"Aku haus..." Zeliya memilih menyelamatkan diri dari menjawab pertanyaan dengan beranjak dari duduknya, walau ia sempat meringis. Dorongak keras di bahunya hingga membuat pantatnya kembali mencium sofa, membuat dirinya tekejut.
"Mas, kamu mau ngapain?" Zeliya menatap was-was ke arah Bryan. Mata pria itu yang tajam, membuatnya takut jika pria itu berniat macam-macam. Bibir itu tiba-tiba melengkung tipis.
Bryan tersenyum. Padanya? baru kali ini ia melihat senyum itu begitu alami. Zeliya mengerjap tidak percaya.
"Lo disini aja, biar gue yang ambilin." Bryan pergi menjauh, melangkah ke arah dapur, lalu mengambil gelas dan mengisinya dari dispenser. Ia langsung menyodorkan gelas pada istrinya setelah sampai di dekat sofa.
"Jangan banyak bergerak, biar obatnya kering dulu. Tidurlah sebentar, sebelum kamu sahur. Puasa 'kan besok kamu?" tanya Bryan sembari menatap Zeliya lekat-lekat. Membuat yang di tatap risih.
Anggukkan kepala, Zeliya gunakan untuk menja
"Astaga, apa yang gue lakuin?" Bryan menyugar rambutnya yang basah, jaket denim yang ia kenakan sudah kuyup. Kaca helmnya di penuhi embun. Tanpa sadar, ia telah mengikuti Zeliya dan Arham, mulai dari mereka mengunjungi toko tekstil di pusat kota, hingga ke Mall.Ada bara dalam sasa setiap Arham menunjukkan perhatian pada istrinya. Mulai dari menghampiri Zeliya yang kebasahan karena berusaha membujuk anak kecil menangis di bahu jalan sambil hujan-hujanan. Entah apa yang dikatakan oleh istrinya pada anak kecil itu, yang jelas anak itu langsung ikut ke mobil Arham.Jangan lupa, Arham membawa payung dan memayungi istrinya. Walau Zeliya terlihat menjaga jarak, tapi tatapan Arham yang begitu memuja membuat Bryan menghembuskan nafas kasar."Kalau gue yang bertemu dia duluan, mungkin gue langsung jadiin dia istri." Perkataan Alex kembali terngiang di telinganya, menggelitiknya, membuat matanya lagi-lagi menatap ke arah sana. Tepat di basement Mall, ia melihat sang
Semua orang yang berada di ruangan itu berhenti berbincang ketika menyadari kehadiran Bryan dan Zeliya di sampingnya. Arham yang tidak tahu jika buka bersama ini akan mengajak serta saudaranya, terkejut. Matanya menatap ke arah Zeliya yang terlihat melirik Bryan dari samping."Kemarilah, kita sudah lama nggak berkumpul." Suara Eric yang berat itu menginterupsi. Nadanya tenang dan lembut.Bryan di tempatnya sudah mengepalkan tangan dengan dada kembang kempis. Zeliya yang menyadari hal itu, segera menggenggam kepalan tangan suaminya, ia berbisik. "Mas, sekali ini aja ya. Aku minta maaf nggak terus terang sama kamu sebelumnya.""Apa kamu sudah begitu kaya hingga duduk bersama kami membuatmu enggan?" Eric berdiri, menatap Bryan tajam. Ia tadi sudah bicara namun malah diabaikan oleh putranya yang begeming di tempat"Apa kamu sudah merasa bisa hidup tanpa orang lain, sehingga mengabaikan orang lain yang menyapamu? apa kamu merasa lebih baik, sehingg
"Aku titip dia sama kamu." Alex berucap itu sebelum benar-benar pergi dari kediaman sahabatnya.Zeliya mengangguk, tersenyum di balik cadarnya. "Hati-hati dijalan."Setelah mengucapkan itu, ia menatap kepergian sahabat suaminya itu. Alex adalah pria yang baik, Allah memang menjaga suaminya lewat pria itu. Allah masih menyayangi suaminya, maka bukan hal yang mustahil suatu ketika Bryan juga akan seperti Alex, berusaha menjemput hidayah tuhan, walau masih merangkak dan tertatih-tatih. Ya semoga saja.Zeliya kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Bryan pasti sangat marah padanya, jika pria itu tidak mabuk, tentu akan marah-marah padanya saat ini."Maafkan aku Mas," lirihnya sambil melepas cadar. Menghela nafas dalam-dalam sambil berdo'a semoga hati suaminya bisa luluh dan memaafkan perbuatan Ayahnya di masa lalu.Ia menyadari, betapa tatapan benci itu sangat kentara di tujukan Bryan untuk Ayahnya. Walau begitu, Zeliya berharap ada keajaiban
"Kalau kamu mau sarapan. Udah aku buatin, aku tau kamu nggak puasa dan aku nggak akan maksa-maksa. Oh ya, Alex berpesan kepadaku, kalau siang ini, kamu ada jadwal pemotretan.""Kamu yang memberitahu Alex, alamat rumah ini?" Bryan bertanya. Padahal, rencananya tadi malam, ia tidak akan pulang dan memilih menginap di kediaman Angkasa."Iya.""Zeliya.""Kenapa?" Zeliya beralih, ke arah kompor, lalu mengelapnya, tanpa mau menatap mata suaminya yang tadi malam begitu menakutkan."Apa aku berbuat sesuatu pas aku mabuk tadi malam?"Gerakan Zeliya lagi-lagi terhenti. Apa Bryan ingat apa yang telah dilakukan pria itu padanya? Ingin menggeleng, tapi ia berbohong, ingin bicara yang sebenarnya juga tidak akan membuat pria itu menghentikan kebiasaanya 'kan?Memilih jawaban yang aman, adalah alternatif pilihan. Ia ingin Bryan sendiri yang mengingat kejadian tadi malam."Menurutmu?"Jawaban berupa pertanyaan itu, membuat Bryan be
"Mas, lepas. Mau kemana?" tanya Zeliya bingung, pria itu membawanya ke dekat motor miliknya. "Pakai helmu.""Mas, kenapa sih sama kamu?" tanya Zeliya merasa kesal dan juga heran. Mengamati setiap gerakan Bryan yang memasang helm, lalu menaiki motor metic miliknya."Nanti, kamu bakal tau. Ikut aja, ya?" Bryan menatap lembut tepat di manik mata istrinya, membuat Zeliya terpaku sesaat."Naik," titah Bryan, ketika ia merasa punggungnya masih kosong, tidak ada yang menempel di sana.Ragu-ragu, Zeliya akhirnya menuruti perintah suaminya. Tangannya ia biarkan bebas tanpa berpegangan sama sekali."Pegangan, nanti jatuh." Bryan memberi interupsi. "Santai aja ama gue. Lo nggak usah takut-takut gitu, gue nggak bakal nyulik lo apalagi nyemplungin lo ke laut.""Aku nggak bilang kalau kamu mau nyemplungin aku ke laut." Zeliya membantah dengan suara keras, akibat angin yang menderu."Mukamu itu, yang menjelaskan semuanya," sahut Bryan, d
Zeliya mendorong dada suaminya, ia terengah-engah seperti orang yang baru saja melakukan lari marathon. Dadanya yang diam-diam berdegup itu semakin memperburuk pernafasannya."Ehm... sory, gue tadi reflek," ujar Bryan merasa tindakannya tertolak oleh istrinya. Wajahnya sudah memerah. Begitu pun Zeliya, dibalik cadarnya pipi itu merona."Gue, nggak ada hubungan apa-apa sama Selena, itu yang harus lo tau. Dan... gue ke sini mau ajak lo ngomong, kalau lo boleh tetep tinggal di rumah gue yang sekarang."Zeliya tidak menanggapi, ia membuang wajah ke arah samping, tidak ingin menatap wajah suaminya."Zeliya, sory, kalau gue buat lo kaget tadi. Sory banget, gue nggak bermaksud apa-apa, apalagi macam-macam.""Setiap tindakan ada alasan, kamu nggak mungkin ngelakuin hal tadi, tanpa alasan," sela Zeliya."Itu..." Bryan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, diam-diam merutuki bibirnya yang asal nyosor tanpa mau berkompromi. Tubuhnya seolah bergerak be
Terawih yang ia lakukan tadi malam benar-benar membekas di hatinya. Bukan tentang niatnya yang ia lafadzkan berbahasa Indonesia saja karena tak hafal bahasa Arabnya, tapi karena istrinya. Zeliya tadi malam untuk pertama kalinya tersenyum padanya, walau hanya di balik cadar, tapi ia mampu melihatnya."Kalau bakal di senyumin terus mah, aku bakal teraweh tiap malam, selama Ramadhan," lirih Bryan sembari mematut dirinya di depan cermin. Tangannya menyisir rambutnya, mengelus wajahnya sendiri yang memang menawan."Gue tau lo nggak mau ceritain tentang kelakuan gue kemarin malam, tapi cukup ngebuat gue respek ama lo Zel. Lo pasti takut ama gue," ucap Bryan pada dirinya sendiri. Setelah pemeriksaan Zeliya kemarin oleh dokter Sinta, wanita itu juga mengatakan bahwa bercak kemerahan yang berada di leher sang istri seperti bekas cekikan dan luka-luka kecil di sekitarnya dikarenakan kuku.Wajah Bryan seketika murung, ia tahu dirinya penyebab semua itu. Akhirnya, den
Helaan nafas keluar dari hidung Bryan. Ia kembali ke rumah dengan motornya sendiri. Bertemu dengan Alex, bukannya menyelesaikan masalah, ia malah hanya menerima uang ganti lebih tepatnya pembayaran utang - menurut anggapan Alex - selama Bryan membantu pengobatan Ayah pria itu.Akhirnya, walau sebelumnya enggan, ia tetap menerima, karena Bryan juga butuh untuk menebus motornya di kantor polisi, tidak lupa, ia sempat juga mendapatkan semprotan pedas dari para aparat yang seolah kerjaannya hanya merazia Geng Balapan liar. Kasus-kasus cilik seperti ini sangat cepat tanggap, sedangkan kasus besar yang merugikan negara, sekali pun, justru lelet semacam siput."Apa memalak geng motor, hanya satu-satunya kerjaan aparat?" Bryan mendumel sendiri. Apalagi, ia harus menebus tidak sedikit, padahal surat-surat yang ia bawa lengkap."Balapan motor ilegal yang anda lakukan itu, bisa terancam pasal, karena kami tidak ingin membuat anda berurusan dengan kami lebih jauh, ya kami p