Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring.
"Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum.
"Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring.
"Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan parau. Gadis itu tersenyum lemah.
"Gausah makasih, kek sama siapa aja lo." ucapnya sembari membuka ponselnya.
"Eh tadi lo bilang ada yang bantu gue, Siapa emang yang gendong gue? Ga mungkin kan lo bawa gue sendirian." Tanya nya penasaran.
"Oh itu dia anak fakul seni. Gue juga baru liat. namanya Cakra. Manis banget anjir." Ia menatap Tamara sebentar dan mengedipkan sebelah matanya, centil.
"Ngapain lo?! Kelilipan hah? Wah jangan jangan lo niat main belakang ya? Ga cukup satu lo? Mau gue aduin pawang lo?!" Meskipun sakit ia tetap saja kesal dengan temannya. Bisa bisanya sudah mendapatkan Farel, yang sangat perhatian itu, masih mengiginkan yang lain? Ia tak habis pikir.
"Gagitu Tam. Cuma ya siapasih yang gasuka sama cowo manis begitu. Kalo lo liat juga pasti terpesona. Malah kata gue Arga kalah jauh." Renata kesal padahal ia cuma ingin menghibur gadis itu. Ah sudahlah namanya juga Tamara, jika sudah bucin ia tidak akan lagi melirik kanan kiri. Pikirnya pendek.
Tiba tiba Tamara menangis sesenggukan. Ia mengingat kejadian sebelum dirinya pingsan. Apa Arga tau kalo ia melihatnya di ujung koridor? Tapi kenapa jika tau ia tidak menunggu disini bersama Renata? Semakin memikirkannya semakin lemas ia.
Renata yang menyadari reaksi Tamara, tentu saja ia kaget.
"Tam lo kenapa? Apa yang sakit, bilang gue. Jangan nangis gini dong, gue bingung." Ia ikut panik lama lama Tamara menangis tambah kencang. Karena Tamara tidak menjawab daritadi. Ia membawa Tamara kepelukannya. Ia menenangkannya dengan menepuk pelan punggung Tamara. Ketika tangisnya sudah reda, Tamara melepas pelukan hangat itu.
"Arga, Ren. Tadi gue liat dia di ujung koridor sama cewek, kayanya panitia juga. Mereka ngomong sesuatu, tapi posisi mereka bikin gue mikir yang engga engga. Arga ngunci cewek itu ke tembok, Trus si cewek ketawa. Tadi gue lemes banget, makanya gue nge drop." Ia menceritakan dengan nafas yang tak beraturan. Renata yang sudah mengerti hanya diam mendengarkan. Ia sangat tau bagaimana teman baiknya ini menjalani hubungan dengan Arga kekasihnya. Oh tentu, Tamara sangat dirugikan. Entah gadis itu terlalu baik, atau malah bodoh. Bisa bisanya ia masih mempertahankan Arga yang sudah jelas laki laki buaya.
"Udah, udah. Gausah di tangisin. Putusin aja lah. Emang itu laki kurang ajar. Lo nya juga masih aja percaya dia." Kali ini Renata sudah kepalang kesal dengan sikap plinplan nya Tamara. Padahal tinggal putus saja, susah sekali. Tamara gadis yang baik, pasti banyak cowok diluar sana mengantri untuk menjadi pacarnya. Ah tapi ia selalu saja menemukan lelaki brengsek yang hanya ingin mempermainkannya. Malangnya Tamara.
"Gatau Ren, gue masih sayang sama dia, gue belum siap buat lepasin dia." Tamara kembali menangis. Ia seorang yang cengeng, tapi tidak berani memusnahkan apa yang membuatnya menangis. Renata tidak mengetahui alasan sebenarnya ia tidak ingin memutuskan Arga, Renata hanya tau ia sangat menyayangi Arga. Bukan karena Tamara takut kehilangan.
***
Di lapangan kampus yang sedang ramai orang. Arga terlihat sibuk dengan stand nya, jangan lupakan almamater navy yang ia pakai menambah ketampanannya seribu kali lipat. Setelah mengobrol dengan Ica di koridor tadi, ia langsung pergi ke stand nya. Untuk mengurus beberapa masalah. Tiba tiba Vino datang mengunjunginya dengan raut muka panik.
"Woi Ga, lo tau ga? Tadi ada yang pingsan. Di depan koridor. Orang orang bilang anak sastra sih, gue dengernya si Tamara pacar lo. Tadi dia dibopong sama cowok, gue gakenal si cowoknya. Baru liat juga. Tapi lumayan ganteng lah. Ati ati lo Ga, entar Tamara jatuh hati sama dia lagi. Dah tinggalin ni acara, banyak anak anak yang handle juga. Sono lo samperin." Ucapnya kompor. Arga teringat tadi ia ngobrol dengan Ica di ujung koridor dekat fakultas sastra. (apa jangan jangan tadi Tamara liat gue ya?) Pikirnya takut.
"HAH, SERIUS LO?! Yaudah titip bentar, nanti gue balik lagi." Tanpa babibu iya cepat cepat pergi meninggalkan acaranya yang ia serahkan ke Vino. Tak butuh waktu lama ia sudah di parkiran. Semua orang menatapnya heran, kira kira kenapa Arga sampai lari dengan muka panik begitu.
Butuh kurang lebih dua puluh menit untuk kerumah Tamara. Beruntung jalan bersahabat kali ini. Jadi Arga bisa memaksimalkan kecepatan. ketika sampai di perumahan Tamara ia melihat sekilas rumah depan Tamara. Ada sebuah mobil yang terbilang cukup mahal terparkir indah disana, berarti memang benar sudah ditempati. Buru buru ia memarkirkan mobilnya perlahan. Lalu ia langsung masuk ke rumah Tamara.
Tamara dan Renata masih di kamar Tamara. Tiba tiba suara langkah kaki yang terburu buru datang ke arah mereka. Tak lupa untuk mengetuk pintu, Arga membuka knop pintu perlahan. Dilihatnya penampilan Tamara yang kacau dengan Renata yang sedang duduk di sampingnya. Atmosfir canggung memenuhi ruang kamar. Renata yang mengerti situasinya pamit keluar mencari makanan untuk Tamara. Ia berbisik pelan ke Tamara.
"Tam, gue tinggal ya mau beli makanan bentar." Setelah itu ia bangun dari tempatnya dan berjalan melewati Arga. Tanpa sapaan, ia sudah terlalu kesal dengannya. Pria itu jalan perlahan mendekati Tamara. Sedang gadis itu terus menunduk. Dengan tanganya yang memilikin baju. Setelah melihat Arga kini ia ingin menangis kencang dan memukulinya, tapi tertahan karena tubuhnya yang lemas. Tentu saja Tamara marah. Siapa yang tidak marah, diperlakukan seperti itu di belakang?
Arga duduk disamping Tamara, tangannya terulur memegang pucuk gadis itu dan mengusapnya. Tamara yang ingin marah tiba tiba terenyuh, amarah yang sudah di ubun ubun menguap begitu saja. Ia hanya bisa menangis saja. Ketika mendengar Tamara yang mulai sesenggukan ia memeluk Tamara erat. Dengan tangannya yang tak berhenti mengusap lembut rambutnya. Di singkirkannya anak rambut gadis itu yang menutupi wajah cantiknya.
"Kamu kenapa sayang? Hmm? Kok bisa pingsan begitu? Belum sarapan ya pasti. Sekarang bilang sama aku ada yang sakit? Atau kamu mau apa? Nanti aku beliin." Ucapnya perlahan. Sangat lembut sampai sampai Tamara tidak bisa mengeluarkan emosinya. Ia hanya terus menangis di pelukan Arga. Nyaman tapi terkadang membuatnya ingin pergi jauh dari pria itu. Ia bingung sekarang. Ia melepaskan pelukannya. Akhirnya Tamara berani menanyakan apa yang mengganjal pikirannya sekarang.
"Tadi kamu sama siapa? Di ujung koridor? Kayanya mesra banget sampe mepet banget begitu."
Arga sudah menebaknya, Dan ternyata benar. Ia bersiap menyangkalnya dengan berbagai alasan yang sudah ia siapkan. Tentu saja ia handal melakukan ini. Terbukti Tamara selalu memafkan nya dan percaya dengan apa yang dikatakannya lagi.
"Oh tadi? Itu Ica, dia panitia bazar juga. Ada yang pengen dia omongin berdua sama aku, dan itu murni tentang bazar kok Tamara. Aku gaada apa apa sama dia. Tadi ada kupu kupu di rambutnya makanya aku ambil. Mungkin kamu salah paham, kamu liat aku pas aku ambil kupu kupunya di rambut Ica kayanya deh." Ucap Arga meyakinkan. Tamara merasa ada yang salah. Masa iya dirinya salah liat? Orang jelas jelas mereka lagi ketawa tawa bareng kok. Tamara sibuk dengan lamunannya.
Arga menepuk pelan pundak Tamara, kemudian ia tersenyum. seolah olah mengatakan semuanya baik baik saja. Entah Arga yang terlalu pintar berbohong serta memanfaatkan situasi atau Tamara yang terlalu bodoh percaya apa yang pria itu katakan padanya.
"Udah gausah sedih lagi ya cantik. Nanti cantiknya ilang. Aku kan udah disini." Tangan pria itu mengusap air mata yang kering di pipi kekasihnya. Tamara hanya diam memperhatikan. Ia sudah kehabisan kata kata untuk Arga. Dirinya bimbang. Apakah harus percaya lagi?. Tamara hanya mengangguk angguk seperti anak anjing yang patuh pada Ibunya.
"Yaudah, kamu mau makan apa? Biar aku beliin. Besok besok sarapan ya, kan kamu punya maag. Nanti kalau begini terus lambung kamu bisa sakit." Tamara kembali memperhatikan wajah Arga. Menurutnya, wajah itu kini penuh kasih sayang. Entah gadis itu yang begitu polos atau bagaimana.
"Engga ah. Udah aku ga mau makan apa apa. Mulut aku pait Ga." Suaranya kembali parau. Ia selalu saja manja ketika sakit. Tapi terlihat menggemaskan di mata Arga.
"Okey okey, princess nya Arga tidur aja ya. Sini sini aku peluk." Gadis itu hanya mengangguk. Kemudiam Arga kembali memeluknya. Kini mereka berbaring di ranjang Tamara sambil berpelukan. Tak lama Tamara tertidur di pelukannya.
***
Renata baru kembali setelah dari luar membeli makanan untuk Tamara. Sejujurnya ia agak khawatir meninggalkan Tamara dengan Arga. Tapi ia pikir mereka harus dewasa dengan hubungan mereka sendiri. Jadi Renata sengaja melambatkan jalan nya. Setelah sampai rumah Tamara, ia baru sadar bahwa mobil yang tadi membawa Tamara pulang terparkir di rumah depan Tamara. Renata cukup yakin bahwa mobil ini cukup mahal, sampai hanya sedikit orang saja yang memilikinya. Kemudian ia mendekati rumah itu. Karena penasaran, ia memencet bel ingin tau apakah ini rumah pria tadi atau bukan.
Seseorang membuka pintu, ternyata benar dugaannya itu Cakra. Teman sekampusnya yang membantu membawa Tamara pulang tadi. Tamara yang langsung mengerti bahwa mereka ternyata tetanggaan. Dan Renata kesal kenapa Tamara merahasiakan ini darinya. Saat sedang asik melamun.
"Eh? Lo Renata yang temennya cewek yang tadi pingsan kan?" Ucapnya belum akrab jika memanggil temannya dengan namanya.
"Iya gue Renata. Oh ternyata lo tetangga Tamara? Kok gak bilang sih? Berasa paling bego sendiri gue."
"Hehe, yaudah masuk yuk. Eh iya, btw cewek tadi udah siuman?" Tawarnya dengan ramah.
"Gausah gue disini aja, tadi cuma mastiin doang. Ternyata bener ini rumah lo. Tapi lo baru pindahan disini ya? Gue kayanya main kesini mulu tapi gapernah ketemu lo? Oh Tamara udah bangun tadi. Cuma pacarnya dateng, jadi gue milih buat keluar cari makan deh. Nih gue bawa makanan buat Tamara."
Oh ternyata cewek itu udah punya pacar. Pikirnya agak sedikit kecewa.
"Oh iya cowok nya Tamara juga anak kampus kita loh, kebetulan dia anak rektor." Renata menjelaskannya dengan antusias. Biasalah perempuan. Cakra menanggapinya dengan ber-oh- ria saja. Kemudian Renata menjelaskan lagi hubungan temannya.
"Kasian sih Tamara. Udah tau si Arga buaya, masih aja di maafin. Gatau bego, gatau bucin. sampe muak gue nasehatinnya kalo dia mulai nangis ke gue. Tapi dianya juga ga pernah kapok si. Eh anjir maaf Cak gue jadi curhat in Tamara ke elo. Tapi jujur Tamara orangnya polos jadi gampang banget diboongin. Ya semoga dia cepet sadar deh."
"Serius? Kasian juga ya Tamara." Jujur ia kaget dengan pernyataan Renata tentang hubungan percintaan Tamara. First impression dirinya ke Tamara si memang kelihatan kalo gadis itu begitu polos. Tapi cowok seperti apa yang tega bikin Tamara sampe begitu ya? Pikirnya kesal
(Heh tapi kan gue bukan siapa siapa amjinc. Ngapain kesel si cak cak. HAHAHA KENAPA GUE IKUTAN MANGGIL CAK CAK SI, KEK CICAK ASU) Tanpa sadar ia tersenyum sendiri. Renata heran dengan pria di depannya yang seperti orang setress. Ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah Tamara.
"Dah ya Cak. Gue ke Tamara dulu. Khawatir gue dia ngapain berdua. Bye, sampai ketemu lagi." Ia pergi melambaikan tangan dan berlari ke rumah Tamara. Ckra yang tidak mau ambil pusing, kembali masuk ke rumahnya. Dan melanjutkan aktivitasnya yaitu mencuci piring karena abis makan.
Renata memutar knop pintu kamar Tamara. Ia terkejut terlihat dua manusia sedang berpelukan di ranjang. Keduanya tidur nyaman. Renata menaruh makanan nya diatas nakas, ia bergumam perlahan.
"Gue harap lo beneran selesai Tam, sama Arga. Gue ga tega liat lo terus terusan kaya gini."
Lalu ia berjalan meninggalkan dua sejoli itu, dan pulang ke rumahnya.
Arga pov
Setelah mendengar dengkuran halus Tamara, aku pun ikut membetulkan posisi untuk ikut terlelap. Jujur ya aku kasihan sama kamu Tam, tapi aku gak bisa ngelupain fakta kalo kamu lama lama ngebosenin. Kalo ditanya kenapa aku ga bisa lepasin kamu, ya karena aku belum nemuin cewek yang bener bener ngerti aku. Maaf ya, Tam.
***
Entah memang ini sifat alami manusia yang tak pernah puas, yang jelas kamu tidak akan menemukan kebahagiaan sejati jika kamu tidak mensyukuri apa yang ada didepan mu.
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka