Sudah setengah jam Daran menunggu, Diana tidak muncul-muncul juga. Lelaki itu gelisah, dia selalu melihat ke arah toilet yang tadi dimasuki Diana. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran, berbagai kemungkinan buruk melintas di benaknya.“Ayah, Daran ingin memeriksa Diana. Sudah lama dia tidak kembali dari toilet. Daran khawatir kalau dia kenapa-kenapa,” bisiknya ke telinga sang ayah.Adnan mengangguk dan mengangkat tangannya sebagai tanda, kalau beliau mendengarkan karena sekarang Adnan mendengarkan cerita temannya yang sedang berulang tahun. Meskipun Adnan tampak tenang, Daran tahu bahwa ayahnya juga mulai cemas.Dengan terburu-buru dalam melangkah menuju toilet, Daran berusaha menenangkan dirinya. Namun, langkahnya terhenti ketika tiba-tiba Anggun menghalangi jalannya. Wanita itu terlihat percaya diri, dan langsung menggandeng tangan Daran.“Mau ke mana kamu Daran? Sekarang sudah larut, maukah kamu mengantar aku pulang?” tanyanya dengan senyum yang memikat.“Maaf Anggun. Aku ingin mencari
“Tenang, sayang. Ayah sedang mencari tahu siapa yang melakukan ini,” kata Daran lembut, mencoba menenangkan istrinya yang masih terlihat pucat. Adnan menatap mereka dengan tatapan penuh tekad. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti keluarganya, terutama menantunya yang sedang mengandung calon cucunya.“Apa maksudmu, Daran? Aku pingsan sendiri di dalam toilet, gak ada yang mengurungku,” ucap Diana dengan wajah polosnya. Cewek itu hanya tidak ingin Daran berurusan dengan perempuan yang tadi mengurungnya, karena dia tahu orang itu menginginkan suaminya. Diana merasa bersalah karena telah membuat suaminya khawatir, tetapi dia juga tidak ingin memperkeruh suasana.Daran hanya memandang pasrah ke arah ayahnya, sementara ayahnya menatap Diana dengan bimbang. Adnan sudah tahu nama perempuan yang menjebak menantunya itu, perempuan yang sebenarnya menginginkan anaknya. Dia merasa marah dan kecewa, tetapi dia juga tahu bahwa dia harus bertindak hati-hati agar tidak memperburuk situasi.Ka
Sehari sebelum perkenalan Daran di depan para pegawai, Adnan mendapat laporan mengenai Agung yang berbuat sesuatu yang mengancam perusahaan di cabang perusahaan di luar pulau Kalimantan. Direktur itu harus segera menyusul ke tempat Agung untuk menangani masalah tersebut. “Apa yang akan Ayah lakukan dengan Kak Agung?” tanya Daran yang juga mendengar kabar itu. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang. Adnan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Agung sudah merugikan perusahaan dengan menyelewengkan uang puluhan miliar. Kalau dia tidak mampu membayarnya sekarang, Ayah akan melemparkannya ke cabang perusahaan paling kecil dan terpencil,” jawab Adnan sambil menyeruput kopinya. Matanya menatap tajam ke arah Daran, seolah ingin memastikan anaknya mengerti betapa seriusnya situasi ini. Daran terdiam sejenak, merenungkan kata-kata ayahnya. “Kenapa tidak dijadikan pengawal Daran saja, Yah?” usul Daran dengan bersemangat. Jika ayahnya setuju, be
"Anak itu sudah dikasih tahu, sudah diberi pelajaran, tetap saja tidak mau berubah. Padahal bukan darah daging Sultan, tapi karena aku menghormati almarhum kakekmu, aku tetap mempertahankan Agung,” gerutu Adnan sedikit kesal, karena melihat anaknya yang ingin menjawabnya lagi. “Jika menuruti egoku, anak itu sudah ku jebloskan ke penjara. Ingat Daran, Agung lah yang membuat ibumu tidak bisa melihatmu tumbuh dewasa. Selama ini, aku berusaha sabar. Tapi sekarang, sepertinya itu sulit kulakukan. Aku menyesal karena tidak mendengarkan apa kata Nabila waktu itu, ibumu sudah memiliki firasat tidak enak terhadap Agung.” Adnan menatap tajam anaknya yang masih menganggap masalah ini tidak serius, Daran yang masih belum bisa menjaga imagenya agar tidak diremehkan. Daran harus menanggalkan image tengil di dirinya. Diana yang mendengar penuturan ayah mertuanya tertegun, cewek itu tidak pernah melihat Adnan bicara penuh emosi seperti itu. Dia pun tidak pernah mengetahui masa lalu keluarga suamin
Adnan terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja disampaikan oleh Daran. Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan titik-titik yang selama ini terlewatkan. Dia merasa marah, kecewa, dan sedikit malu karena tidak menyadari apa yang terjadi di bawah hidungnya sendiri. Bagaimana mungkin dia, seorang pemimpin yang selalu bangga dengan ketajaman insting bisnisnya, bisa melewatkan sesuatu yang begitu penting?“Daran, kenapa kamu tidak memberitahu Ayah lebih awal?” tanya Adnan dengan nada yang lebih tenang namun tegas. Dia berusaha menahan emosinya, meskipun hatinya bergolak.“Ayah, waktu itu aku pikir aku bisa menyelesaikannya sendiri. Aku tidak ingin membuat Ayah khawatir,” jawab Daran dengan nada menyesal. Dia menundukkan kepala, merasa bersalah karena telah menyembunyikan masalah ini dari ayahnya.Diana yang mendengar percakapan itu merasa perlu untuk ikut campur. “Ayah, mungkin kita bisa melakukan audit internal untuk memastikan semua berjalan sesuai prosedur. Diana bisa memban
Daran dan Diana pergi ke kantor bersama dengan mengendarai mobil sport milik Daran. Calon pimpinan dan istrinya itu menjadi pusat perhatian bagi seluruh karyawan yang ada di lobby. Beberapa dari mereka menunduk hormat begitu berpapasan dengan mereka.“Selamat pagi, Pak Daran, Bu Diana,” sapa salah satu karyawan dengan penuh hormat.“Selamat pagi,” balas Daran dengan senyum tipis, sementara Diana hanya mengangguk sopan.Sedangkan Anggun memilih mengambil jalan yang lain ketika melihat Daran dan Diana berjalan menuju lift. Hatinya terasa sesak melihat kebersamaan mereka. Sementara itu, Pak Budi menjadi tegang ketika Daran masuk ke dalam lift. Tadinya beliau berdiri angkuh di hadapan pegawai rendahan menurut lelaki tua itu.“Selamat pagi, Pak Budi,” sapa Daran dengan nada datar.Pak Budi hanya mengangguk singkat, merasa canggung di hadapan anak pimpinan yang pernah ia hina tanpa sengaja.Diana yang hamil tidak bisa dengan leluasa berjalan, apalagi mengambil langkah lebar sehingga Daran s
Kehamilan Diana yang sudah memasuki bulan ke-5 membuat perutnya semakin melebar dan membesar dua kali lipat dari orang yang hamil biasa. Dengan keadaan itu, membuatnya semakin tidak leluasa pergi terlalu jauh dan berjalan terlalu lama.“Bagaimana kalau kita periksa ke dokter, Sayang,” ujar Daran yang khawatir melihat keadaan istrinya. Seringnya Daran pergi seorang diri ke kantor membuatnya khawatir meninggalkan Diana tanpa keberadaannya.“Aku gak apa-apa, Daran. Kamu jangan berlebihan,” ucap Diana kesal. Meski sebenarnya dia juga khawatir dengan perubahan tubuhnya yang tidak sama seperti yang dipelajarinya di YouTube.“Berat badanmu sudah naik lima kali lipat, kita harus USG, ya,” bujuk Daran.“Iya nanti, sekarang aku lagi capek. Kamu harus ke kantor kan?” Dengan beribu alasan, Diana menolak karena takut dengan hasilnya yang mengecewakan.“Iya, ada rapat pemegang saham. Aku harus hadir mewakili ayah. Tapi setelah selesai, aku akan segera pulang.” Daran mengecup dahi Diana lama. Berat
"Fatimah … apa yang membuat kamu datang kemari?” tanya Daran terkejut, dia tidak dapat menutupi suaranya yang sedikit bergetar. Sudah lama dia tidak melihatnya, terakhir kali bertemu Fatimah ketika Agung akan pergi keluar pulau.“Kenapa kamu terkejut begitu, Daran? Aku gak mengganggu reuni keluarga kalian, kan?” Fatimah menatap Daran dan Diana bergantian, lalu menatap Bu Mislah dan Hanum yang masih berdiri di teras, juga menatapnya dengan diam.“Tentu saja tidak, Fatimah. Silahkan saja masuk,” jawab Diana dengan senyum ramah, membuka lebar pintu masuk. Dia mempersilahkan Fatimah untuk masuk terlebih dahulu sebelum ibu mertua dan kakak iparnya.Fatimah melangkah masuk dengan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu suasana. “Aku hanya sebentar, Diana. Aku ingin mengambil barang milik Agung yang ada di kamarnya dahulu,” ujarnya dengan suara pelan namun tegas.Diana mengangguk, “Tentu, silahkan. Kamarnya masih seperti dulu, tidak ada yang berubah.”Fatimah berjalan melewati Daran dan Dian