"Bisa dipikirkan lagi, Nak. Apa kalian serius ingin pulang, tidak ingin tinggal bersama ayah?" tanya Adnan ketika Daran minta ijin mau ke desa tempat tinggal Diana, mengantar istrinya pulang."Nggak bisa, Yah. Diana harus masuk kerja besok, tapi aku akan pulang, kok," jawab Daran lalu mengambil tangan kanan Adnan untuk dicium punggungnya. Diana pun melakukan hal yang sama."Baiklah, ayah sangat berharap kalau kamu menggantikan ayah. Sepupu kamu sudah mulai bergerak, ketika kamu sudah ditemukan dan kembali kesini," ucap Adnan penuh harapan.Daran mengangguk paham. "Ya, ayah. Pasti."Meski Diana kurang paham apa yang mereka bicarakan, dia tidak bertanya apapun. Dia bisa mengambil kesimpulan kalau sepupu Daran yang bernama Agung itu tidak beres, karena Daran pernah mengatakan padanya kalau orang itulah yang mencelakainya 9 tahun yang lalu.*"Hai, Diana. Tumben ada di ibukota, ngapain?" Tiba-tiba ada yang menyapa Diana ketika dia menunggu Daran yang membayar belanjaan mereka di kasir.Da
Diana menunggu kedatangan Daran, karena di hari libur itu giliran suami tengilnya yang menginap ke desa.Wanita dua puluh enam tahun itu sekarang duduk di kursi samping jendela kamarnya, yang menghadap ke halaman, sambil sesekali melirik ke ponselnya. Ingin menghubungi lelaki itu, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi lelaki terlebih dahulu.“Ish, masa’ aku kecentilan menghubunginya lebih dulu. Gak laaah.” Diana kembali mengembalikan layar ponselnya yang menampilkan kontak Daran.Hingga cewek itu tertidur karena kebosanan, lelaki tengil yang ditunggunya belum juga muncul.Sementara itu, Daran juga diliputi kecemasan. Beberapa kali melirik ponselnya, ingin menghubungi istri cerewetnya dan menanyakan tentang apa yang dikatakan Fatimah. Meski dia sulit mempercayai, tapi berita itu tetap saja membuatnya galau.*Ternyata, Fatimah melihat Diana yang berbincang dengan Andi ketika di mall waktu itu.“Bukankah itu pegawai yang ada di kantor Paman Adnan? Apa dia mengenal Diana?” gumamnya yang
Sudah seminggu Daran tidak menghubungi Diana, terlebih lagi dia sedang sibuk mengurus magangnya, sehingga dia tidak sempat lagi menelepon sang istri.Diana pun juga sama, dia sibuk menghadiri pelatihan perangkat desa sehingga melupakan suaminya untuk sesaat, padahal ingin sekali menghubungi lelaki itu dan ingin mengetahui kabar terkini suaminya.Sudah 2 tahun Daran menjalani dunia perkuliahan. Anak yang cerdas itu diperkirakan bakal lulus 1 tahun lagi, lebih cepat dari mahasiswa seangkatannya."Hei, pegawai magang. Buatkan aku kopi hitam dong," seru seorang pria, memanggil Daran yang baru saja datang dari pantry."Siap, Pak," sahut Daran cepat, padahal dia baru saja meletakkan kopi buat pegawai yang lain."Kenapa gak dari tadi coba, kan aku gak perlu bolak balik ," gerutu Daran pelan.Padahal tadi dia sudah menawari bagi siapa yang mau dibuatkan minuman olehnya juga, agar sekalian dibuatkan. Daran memilih magang di perusahaan ayahnya sebagai pegawai biasa, padahal jurusan yang dia am
“Ayah mau kamu menghadiri rapat pemegang saham, ayah ingin memperkenalkan kamu sebagai penerus ayah,” ujar Adnan ketika Daran sudah masuk ke ruangannya.“Jangan terburu-buru, Yah. Daran masih belum lulus kuliah, bahkan Daran mau S2 dulu.” Daran masih mencoba mengulur waktu, karena dia sendiri belum siap.“Kalau S2 itu gampang, kamu bisa sambil jalan, kuliah sambil mengurus perusahaan. Lagian ada orang kepercayaan ayah yang akan membantu.” Adnan masih bersikeras.“Tunggu sebentar lagi, Yah, saat Daran benar-benar siap,” ujar Daran lagi sambil melirik orang kepercayaan ayahnya, yang setia berdiri di samping beliau."Jangan lama-lama, ayah tidak ingin Agung semakin bergerak dan juga ingin menyingkirkanmu," ujar Adnan pelan. Daran melihat orang kepercayaan ayahnya tidak bereaksi, itu artinya orang tersebut juga sudah mengetahui tau kalau Agung itu orang seperti apa."Aku hanya ingin melihat kamu sukses dan memimpin perusahaan ini sebelum aku menyusul ibumu,” ujar Adnan di dalam hati. Mena
Daran sibuk dengan ponselnya ketika di dalam lift yang menuju lantai dasar, sehingga dia tidak menyadari adanya perempuan bernama Anggun di dalam kotak besi itu juga.“Mau pulang bareng aku, gak?” Daran terkejut mendengar suara perempuan begitu dekat di sampingnya. Karena terlalu asyik dengan ponselnya, lelaki itu pun berjalan tanpa melihat arah, hanya mengikuti arus orang-orang yang juga menuju luar.“Lho, kapan turun hujan?” Daran malah balik bertanya ketika menyadari kalau hujan sudah mengguyur bumi, membasahi halaman perkantoran.“Kamu bisa ikut mobilku kalau mau pulang.” Anggun menunjuk mobil sedan putih yang sudah menunggunya di depan teras kantor, sepertinya ada sopir muda di dalamnya.“Gak perlu, Nona. Aku bisa pulang sendiri,” jawab Daran setelah menyadari maksud perempuan di sampingnya itu. Padahal mereka baru saja bertemu, kenapa ada perempuan yang dengan mudahnya mengajak seorang lelaki yang baru dikenalnya pulang bersama?“Hujannya semakin lebat lho, Daran.” Perempuan itu
"Apa yang kamu lakukan disini, Fatimah?" Adnan terkejut ketika membuka pintu kamar anaknya, beliau ingin keluar bersama dokter yang memeriksa keadaan Diana dan sudah ada perempuan itu berdiri di depannya. Begitupun dengan Fatimah, dia tersentak kaget ketika pintu di depannya terbuka."Sa- sayaaaa, ingin menemui Daran, Paman," jawabnya tergagap. "Katanya sebentar lagi Daran akan bersedia memimpin perusahaan, pasti akan membutuhkan sekretaris kan. Saya ingin melamar.""Diana lagi sakit, Daran sedang sibuk menemani istrinya. Lebih baik kamu datang lagi besok, sekarang hari sudah mulai gelap," ujar Adnan, lalu berjalan meninggalkan Fatimah yang masih berdiri seorang diri di depan pintu kamar Daran yang tertutup."Baiklah, Paman," jawabnya pelan, menatap kepergian ayahnya Daran. Lalu, menatap pintu kamar Daran dan bergumam, "jadi ... Diana ada disini?"Sementara di dalam kamar, Daran dan Diana saling berpandangan, karena mendengar pembicaraan Adnan dan Fatimah terdengar samar-samar. "Tuh,
“Apa yang kamu lakukan disini? Kamu pegawai magang bagian mana, kenapa ada disini?”Saking terkejutnya, seluruh tubuh Diana terlonjak. “Eh, sa—sayaaaa.”Belum sempat Diana menjawab, tiba-tiba terdengar suara lift berdenting. Membuat kedua wanita itu menolehkan kepalanya masing-masing, melihat siapa lagi orang yang datang ke lantai khusus ruang pimpinan.“Anggun, kok disini? Mau bertemu Pak Direktur, kah?” Ternyata orang itu adalah Daran, naik bersama kaki tangan ayahnya.Beliau langsung mengetuk pintu direktur, ketika terdengar suara sahutan dari dalam, barulah mereka bertiga masuk.“Oh, ada Nak Anggun. Ada angin apa sampai anak ketua geng kemari?” Adnan terdengar senang melihat wanita yang masuk bersama anak dan menantunya.“Iya, Pak. Saya disuruh ayah untuk mengantar undangan makan malam, Daran juga diundang,” ucapnya lalu melempar senyuman manis ke arah Daran, sementara Diana yang melihat itu mencubit kecil perut Daran.Lelaki itu mengaduh tanpa suara, sementara Adnan yang melihat
Daran menegakkan tubuhnya, tadinya dia setengah menindih tubuh Diana, karena cewek itu mendadak punya kekuatan besar untuk mendorong tubuhnya. Cewek itu terkejut mendengar suara pintu terbuka, sebelum terdengar teriakan Anggun.“Waduh ... Daran. Berani betul kamu bermain bersama sekretarismu, padahal baru saja dapat ruangan baru, lho,” ujar Anggun sambil melihat sekeliling. "Ruangan ini lumayan besar, ya." Anggun berusaha terlihat santai setelah tadi dia sempat terkejut luar biasa, dia tidak menyangka lelaki yang tadi dia kira alim, ternyata juga bisa bermain air dan api.“Ada apa kamu masuk tanpa ketuk pintu?” tanya Daran dengan nada datar, dia mengutuk dirinya sendiri, kenapa tadi tidak mengunci pintunya. Berusaha membantu Diana memperbaiki kerudungnya yang terlipat, dan berjanji di dalam hati kalau nanti akan membuat kamar pribadi di ruangan itu, khusus dirinya dan istri berduaan. “Aku cuma mau ngasih undangan.” Anggun meletakkan amplop tebal ke atas meja, dekat sofa tempat Daran
Amin masih terdiam, pikirannya berputar cepat, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Darrel yang terlihat sudah akrab dengan Daran, terlepas mereka bertetangga sedari kecil, sekarang diikuti oleh sosok Lisa, gadis yang tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi dengannya, apalagi di acara sebesar ini. Semua ini terasa sangat diluar dugaan, seolah hidupnya yang sederhana tiba-tiba berubah menjadi sebuah cerita yang tidak pernah ia pahami sebelumnya."Saya masih penasaran dengan Aminah, kapan kalian pernah bertemu?" Amin kembali menanyakan tentang saudari kembarnya.Lisa menyimpan senyumnya dan menatap Amin dengan penuh minat, “Ya, aku tahu banyak tentang Aminah. Kami sering bertemu di beberapa acara penting. Bahkan, dia pernah menyebutkan tentang kamu.” Lisa melirik sepintas ke arah Daran yang terlihat tidak mendengarkan pembicaraan mereka.Amin merasa semakin tenggelam dalam kebingungannya. Aminah? Saudarinya ada di acara penting? Ia tahu Aminah selalu menyembunyikan s
Amin merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis yang dipaksakan. Situasi yang tidak biasa ini benar-benar membuatnya bingung. Lisa, gadis yang sering dibicarakan oleh rekan-rekannya di kantor karena kecantikan dan kecerdasannya, sekarang berdiri di hadapannya, tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan.“Saudara kembarnya Aminah, bukan?” Lisa tersenyum lembut.Amin merasa lidahnya kelu, dan pertanyaan bodoh meluncur begitu saja dari mulutnya. “Anda kenal dengan Aminah?”Lisa tertawa kecil. “Oh, hanya pernah mendengar cerita sedikit dari beberapa orang di kantor. Kalian keluarga yang harmonis, katanya.”Sebelum Amin sempat merespon, Daran menepuk bahu putranya dengan bangga. “Perkenalkan, ini putraku satu-satunya. Seorang pria pekerja keras yang selalu memberikan yang terbaik. Dia anak yang berbakti kepada orang tua.”Amin kembali tersenyum, kali ini dengan perasaan semakin tidak nyaman. “Ayah, aku rasa mereka sudah tahu.”“
Suara tegas dari seorang pria membuat mereka berdua menoleh. Darrel, sang atasan yang dulu giginya pernah dipatahkan oleh Aminah, tiba-tiba muncul di dekat pintu masuk, menyusul Amin dan Daran. Dengan senyum dingin yang membuat suasana semakin canggung, dia melangkah mendekati mereka."Apa yang sedang terjadi di sini?" Darrel bertanya, meskipun jelas dia sudah tahu jawabannya. Pandangannya tertuju ke Daran, seakan menilai pria yang berdiri di depannya. "Jadi, ayahmu datang, Amin?" lanjutnya, menekankan kata 'ayah' dengan sedikit nada mengejek.Amin tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. Dia ingin sekali menyembunyikan kenyataan bahwa ayahnya, yang disangkanya pengangguran, muncul di acara ulang tahun ayah bosnya itu. Dia khawatir Darrel akan menganggap rendah dirinya atau mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja."Ya, Pak. Ini ayah saya," jawab Amin akhirnya, suaranya terdengar lemah.Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Darrel mengulurkan tangannya ke arah Daran
"Putri kesayanganmu itu sudah mematahkan giginya, Daran!”Mendengar itu Daran ternganga, terkejut mendengar penjelasan istrinya. “Kamu pikir itu bermain, itu sudah taraf melukai, apa kamu tidak pernah berantem semasa kecil?” ujar Diana lagi, suaranya penuh kekhawatiran.“Pernah sih, aku lebih seringnya dikeroyok oleh orang lain,” jawab Daran, dengan tampang yang masih ada gurat keterkejutan. Dia mengingat masa kecilnya yang penuh dengan kenangan pahit.“Orang kaya seperti kamu juga dibully?” Diana bertanya tidak percaya. Matanya membesar, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya yang tampak kuat dan berwibawa itu pernah menjadi korban bullying.“Lebih tepatnya, mereka dibayar oleh Kak Agung untuk membuatku tidak percaya diri.” Daran termenung mengingat masa kecilnya, karena dia merasa bodoh waktu itu sebab menganggap Agung sebagai malaikat tak bersayapnya. Kak Agung, saudara tirinya, selalu tampak baik di depan orang tua mereka, tetapi di belakang, dia adalah sumber pe
Fatimah menengok ke belakang, menatap Agung yang berteriak memanggil namanya. Ada rasa berat di hatinya meninggalkan Agung yang selalu mendukungnya, meski lelaki itu sangat dingin.“Sudahlah, Sayang. Sudah waktunya kamu move on. Pria gak guna itu wajib ditinggalkan.” Seorang lelaki bertampang bule mengelus pelan pundak Fatimah.“Ya, kamu benar,” jawabnya seraya berpaling dan tersenyum ke arah lelaki yang bernama Bram, teman lelakinya selama ini.“Untung aku menemukanmu setelah menelusuri jejak yang kamu tinggalkan, Sayang. Suamimu itu bukan darah biru seperti aku, kalau sama aku, kamu hanya bisa senang-senang dan uang ngalir terus ke rekening kamu,” seloroh Bram sombong, sambil meremas-remas pundak Fatimah.Fatimah tertawa lebar mendengarnya, dan si Bram langsung mengecup bibirnya, lalu terjadilah adegan dewasa yang tak diinginkan.Sementara Agung jatuh berlutut, dia tidak menyangka Fatimah yang penurut ternyata mengkhianatinya. Dia tidak pernah menduga, wanita itu bakal berselingkuh
Diana dan Daran sudah menempati rumah almarhum Nabila. Seperti rencananya dulu, Daran bakal pergi ke perusahaan menggunakan helikopter. Sedangkan Adnan sudah kembali ke rumahnya dan sudah jarang pergi ke kantor, karena dia mempercayakan perusahaan ke tangan Daran, kecuali ada keadaan darurat barulah pria itu turun tangan. Adnan hanya menyibukkan dirinya dengan bersantai di halaman belakang rumahnya, atau akan berjalan-jalan menjenguk cucu kembarnya.“Pintar sekali sih cucuku, Amin dan Aminah. 4 bulan sudah bisa duduk, sedangkan bapakmu dulu 4 bulan masih belum bisa membalikkan badannya,” ucap Adnan, sambil memangku kedua anak Daran yang sudah beranjak usia 5 bulan.“Diminum, Yah, kopinya.” Diana membawa secangkir kopi dan sepiring pisang goreng ke hadapan ayah mertuanya.“Kenapa Daran belum pulang, sudah sore seperti ini?” tanya Adnan, menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.Diana menghela nafas panjang. “Palingan mampir dulu ke sungai, Yah. Daran lagi keracunan hob
Daran teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih bekerja dengan Pak RT. Saat mereka membawakan bibit cabe rawit ke sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman luas. Saat itu, Daran merasa canggung ketika pemilik rumah itu menatapnya tanpa henti ketika membantu Pak RT menurunkan puluhan bibit rawit dari mobil pick up. Tatapan wanita itu begitu tajam, seolah-olah mencoba mengingat setiap detail wajahnya. Daran merasa tidak nyaman, tetapi dia tetap fokus pada pekerjaannya.Begitu ayahnya Daran memberitahunya bahwa mereka memiliki rumah di daerah itu, Daran terkejut, karena selama ini dia tidak pernah tahu tentang rumah tersebut. Ayahnya menjelaskan bahwa rumah itu adalah rumah mereka ketika mengandung dirinya, dan ibunya memilih kembali tinggal beberapa tahun lalu sebelum meninggal. Banyak pertanyaan yang mengganggu Daran, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi dia tidak ingin membuat ayahnya sedih dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.Diana, yang mendengar cerit
"Fatimah … apa yang membuat kamu datang kemari?” tanya Daran terkejut, dia tidak dapat menutupi suaranya yang sedikit bergetar. Sudah lama dia tidak melihatnya, terakhir kali bertemu Fatimah ketika Agung akan pergi keluar pulau.“Kenapa kamu terkejut begitu, Daran? Aku gak mengganggu reuni keluarga kalian, kan?” Fatimah menatap Daran dan Diana bergantian, lalu menatap Bu Mislah dan Hanum yang masih berdiri di teras, juga menatapnya dengan diam.“Tentu saja tidak, Fatimah. Silahkan saja masuk,” jawab Diana dengan senyum ramah, membuka lebar pintu masuk. Dia mempersilahkan Fatimah untuk masuk terlebih dahulu sebelum ibu mertua dan kakak iparnya.Fatimah melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu suasana. “Aku hanya sebentar, Diana. Aku ingin mengambil barang milik Agung yang ada di kamarnya dahulu,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.Diana mengangguk, “Tentu, silahkan. Kamarnya masih seperti dulu, tidak ada yang berubah.”Fatimah berjalan melewati Daran dan Dian
Kehamilan Diana yang sudah memasuki bulan ke-5 membuat perutnya semakin melebar dan membesar dua kali lipat dari orang yang hamil biasa. Dengan keadaan itu, membuatnya semakin tidak leluasa pergi terlalu jauh dan berjalan terlalu lama.“Bagaimana kalau kita periksa ke dokter, Sayang,” ujar Daran yang khawatir melihat keadaan istrinya. Seringnya Daran pergi seorang diri ke kantor membuatnya khawatir meninggalkan Diana tanpa keberadaannya.“Aku gak apa-apa, Daran. Kamu jangan berlebihan,” ucap Diana kesal. Meski sebenarnya dia juga khawatir dengan perubahan tubuhnya yang tidak sama seperti yang dipelajarinya di YouTube.“Berat badanmu sudah naik lima kali lipat, kita harus USG, ya,” bujuk Daran.“Iya nanti, sekarang aku lagi capek. Kamu harus ke kantor kan?” Dengan beribu alasan, Diana menolak karena takut dengan hasilnya yang mengecewakan.“Iya, ada rapat pemegang saham. Aku harus hadir mewakili ayah. Tapi setelah selesai, aku akan segera pulang.” Daran mengecup dahi Diana lama. Berat