Sesuai kesepakatan, Daran membawa istrinya ke ibukota. Namun, Bu Mislah dan Pak Aruf tidak bisa ikut karena tidak bisa meninggalkan sawah mereka sebab sudah masuk masa panen.“Wow, Daran. Ini rumah ayah kamu?” Diana terkesima melihat rumah besar bak kastil di negeri dongeng.Saat gerbang utama dibuka pun, mereka harus berkendara beratus-ratus meter untuk sampai ke rumah utama.“Rumah keluarga, tapi ayah menetap disini setelah kematian ibu,” jawab Daran, lalu memarkirkan motor besarnya di depan undakan teras.Beberapa pelayan yang kebetulan ada di luar, menunduk hormat begitu melihat kedatangan Daran dan Diana sebelum mereka melanjutkan langkah mereka. Seorang pemuda menghampiri Daran dan mengambil alih motor itu agar diparkirkan di tempat khusus.“Ayo, ayah sudah menunggu kita, juga keluarga besar yang lainnya.” Daran mengulurkan tangannya ke arah Diana.Mendengar keluarga besar, Diana menjadi ragu. “Kamu gak pernah bilang kalau ada kumpul keluarga.”“Tidak ada kumpul keluarga, mereka
Fatimah berlaku seperti tidak melihat Diana, padahal wanita itu menatapnya dengan iri waktu itu, saat wanita itu berkunjung ke desa. Namun, sekarang malah tidak menyapanya sama sekali.Memang Daran pernah mengatakan kalau Fatimah adalah kakak iparnya, istri kakak sepupunya, namun Diana tidak percaya begitu saja karena tatapan wanita itu begitu menusuk kepadanya ketika dirumahnya dulu.Sekarangpun masih sama, bahkan perempuan itu seakan tidak melihat keberadaannya.“Eh, hai Fatimah. Kapan kalian datang, kenapa tadi tidak ikut makan bersama?” Diana berinisiatif menyapanya terlebih dahulu.Senyum di bibir Fatimah memudar seiring dirinya menoleh ke arah Diana. “Hai, Diana. Maaf, aku tidak melihatmu tadi. Kami tidak bisa ikut karena terjebak macet, Agung benar-benar sibuk.”Diana memperhatikan perempuan itu berjalan mengelilinginya lalu duduk di kursi santai di sampingnya. ‘cantik, benar-benar cantik, sempurna!’“Kudengar, kalian dipaksa menikah oleh warga. Apakah kalian saling mencintai?
"Bisa dipikirkan lagi, Nak. Apa kalian serius ingin pulang, tidak ingin tinggal bersama ayah?" tanya Adnan ketika Daran minta ijin mau ke desa tempat tinggal Diana, mengantar istrinya pulang."Nggak bisa, Yah. Diana harus masuk kerja besok, tapi aku akan pulang, kok," jawab Daran lalu mengambil tangan kanan Adnan untuk dicium punggungnya. Diana pun melakukan hal yang sama."Baiklah, ayah sangat berharap kalau kamu menggantikan ayah. Sepupu kamu sudah mulai bergerak, ketika kamu sudah ditemukan dan kembali kesini," ucap Adnan penuh harapan.Daran mengangguk paham. "Ya, ayah. Pasti."Meski Diana kurang paham apa yang mereka bicarakan, dia tidak bertanya apapun. Dia bisa mengambil kesimpulan kalau sepupu Daran yang bernama Agung itu tidak beres, karena Daran pernah mengatakan padanya kalau orang itulah yang mencelakainya 9 tahun yang lalu.*"Hai, Diana. Tumben ada di ibukota, ngapain?" Tiba-tiba ada yang menyapa Diana ketika dia menunggu Daran yang membayar belanjaan mereka di kasir.Da
Diana menunggu kedatangan Daran, karena di hari libur itu giliran suami tengilnya yang menginap ke desa.Wanita dua puluh enam tahun itu sekarang duduk di kursi samping jendela kamarnya, yang menghadap ke halaman, sambil sesekali melirik ke ponselnya. Ingin menghubungi lelaki itu, tapi terlalu gengsi untuk menghubungi lelaki terlebih dahulu.“Ish, masa’ aku kecentilan menghubunginya lebih dulu. Gak laaah.” Diana kembali mengembalikan layar ponselnya yang menampilkan kontak Daran.Hingga cewek itu tertidur karena kebosanan, lelaki tengil yang ditunggunya belum juga muncul.Sementara itu, Daran juga diliputi kecemasan. Beberapa kali melirik ponselnya, ingin menghubungi istri cerewetnya dan menanyakan tentang apa yang dikatakan Fatimah. Meski dia sulit mempercayai, tapi berita itu tetap saja membuatnya galau.*Ternyata, Fatimah melihat Diana yang berbincang dengan Andi ketika di mall waktu itu.“Bukankah itu pegawai yang ada di kantor Paman Adnan? Apa dia mengenal Diana?” gumamnya yang
Sudah seminggu Daran tidak menghubungi Diana, terlebih lagi dia sedang sibuk mengurus magangnya, sehingga dia tidak sempat lagi menelepon sang istri.Diana pun juga sama, dia sibuk menghadiri pelatihan perangkat desa sehingga melupakan suaminya untuk sesaat, padahal ingin sekali menghubungi lelaki itu dan ingin mengetahui kabar terkini suaminya.Sudah 2 tahun Daran menjalani dunia perkuliahan. Anak yang cerdas itu diperkirakan bakal lulus 1 tahun lagi, lebih cepat dari mahasiswa seangkatannya."Hei, pegawai magang. Buatkan aku kopi hitam dong," seru seorang pria, memanggil Daran yang baru saja datang dari pantry."Siap, Pak," sahut Daran cepat, padahal dia baru saja meletakkan kopi buat pegawai yang lain."Kenapa gak dari tadi coba, kan aku gak perlu bolak balik ," gerutu Daran pelan.Padahal tadi dia sudah menawari bagi siapa yang mau dibuatkan minuman olehnya juga, agar sekalian dibuatkan. Daran memilih magang di perusahaan ayahnya sebagai pegawai biasa, padahal jurusan yang dia am
“Ayah mau kamu menghadiri rapat pemegang saham, ayah ingin memperkenalkan kamu sebagai penerus ayah,” ujar Adnan ketika Daran sudah masuk ke ruangannya.“Jangan terburu-buru, Yah. Daran masih belum lulus kuliah, bahkan Daran mau S2 dulu.” Daran masih mencoba mengulur waktu, karena dia sendiri belum siap.“Kalau S2 itu gampang, kamu bisa sambil jalan, kuliah sambil mengurus perusahaan. Lagian ada orang kepercayaan ayah yang akan membantu.” Adnan masih bersikeras.“Tunggu sebentar lagi, Yah, saat Daran benar-benar siap,” ujar Daran lagi sambil melirik orang kepercayaan ayahnya, yang setia berdiri di samping beliau."Jangan lama-lama, ayah tidak ingin Agung semakin bergerak dan juga ingin menyingkirkanmu," ujar Adnan pelan. Daran melihat orang kepercayaan ayahnya tidak bereaksi, itu artinya orang tersebut juga sudah mengetahui tau kalau Agung itu orang seperti apa."Aku hanya ingin melihat kamu sukses dan memimpin perusahaan ini sebelum aku menyusul ibumu,” ujar Adnan di dalam hati. Mena
Daran sibuk dengan ponselnya ketika di dalam lift yang menuju lantai dasar, sehingga dia tidak menyadari adanya perempuan bernama Anggun di dalam kotak besi itu juga.“Mau pulang bareng aku, gak?” Daran terkejut mendengar suara perempuan begitu dekat di sampingnya. Karena terlalu asyik dengan ponselnya, lelaki itu pun berjalan tanpa melihat arah, hanya mengikuti arus orang-orang yang juga menuju luar.“Lho, kapan turun hujan?” Daran malah balik bertanya ketika menyadari kalau hujan sudah mengguyur bumi, membasahi halaman perkantoran.“Kamu bisa ikut mobilku kalau mau pulang.” Anggun menunjuk mobil sedan putih yang sudah menunggunya di depan teras kantor, sepertinya ada sopir muda di dalamnya.“Gak perlu, Nona. Aku bisa pulang sendiri,” jawab Daran setelah menyadari maksud perempuan di sampingnya itu. Padahal mereka baru saja bertemu, kenapa ada perempuan yang dengan mudahnya mengajak seorang lelaki yang baru dikenalnya pulang bersama?“Hujannya semakin lebat lho, Daran.” Perempuan itu
"Apa yang kamu lakukan disini, Fatimah?" Adnan terkejut ketika membuka pintu kamar anaknya, beliau ingin keluar bersama dokter yang memeriksa keadaan Diana dan sudah ada perempuan itu berdiri di depannya. Begitupun dengan Fatimah, dia tersentak kaget ketika pintu di depannya terbuka."Sa- sayaaaa, ingin menemui Daran, Paman," jawabnya tergagap. "Katanya sebentar lagi Daran akan bersedia memimpin perusahaan, pasti akan membutuhkan sekretaris kan. Saya ingin melamar.""Diana lagi sakit, Daran sedang sibuk menemani istrinya. Lebih baik kamu datang lagi besok, sekarang hari sudah mulai gelap," ujar Adnan, lalu berjalan meninggalkan Fatimah yang masih berdiri seorang diri di depan pintu kamar Daran yang tertutup."Baiklah, Paman," jawabnya pelan, menatap kepergian ayahnya Daran. Lalu, menatap pintu kamar Daran dan bergumam, "jadi ... Diana ada disini?"Sementara di dalam kamar, Daran dan Diana saling berpandangan, karena mendengar pembicaraan Adnan dan Fatimah terdengar samar-samar. "Tuh,