Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam.
Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera.
Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang untuk hubungannya sendiri. Maka dari itu ia seringkali dicampakkan oleh pria, tak heran ia seringkali dijadikan objek main main oleh beberapa pria. Namun saat ini ia sedang mengencani seorang pria di kampusnya, yang notabenenya adalah anak dari rektornya. Arga Putra Ken adalah kekasihnya yang manipulatif tetapi tetap tidak bisa dilepas gadis itu. Entah kecintaannya mengalahkan rasa kesalnya tiap kali mengalah dengan kekasihnya atau memang takut hidupnya akan kesepian. Ya, Tamara tidak ingin merasa kesepian. Tamara dan Arga sudah menjalin hubungan kurang lebih dua tahun. Sejak mereka masuk ke kampus ini.
Tamara terlihat bergerak gerak tak nyaman dalam selimut, matahari terlalu berani menyilaukan wajah cantiknya. Ia membuka mata perlahan sambil mengucek matanya yang besar.
"HOAMM, HAH JAM BERAPA INI?!?! TELAT DONG GUE?" Teriaknya menggema. Pandanggannya melihat ke arah alarm yang sudah retak sana sini, akibat terlalu sering dianiaya oleh pemiliknya. Gadis pemilik nama Tamara itu rupanya sudah terbiasa telat. Maklum karena ia sering sendirian ketimbang bersama Bundanya. Jadi tidak ada yang bisa diandalkan untuk membangunkan tidur cantiknya.
Ia lekas bangun dari ranjang ukuran queen sizenya, dan berlari ke kamar mandi yang terletak di pojok kamar cokelatnya. Oh, sebelum sampai pintu ia sudah jatuh tengkurap karena kepleset kabel chargernya. Mengingat semalam ia tidak langsung membersihkan kamarnya setelah menemukan ponselnya.
Ceroboh adalah julukan gadis ini, entah sudah berapa kali ia jatuh tetap saja tidak lebih hati hati. Tak lama ia berteriak sambil mengumpat.
"Sial! SIAPA SIH YANG NARO KABEL DISINI HAH?!?!"
"Yeh Tamara dodol kan lo sendiri yang naro" ujarnya sambil meringis polos. Tanpa babibu ia pergi ke kamar mandi. Menghabiskan waktu 15 menit ia membersihkan diri. Tibalah ia di depan meja rias kesayangannya.
"Gue jelek banget ga sih? Pantes aja tuh buaya pada ninggalin gue" Ujarnya sedih. Sudah terlambat tapi masih sempat saja insecure. Sembari jarinya yang mungil menyisir rambut yang ikal bergelombang diujung.
"Peduli amat. Gue juga muak sama diri sendiri kok." Setelah selesai memoles tipis make up, ia mengambil tote bag dinosaurusnya. Lalu langsung keluar dari rumahnya. Hari ini dia pergi menggunakan bus, karena Arga sibuk mengurus event fakultasnya pagi ini. Jadi Tamara disuruh naik Bus saja.
"Aduh mana nih bus nya kok gaada yang lewat? Udah jam berapa ini. Mampus deh gue kena omelan pak Agung kalo sampe telat. Ah kenapa gue ga coba hubungin Renata ya?" Gadis itu menekan tombol bertuliskan Renata di ponselnya.
Nada tersambung. Tak lama ada suara disana.
"Halo? Woi Tam! Lagi dimana lo?! Ini gue izin ke toilet matkul Pak Agung."
"Kayanya gue bolos dulu deh. Soalnya belum sampe kampus Ren. Ini Bus nya ga muncul muncul daritadi. Lo tau kan, gue tinggal sendiri. Bunda lagi ada kerjaan di luar kota. Jadi gue ikut matkul selanjutnya aja ya. Oh iya, tolong catetin materi hari ini ya Renata cantikkk." Dengan jurus merayu nya akhirnya ia berhasil meyakinkan Renata.
"Kan mulai kan, bawa bawa aja hidup lo yang menyedihkan biar gue luluh. Ck iya iya tapi janji jangan kemana mana. Abis nemu busnya langsung ke kampus ya?"
"Siap boss." Ia tersenyum meringis. Untung teman baiknya anak rajin di kelasnya, jadi ia bisa meminjam catatannya. Tiba lah ia sendirian duduk di halte. Bus yang ditunggu terlihat di kejauhan. Mata bulatnya berbinar, lucu.
"Akhirnya!" Dengan semangat ia mengejar bus yang bahkan belum sampai ditempatnya berdiri. Butuh waktu 30 menit untuk sampai ke kampusnya. Selama perjalanan Tamara hanya diam menikmati ramainya jalan di Jakarta. Tak terasa kampusnya sudah ada didepan. Ia langsung turun begitu sudah sampai.
Hari sudah mulai terik, kampus nya terlihat ramai. Rupanya anak fakultas ekonomi sedang sibuk mengadakan event bazar. Tamara tidak tertarik dengan apa yang ada didepannya. Akhirnya ia pergi duduk di halaman luas milik fakultas hukum. Membuka ponselnya, Tamara mencari nomor Renata. Untuk bilang ia sudah disini, dan Renata suruh menghampirinya.
"Halo Renata? Gue udah di kampus nih. Lo kesini aja, gue ada di fakultas hukum. Udah selesai kelas kan? Gue males banget jalan kesana. Terlalu ramai sama anak fakul ekonomi nih. Banyak temen temen Arga. Nanti gue di ledekin." Ujarnya malas. Arga memang mahasiswa dari fakultas ekonomi, tepatnya manajemen. Dan banyak sekali cewek yang tidak kalah cantik dengan Tamara yang mengincar Arga dan berharap mereka putus secepatnya. Hanya saja Tamara sering merasa insecure, dengan teman temannya. Padahal ia cantik. Itulah sebabnya kenapa ia sangat malas lewat fakultas ekonomi. Apalagi sedang ramai seperti ini.
Renata berjalan dengan anggun dari kejauhan. Berbeda dengan Tamara, yang style jalannya sangat ceroboh. Orang bisa saja mengaggap dirinya boneka gelembung (yang biasanya ada di toko ponsel untuk promosi) yang letoy karena keseringan jatuh. Terlihat jelas ketika Renata jalan didepan beberapa laki laki, mereka sempat takjub karena kecantikan gadis ini. Tapi sayangnya ia sudah punya pujaan hati. Wah betapa beruntungnya kekasih Renata itu. Sudah pintar, cantik, baik siapa laki laki yang tidak jatuh hati? berbeda dengan dirinya yang jauh dari kata sempurna (pikir Tamara sedih.) Tapi ia sangat sayang dengan sahabat baiknya itu. Renata tidak pernah pilih pilih soal teman, itulah kenapa ia sangat populer di kampus kami.
"Woi! bengong aja lo. Ati ati kesambet. Katanya disini ada setan Belanda yang jadi penunggu. Kata orang orang setannya cowok, mana ganteng Tam. Lo gamau kenalan gitu?" Menepuk pundak Tamara kencang.
"Anjirt Renata kaget. Emang ye tuh mulut belom aja gue kasih ranjau. Setan nya juga paling naksir ke elu Ren. Liat apa, tadi aja cowok cowok depan lo yang lo lewatin pada bengong. Buat lo aja setannya, jadiin cadangan sist."
\\pletakkkk\\ Tangan cantik milik Renata jatuh ke kepala Tamara.
"Ngawur banget ye ni anak. Nih catetannya tuan putri. Jangan sampe basah, lecek, sobek. Atau nyawa lo ilang. Jam 10 kita ada kelas. Gausah bolos lagi lo." Renata menyerahkan binder kesayangannya.
"Siap boss! Thanks ya Ren, gue akan jaga nih binder dengan segenap jiwa raga. Tetap tenang tadi tuh gara gara Bus nya lama banget ga lewat lewat. Makanya lama. Btw tadi ada yg nanyain gue ga?"
"Ga ada lah, emang sapa yang mau nanyain lo? hah? Emang Arga kemana? Tumben banget tuan putri naik Bus."
"Aish. Tuh liat, hari ini ada acara di fakultas ekonomi jadi dia panitia nya. Mana sempet jemput gue."
"Oalah, kasiannya cup cup cup. Yaudah ayok kita balik ke kelas. Bentar lagi kelas siang bakal mulai." Renata dengan semangatnya menarik tangan mungil Tamara.
"Buset deh, semangat amat mba. Bentar dulu gue agak mager lewat situ. Harus siapin mental dulu ini." Gadis itu menarik nafas dan membuangnya kasar, gugup. Walaupun sudah dua tahun ia menjadi kekasih Arga yang notabenenya termasuk cowok populer seantero kampus, ia tetep saja masih merasa tak percaya diri. Bukan karena kekayaan, Jangan salah, keluarga besar Tamara juga termasuk orang berada. Dirinya hanya merasa kurang pantas soal penampilan didepan teman teman Arga, yang rata rata modis dan good looking.
"Yaelah, disana kan ada Arga, kenapa lo mendadak ciut gini sih? Kan udah gue bilang Tamara, kalo lo itu cantik. Lo apa adanya. Jadi gausah minder sayang." Ujar Renata pergi meninggalkan Tamara perlahan.
"Ih engga gitu. Tungguin woi Renata!!"
Tamara berdiri dari bangkunya. Berkali kali meyakinkan diri, akhirnya ia mulai berjalan mengikuti Renata. Langkahnya terengah engah, mengejar kaki jenjang Renata. Sampai di fakultas ekonomi, ia bertabrakan dengan Arga yang sedang membawa beberapa kertas. Kertas yang dibawa Arga jatuh berserakan di aspal. Buru buru Tamara menunduk sambil memungut kertas kertas itu, ia belum sadar yang ditrabraknya adalah kekasihnya. Tiba tiba ada yang menyentil dahinya.
"AWW." Tamara mendongakkan kepalanya perlahan, wajah tampan Arga tepat di depannya. mata mereka pun bertemu.
"Aish dasar ceroboh. Kamu gapapa kan? Pelan pelan dong cantik." Arga mengusap lembut dahi gadis itu yang bekas ia sentil, sembari membantunya berdiri. Tamara masih terdiam ditempatnya. Antara terpesona dan malu. Inilah salah satu yang membuat ia jatuh hati ratusan kali terhadap Arga disamping sifat dominannya yang menyebalkan. Makanya ia berfikir berulang kali untuk melepasnya.
"Eh? Aku gapapa kok ga. Hehe biasalah, kayanya dunia bakal tsunami kalo aku ga jatoh sehari. Kamu masih sibuk kan? Gih sana." Tamara mencoba mengalihkan topik agar ia bisa kabur dari tempat ini. Karena mereka sekarang menjadi pusat perhatian.
Para wanita memandang iri ke arahnya, ada juga yang melempar tatapan sinis yang bersiap membunuh. Padahal Tamara kekasih Arga. Terlihat pula teman teman Arga yang sibuk menjahili mereka berdua.
"Ekhem, ceritanya gue lagi nonton drama korea versi bandung nih?" Cowok yang akrab dipanggil Vino itu melemparkan ledekannya. Yang diledek tenang tenang saja. Tamara yang sudah panas dingin sangat tidak nyaman di posisinya sekarang. Oh jangan tanya kemana Renata, ia sudah tiba dahulu di kelas.
"Heh, diem gak?! Cewek gue ga nyaman. Ayo Tam aku anter kamu ke kelas. Ada kelas kan?" Pria itu menarik pelan tangan mungil Tamara. Disentak Tamara lembut.
"Gausah ga, aku tau kamu lagi repot. Udah yaa, nanti kita ketemu lagi kalo kamu senggang." ujarnya sambil pergi meninggalkan Arga.
"SEMANGAT TAMARA!!!" Ucapnya berteriak. Tamara merasa malu, ia berlari menggunakan jurus seribu bayangan seperti dikejar zombie. Ketika sampai di kelas, ia langsung duduk disamping Renata. Renata menatapnya acuh tak acuh. Ia sedang fokus dengan buku yang sedang ia baca.
"Sialan lo Ren, pake ninggalin segala. Gue tadi nabrak Arga. Trus jadi pusat perhatian. Mana tadi Arga sweet banget lagi. Gimana bisa gue ninggalin dia?"
Renata menutup bukunya, menggeser kursinya menghadap Tamara dengan raut wajah kesalnya.
"Kan mulai lagi, lo pernah bilang ke gue kalo Arga marah kek orang ga waras. trus sekarang lo jatoh sama perlakuan manis dia lagi? Ck ck ga abis pikir. Dahlah gue bosen dengernya, mari kita belajar aja bentar lagi dosennya dateng." Gadis itu kembali fokus dengan apa yang ia baca.
Sedang Tamara masih tersenyum malu malu. Ia sedang asik dengan imajinasinya. Tak lama pintu diketuk munculah seorang laki laki paruh baya membawa buku tebal di tangannya.
Mereka belajar kurang lebih satu setengah jam, setelah itu mahasiswa dan mahasiswi membubarkan diri dan bersiap pulang. Sisa Tamara dengan Renata yang terlalu santai merapihkan alat tulis mereka.
"Ren abis ini lo mau kemana? Main yuk ke rumah gue? Free kan lo? Ga menerima alasan bucin ya. Bilang ke Farel lo mau ngerjain tugas, please. Ada yang mau gue omongin juga sih." Gadis itu memasang puppy eyesnya yang membuat siapa saja gemas ingin mengabulkan semua permintaanya. Renata berdecak kesal menatapnya. (Ck ni anak mulai lagi sial.)
"Iyee gue izin bentar. Tapi lo ga nyamperin Arga dulu?"
"Engga deh, rame males gue. Ntar gue chat aja." Mereka sudah selesai merapihkan semuanya. Lalu keduanya berjalan bersama menuju pintu.
Gedung fakultas ilmu budaya terletak di samping gedung fakultas ekonomi, jadi Tamara mau tak mau harus melewati fakultas ekonomi untuk keluar dari gerbang kampus. Jalan nya ia percepat, menyamakan langkah Renata yang panjang (Maklum kaki tamara lebih mungil dari Renata.) Tetapi langkahnya tiba tiba terhenti. Ia mematung matanya terpaku pada apa yang ada di depannya. Ia melihat di ujung koridor ada Arga dan juga seorang wanita, terlihat dari almamaternya ia adalah mahasiswa yang berasal dari fakultas yang sama dengan Arga. Sepertinya adik tingkat.
Arga sedang mengunci wanita itu di tembok dan sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Wanita itu tersenyum lebar seperti tertawa. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
Tamara pov
Aku masih saja mematung beberapa menit, kaki ku terasa lemas. Tak terasa sebutir air mata jatuh melewati pipi ku. Baru kali ini aku melihat Arga seperti itu. Berbagai pikiran buruk muncul memenuhi isi kepala ku. Aku merasa dunia ku akan runtuh saat itu. Sayup sayup aku mendengar suara berisik yang ada di sekitar. Lalu pandanganku menggelap seketika. Aku tak sadarkan diri.
***
Terkadang seseorang yang sudah kamu percayakan atas hidupmu, malah semena mena menghancurkanmu. Mungkin itulah tanda bahwa kamu tidak mencintai dirimu sendiri, karena kamu tidak mempercayakan dirimu atas hidupmu.
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan