“Apa yang kamu lakukan disini? Kamu pegawai magang bagian mana, kenapa ada disini?”Saking terkejutnya, seluruh tubuh Diana terlonjak. “Eh, sa—sayaaaa.”Belum sempat Diana menjawab, tiba-tiba terdengar suara lift berdenting. Membuat kedua wanita itu menolehkan kepalanya masing-masing, melihat siapa lagi orang yang datang ke lantai khusus ruang pimpinan.“Anggun, kok disini? Mau bertemu Pak Direktur, kah?” Ternyata orang itu adalah Daran, naik bersama kaki tangan ayahnya.Beliau langsung mengetuk pintu direktur, ketika terdengar suara sahutan dari dalam, barulah mereka bertiga masuk.“Oh, ada Nak Anggun. Ada angin apa sampai anak ketua geng kemari?” Adnan terdengar senang melihat wanita yang masuk bersama anak dan menantunya.“Iya, Pak. Saya disuruh ayah untuk mengantar undangan makan malam, Daran juga diundang,” ucapnya lalu melempar senyuman manis ke arah Daran, sementara Diana yang melihat itu mencubit kecil perut Daran.Lelaki itu mengaduh tanpa suara, sementara Adnan yang melihat
Daran menegakkan tubuhnya, tadinya dia setengah menindih tubuh Diana, karena cewek itu mendadak punya kekuatan besar untuk mendorong tubuhnya. Cewek itu terkejut mendengar suara pintu terbuka, sebelum terdengar teriakan Anggun.“Waduh ... Daran. Berani betul kamu bermain bersama sekretarismu, padahal baru saja dapat ruangan baru, lho,” ujar Anggun sambil melihat sekeliling. "Ruangan ini lumayan besar, ya." Anggun berusaha terlihat santai setelah tadi dia sempat terkejut luar biasa, dia tidak menyangka lelaki yang tadi dia kira alim, ternyata juga bisa bermain air dan api.“Ada apa kamu masuk tanpa ketuk pintu?” tanya Daran dengan nada datar, dia mengutuk dirinya sendiri, kenapa tadi tidak mengunci pintunya. Berusaha membantu Diana memperbaiki kerudungnya yang terlipat, dan berjanji di dalam hati kalau nanti akan membuat kamar pribadi di ruangan itu, khusus dirinya dan istri berduaan. “Aku cuma mau ngasih undangan.” Anggun meletakkan amplop tebal ke atas meja, dekat sofa tempat Daran
Ketika Daran berjalan menuju lift terdekat dan akan memasukinya, langkah lelaki itu terhenti ketika melihat ada Agung yang sudah berdiri di depan lift itu, menunggunya terbuka. Daran berhenti tepat di samping kakak sepupunya tersebut.“Kenapa Diana, apakah sakit?" Heran Agung bertanya, melihat Diana yang setengah terpejam dalam gendongan suaminya."Sejak kapan kalian ada di perusahaan?” tanya Agung lagi, setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.“Biasa, mual. Sepertinya mencium sesuatu di kafetaria itu tadi,” jawab Daran tanpa melihat Agung, dirinya fokus menunggu pintu lift terbuka.Agung menatap Daran tanpa berkedip, pria itu tidak tahu kalau Daran sudah ada di perusahaan, karena dia sudah lama pergi ke luar pulau guna mengatasi permasalahan di perusahaan yang coba dia kelola sendiri.“Soal aku yang sudah ada di perusahaan, sejak kapan Kakak mengkhawatirkan aku? Aku atau perusahaan ini yang Kakak khawatirkan?” tanya Daran, sebelum memasuki lift yang sudah terbuka. Agung terdiam me
"Sayang, aku turun ke bawah dulu, ya. Mau menemui mantan kepala tim." Seruan Daran membuat Fadil terperangah kaget. "Ternyata benar kalian menjalin hubungan?" bisik Fadil lirih. "Emang iya," jawab Daran santai.Diana menghembuskan nafasnya lega, ketika Daran sudah menutup pintu ruangannya dan berjalan menjauh bersama teman yang juga magang di perusahaan itu."Huffft ... bikin deg-degan aja. Kenapa juga tu suami tengil pengen elus-elusan di kantor?" gumam Diana, seraya berjalan menuju jendela dan mengagumi pemandangan indah di sana. Tiba-tiba, keasyikannya memandangi pegunungan di depan lautan dibuyarkan oleh suara ketukan lembut. "Siapa lagi sekarang yang datang?" tanyanya kepada diri sendiri, sebelum suara notifikasi di handphonenya juga berbunyi."Aku tadi memanggil tukang untuk mendekorasi ruangan kita, aku juga minta buatkan kamar extra buat kamu istirahat disana." Pesan dari Daran mengagetkannya, lalu Diana buru-buru membuka pintunya."Cepet banget tuh anak bertindak," gerutu
"Ini dia orang yang berhubungan dengan Daran. Karyawan magang lantai berapa kamu? Atau jangan-jangan kamu seorang office girl ya, dari penampilannya?!" Seruan bapak-bapak yang dari tadi mengganggu Daran, berhasil membuat Diana gemetar. Bukan karena ketakutan, tapi karena marah dengan mulut beliau yang tanpa saringan, persis mulut bu-ibu kompleks.Namun, cewek itu juga penasaran ketika mendengar sapaan seorang perempuan terhadap Andi. Kenapa perempuan yang bernama Anggun itu, menanyakan mobil kepada Andi?"Pak Budi? Kenapa Anda masih di sini, bukankah para kepala tim sedang berkumpul di ruang rapat, akan ada konspirasi pers dalam beberapa hari ini kan?" ucap Anggun heran, menatap Pak Budi dengan alis yang keriting."Oh ya, benarkah?" sahut beliau sebelum berdehem, lalu berlenggang melewati Daran dan Diana dengan langkah angkuh. "Daran, kutunggu kehadiranmu dengan Diana malam ini. Di ulang tahun ayahku akan ada banyak kolega bisnis ayah kita yang hadir, ini akan menjadi kesempatan kamu
Anggun berjalan dengan anggun melewati lobby hotel menuju tempat Daran, memandang Pak Budi dengan tatapan penuh tanya. “Daran tamu undangan saya ya, Pak. Jadi namanya tidak ada di daftar punya bapak, karena baru kemarin saya menyerahkan undangannya kepada Daran,” ujarnya dengan suara tegas tapi sopan. Sejak kemarin, Anggun merasa penasaran dengan sikap Pak Budi yang tampak begitu membenci Daran. Apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka?Pak Budi menundukkan wajahnya, merasa malu karena tidak mengetahui hal tersebut. “Oh iya, maaf saya tidak tahu,” jawabnya pelan, sambil mencuri pandang ke arah Anggun yang meskipun jauh lebih muda, memiliki wibawa yang kuat.Disamping Pak Bidi, Daran berdiri dengan seorang wanita muda di sisinya. Anggun segera mengenali wanita itu sebagai Diana, pegawai magang yang baru saja bergabung dengan perusahaan. “Daran, siapa yang kamu bawa ini?” tanya Anggun, mencoba menyembunyikan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul.Daran tersenyum nakal, “Pegawai magang
"Ikan kecil-kecil lagi yang kamu bawa, Nan?” Tiba-tiba suara kakak ipar Adnan menyapa dengan keras.Adnan yang baru saja akan meletakkan embernya, terkejut mendengar suara yang tiba-tiba menerjangnya. “Nggak untuk kali ini, Mbak. Ikan gabus sama papuyunya besar-besar,” jawabnya, setelah berhasil menguasai keterkejutannya.“Jangan-jangan kamu membelinya,” ujar Salma melongok sekejap ke ember, begitu Adnan membuka tutup embernya, menunjukkan kepada wanita yang lebih tua 2 tahun darinya.Adnan hanya dapat menghembuskan nafasnya dengan sabar. Ada saja komentar negatif dari kakak iparnya itu untuk menjatuhkan mentalnya. Membawa ikan yang kecil pun salah."Kasian istrimu yang lagi hamil besar harus membersihkan ikan itu, lama,” ujar Salma suatu hari. Kenapa nggak sekalian dia membantu? Toh dia juga ikut memakannya, lahap pula.Sekarang setelah dia membawa ikan yang besar, malah dituduh membelinya. “Kenapa harus beli kalau bisa mancing, Mbak. Kalau Adnan mau beli, mending bawa Nabila makan s
"Nabila sudah capek, Mas. Kapan kita punya rumah sendiri? Sudah 2 tahun menikah, masih aja numpang di rumah orang tua. Belum lagi ada Mbak Salma, dia suka sekali gibahin kamu, Mas," ujar Nabila curhat kepada Adnan, sambil membersihkan ikan hasil mancing yang dibawa oleh Adnan keesokan harinya. Kali ini yang dibersihkannya adalah baby papuyu, anakan ikan sungai yang paling enak.Lelaki itu diam saja mendengarkan kegelisahan istrinya, sambil membantu mencuci ikan yang sudah dibelah perutnya. Istrinya yang sedang hamil 7 bulan itu tentu akan capek, kalau harus duduk berlama-lama membersihkan semua."Nabila gak masalah sama Mas yang hobi mancing, tapi masa setiap hari sih, Mas? Kerjaan Mas apa selain mancing, coba? Gak hanya mbak sama ibu yang bertanya, Mas, tapi tetangga juga." Ocehan Nabila masih berlanjut."Iya, memang kebutuhan dapur, perkakas mandi selalu Mas penuhin. Selain beras, kebutuhan kita tercukupi, Mas. Tapi, semua itu seolah tidak terlihat oleh mereka, karena Mas gak ada ke