"Mas, lepas. Mau kemana?" tanya Zeliya bingung, pria itu membawanya ke dekat motor miliknya. "Pakai helmu."
"Mas, kenapa sih sama kamu?" tanya Zeliya merasa kesal dan juga heran. Mengamati setiap gerakan Bryan yang memasang helm, lalu menaiki motor metic miliknya.
"Nanti, kamu bakal tau. Ikut aja, ya?" Bryan menatap lembut tepat di manik mata istrinya, membuat Zeliya terpaku sesaat.
"Naik," titah Bryan, ketika ia merasa punggungnya masih kosong, tidak ada yang menempel di sana.
Ragu-ragu, Zeliya akhirnya menuruti perintah suaminya. Tangannya ia biarkan bebas tanpa berpegangan sama sekali.
"Pegangan, nanti jatuh." Bryan memberi interupsi. "Santai aja ama gue. Lo nggak usah takut-takut gitu, gue nggak bakal nyulik lo apalagi nyemplungin lo ke laut."
"Aku nggak bilang kalau kamu mau nyemplungin aku ke laut." Zeliya membantah dengan suara keras, akibat angin yang menderu.
"Mukamu itu, yang menjelaskan semuanya," sahut Bryan, d
Zeliya mendorong dada suaminya, ia terengah-engah seperti orang yang baru saja melakukan lari marathon. Dadanya yang diam-diam berdegup itu semakin memperburuk pernafasannya."Ehm... sory, gue tadi reflek," ujar Bryan merasa tindakannya tertolak oleh istrinya. Wajahnya sudah memerah. Begitu pun Zeliya, dibalik cadarnya pipi itu merona."Gue, nggak ada hubungan apa-apa sama Selena, itu yang harus lo tau. Dan... gue ke sini mau ajak lo ngomong, kalau lo boleh tetep tinggal di rumah gue yang sekarang."Zeliya tidak menanggapi, ia membuang wajah ke arah samping, tidak ingin menatap wajah suaminya."Zeliya, sory, kalau gue buat lo kaget tadi. Sory banget, gue nggak bermaksud apa-apa, apalagi macam-macam.""Setiap tindakan ada alasan, kamu nggak mungkin ngelakuin hal tadi, tanpa alasan," sela Zeliya."Itu..." Bryan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, diam-diam merutuki bibirnya yang asal nyosor tanpa mau berkompromi. Tubuhnya seolah bergerak be
Terawih yang ia lakukan tadi malam benar-benar membekas di hatinya. Bukan tentang niatnya yang ia lafadzkan berbahasa Indonesia saja karena tak hafal bahasa Arabnya, tapi karena istrinya. Zeliya tadi malam untuk pertama kalinya tersenyum padanya, walau hanya di balik cadar, tapi ia mampu melihatnya."Kalau bakal di senyumin terus mah, aku bakal teraweh tiap malam, selama Ramadhan," lirih Bryan sembari mematut dirinya di depan cermin. Tangannya menyisir rambutnya, mengelus wajahnya sendiri yang memang menawan."Gue tau lo nggak mau ceritain tentang kelakuan gue kemarin malam, tapi cukup ngebuat gue respek ama lo Zel. Lo pasti takut ama gue," ucap Bryan pada dirinya sendiri. Setelah pemeriksaan Zeliya kemarin oleh dokter Sinta, wanita itu juga mengatakan bahwa bercak kemerahan yang berada di leher sang istri seperti bekas cekikan dan luka-luka kecil di sekitarnya dikarenakan kuku.Wajah Bryan seketika murung, ia tahu dirinya penyebab semua itu. Akhirnya, den
Helaan nafas keluar dari hidung Bryan. Ia kembali ke rumah dengan motornya sendiri. Bertemu dengan Alex, bukannya menyelesaikan masalah, ia malah hanya menerima uang ganti lebih tepatnya pembayaran utang - menurut anggapan Alex - selama Bryan membantu pengobatan Ayah pria itu.Akhirnya, walau sebelumnya enggan, ia tetap menerima, karena Bryan juga butuh untuk menebus motornya di kantor polisi, tidak lupa, ia sempat juga mendapatkan semprotan pedas dari para aparat yang seolah kerjaannya hanya merazia Geng Balapan liar. Kasus-kasus cilik seperti ini sangat cepat tanggap, sedangkan kasus besar yang merugikan negara, sekali pun, justru lelet semacam siput."Apa memalak geng motor, hanya satu-satunya kerjaan aparat?" Bryan mendumel sendiri. Apalagi, ia harus menebus tidak sedikit, padahal surat-surat yang ia bawa lengkap."Balapan motor ilegal yang anda lakukan itu, bisa terancam pasal, karena kami tidak ingin membuat anda berurusan dengan kami lebih jauh, ya kami p
"Makasih ya, akan aku pikirkan kata-katamu Zeliya. Oh ya, kalau kamu nggak masak, kita buka puasa di luar aja ya, mau?" tawar Bryan mengalihkan topik pembicaraan.Zeliya terlihat berfikir, walau ia sempat belanja sayur mayur dan ikan tapi sampai sore ini ia memang belum memasak apapun. "Bisa Mas, tapi setelah itu aku izin sama kamu buat pergi ke rumah Ayah," ucap Zeliya.Matanya menatap Bryan khawatir, kalau pria itu tidak mengizinkannya dan malah marah-marah. Terdengar helaan nafas dari hidung Bryan."Ada acara apa kamu ke sana?" tanya Bryan datar, jika menyangkut Eric ia paling tidak suka, tapi karena istrinya seperti ingin sekali pergi ke rumah pria itu, Bryan menjadi ingin tahu untuk keperluan apa Zeliya kesana."Tadi pagi, aku ke rumah Mama buat persiapan ulang tahun Ayah, acaranya malam ini, setelah teraweh," jelas Zeliya, ia memberanikan diri menatap mata suaminya. Wajah Bryan terlihat tidak suka."Aku ngerasa nggak enak aja Mas, masa acara
Zeliya telah selesai dengan design yang ditugaskan Arham padanya. Ada beberapa gambar yang bisa ia buat dan membuatnya tersenyum. Tapi, bukan sampai disitu pekerjaannya, kini ia harus melakukan tugas selanjutnya yaitu mengukur tubuh seseorang yang akan mengenakannya. Agar jika terjadi ketidakcocokan, bisa ia revisi kembali."Mas, beneran aku aja yang ngukur?" tanya Zeliya lewat telponnya ke Arham."Iya, dia ketemu aku aja udah sengit gitu, karena toh kamu istrinya, sekalian ukur dia, kamu juga bisa langsung memperkirakan dan mencocokan dengan design yang sudah kita konsep sebelumnya. Biar nggak kerja dua kali dan biar cepat."Zeliya menghela nafas, ia sebenarnya keberatan jika harus mengukur tubuh suaminya sendiri. Entah kabar baik atau buruk baginya, setelah Arham memberitahu bahwa model yang akan digunakan untuk pameran dan bazar nanti adalah suaminya.Zeliya membawa laptopnya sendiri, tidak lupa ia mengenakan kerudungnya namun ia tanggalkan cadar
Pagi ini Zeliya harus bergegas ke tempat production house dimana model untuk Butik Arham akan melakukan pemotretan. Setelah dua hari menunggu, akhirnya desainnya sudah berbentuk menjadi pakaian yang siap untuk di kenakan. Kemarin, Arham sudah membawakannya ke PH dan Zeliya sempat melihatnya pula."Zeliya," panggil Bryan seraya mengetuk pintu."Iya Mas, sebentar." Zeliya menyahut.Ia dan suaminya sudah janjian akan berangkat bersama. Sebenarnya Zeliya bisa saja berangkat sendiri, namun karena tiba-tiba suaminya meminta untuk pergi bersama, ia tidak akan menolak. Itu tandanya Bryan tidak malu menunjukan kepada orang-orang bahwa wanita bercadar ini adalah istrinya.Zeliya keluar dengan setelan gamis berwarna biru dongker, dipadukan dengan niqob yang senada. Matanya terlihat bersinar yang membuat Bryan tidak berhenti menatapnya."Cantik," pujinya tanpa sadar, yang bisa di dengar Zeliya."Kenapa Mas?" tanya Zeliya pura-pura tidak mendengar. Bryan
"Mana mau wanita bercadar dijadiin model, ngarang lo Luna! lo harus tanggung jawab!" ujar salah satu kru yang sedari tadi berkata sengit pada Luna."Siapa bilang? gue bakal yakinin dia!" tantang Luna, lalu bergegas pergi dari kerumunan itu. Melewati Bryan yang hanya duduk sambil memainkan ponsel, tanpa mau tahu sedang ada masalah apa para kru berkumpul."Hai, kita belum kenalan ya? kalian klien kami 'kan?" tanya Luna basa-basi.Arham mengangguk, begitupula Zeliya. "Ehm, kami sebelumnya mohon maaf jika tidak sopan. Mbak, ini siapa namanya ya, boleh tau?" tanya Luna."Zeliya Khayria," jawab Zeliya."Oh mbak Zeliya, jadi begini, salah satu model kami, pasti Mbak Zeliya tau ya, Selena tidak bisa melakukan pemotretan hari ini, dan kami tidak ingin mengecewakan klien kami. Maaf Pak, kami mohon maaf!" Luna beralik ke arah Arham, menunduk berkali-kali dengan tangan di depan dada."Mohon maaf, kalau modelnya nggak bisa di pakai hari ini, sedangkan kesepakatan di awal kita, hari ini pemotretann
Usai sesi pemotretan, Bryan dan Zeliya berpisah karena Zeliya harus kembali ke Butik, sedangkan Bryan ia akan pergi ke kampus untuk mengurus tugas kuliahnya yang mengharuskan ia bertemu secara langsung dengan dosennya.Sore menjelang, Zeliya menyiapkan menu berbuka puasa dari belanjaan yang ia beli memakai uang suaminya. Setiap gerakannya ia barengi dengan salawat, sesekali ia tersenyum karena mengingat saat momen pemotretan tadi ia begitu gugup dan malu.Pintu di ketuk dan terdengar salam, tidak biasanya suaminya mengucap salam, tapi Zeliya senang, ia anggap itu sebuah kemajuan."Zeliya, kamu masak?" tanya Bryan sembari berjalan ke dapur. Zeliya mengangguk."Oh aku kira nggak, mau ajak buka diluar, tapi nggak papalah, aku suka semua masakanmu," ujar Bryan yang membuat Zeliya diam-diam tersipu. Pria itu berjalaj begitu saja ke kamarnya, tanpa tahu bagaimana ekspresi istrinya kini.Maghrib telah menyapa, sepasang suami istri itu kini menikmati menu