... Daran. Berani betul kamu bermain bersama sekretarismu, padahal baru saja dapat ruangan baru, lho,” ujar Anggun sambil melihat sekeliling. "Ruangan ini lumayan besar, ya." Anggun berusaha terlihat santai setelah tadi dia sempat terkejut luar biasa, dia tidak menyangka lelaki yang tadi dia kira alim, ternyata juga bisa bermain air dan api.“Ada apa kamu masuk tanpa ketuk pintu?” tanya Daran dengan nada datar, dia mengutuk dirinya sendiri, kenapa tadi tidak mengunci pintunya. Berusaha membantu Diana memperbaiki kerudungnya yang terlipat, dan berjanji di dalam hati kalau nanti akan membuat kamar pribadi di ruangan itu, khusus dirinya dan istri berduaan. “Aku cuma mau ngasih undangan.” Anggun meletakkan amplop tebal ke atas meja, dekat sofa tempat Daran
Ketika Daran berjalan menuju lift terdekat dan akan memasukinya, langkah lelaki itu terhenti ketika melihat ada Agung yang sudah berdiri di depan lift itu, menunggunya terbuka. Daran berhenti tepat di samping kakak sepupunya tersebut.“Kenapa Diana, apakah sakit?" Heran Agung bertanya, melihat Diana yang setengah terpejam dalam gendongan suaminya."Sejak kapan kalian ada di perusahaan?” tanya Agung lagi, setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.“Biasa, mual. Sepertinya mencium sesuatu di kafetaria itu tadi,” jawab Daran tanpa melihat Agung, dirinya fokus menunggu pintu lift terbuka.Agung menatap Daran tanpa berkedip, pria itu tidak tahu kalau Daran sudah ada di perusahaan, karena dia sudah lama pergi ke luar pulau guna mengatasi permasalahan di perusahaan yang coba dia kelola sendiri.“Soal aku yang sudah ada di perusahaan, sejak kapan Kakak mengkhawatirkan aku? Aku atau perusahaan ini yang Kakak khawatirkan?” tanya Daran, sebelum memasuki lift yang sudah terbuka. Agung terdiam me