Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.
Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.
***
Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri mengapa ia harus memaafkan kembali pria itu. Memikirkannya membuat ia pusing. Ia mulai bergerak gerak, membuat pria yang memeluknya ikut terbangun.
Arga menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata nya. Ia tersadar dirinya masih memeluk Tamara. Kemudian ia menarik salah satu tangannya. Berpindah ke rambut gadis itu, ia mengusapnya perlahan.
"Udah enakan Tam?" Suara khas bangun tidur Arga terdengar di telinga Tamara, membuatnya bergidik.
"Emm udahh kok." Ucapnya tak kalah serak. Hari sudah malam, waktunya Arga pamit. Ia harus mengurus bazarnya yang tadi ia serahkan ke Vino. Bagaimanapun dirinya harus bertanggung jawab.
Arga bangun dari posisinya sekarang, kemudian Tamara mengikutinya.
"Tam aku pulang dulu ya, ini ada makanan. Kayanya tadi Renata yang bawa. Jangan lupa minum obat ya sweety. Aku mau ke kampus dulu, tadi acara nya belum selesai cuma aku kasih ke Vino. Jadi aku harus kesana. Kamu istirahat aja ya jangan banyak mikir. Nanti stress sayang." Arga terus mengoceh dan tangannya tetap berada di kepala Tamara. Menepuknya perlahan.
"Iya aku istirahat, yaudah hati hati. Makasih ya Ga." Tamara masih terlihat lemas, efek belum diberi asupan hari ini.
Arga memakai almamaternya yang tergeletak di sofa kamar Tamara. Selesai memakainya, ia langsung pergi dari rumah kekasihnya menuju kampus.
Setelah Arga pergi, Tamara bangun dari ranjangnya dan pergi ke kamar mandi dengan sempoyongan. Ia membersihkan diri sebentar lalu kembali ke nakasnya untuk mengambil makanan yang tadi dibelikan Renata. Bubur ayam di depan jalan memang selalu menjadi favoritnya ketika sakit, ternyata Renata mengerti dirinya. Matanya berbinar binar menatap bubur itu. Tak lupa ia memanasi buburnya sebentar, lalu mulai menyatapnya dengan lahap.
Sembari makan, otaknya tidak mau berhenti berpikir. Ia masih memikirkan apa yang terjadi hari ini. Waktu begitu cepat berlalu. Seingatnya tadi ia masih menangis karena Arga, sekarang setelah bertemu pria itu kemarahannya seketika menguap. Yang dirasakannya kini, justru kosong. Ia tak mengerti dengan dirinya sendiri. Setelah Buburnya ia habiskan. Tamara kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Ia harus cepat pulih karena besok ia ada kuliah pagi.
"Untung besok Arga tidak ada kelas." Jadi ia tidak harus menemuinya. Jujur gadis itu sangat bingung harus bersikap bagaimana dengan Arga. Maka menghindari adalah solusinya.
***
"Gue harus cepet mandi, biar ke kampusnya ga telat." Sebelum masuk kamar mandi, ia akan menyempatkan mengecek ponselnya. Sepuluh menit ia mencari dimana ponselnya. Ia baru ingat benda itu ada di tasnya. Di bukanya ponsel gadis itu, ada satu notifikasi dari Arga. Rupanya setelah Arga pulang dari rumah Tamara. Ia mengiriminya pesan.
from : my bf <3
"Hai Tam, itu bubur yang tadi dikasih Renata jangan lupa di makan, sama obatnya jangan lupa juga. Biar kamu cepet sembuh, Oh iya kalo besok masih gaenak badannya, istirahat aja. Gausah ngampus oke? sleepwell cantik!"
Tamara tersenyum membaca pesannya. Bisa bisanya ia cepat sekali melupakan apa yang terjadi kemarin. Hanya dengan diberi rayuan manis, ia mampu memaafkan Arga dengan kesalahpahaman kemarin. Belum sempat ia membalas pesannya yang semalam, tiba tiba notif baru muncul.
TING//
You have new message from my bf <3
"Pagi Tamaraaa, Gimana hari ini udah enakan belum? Jangan lupa sarapan sama minum obat kalo mau ke kampus ya. Jangan sampe drop kaya kemarin lagi sayang. Oh iya kalo kamu jadi berangkat ke kampus, kamu berangkat sama Renata ya. Aku baru banget kelar beres beres acara sekitaran jam satu an, dan sekarang masih ngantuk banget. Cuma buat kabarin kamu aja aku bangun sebentar. Okay have a nice day sweetheart!"
Terlihat gadis itu, mengetikkan pesan untuk membalas Arga.
"Pagi jugaaa, aku udah enakan kok. Ini mau ngampus, okay aku berangkat bareng Renata. Sleepwell Ga."
Setelah close dari roomchatnya bersama Arga, ia mencari nomor Renata. Nada tersambung terdengar, tak lama suara Renata yang terdengar.
"Halo Ren, gue nebeng ya? Lo bawa mobil kan? Huhu nebeng yaa, gue belom pulih bener nih, entar kalo ada apa apa di jalan gimana? Lo mau tanggung jawab?" Pintanya dengan nada yang memohon agar Renata kasihan padanya.
"Iye iye gue kerumah lu tiga puluh menit lagi. Awas kalo belom rapih gue tinggal."
"Aaaa Renata baik banget, jadi makin sayang. Tar kapan kapan gue traktir boba deh xixixi. Yaudah gue mandi dulu. Sampai ketemu nanti Renata yang cantik!"
TUTT//
Setelah ia matikan panggilannya, ia tertawa bodoh. Betapa sayangnya ia dengan teman baiknya itu. Hanya Renata yang mengerti dirinya, bahkan Bundanya tidak pernah mengerti, apa mau Tamara. Gadis itu masuk kamar mandi dengan perasaan senang. Mudah sekali membuatnya senang.
Butuh 15 menit ia membersihkan dirinya, setelah selesai mandi dan berpakaian, ia duduk di depan meja rias. Memandangi dirinya, jika di telusuri ia memiliki mata bulat yang lucu, Hidungnya mancung seperti perosotan, dan pipinya tirus. Ia baru sadar akhir akhir ini ia merasa sangat kurus. Tak lupa ia memakai bedak tipis dan beberapa make up. Untuk mengcover wajah pucatnya.
TIN TIN///
Klakson mobil Renata terdengar, Tamara langsung buru buru mengambil tote bag dinosaurus yang masih menjadi favoritnya saat ini. Setelah mengunci pintu Rumah, ia langsung naik ke samping mobil Renata. Lalu mereka berdua pergi, dengan menyisakan polusi di lingkungan perumahan Tamara.
Di dalam mobil Renata membuka obrolan.
"Gimana dah baean blom? Obatnya di minum ga? Awas aja ga di minum gua cekokin jamu yang pait. Oh iya lo udah sarapan belom?"
"BUSET REN. Satu satu apasi nanya nya, ni gue lagi di wawancara hah." Ucapnya kesal. Baru mau nikmatin suasana, pake ditanya tanya segala. Elah. Pikir Tamara kesal. Renata hanya membalas dengan cengiran khasnya.
"Gue belom sarapan nih, sarapan yuk. Kita makan bubur di deket kampus." Sambil membayangkan semangkuk penuh bubur ayam dengan tusuk sate diatasnya. Membuat perutnya kerocongan.
"Oke atur aja, gue juga udah lama ga makan bubur disitu. Hmm let's go!"
Pagi ini mereka sedang dipenuhi mood yang bagus, karena itulah mereka sangat semangat. Butuh waktu dua puluh menit Renata mengendarai mobilnya dan sampai di tempat yang mereka tuju. Setelah Renata memarkirkan mobilnya, mereka berjalan bersama ke kedai bubur ayam itu.
"Pak pesen 2 mangkok ya, yang satu gapake bawang goreng. Yang satu lengkap ya Pak. minumnya lo mau apa Ren?"
"Hmm samain aja deh." Ia menjawab sembari membuka ponselnya
"Okey, Pak minumnya minta teh anget dua ya." Tak lama pesanan mereka datang. Mereka langsung saja melahapnya. Tiba tiba Renata teringat sesuatu.
"Eh Tam, lo inget ga cowok yang gue bilang kemarin? Cowok yang gendong lo itu. Ternyata tetangga lo ya. Ish parah banget gapernah cerita punya tetangga ganteng begitu." Tamara yang sedang enak enak melahap buburnya tersedak. Dengan cekatan Renata memberinya minum.
"Makanya makan pelan pelan." Ucapnya sok tau. Tamara buffering, ia berpikir sebentar. Seingatnya ia tidak punya tetangga yang tampan. Rata rata tetangganya hanya memiliki anak yang masih sekolah. Tunggu tunggu, jangan jangan...
"HAH?! Tetangga yang mana? Rumahnya dimana. Perasaan gue gapunya tetangga yang ganteng seumuran kita deh." Tiba tiba ia terpikir seseorang.
"Itu loh yang rumahnya persis banget depan rumah lo. Cat putih. Tetangga baru ga si? Soalnya gue gapernah liat dia deh, kan gue sering bolak balik rumah lo." Tebakan Tamara benar, ternyata cowok itu.
(Eh bentar kemarin Renata bilang dia nolongin gue pas di kampus? Berarti dia sekampus dong sama gue? Oh iya namanya Cakra? Bagus juga.) Ia sibuk melamun, Renata menepuk bahunya.
"Woi malah bengong. Kenal kan lo? Bisa bisanya lo ga ngenalin ke gue. Btw dia anak seni loh." Kan benar dugaannya, ia pasti salah satu mahasiswa kampus kami.
"Oh itu, itu dia juga baru pindah kesana belum ada seminggu, maaf ya gue belum sempet cerita ehe." Kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Ia masih memikirkan kemungkinan kemungkinan yang lain. Seperti gimana kalo Arga tau kita sekampus ya? Bakalan seposesif apa dia. Ia harus memberitahukan ini pada Renata, agar mulutnya bisa ngerem ketika membahas pria itu di depan Arga. Kalau tidak nanti dirinya bisa menjadi amukan pria itu.
"Eh Ren, gue minta tolong banget ni sama lo. Tolong jangan bahas Cakra depan Arga ya? Lo tau sendiri Arga kek apa kalo denger gue punya temen cowok." Daridulu ia memang hampir tidak memiliki teman laki laki. Sebelum bersama Arga, teman lelaki yang ia punya memang hanya hitungan jari saja. Ditambah ketika bersama Arga, ia tidak diperbolehkan berteman dengan lelaki manapun. Jika ketahuan Arga akan mengamuk. Dan Tamara sangat takut.
"Siap, aman lah sama gue. Yaudah cepetan abisin buburnya. Bentar lagi ada kelas." Tamara menyantap buburnya dengan perasaan bertanya tanya. Ia masih kaget tentunya.
Setelah selesai menghabiskan mereka membayar makanannya, dan pergi ke mobil yang terparkir untuk melanjutkan perjalanan ke kampus. Tidak butuh waktu lama, karena memang jaraknya sangat dekat. Mereka berdua turun dari mobil. Dan langsung menuju ke kelas nya, untuk memulai belajar.
***
Cakra sengaja datang pagi, untuk mengerjakan lukisannya di studio kampusnya. Ia berangkat pukul 07.00, dan sekarang hanya sendirian disini. Ia begitu menyukai ketenangan, jika berisik ia tak mampu berkonsentrasi penuh. Dan akhirnya hasilnya akan acak acakan. Setelah merampungkan lukisannya, ia berniat mencari makanan. Karena ia belum sempat sarapan. Cello berangkat sangat pagi karena ada acara di sekolahnya, kebetulan ia menjadi panitia. Jadi anak itu sarapan di sekolahnya. Mau tak mau, karena dirumah bahan makanannya juga habis. Ia memutuskan untuk sarapan di kantin kampusnya.
Cakra termasuk mahasiswa yang jarang jajan di kantin. Ia lebih menyukai masakan rumahan. Jadi hanya sesekali saja ia jajan di luar. Cakra juga termasuk pria dengan bakat memasak. Ketika Ibunya sibuk bekerja di luar maka ia yang akan memasak untuk mereka, jika waktunya kosong.
Setelah merapikan semuanya, Ia keluar dari studio nya. Ternyata sudah kurang lebih dua jam ia didalam studio. Pria itu sedang memejamkan mata menikmati udara segar di depan studio nya. Kemudian ia berjalan pelan ke kantin. Selama perjalanannya menuju kantin, banyak pasang mata yang melihat terpesona ke arahnya. Kali ini ia memakai kaus dan kemeja flanel hitam merah yang dilipat hingga siku nya. Dengan tangan yang masuk ke kantong celana hitam. Ia berjalan dengan santai dan jangan lupakan lesungnya yang siap menyihir siapapun yang memandang ke arahnya. Terkesan simple, tetapi sangat mempesona.
Kemudian ia berjalan ke kedai kebab, ia memesan satu kebab dan segelas caramel machiatto, di kedai sampingnya. Setelah selesai memesan, matanya mencari tempat kosong, untuk dirinya makan. Lalu ia menemukan, di pojok ada tempat kosong. Cakra duduk disana dengan memainkan ponselnya, lalu tak lama pesanannya datang.
"Terimakasih Bu." Tanpa lupa memberikan senyum hangatnya. Ibunya membalas senyumannya. Lalu ia makan dengan tangan yang fokus pada layar ponselnya. Ia sedang menyimak berita apa yang sedang ramai. Setelah selesai makan ia kembali ke studio seni lagi, untuk menyerahkan tugasnya kepada dosen, maka ia harus menunggu dosen tersebut selesai kelas.
Ia mulai pergi meninggalkan kantin setelah membayar pesanannya tadi. Ketika sedang berjalan di sepanjang koridor tiba tiba kakinya berhenti berjalan, tatapannya tertuju pada seseorang. Dua wanita cantik sedang berdiri disana, yang satu sedang asik tertawa, sedangkan yang satu terlihat meringis kesakitan, juga terlihat kesal sambil menunduk memegang kakinya. Tapi, wanita yang kemarin pingsan itu terlihat manis hari ini. Ditambah lagi kini ia memakai dress simple, betapa cantiknya ia.
Cukup lama Cakra memandang ke arah sana, sampai mata mereka bertemu. Kini keduanya diam saling memperhatikan.
***
TAMARA POV
Kelas berakhir lebih cepat dari biasanya. Mereka berniat ingin mampir ke coffeshop dekat sini, untuk sekedar nongkrong, melepaskan penat. Tentu saja ini ide Tamara, karena ia bosan di rumah terus. Sudah menjadi kebiasaan mereka ketika kelas selesai, pasti keluar terakhir diantara mahasiswa yang lain. Entah terlalu betah atau bagaimana. Setelah selesai membereskan alat tulis, mereka pergi keluar. Belum sampai pintu...
BRUKK///
Tamara jatuh tengkurap, tersandung kaki bangku yang keluar dari barisannya.
"ADUH ANJIR KURANG AJAR SAPE NIH YANG NARO BANGKU MADEP KEK GINI, SIAL JATOH MULU GUE, CAPE BANGET." Jangan heran aku sudah terbiasa mengumpat, itulah yang aku lakukan ketika jatuh.
Renata yang sedang aba aba ingin mematikan lampu, terkaget. Lalu ia tertawa kencang sampai menggema di seluruh kelas.
"AHAHHAHAHA ANJIR NGAKAK, NGAPAIN LO TIDURAN DISITU WOI AHAHAHAHA, JADI ORANG LETOY AMAT SI KEK BALON VIVO YANG SUKA ADA DI DEPAN KONTER HAHAHA GAKUAT GUE, CAPE BANGET."
Dasar laknat, bukannya bantuin malah ketawa dulu dia. Kalo bukan temen gue dah gue pukul penggaris di depan papan tuh.
"Si anying malah ketawa, bantuin cepet." Aku masih dengan posisi tengkurapku. Ah kaki ku yang malang. Renata membantuku berdiri. Ketika aku mencoba jalan keluar kaki ku sakit sekali sepertinya memar. Jangan tanya Renata masih sibuk tertawa.
Aku dan Renata sudah diluar kelas, aku sibuk menunduk merasakan kaki ku yang makin panas. Tapi, aku merasakan ada yang memperhatikanku dari sana. Dan benar saja, ketika aku mendongakkan kepala. Ada seorang pria yang sedang melamun menatapku dengan tatapannya yang dalam? Entah kenapa aku bisa merasakannya.
TAMARA POV END
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Mereka berdua masih saja dengan posisi seperti itu, sampai suara ranting pohon yang jatuh diluar terdengar Tamara baru bangun dari posisinya. Keduanya cangungg, tapi Cakra mencoba untuk biasa saja. Cakra bangun menyamankan posisinya. "Sorry, gue takut sama suara petir." Tamara merasa bersalah. Ia kembali menunduk sekarang. Tangan Cakra reflek mengusap kepala gadis itu yang sedang ketakutan. Tamara kaget, tapi ia tetap menunduk. "Gapapa Tam, gue disini kok." Ucapnya sambil terenyum. "Yaudah lo kalo mau tidur tidur aja biar gue di sofa." Cakra bersiap untuk turun dari tempat tidurnya, tapi ditahan Tamara. Gadis itu menggelengkan kepala tanda ia tidak menyetujui. Cakra bingung. Maksudnya dirinya harus menemani Tamara disini? Di kasur ini? Pikir Cakra. Ia menghembuskan nafas kasar, gadis ini memang tak bisa ditebak. Lalu Cakra mulai merapihkan tempat tidur, untuk Tamara istirahat. Terdengar suara petir bersautan diluar. Tamara kembali me
Tamara yang makin panik berniat ingin menghubungi Renata. Keadaan makin kacau. Arga terlihat ancang ancang ingin meninju Cakra. Tamara sadar ia terlalu banyak menangis. Akhirnya ia memberanikan diri untuk melerai mereka. Tiba tiba gadis itu berlari ke arah mereka. Arga yang bersiap melayangkan tinjunya untuk Cakra ternyata meleset. Dirinya malah meninju Tamara yang mendorong Cakra. "TAMARAA!!" Cakra kaget. Tamara jatuh tersungkur, setelah mendapatkan pukulan Arga. Tentu saja Arga panik. Cakra yang mendapati Tamara jatuh karenanya. Ia bangun lalu balas meninju Arga sekali. Kemudian ia membopong Tamara ke atas kasurnya. Ia buru buru ke dapur mengambil air untuk gadis yang terluka itu. Sedangkan Arga hanya diam menyesal menatap kekasihnya. "Maafin aku Tam, aku ga sengaja." Ucapnya dengan gugup. Tamara hanya meringis sakit. Ia terluka secara fisik dan batin. Sungguh kali ini ia akan sulit sekali nenaafkan Arga. Tamara terlalu lelah untuk menanggapinya
Gadis itu terlihat menyedihkan. Niatnya untuk mandi ia urungkan. Sekarang dirinya hanya terduduk lemas di tepian ranjang. Tamara sibuk memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan pada Arga, tentang hari ini. Ia mengutuk siapapun yang telah mengadukan hal ini pada Arga. Memangnya mereka ga liat dirinya sedang kesakitan apa?Terlihat ia mengetikan balasan pesan untuk kekasihnya. Dengan tangannya yang gemetar ia sibuk merangkai kalimat untuk menjelaskannya.To : my bf <3Ga, kamu salah paham. Aku ga kaya yang kamu pikirin plis. Gausah nyimpulin macem macem. Mana berani aku selingkuh. Aku cuma punya kamu.Tolong percaya.Sebisa mungkin ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia tentu tak mau Bundanya tau apa yang terjadi padanya. Bisa bisa masalah ini makin panjang. Jadi Tamara harus bisa baik baik saja sekarang. Kemudian, ia merebahkan dirinya di kasur. Terlalu malas untuk bergerak, tak lama Tamara ketiduran karena merasa sangat lelah hari ini. 
Mereka berdua asik saja berpandangan, sampai Renata sadar. Kemudian ia menghentikan tawanya, mengingat terlalu hening. Ia melihat kesamping, ternyata Tamara sedang menatap lurus ke arah laki laki di ujung sana. Tak butuh waktu lama, Renata sadar pria yang di depannya itu Cakra. Lantas kenapa mereka berdua berpandangan tanpa menyapa? Pikinya penasaran. Renata akhirnya menepuk bahu Tamara. "Woi, biasa aja kali liatnya. Wah gue curiga, kayanya lu berdua ada apa apa." "Anjir Renata bisa gausah ngagetin ga sih? Heh gausah ngelantur plis." Tamara meringis lagi, kakinya benar benar sakit sekarang. Ia terduduk di kursi depan ruang kelas. "Ya abis lo ngapain liat Cakra sampe begitu amat. Trus itu kenapa kaki lo? Pasti gara gara jatoh tadi kan. Lo si makanya jalan liat liat Tam. Ga cape apa jatoh mulu?" "Si anying kalo gue liat ada bangku disitu juga gabakal gue samperin. Kayanya kaki gue memar deh, nyeri banget anjir." Renata duduk disampingnya. Ca
Jam menunjukkan pukul 08.00. Tandanya Tamara harus bangun dari tidur cantiknya. Gadis itu sudah lebih baik dari kemarin. Ia merasa harus pergi ke kampus karena sudah banyak semester ini yang ia habiskan waktunya dengan membolos atau titip absen. Ia sedikit demi sedikit ingin mengubah kebiasaan telatnya.Tamara membuka matanya dengan perlahan. Ia bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sandaran, samar samar ia memikirkan apa yang terjadi kemarin. Ia ingat dirinya tertidur pulas dengan Arga yang memeluknya. Lalu ketika Arga pergi ia merasa hampa yang menemaninya. Tentu saja harga dirinya terluka jika Arga kembali membohonginya. Hanya saja sepertinya ia jujur kemarin. Pikir Tamara meyakinkan diri sendiri.***Malam itu, Tamara membuka matanya, di depan ia melihat dada bidang Arga. Ia merasakan tangan Arga yang ada di pinganggnya. Ternyata mereka masih di posisi awal. Sejenak ia menutup matanya merasakan hembusan nafas kekasihnya di pucuk kepala gadis itu. Ia
Tamara terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan, sedikit demi sedikit ia mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba tiba ia merasa pusing jika terlalu memaksa untuk mengingatnya. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, Renata muncul dengan membawa segelas air putih hangat, untuk minum obat Tamara. Gadis itu terlihat lemas di tempat tidurnya. Seakan tidak bergairah untuk bangun dari tempat ia berbaring. "Lo baik baik aja Tam? Asli tadi gue khawatir banget sama lo. Kebiasaan si, kalo pagi tuh sarapan. Gausah ngeyel kalo dibilangin. Untung tadi ada yang liat lo pingsan. Coba kalo engga, gue juga bakal gatau." Renata terus mengoceh dengan tangannya yang menyiapkan dan memberikan obat untuk Tamara minum. "Nih minum dulu obatnya." Renata membantu Tamara untuk bangun dan menyandarkan kepalanya di ujung sandaran. Gadis itu masih pusing, setelah minum obat ia kembali berbaring. "Makasih ya Ren, kalo gaada lo gue dah terkapar kali ya hehe." Ucapnya dengan p
Sebelum pindah ke rumah yang sekarang di tempatinya, keluarga Cakra telah merencanakan untuk membuka lembaran baru. Mengingat Ibu nya baru bercerai dengan Ayahnya. Kurang lebih sebulan lamanya, Karena Ibunya memergoki sang Ayah sedang bermesraan dengan wanita lain yang bukan dirinya. Usut punya usut mereka adalah kekasih yang sudah lama menjalani hubungan tanpa ada yang tau. Tentu saja ini menjadi pukulan yang berat untuk Ibunya. Otomatis hak asuh diberikan kepada sang Ibu, jadi Cakra dan Cello tinggal bersama Ibunya.Dua kakak beradik itu sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Ayahnya. Sehingga mereka bersikeras untuk tidak menjadi lelaki seperti Ayahnya. mereka juga sangat membenci Ayahnya. Padahal Ibunya adalah orang yang sangat penuh perhatian dan kasih sayang, terlalu jahat rasanya seorang wanita baik diselingkuhi oleh lelaki yang kurang puas jika hanya memiliki satu perempuan. Sebisa mungkin Cello dan Cakra tidak menunjukkan kalau mereka masih terluka
Jam menunjukkan pukul 07.30. Sinar mentari pagi masuk lewat celah jendela kamar bernuansa cokelat muda itu. Membuat siapa saja yang melihat akan menyipitkan mata karena silau. Bagaimana tidak silau, kamar itu dibuat menghadap matahari terbit. Jadi sangat hangat ketika pagi. Gadis pemilik nama Tamara Andira masih nyaman bercengkrama dengan selimut yang membungkusnya seperti daun pisang di lemper ayam. Tamara adalah seorang mahasiswa semester 5 jurusan sastra indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia tinggal dengan Bundanya seorang, ia tidak memiliki saudara kandung, dan sang Ayah pun sudah meninggal karena kecelakaan. Ia sering merasa kesepian, Bundanya seorang wanita karir yang tidak biasa dirumah. Ia berfikir jika ia memiliki seorang kekasih maka hidupnya akan lebih berwarna. Nyatanya ia selalu gagal dalam urusan asmara. Yang membuat heran dirinya tak pernah jera. Gadis ini mudah sekali jatuh hati, tapi jika punya satu pujaan hati, ia akan berjuang u
Di teras rumah nya Tamara termenung, memikirkan apa yang baru saja diakukannya hari ini. Angin sore menerpa wajahnya yang kata orang cantik seperti buah persik. Rumah bergaya Eropa minimalis di depan rumahnya terlihat ramai, rupanya ada keluarga baru yang menempati rumah itu. Dengan mata besar lentiknya ia melihat seorang laki laki berperawakan tinggi, dengan dadanya yang bidang sedang kesulitan membawa peralatan seni nya. Disamping itu ada seorang remaja laki laki ikut membantu membawa barang barang lainnya. Melihat situasinya, tangannya gatal ingin membantu . Ia pun bangun dari singgasana nya di teras dan langsung membantu laki laki itu. “Lo baru pindah kesini ya? Sini gue bantu.” “Eh?” dengan cekatan tamara membantu laki laki itu. "Ini taruh dimana?" "Disitu aja." Menunjuk area ruang tamu. Tamara melangkahkan kakinya masuk. Baru kali ini ia masuk ke rumah itu, padahal ia sudah lama tinggal di lingkungan ini. Dilihatnya, dengan mata telanjan