Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu.
“Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.”
“Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu.
"Ini taruh dimana?"
"Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu.
Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjang betapa menakjubkan desain rumah ini. Semua serba putih yang menegaskan nuansa klasik gaya Eropa. Terdapat banyak sekali ornamen pelengkap yang menimbulkan kesan mewah. Walaupun rumah ia bagus, tapi dibanding ini tiga kali lipat lebih bagus.
"Wah!" Gumamnya, sembari memutar badan melihat sekelilingnya. Gadis cantik itu sangat mengagumi rumah ini. Sampai sampai ia tidak mendengar si empunya rumah memanggil. Setelah sadar ia bergegas menghampiri asal suara itu. Tibalah ia di sebuah taman kecil, yang didepannya terlihat seorang Dewa cupid yang menembakan panah dari tangannya alih alih air mancur. Di sampingnya terlihat bangunan kecil seperti kuil pemujaan khas Yunani kuno. yang isinya sebuah tempat untuk bersantai. Dari luar memang tidak terlihat adanya halaman yang luas ini. Ketika masuk kedalam matamu akan disuguhi beberapa pemandangan yang menyejukkan mata.
Tak terasa sudah satu jam lebih ia membantu tetangga nya. Kini tinggalah ia menikmati secangkir kopi yang disediakan laki laki itu. Ia menghirup aroma dari kopi dan menyesapnya perlahan. Damai, itulah yang sedang ia rasakan. Setidaknya kopi bisa mengalihkan beban pikirannya walaupun hanya sementara. Pria itu menatap gadis berwajah suntuk di sampingnya dan bergumam tanpa sadar.
“Cantik." Tamara mengejapkan mata perlahan. Gadis itu menoleh ke arah suara yang muncul.
(Ini ga salah denger kan gue?) batinnya meragukan.
"Hah? Apa yang lo bilang barusan?"
"Eh?! Apa? Oh engga engga. Itu langitnya cantik. Btw suka kopi kah?” Pria itu gelagapan menjawab.
“Iya cantik banget. Baru sadar gue. Eh iya nih, gatau kenapa kopi panas efek nenanginnya emang juara. “ ujarnya sambil menyesap kembali kopi nya perlahan.
"Muka lo suntuk banget? Ada masalah kah? "
"Oh ga ada apa apa kok, emang keliatan banget ya?" Laki laki itu mengangguk meng-iyakan. Balas Tamara dengan tersenyum. Atmosfir canggung telah mendominasi keduanya.
"Tadi itu ade lo?" Tamara mencoba mencairkan suasana. Karena hanya ada suara bising nya jalan dengan suara burung yang seksekali berkicau.
"Iya gue pindah kesini sama ade dan Ayah. Tapi beliau sibuk sama urusan kerjaan. Jadi yang lo liat hari ini cuma ade gue deh."
Lagi. Keduanya kembali diam sambil menikmati kopinya masing masing. Karena matahari mulai tenggelam, Tamara akhirnya pamit pulang.
“Gue pulang dulu ya, makasih banget buat kopinya. Rumah gue ada di depan situ, kalo ada apa apa hubungin gue aja ya. Bye.” Tamara cepat cepat berlari karna hari sudah gelap.
“EH NAMA LO SIAPA?” teriak laki laki itu. Karna sudah terlalu jauh suaranya teredam oleh bisingnya jalan.
“Aduh anjir mimpi apa gue disamperin cewek cantik begitu. Mana gue gatau namanya. Kapan kapan gua harus kerumahnya.” Setelah itu ia pun melenggang masuk dengan perasaan penasaran yang mengikutinya.
****************
Sampai dirumah, Tamara kembali memikirkan masalah yang sudah terjadi hari ini. Tamara baru tau pacarnya sedang marah karena hal kecil yang dilakukannya.
"Dia tau ga sih gue selalu overthinking? ah gatau lah kayanya mandi ide yang bagus." Ia pun bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan pikirannya yang suntuk.
"Duh gue lupa nanya namanya lagi, kenapa tadi ga kenalan. Terus juga kenapa tadi gue sangat amat percaya diri sih? kaya bukan gue. ya ampun Tam, Tam." Sembari menuang shampoo ke tangannya ia tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri. Setelah mandi ia kembali ke kamar dan mencari ponselnya yang ia lupa letakkan dimana.
"Selain bego urusan cinta, ternyata ceroboh juga ya lo Ra. Aduh cape banget jadi Tamara, dahlah besok jadi batu aja." Ujarnya sambil merusak kamarnya yang rapih itu. Cukup lama ia sibuk sendiri dengan ponsel yang belum ditemukannya itu.
"Akhirnya ketemu!" ternyata Ponselnya terletak dibawah tempat tidurnya. Ia baru sadar tadi ia melempar ponselnya karena terlalu kesal. Di buka ponsel cokelat muda nya
15 panggilan tak terjawab from my bf <3
"Kenapasih gue gabisa lepasin dia?!" Tamara sangan mencintai sekaligus membenci pacarnya, mengingat hal sepele yang ia lakukan tapi oleh pacarnya dibalas dengan rentetan makian. Ponsel di tangannya berbunyi sekali lagi.
"Halo?" Suara bariton terdengar di seberang sana.
"Kemana aja kamu? Daritadi aku telepon tapi kok ga kamu angkat? Lagi ngapain sih kamu? Aku khawatir sayang." Suara yang tadinya meninggi perlahan memunculkan kekhawatiran. Tamara hanya mengigitkan bibir bawahnya, awalnya ia takut. Perlahan ia mulai merasa pacarnya itu sudah kembali seperti biasanya.
"Halo Tamara? kamu masih disana kan? Tolong jawab aku." Ia tersadar dari lamunannya.
"Eh iya aku masih disini. Tadi ada keluarga yang baru pindahan depan rumah aku, terus aku bantuin deh. Kamu tau kan? Rumah ala ala Eropa itu loh. Eh Ga, kamu tau ga? ternyata dalam rumahnya tuh bagus bangett sumpah! Ini kali pertama aku masuk ke rumah itu btw. Terus juga aku ketemu temen baru, tapi lupa nanyain namanya."
"Oh anaknya cowok atau cewek?" Tanya nya dengan nada menginterogasi.
(Hah?! responnya gitu doang? buset dah, pengen gue sentil ginjalnya)
"Cowok. Kenapa emang?"
"Pokoknya kamu jangan deket deket sama dia, jangan nyapa juga. Awas aja kamu berani deket deket atau tebar pesona, aku tau yaa. Jujur aku ngak suka." Karena takut tambah panjang jika dirinya membatah, maka ia segera menuruti perintah kekasihnya itu.
"Iya engga kok." Terdengar suara dentuman musik seperti di sebuah Bar.
"Arga? Kamu lagi dimana kok rame banget?" Tanyanya dengan hati hati.
"Hah? Apaan deh orang aku lagi konser di rumah. Yaudah aku tutup dulu, jangan tidur kemaleman ya Cantik. Night sweetheart." (Tuh kan kayanya dia boong lagi.) Tak lama bunyi tutt, ternyata suara telepon sudah diputuskan sepihak. Tamara melamun memikirkannya, ia memang pemikir yang sangat suka memikirkan apa yang tak perlu dipikirkan.
"Iya night too" //huft//
Gadis itu lemas seketika. Ia terlihat sesekali menghela nafas kasar. Setelahnya ia naik ke atas tempat tidur untuk menjemput alam mimpinya. Ia harus bersiap besok untuk pergi ke kampus. Karena ada kelas pagi. Tak lama Tamara terpejam menikmati mimpinya.
***
Terkadang tidur adalah suatu hal yang mengasyikan saat dilakukan ketika sedang tertimpa masalah. Karena dalam dunia mimpi, khayalan apapun menjadi milik kita. kita bebas mengaturnya, tanpa memikirkan perasaan orang lain. itulah kenapa banyak orang yang hanya berani bermimpi dan takut menghadapi.
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me